Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari
Syaikh Ali bin Hasan bin Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari
Segala puji bagi Allah
dan sholawat serta salam semoga senantiasa terlimpah kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kepada keluarga, sahabat serta orang-orang
yang mengikuti beliau.
Sebagian ikhwan telah
bertanya kepadaku –semoga Allah memberi balasan kebaikan kepada mereka- tentang
hukum penisbatan diri kepada Sunnah atau Atsar?
Semua itu dikarenakan
adanya ucapan dari ahli ilmu yang dipahami melarang akan hal tersebut.
Maka saya katakan
–dengan memohon taufik dari Allah-:
Sesungguhnya
penisbatan kepada Atsar merupakan penisbatan yang sudah ada sejak zaman dahulu (suatu
hal yang telah turun temurun/warisan) diterima oleh kalangan ahli ilmu.
Berkata As-Sam’ani
(meninggal tahun 562H) dalam kitabnya Al-Ansab 1/136 : Penisbatan kepada Atsar
yaitu hadits dan mencari ilmu hadits serta mengikuti hadits.
Dan bait syair pertama
di dalam Al-Alfiyah Al-Haditsiyyah yang telah masyhur oleh Al-Hafidh Al-Iraqi
(meninggal tahun 806H), beliau berkata :
Abdurrahim bin
Al-Husain Al-Atsari yang mengharap (ampunan) Rabbnya yang Maha Kuasa berkata :
Al-Hafidh As-Sakhowi
(meninggal tahun 902H) mensyarah bait atas dalam kitab Fathul Mughits 1/3
dengan perkataan beliau : Penisbatan kepada Atsar, para ulama menisbatkan diri
mereka kepadanya dan sebagian mereka yang mengarang kitab dalam bidang tersebut
telah menisbatkan kepadanya dengan baik.
Apabila kalian tidak
bisa persis seperti mereka, maka samailah mereka, sesungguhnya menyamai orang
yang mulia merupakan suatu keberuntungan.
Jika seandainya
penisbatan kepada madzhab-madzhab atau profesi atau negara atau gelar-gelar
diperbolehkan, maka penisbatan kepada Sunnah dan hadits serta Atsar lebih utama
untuk diterima.
Syaikh kami Al-Albani
rahimahullahu menyindir sebagian penuntut ilmu, yang menyelisihi Sunnah dan
mengubah manhaj ahli sunnah, namun disisi lain salah seorang dari mereka
menggelari dirinya dengan Atsari. Sedangkan dia dari Atsar dan Sunnah
berjauhan. Maka penisbatan itu batil, menyelisihi hakekat sebenarnya. Syaikh
rahimahullah membantah terhadap sebagian para penulis muda yang menyelisihi
sunnah dan kebenaran, namun dirinya menisbatkan kepada Atsar dalam rangka
ikut-ikutan dan untuk menipu (orang awam). Beliau berkata : “Al-Atsari adalah
mode zaman ini”.
Pengingkaran syaikh
kami adalah benar, pengingkaran tersebut ditujukan kepada yang menisbatkan
(orangnya), bukan terhadap apa yang dinisbatkan, karena beliau berkata setelah
itu untuk membantah orang yang menisbatkan kepada Atsar tersebut, dan untuk
menyingkap hakekat sesungguhnya : “Ketika ia mengira barangsiapa yang tidak
mengikuti perkatannya… bahwa dia seorang salafi atsari seratus persen, padahal
sesungguhnya ia seorang kholafi mu’tazili (lawan salafi) dari para pengekor
hawa nafsu”
Beliau membolehkan
penisbatan tersebut, seperti orang-orang sebelum beliau dan para imam dan
ulama.
Apa yang dinisbarkan
kepada salaf (salafi) pada dasarnya sama dengan apa yang dinisbatkan kepada
atsar (atsari), keduanya sama.
Yang semisal dengan
hal diatas adalah pembedaan antara para dai yang sebenarnya dan orang-orang
yang hanya mengaku, Al-Allamah Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullahu
ketika ditanya tentang penamaan As-Salafi, Al-Atsari, apakah ini termasuk
tazkiyah/rekomendasi?
Maka Samahatusy Syaikh
rahimahullah menjawab :
“Apabila benar adanya bahwa dia Atsari atau Salafi maka tidak masalah, seperti yang diucapkan oleh ulama terdahulu, fulan Salafi, fulan Atsari, ini merupakan rekomendasi yang diharuskan dan wajib”.
“Apabila benar adanya bahwa dia Atsari atau Salafi maka tidak masalah, seperti yang diucapkan oleh ulama terdahulu, fulan Salafi, fulan Atsari, ini merupakan rekomendasi yang diharuskan dan wajib”.
Adapun yang dinukil
oleh sebagian saudara kita yang difahami darinya bahwa ada yang menyelisihi
dalam hal ini, dan ini dinukil dari Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan –semoga
Allah memberi kita manfaat darinya-, maka yang benar dalam hal ini –insya
Allah- apa yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu
dalam Majmu Fatawa 4/149 beliau berkata :
“Bukan suatu aib bagi
seorang yang menampakkan madzhab salaf dan menisbatkan dirinya kepada salaf
serta bangga dengan salaf, bahkan wajib menerima hal ini sesuai dengan
kesepakatan (para ulama), karena madzhab salaf tidaklah kecuali benar”.
Jika penisbatan
tersebut selaras antara dhohir dan batinnya maka hal ini setara dengan
kedudukan seorang mukmin yang berada diatas kebenaran secara dhohir dan bathin.
Namun jika dhohirnya
saja tanpa bathinnya, maka hal ini kedudukannya sama dengan munafiq, maka kita
terima apa yang nampak dari hal tersebut dan kita serahkan yang tidak tampak
kepada Allah, karena kita tidak diperintahkan untuk menghukumi apa yang ada di
hati manusia.
Ini sesuai dengan
perkataan para imam dan ulama antara satu dengan lainnya dan menyelisihi
perkataan selain mereka, dari orang-orang yang tidak faham perkataan para imam
dan ulama, maka renungkanlah.
Untuk mendapatkan
faidah lebih lanjut akan hal ini lihatlah Al-Lubab 1/28 oleh Ibnu Atsir, Siyar
A’lam An-Nubala 18/510, 1/475 oleh Adz-Dzahabi, Taudhilul Musytabah 1/122 oleh
Ibnu Nashiruddin Ad-Damasyqi, Lawami’ul Al-Anwar Al-Bahiyyah 1/64 oleh
As-Safarini dan selainnya.
[Dialih bahasakan oleh
Abdurrahman Thoyyib As-Salafy Lc, dari www.alhalaby.com]
[Disain dari majalah
Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Vol.5 No. 4 Edisi 28 Rabi’ul Awwal 1428H. Penerbit
Ma’had Ali Al-Irsyad As-Salafy Surabaya, Alamat Redaksi Jl. Sidotopo Kidul No.
51 Surabaya, Telp. 031-37311969]