Islam Pedoman Hidup: Membunuh
Tampilkan postingan dengan label Membunuh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Membunuh. Tampilkan semua postingan

Senin, 20 Juni 2016

Fatwa Para Ulama Seputar Bom Bunuh Diri [Bag.3]




Fatwa Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmyrahimahullâh
Pertanyaan
Kami sedang mengalami fenomena dari parairhabiyyin ‘teroris’, yaitu perbuatan mereka yang mereka namakan amaliyyâtistisyhâdiyah ‘amalan-amalan menuntut kesyahidan’, maka apakah hukum perbuatan tersebut?
Jawaban
Tindakan-tindakan ini adalah tindakan-tindakan bunuh diri, pelakunya (dianggap sebagai) orang yang bunuh diri. (Perbuatan ini) adalah haram, tidaklah boleh melakukannya, meskipun mereka (para pelaku dan pendukungnya, -pent.) menyangka bahwa mereka melakukan (perbuatan) ini sebagai jihad. Sangkaan ini tidaklah benar, bahkan ini adalah tindakan bunuh diri (semata) serta pembunuhan terhadap kaum muslimin, menumpahkan darah yang haram (untuk ditumpahkan), membunuh jiwa-jiwa yang terjaga, dan merusak harta-harta yang diharamkan (untuk dirusak). Semua (perbuatan) ini telah mengumpulkan segala kejelekan, dan bersama mereka terdapat banyak sekali kejelekan, dan kita berlindung kepada Allah.[1]
Fatwa Syaikh Rabî’ bin Hâdy Al-Madkhaly hafizha­hullâh
Pertanyaan
Kami sedang mengalami fenomena dari para irhabiyyin ‘teroris’, yaitu perbuatan mereka yang mereka namakan amaliyyât istisyhâdiyah ‘amalan-amalan menuntut kesyahidan’, maka apakah hukum perbuatan tersebut?
Jawaban
Amalan ini adalah perbuatan dosa yang Allah Tabâraka wa Ta’âlâ telah mengharamkannya. Adapun orang yang membunuh dirinya, tempatnya adalah di neraka, dia kekal di situ selamanya, sebagaimana (keterangan yang) datang dalam hadits,
مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيْدَةٍ فَحَدِيْدَتُهُ فِيْ يَدِهِ يَتَوَجَّأُ بِهَا فِيْ بَطْنِهِ فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيْهَا أَبَدًا … وَمَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ يَتَرَدَّى فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيْهَا أَبَدًا
“Barang siapa yang membunuh dirinya dengan sepotong besi, besinya itu akan berada di tangannya, dia memukul-mukul perutnya dengan besi itu di dalam neraka, (dia) kekal di dalam neraka itu selamanya[2] …, dan barang siapa yang menghempas­kan dirinya dari (atas) gunung sehingga dia membunuh dirinya, dia akan (terus dalam keadaan) terhempas di dalam neraka, tempat dia kekal pada neraka itu selamanya.” [3]
Maka, (amalan) ini adalah perkara yang haram dan tidak boleh … (ada kata yang agak samar) … yang nash-nash telah menjelaskan akan keburukan amalan ini, (juga tentang) mengerikannya serta diharam­kannya.
Orang yang betul-betul menghormati dinul Islam tidak akan berbuat seperti perbuatan ini,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kalian kepada Allah sesuai kemampuan kalian.” [At-Taghâbun: 16]
Bagi seseorang, yang pertama (yang seharusnya ia lakukan) adalah belajar, yang kedua adalah mengajar dan menyebarkan dakwahnya di tengah-tengah kaum muslimin hingga ada suatu umat yang berjihad untuk meninggikan kalimat Allah. Adapun orang yang tidak berdakwah kepada tauhidillah ‘pengesaan kepada Allah dalam beribadah’, tidak pula kepada pengikhlasan agama (hanya) kepada Allah, sementara dia melihat kesyirikan-kesyirikan, bid’ah-bid’ah, dan kesesatan-kesesatan lalu dia tidak menangani (untuk mengatasinya), (tetapi) yang ia lakukan hanyalah gangguan dengan “menyembelih” dirinya, hal ini tidak akan pernah memberikan manfaat kepada Islam dan kaum muslimin. Dia membinasakan dirinya di dunia dan akhirat, dan pada hal yang demikian itu, dia tidak memiliki kebaikan apapun yang bermanfaat baginya, baik dalam (kehidupan) duniawi maupun ukhrawinya, dan tidak memberi manfaat kepada Islam dan kaum muslimin.
Amalan yang bermanfaat bagi kaum muslimin adalah kita kembali -pada sesuatu yang telah kusebutkan pada ceramah yang telah berlalu- kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah ‘alaihish shalâtu was salâm. (Kitabullah dan Sunnah) itu adalah ukuran yang akan mewujudkan kemuliaan dan kemenangan, dan dengannya, akan terwujud jihad yang benar yang bertujuan untuk meninggikan kalimat AllahTabâraka wa Ta’âlâ.
Adapun amalan-amalan jahiliyah ini, amalan-amalan ini (hanya) dilakukan oleh orang-orang Hindu, dilakukan oleh orang-orang Jepang, dan dilakukan oleh orang-orang Nashara dan Yahudi. Tidak ada di dalam Islam hal-hal seperti ini dan tidak pernah melekat pada kaum muslimin amalan ini. Hal ini sangat jauh dari sesuatu yang mereka cintai dan dari sesuatu yang mereka pesankan/sampaikan kepada manusia.
Aku nasihatkan kepada mereka (pelaku perbuatan) ini agar bertakwa kepada Allah, agar belajar dan menyebarkan agama Allah yang haq sebab sesungguhnya hal ini termasuk jihad terbesar, agar mereka membela kepedihan umat ini dengan agama Allah yang haq, serta menunaikan sebab-sebab yang menghidupkan umat ini dengan agama Allah yang haq,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kalian akan dikumpulkan.” [Al-Anfâl: 24]
Manusia (kaum muslimin) berada dalam ketelantaran, kesengsaraan, dan tidak akan menikmati kehidupan yang baik, yang bermanfaat di dunia maupun di akhirat, kecuali kalau mereka menerapkan perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya, serta mengambil sebab-sebabnya. Hal itulah yang bermanfaat untuk mereka.
Boleh jadi orang yang bunuh diri ini adalah seorang penganut khurafat maka apa yang akan bermanfaat baginya?
Meskipun pelaku bunuh diri ini adalah orang yang ikhlas, apa pula yang akan bermanfaat baginya dari amalan ini?
Apa (amalan) yang mencukupi untuk umat?
Betapa banyak kejelekan yang menimpa umat ini karena amalan-amalan yang semisal dengan ini, peledakan-peledakan, bunuh diri, dan (amalan-amalan) yang semodel dengan (amalan) itu. Perkara-perkara ini tidak pernah dilakukan oleh para nabi, tidak pula oleh para shahabat, tidak juga oleh para imam Islam yang ikhlas. Mereka ini tidak pernah menyeru manusia kepada perkara ini. Hal ini tidak lain adalah seruan-seruan dakwah orang-orang jahil dan amalan-amalan para syaithan. Kita memohon kepada Allah agar menunjuki umat ini kepada hal yang bermanfaat baginya dan agar umat ini bisa mendapatkan para da’i yang shadiq (benar dan jujur) serta para ulama yang memberi nasihat. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Mendengar segala do’a.[4]
Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ar-Râjihy hafizhahullâh
Pertanyaan
Apa pandangan engkau tentang pergerakan-pergerakan yang mencari syahid yang ada di permukaan bumi saat ini?
Jawaban
Saya memandang bahwa hal ini bukanlah suatu hal yang disyariatkan. (Keterangan) yang tampak dari dalil-dalil bahwa hal itu bukanlah perkara yang disyariatkan sebab hal itu bukan salah satu jenis duel antara dua barisan dalam peperangan, dan bukan salah satu jenis perbuatan orang yang melemparkan dirinya melawan Romawi. Mereka (orang-orang yang membolehkannya, -pent.) berkata bahwa hal ini termasuk di antara jenis tersebut, (tetapi) kita mengatakan bahwa hal ini bukan salah satu jenis tersebut (karena beberapa alasan):
Pertama, pergerakan-pergerakan, yang mereka namakan sebagai pergerakan mencari syahid, bukan dalam barisan perang, tetapi hanya datang tanpa keberadaan perang; (pergerakan) itu datang kepada sekelompok manusia yang lengah kemudian meledakkan dirinya di tengah-tengah mereka. Perbuatan ini bukanlah (dilakukan) dalam barisan perang, sementara (keterangan dari) nash-nash yang datang keadaannya berada dalam barisan perang, yang kaum muslimin (berada pada) satu barisan perang dan kaum kafir (berada pada) satu barisan. Mereka saling berperang kemudian seorang mukmin melemparkan dirinya di tengah orang-orang kafir.
Kedua, orang-orang yang menerjunkan dirinya di tengah orang-orang kafir tidaklah membunuh dirinya karena terkadang ia selamat. Berbeda dengan orang-orang yang meledakkan dirinya, hal ini namanya bunuh diri dengan meledakkan dirinya.
Ketiga, bahwa telah tsabit (tetap/sah) riwayat tentang perang Khaibar bahwa tatkala ‘Âmir Ibnul Akwa’ radhiyallâhu ‘anhu berduel melawan seorang Yahudi, -(keterangan) ini dalam Shahîh Al-Bukhâry [5]-, mata pedang beliau membalik ke arahnya sehingga mengenai bagian kakinya, kemudian beliau meninggal. Maka, sebagian shahabat berkata, “Sesungguhnya ‘Âmir Ibnul Akwa’ telah membatalkan jihadnya bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam.” Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mendatangi saudara (‘Âmir), (yaitu) Salamah Ibnul Akwa’ radhiyallâhu ‘anhu, yang ternyata Salamah sedang bersedih. Maka beliau menanyakannya. (Salamah) berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya mereka mengatakan bahwasanya ‘Âmir telah batal jihadnya,” maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallamberkata, “Sungguh telah berdusta orang yang mengatakan demikian. Sungguh dia telah bersungguh-sungguh dan seorang mujahid, sangat sedikit orang Arab yang tumbuh dengan sifat demikian.” Bila shahabat saja kesulitan memahami perihal ‘Âmir, yang mata pedangnya membalik ke arahnya di luar kehendaknya[6], lalu mereka berkata bahwa (‘Âmir) telah batal jihadnya, bagaimana pula dengan orang-orang yang meledakkan dirinya atas pilihannya sendiri?[7]
Fatwa Syaikh ‘Ubaid bin Abdullah Al-Jâbiry hafizhahullâh
Pertanyaan
Apa hukum amaliyyât intihâriyyah ‘aksi-aksi bunuh diri’, yang dilakukan oleh sebagian orang yang berperang pada hari-hari ini?
Jawaban
(Perbuatan tersebut) adalah nama di atas penamaannya, yaitu intihâriyyah ‘bunuh diri’, walaupun sebagian orang menamakannya istisyhadiyah ‘menuntut kesyahidan’. Hal tersebut adalah bunuh diri, (karena):
Pertama, telah datang nash-nash shahih yang sangat banyak dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dengan bentuk umum bahwa orang yang membunuh dirinya berada di dalam neraka.
Kedua, amalan-amalan tersebut tidak membuat nikâyah ‘ke­kalahan, kehancuran’ terhadap musuh, bahkan hanya semakin mengobar­kan, membangkitkan, dan memicu (kemarahan) musuh, serta menggerakkan kekuatan yang tadinya mereka sembunyikan terhadap umat Islam.
Ketiga, setelah melihat ke bumi tempat kejadian -sebagaimana yang mereka katakan-, apa (dampak) yang ditimbulkan oleh amaliyyât intihâriyyah ini untuk Palestina terhadap Israel[8]? Pelaku bunuh diri atau penuntut kesyahidan ini -menurut penamaan mereka- meledakkan diri dan mobilnya, merusak bangunan-bangunan terbatas, seperti pompa-pompa bensin, stasiun kereta api atau tempat-tempat perniagaan, serta kadang ia membunuh beberapa orang dan melukai orang selainnya, tetapi apakah yang dilakukan oleh Israel? Karena hal tersebut, Israel menghancurkan (tempat) yang basah dan yang kering, menghancurkan berbagai negeri, dan menyerang tiba-tiba sejumlah rumah. Allah yang Maha Mengetahui akibat di belakang berbagai serangan tiba-tiba tersebut berupa perampasan, perompokan, dan pelanggaran terhadap kehormatan.
Maka, sewajibnya atas setiap orang yang berjihad untuk berusaha menjaga kemulian Islam dan menjauhi segala hal yang padanya ada kebinasaan untuk Islam dan penganutnya. Akan tetapi, mereka (para pelaku intihâriyyah) itu adalah orang-orang jahil, dan tidak ada bendera yang kuat, yang menegakkan hukum di tengah mereka, mengatur mereka dengan baik, dan mengajari mereka jihad yang benar dengan merujuk kepada para ulama. Yang ada hanyalah teriakan-teriakan sengau dan kelompok-kelompok. Setiap kelompok menguji coba kekuatannya dan memamerkan keperkasaannya. Bahkan, hal tersebut adalah amalan yang bodoh tanpa perhitungan yang membahayakan Islam dan penganutnya, membuat kerusakan dan tidak mengadakan perbaikan, bahkan hal tersebut sama sekali tidak tergolong ke dalam jihad syar’i dan sama sekali tidak berada di atas Sunnah.[9]


[1]      Jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan kepada beliau pada Daurah Salafiyah, Medan, 28-29 Dzulhijjah 1426 H, bertepatan dengan 28-29 Januari 2006 M.
[2] Sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam“… (Dia) kekal di dalam neraka itu selamanya …,” sama dengan firman Allah Ta’âlâ,
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin secara sengaja, balasan dia adalah Jahannam. Dia kekal di dalam (Jahannam) itu ….” [An-Nisâ`: 93]
Nash ayat dan hadits di atas, serta beberapa dalil yang semakna, dijadikan pegangan oleh kaum Khawârij dan Mu’tazilah dalam mengafirkan pelaku dosa besar. Tentunya pemahaman ini keliru dan batil karena beberapa alasan:
Pertama, makna yang dipahami oleh kaum Khawârij dan Mu’tazilah adalah hal yang bertentangan dengan dalil-dalil muhkamah ‘tegas, jelas’ perihal ketidakkafiran pelaku dosa besar –membunuh dan selainnya-. Pada hal. 267-271, kami telah menyebutkan sebagian dalil muhkamah tentang hal ini.
Kedua, para ulama bersepakat bahwa pelaku dosa besar tidak kekal di dalam neraka apabila dia meninggal di atas tauhid. Para ulama bersepakat pula bahwa pelaku dosa besar, dari kalangan orang-orang yang bertauhid, tidak kekal di dalam neraka jika dimasukkan ke dalam neraka tersebut sebagaimana penjelasan dalam hadits-hadits yang berjumlah mutawâtir.
Ketiga, penyebutan “kekal di dalam neraka” dalam sejumlah ayat dan hadits, terhadap sebagian pelaku dosa besar, tidak mesti bermakna kekal di dalam neraka dan tidak akan keluar lagi dari neraka tersebut. Hal ini karena penggunaan kata “kekal”, dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits, mempunyai dua makna –di kalangan ahli tafsir dan ahli bahasa-:
  1. Kekal abadi, yaitu kekal di dalam neraka selama-lamanya, tidak akan keluar lagi dari neraka tersebut, sebagaimana penyebutan terhadap orang-orang kafir dalam berbagai ayat dan hadits.
  2. Kekal amadi ‘dalam jangka waktu yang sangat panjang’, yaitu pelaku dosa besar disiksa dalam jangka waktu yang sangat panjang sehingga sepintas lalu seseorang akan menyangka bahwa pelaku tersebut kekal di dalam neraka, padahal tidak.
Makna kedua inilah yang wajib digunakan dalam memahami ayat-ayat dan hadits-hadits yang menjelaskan ancaman kekekalan di dalam neraka bagi pelaku dosa besar dari kalangan orang-orang yang bertauhid. Wallâhu Ta’âlâ A’lam.
Silakan membaca buku-buku tafsir ulama Salaf seputar pembahasan Surah An-Nisâ` ayat 93. Buku-buku ulama Salaf terdahulu banyak menjelaskan uraian masalah ini pada pembahasan pelaku dosa besar, pembahasan iman, dan pembahasan syafa’at bagi pelaku dosa besar.
Baca jugalah Ad-Durar As-Saniyyah 1/361, Syarh Al-‘Aqîdah Al-Wasithiyyah1/263-266 karya Ibnu ‘Utsaimin, Al-Wâfy hal. 165 karya Shalih Âlu Asy-Syaikh, dan selainnya.
[3]      Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 5778, Muslim no. 109, At-Tirmidzy no. 2048-2049, dan An-Nasâ`iy 4/66 dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu. -pen.
[4]      Jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan kepada beliau pada Daurah Salafiyah, Medan, 28-29 Dzulhijjah 1426 H, bertepatan dengan 28-29 Januari 2006 M.
[5]      Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 4196 dan Muslim no. 1802 dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallâhu ‘anhu.
[6]      Apalagi hal ini terjadi dalam sebuah peperangan dan jihad syar’i -pen.
[7]      Dari kaset fatwa-fatwa ulama tentang peledakan, demonstrasi, dan pembunuhan senyap, dengan perantara Al-Fatâwâ Asy-Syari’iyyah Fî Al-Qadhâyâ Al-Ashriyyah hal. 132-133 secara ringkas.
[8] Pada hal. 336 cat. kaki no. 391, telah berlalu kritikan unutk penyebutan Yahudi, penjajah Palestina, dengan nama Israil. Hal ini tentu dimaklumi di sisi Syaikh ‘Ubaid Al-Jâbiry hafizhahullâh. Namun, sebagian ulama kadang menyebut nama Israilsebagai suatu nama yang telah melekat di kalangan orang-orang awam. Oleh karena itu, penggunaan nama tersebut kadang bukan karena pembolehan, melainkan dari sisi menyampaikan sesuatu kepada manusia berdasarkan hal-hal yang mereka pahami. Wallâhu A’lam.
[9]      Dari kaset fatwa-fatwa ulama tentang peledakan, demonstrasi, dan pembunuhan senyap dengan perantara Al-Fatâwâ Al-Muhimmah Fî Tabshîr Al-Ummah hal. 81-82 karya Jamâl Al-Hâratsy.

from=http://dzulqarnain.net/fatwa-para-ulama-seputar-bom-bunuh-diri-bag-3.html
Baca Selengkapnya >>>

Senin, 09 Mei 2016

Membunuh Semut dengan Air Panas

membunuh semut

Assalamualaikum, saya mengetahui bahwa membasmi semut dengan api tidak diperbolehkan, pertanyaan saya bolehkah membasmi semut dan kecoa, maupun serangga mengganggu lain dengan air panas? Terima kasih.

Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Semut termasuk binatang yang tidak boleh dibunuh.
Dalam hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ: النَّمْلَةِ، وَالنَّحْلَةِ، وَالْهُدْهُدِ، وَالصُّرَدِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuh 4 jenis binatang: semut, lebah, Hudhud, dan Suradi. (HR. Ahmad 3066, Abu Daud 526 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Kecuali jika semut itu mengganggu atau membahayakan ketika berada di rumah. Mereka boleh diusir, jika tidak memungkinkan, dibunuh.
Tentang cara membunuhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menggunakan api. Karena yang boleh menghukum dengan api hanya Allah Ta’ala.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa para sahabat pernah singgah dalam salah satu safar beliau. Ternyata beliau melihat ada rumah semut yang dibakar.
“Siapa yang membakar ini?” tanya beliau.
“Kami.” Jawab para sahabat.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهُ لاَ يَنْبَغِى أَنْ يُعَذِّبَ بِالنَّارِ إِلاَّ رَبُّ النَّارِ
Tidak boleh membunuh dengan api kecuali Rab pemilik api (Allah). (HR. Abu Daud 5270 dan dishahihkan al-Albani)
Dan larangan ini berlaku umum. Tidak boleh membunuh apapun dengan api.
Dalam riwayat lain, dari Hamzah al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau pernah ditugasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memimpin satu pleton pasukan perang. Beliau berpesan, Kalo kamu berhasil menangkap si A, bakar dia.
Ketika Hamzah hendak berangkat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya,
إِنْ أَخَذْتُمُوهُ فَاقْتُلُوهُ، فَإِنَّهُ لَا يُعَذِّبُ بِالنَّارِ، إِلَّا رَبُّ النَّارِ
Jika kamu berhasil menangkapnya, bunuh dia. Karena tidak boleh membunuh dengan api kecuali Rab pemilik api. (HR. Ahmad 16034 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Membunuh Dengan Air panas

Sebagian ulama menyebutkan bahwa membunuh dengan air panas termasuk bentuk membunuh dengan api. Sehingga dihukumi terlarang.
Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah dinyatakan,
والقتل بالماء الساخن من هذا القبيل، فهو قتل بالنار، وتعذيب يتنافى مع حسن القتلة، ولذلك لا يجوز
Membunuh dengan air mendidih termasuk membunuh dengan api, dan termasuk penyiksaan yang bertentangan dengan prinsip membunuh dengan cara terbaik. Karena itu, tidak dibolehkan. (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 123391)
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)


Sumber: https://konsultasisyariah.com/26762-hukum-membunuh-semut-dengan-air-panas.html
Baca Selengkapnya >>>

Selasa, 12 April 2016

Fatwa Para Ulama Seputar Bom Bunuh Diri [Bag.2]



Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah
Pertanyaan
Syaikh yang mulia -semoga Allah menjagamu-, engkau telah mengetahui tentang sesuatu yang telah terjadi pada Rabu berupa peristiwa terbunuhnya lebih dari dua puluh orang Yahudi di tangan para mujahidin, dan pada (kaum Yahudi tersebut), telah terluka sekitar lima puluh jiwa. (Proses terjadinya peristiwa itu,) seorang mujahid tampil dengan melilit tubuhnya dengan bahan-bahan peledak kemudian masuk ke dalam salah satu bus mereka lalu ia meledakkan bus itu. Ia berbuat denikian dengan alasan:
Pertama, ia mengetahui bahwa, kalau ia tidak terbunuh pada hari ini, ia akan terbunuh besok, sebab kaum Yahudi membunuh pemuda-pemuda Muslim di sana dengan bentuk yang terorganisasi.
Kedua, sesungguhnya para mujahidin tersebut melakukan hal itu sebagai bentuk pembalasan kepada kaum Yahudi yang membunuh orang-orang yang sedang shalat di masjid Al-Ibrâhîmy.
Ketiga, sesungguhnya mereka mengetahui bahwasanya Yahudi menyusun strategi mereka bersama kaum Nashara untuk menghilang­kan ruh jihad yang berada di Palestina.
Pertanyaannya, apakah perbuatan ini teranggap sebagai bentuk bunuh diri ataukah teranggap sebagai jihad, dan apa nasihatmu dalam (menghadapi) keadaan seperti ini? Sebab kami mengetahui bahwa perkara ini haram. (Kami menanyakan hal ini) agar kami dapat menyampaikannya kepada saudara-saudara kami di sana.
-Semoga Allah senantiasa memberi taufik kepadamu-.
Jawaban
Pemuda ini, yang menaruh pakaian peledak pada dirinya sehingga yang pertama kali terbunuh adalah dirinya (sendiri), tidak diragukan bahwa dialah yang menjadi penyebab dirinya terbunuh. Hal seperti ini tidaklah diperbolehkan, kecuali bila terdapat mashlahat yang besar untuk Islam dalam hal tersebut, bukan sekadar membunuh individu manusia yang bukan pimpinan dan bukan pula tokoh-tokoh Yahudi. Adapun, kalau ada manfaat yang besar bagi Islam, hal itu diperbolehkan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga telah menetapkan hal ini dan memberi permisalan melalui kisah seorang pemuda mukmin yang berada pada umat, yang (umat itu) dipimpin oleh seorang laki-laki musyrik yang kafir. Maka, pemerintah musyrik lagi kafir ini ingin membunuh pemuda mukmin tadi sehingga berulang kali mengupaya­kan hal tersebut: suatu kali ia melempar (pemuda tadi) dari puncak gunung, dan suatu kali ia melemparkan (pemuda itu) ke dalam lautan. Akan tetapi, setiap kali sang Raja mengupayakan hal tersebut, Allah menyelamatkan pemuda itu sehingga sang Raja itu sangat keheranan. Maka, pada suatu hari, anak muda itu bertanya, “Apakah engkau ingin membunuhku?” (Raja) menjawab, “Ya, dan tidaklah saya melakukannya, kecuali untuk membunuhmu!” Pemuda itu berkata, “Kumpulkanlah manusia di suatu tanah lapang, kemudian ambillah anak panah dari tempat anak panahku, lalu letakkanlah (anak panah itu) pada busurnya kemudian panahlah aku dengannya, dan katakanlah, “Dengan nama Allah, Rabb pemuda ini,” -sebelumnya, bila ingin menyebut, penduduk negeri berkata, “Dengan nama sang Raja,” akan tetapi pemuda itu berkata kepada raja, “Dengan nama Allah, Rabbpemuda ini.”-. Maka, berkumpullah manusia di suatu tanah lapang, kemudian sang Raja mengambil anak panah dari tempat anak panah itu lalu meletakkannya pada busurnya, kemudian berkata, “Dengan nama Rabb pemuda ini.” (Sang raja) melepaskan busur tersebut sehingga mengenai pemuda itu lalu pemuda itu meninggal maka seluruh manusia berteriak, “Rabb (yang sebenarnya) adalah Rabbsi pemuda, Rabb (yang sebenarnya) adalah Rabb si pemuda.” Mereka pun mengingkari rububiyah dari raja yang musyrik tersebut. Mereka berkata, “Penguasa ini, setiap kali melakukan sesuatu yang dengannya dimungkinkan untuk ia binasakan pemuda tersebut, ia tidak mampu membinasakan pemuda itu. Tatkala datang satu kalimat ‘Dengan nama Allah, Rabb pemuda ini’, pemuda itupun meninggal. Kalau demikian, pengatur alam ini adalah Allah.” Maka, berimanlah seluruh manusia.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
‘Telah tercapai, karena (perbuatan pemuda) itu, manfaat yang sangat besar bagi Islam, walaupun dimaklumi bahwa yang menjadi penyebab terbunuhnya pemuda itu adalah (perbuatan) dirinya sendiri tanpa ada keraguan, tetapi telah tercapai manfaat yang sangat besar dengan kebinasaan dirinya itu, yaitu seluruh umat beriman dengan sempurna.
Apabila tercapai manfaat seperti ini, seorang insan diperbolehkan untuk menebus agamanya dengan dirinya. Adapun kalau sekadar terbunuh sepuluh atau dua puluh (orang) tanpa faedah dan tanpa keberadaan suatu perubahan apapun, pada (perbuatan) itu terdapat kritikan, bahkan hal itu merupakan sesuatu yang diharamkan, sehingga terkadang kaum Yahudi menjadikan penyerangan mereka sebagai alasan untuk membunuh ratusan jiwa (umat Islam).
Kesimpulannya adalah bahwa perkara-perkara seperti ini memerlukan fiqih dan pendalaman, perhatian seksama terhadap akibat yang akan ditimbulkan, serta perajihan (pengamalan) mashlahat yang paling tinggi dan penolakan mafsadah (kerusakan) yang paling besar, setelah itu setiap keadaan diukur sesuai dengan ukuran keadaan itu.’.”[1]
Fatwa Lain
Dalam hadits Shuhaib bin Sinân yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, terdapat kisah yang sangat panjang, yakni, seorang pemuda belajar kepada tukang sihir karena perintah seorang raja yang kafir, raja yang menganggap dirinya sebagairabb yang disembah. Akan tetapi, pemuda itu juga belajar kepada seorang rahib, yang kemudian Allah menampakkan kepadanya kebenaran dari sesuatu yang dibawa oleh sang Rahib. Lalu, pemuda tersebut mendapat beberapa karamah dari Allah, seperti menyembuhkan orang yang buta dan belang, serta menyembuhkan segala jenis penyakit, sampai datang kepadanya teman raja, seorang yang buta kemudian sembuh setelah ia beriman kepada Allah. Begitu teman raja ini bertemu dengan sang Raja, sang Raja bertanya, “Siapa yang menyembuhkanmu?” “Rabb-ku,” jawab teman raja tersebut. Sang Raja bertanya lagi, “Apakah engkau mempunyai rabb selain aku?” “Rabb-ku dan Rabb-mu adalah Allah,” jawabnya pula. Teman raja itu pun disiksa beserta pemuda itu dan sang Rahib yang mengajarinya, dan berakhir dengan dibunuhnya teman raja dan rahib. Adapun pemuda itu, ia telah berusaha dibunuh dengan cara dilemparkan dari atas gunung dan ke tengah lautan, tetapi sang Raja tidak pernah berhasil membunuhnya sehingga pemuda ini berkata kepada sang Raja, “Kalau kamu hendak membunuhku, kumpulkanlah seluruh manusia di satu lapangan dan ikatlah saya di tiang. Kemudian, ambillah anak panah dari tempat anak-anak panahku dan letakkanlah pada busurnya lalu ucapkanlah, “Dengan nama Allah, Rabb Al-Ghulam (si Pemuda),” kemudian lepaskanlah anak panah itu kepadaku.” Maka, sang Raja pun melaksanakan semua yang dikatakan oleh pemuda itu sehingga akhirnya dia bisa membunuh pemuda ini dengan memanah pemuda ini menggunakan anak panah tadi dan mengenai pelipis pemuda ini sampai meninggal. Maka, tatkala pemuda ini meninggal, seluruh manusia di lapangan itu serentak berseru, “Kami telah beriman kepada Rabb Al-Ghulam.” Melihat bagaimana sang Raja tidak dapat membunuh pemuda itu dengan caranya, begitu ia membunuh pemuda itu dengan nama Rabb pemuda tersebut, pemuda itu pun mati, menunjukkan bahwa raja ini bukanlah Rabb, dan akhirnya seluruh manusia beriman kepada Allah.
Ketika menjelaskan mutiara-mutiara yang terkandung pada hadits ini[2], Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata,
“Yang keempat:
Seseorang boleh mengorbankan dirinya demi kemashlahatan umum untuk kaum muslimin karena pemuda ini telah menunjukkan suatu cara kepada sang Raja agar sang Raja bisa membunuhnya dengan cara tersebut dan membinasakan dirinya dengan cara itu, yaitu dengan cara mengambil sebuah anak panah dari tempat anak-anak panahnya ….
Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyah) berkata, ‘Karena ini adalah jihad fi sabilillah, satu umat telah beriman, dan dia (pemuda ini) tidak kehilangan sesuatu apapun karena dia telah mati dan dia pasti akan mati, cepat atau lambat.’
Adapun yang dilakukan oleh sebagian manusia berupa bentuk-bentuk bunuh diri, dengan cara membawa bahan-bahan peledak dan maju dengan bahan peledak tersebut menuju kepada orang-orang kafir, lalu meledakkan bahan peledak tersebut tatkala telah berada di antara mereka (orang-orang kafir tersebut), (perbuatan) ini adalah salah satu bentuk bunuh diri. Wal ‘Iyâdzu Billah.
Lalu, barang siapa yang membunuh dirinya, dia kekal dan dikekalkan di dalam neraka Jahannam selama-lamanya sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam karena (perbuatan) ini adalah (tindakan) membunuh dirinya, tidak (termasuk ke) dalam kemashlahatan Islam. Karena, bila seandainya dia membunuh dirinya dan membunuh sepuluh orang, seratus orang, atau duaratus orang, hal tersebut tidak akan bermanfaat buat Islam, dan tidak membuat manusia berislam. Berbeda halnya dengan kisah pemuda tadi. Kadang perbuatan tersebut membuat musuh bertambah keras kepala dan dadanya penuh dengan kemarahan sehingga akan menyerang kaum muslimin dengan serangan yang membabi buta sebagaimana yang dijumpai pada perlakuan orang-orang Yahudi terhadap orang-orang Palestina. Karena, orang-orang Palestina, bila salah seorang dari mereka mati disebabkan oleh peledakan ini dan enam atau tujuh orang (dari orang Yahudi) terbunuh, mereka (orang Yahudi) mengambil (baca: membunuh) enam puluh orang atau lebih (dari kaum Palestina) disebabkan oleh peledakan tersebut. Maka, hal tersebut (peledakan bunuh diri) tidak akan bermanfaat bagi kaum muslimin, tidak pula orang yang diledakkan dalam barisan mereka (kaum Yahudi) akan mengambil manfaat (pelajaran).
Oleh karena itulah, kami memandang bahwasanya sesuatu yang dilakukan oleh sebagian manusia ini adalah salah satu bentuk bunuh diri. Kami memandang bahwa hal tersebut adalah bunuh diri tanpa haq dan dia diwajibkan untuk masuk ke dalam neraka, Wal ‘Iyâdzu Billah. Orang yang bunuh diri dengan cara seperti itu bukanlah mati syahid.
Akan tetapi, bila seseorang melakukannya (bunuh diri dengan bom) karena menakwil, menyangka bahwa perbuatan tersebut diperbolehkan, kami mengharapkan dia terlepas dari dosa. Adapun, kalau ditetapkan bahwa dia termasuk mati syahid, hal itu tidaklah benar karena sesungguhnya dia tidak menempuh cara syahid, dan barang siapa yang berijtihad lalu salah, baginya satu pahala.”
Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzân Al-Fauzân hafizha­hullâh
Pertanyaan
Apakah peledakan-peledakan dan aksi-aksi bunuh diri adalah salah satu wasilah (perantara) di antara wasilah-wasilah dakwah?
Jawaban
Mereka yang melakukan amalan-amalan tersebut wajib didakwahi/ diseru kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Merekalah yang sebenarnya memerlukan dakwah. Bagaimana mungkin mereka me­nyeru manusia sementara mereka melakukan peledakan dan perusakan? (Amalan) ini tidaklah termasuk dakwah. (Amalan) ini adalah perbuatan yang membuat orang lari (meninggalkan dakwah) dan bentuk perusakan -Wal ‘Iyâdzu Billâh-.
Apakah Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam berdakwah dengan cara seperti ini?
Pada hari tatkala beliau dan para shahabatnya berada di Makkah, apakah mereka melakukan perusakan? Sama sekali tidak, bahkan beliau menyeru (manusia) kepada Rabb-nya dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan meminta manusia untuk mendukung dan membantunya tanpa melakukan perusakan terhadap mereka, sebab hal ini membawa bahaya yang lebih besar terhadap umat Islam dan membuat orang-orang kafir bergembira. Maka, hal ini tidaklah diperbolehkan selama-lamanya. (Perbuatan) ini merupakan wasilah dakwah kepada syaithan, dakwah kepada neraka. Allah Ta’âlâ berfirman,
وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ
“Dan Kami menjadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke dalam neraka.” [Al-Qashash: 41]
(Allâh) Ta’âlâ berfirman,
أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ
“Mereka mengajak ke dalam neraka, sedangkan Allah mengajak ke dalam surga.”[Al-Baqarah: 221]
Dakwah itu terkadang menyeru kepada neraka -Wal ‘Iyâdzu Billâh-, apabila penyerunya menyeru kepada kesesatan, sebagaimana sabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ اْلإثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئاً
“Barang siapa yang menyeru kepada kesesatan, baginya bagian dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya yang tidak berkurang sedikit pun dari dosa-dosa orang yang mengikutinya itu.” [3]
Maka, dakwah itu terkadang kepada kesesatan, bukan kepada kebenaran.”[4]
Pertanyaan
Bolehkah amalan-amalan bunuh diri dilakukan dan apakah ada syarat-syarat yang membenarkan amalan ini?
Jawaban
Allâh Jalla wa ‘Alâ berfirman,
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا. وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرًا
“Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian; sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada kalian. Dan barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” [An-Nisâ`: 29-30]
(Ayat) ini mencakup orang yang membunuh dirinya dan membunuh orang lain tanpa haq (kebenaran) maka setiap insan tidak boleh membunuh dirinya, bahkan seharusnya ia menjaga dirinya dengan penjagaan yang maksimal. Hal ini tidak menghalangi seseorang untuk berjihad dan berperang di jalan Allah. Kalaupun ia terbunuh dan gugur sebagai syahid, ini adalah hal yang baik. Adapun, kalau ia sengaja membunuh dirinya, hal ini tidaklah diperbolehkan. Pada masa Nabishallallâhu ‘alaihi wa sallam di sebagian peperangan, ada seorang pemberani yang berperang di jalan Allah bersama Ar-Rasul shallallâhu ‘alaihi wa sallam kemudian ia terbunuh. Maka, manusia memujinya, “Tidak ada seorang pun di antara kita yang bersungguh-sungguh berperang seperti perbuatan si Fulan[5].” Maka, Nabishallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguh­nya ia di dalam neraka.” (Perkataan) ini beliau ucapkan sebelum ia meninggal sehingga membuat para shahabat merasa berat menerima hal tersebut, (sebab) bagaimana mungkin manusia seperti ini berperang dan tidak meninggalkan seorang kafir pun kecuali ia mengikuti dan membunuh orang kafir itu, kemudian ia berada di dalam neraka?? Maka, seorang laki-laki membuntuti dan mengawasinya. Setelah terluka, akhirnya laki-laki itu melihat bahwa ia meletakkan pedang di atas tanah, yaitu ia meletakkan sarung pedang di atas tanah dan mengangkat mata pedangnya ke atas lalu menyandarkan dirinya di atas pedang hingga pedang itu memasuki dadanya dan menembus punggungnya, dan matilah ia. Maka, shahabat tadi berkata, “Sungguh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah benar,” dan shahabat tadi mengetahui bahwa Ar-Rasul tidaklah berucap berdasarkan hawa nafsu beliau. Lantas, mengapa orang ini dimasukkan ke dalam neraka bersamaan dengan ia melakukan amalan (jihad) ini? Sebab ia membunuh dirinya dan tidak bersabar. Oleh karena itu, seseorang tidaklah diperbolehkan untuk membunuh dirinya.[6]
Fatwa Syaikh Muhammad Nâshiruddîn Al-Albâny rahimahullâh
Dalam sebagian majelis, beliau menjelaskan tentang hukum amaliyyât intihâriyyah‘aksi-aksi bunuh diri’. Beliau menjelaskan bahwa hal tersebut,
“(Kadang) boleh dan (kadang) tidak boleh. Adapun yang terjadi pada hari ini, hal tersebut tidaklah diperbolehkan karena hanya sekadar perbuatan individu yang muncul dari semangat tak terkendali yang tidak pernah diikat dengan syariat maupun akal sehingga tidak ada perbedaan antara si Muslim yang bunuh diri dan orang komunis atau orang Jepang (yang bunuh diri) tatkala terjadi peperangan antara mereka dan Amerika. Maka, hal ini dan itu, (semuanya) tidak boleh karena tidaklah bersumber dari agama dan fatwa orang-orang yang berilmu. Oleh karena itu, tidaklah boleh.
Adapun, kalau ada seorang pemimpin muslim, yang kemudian ada pimpinan pasukan yang muslim serta ada seseorang yang faqih (memahami agama), kemudian ia mempelajari hal tersebut dari bidang kemiliteran, peperangan, dan sebagainya, lalu ia memperhitungkan antara keuntungan dengan kerugian; membuat …, dan ia menemukan bahwa keuntungan lebih mengungguli kerugian terhadap rakyat muslim, ketika itu kami mengatakan boleh karena yang seperti ini telah terjadi pada sebagian peperangan Islamiyah pada generasi pertama ….”[7]
Beliau juga menegaskan pada kesempatan lain,
“… Kami mengatakan bahwa amaliyyât intihâriyyah pada zaman sekarang ini seluruhnya tidak disyariatkan, dan seluruhnya diharamkan. Kadang (perbuatan) itu terhitung sebagai jenis (amalan) yang pelakunya kekal di dalam neraka, dan kadang terhitung sebagai jenis (amalan) yang pelakunya tidak kekal di dalam neraka ….”[8]


[1]      Dari Al-Liqâ` Asy-Syahrî no. 22, dengan perantara Al-Fatâwâ Asy-Syari’iyyah Fî Al-Qadhâyâ Al-Ashriyyah hal. 129-131.
[2]      Syarh Riyâdh Ash-Shâlihin 1/221-223.
[3]      Diriwayatkan oleh Muslim no. 2674 dari hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhû.
[4]      Dari kaset fatwa ulama mengenai kejadian Riyadh, dengan perantara Al-Fatâwâ Asy-Syari’iyyah Fî Al-Qadhâyâ Al-Ashriyyah hal. 39.
[5]               Nama yang umum digunakan sebagai kata ganti.
[6]      Dari kaset fatwa-fatwa ulama tentang peledakan, demonstrasi, dan pembunuhan senyap, dengan perantara Al-Fatâwâ Asy-Syari’iyyah Fî Al-Qadhâyâ Al-Ashriyyah hal. 131-132.
[7]      Demikian fatwa beliau dari kaset Silsilah Al-Hudâ wa An-Nûr no. 533.
[8]      Demikian fatwa beliau dari kaset Silsilah Al-Hudâ wa An-Nûr no. 760. Dua nukilan di atas mewakili beberapa fatwa beliau yang lain pada kaset no. 273, 288,451, 467, 489, 527, 678, dan 714. Baca jugalah Al-Fatâwâ Al-Muhimmah Fî Tabshîr Al-Ummah hal. 76 karya Jamâl Al-Hâratsy.

from=http://dzulqarnain.net/fatwa-para-ulama-seputar-bom-bunuh-diri-bag-2.html
Baca Selengkapnya >>>

Minggu, 13 Maret 2016

Fatwa Para Ulama Seputar Bom Bunuh Diri [Bag.1]

Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ibnu Bâzrahimahullâh
Pertanyaan
Apa hukum terhadap orang yang meledakkan dirinya, yang membunuh sekelompok kaum Yahudi dengan tindakannya tersebut?
Jawaban
Pandangan saya, -sungguh kami telah berulang kali memberikan peringatan- bahwa hal ini tidaklah benar karena ia sungguh telah membunuh dirinya sendiri, sedangkan Allah telah berfirman,
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
“Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian.” [An-Nisâ`: 29]
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Dan barang siapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, ia akan diadzab pada hari kiamat karena perbuatan itu.” [1]
(Seharusnya), ia berusaha untuk menunjuki (manusia) kepada hidayah, dan apabila jihad telah disyariatkan, ia berjihad bersama kaum muslimin. Bila ia terbunuh, segala puji hanya bagi Allah. Adapun tentang (hal) ia meledakkan dirinya dengan menaruh dinamit pada dirinya sehingga ia mati bersama mereka, hal ini adalah suatu kesalahan yang tidak boleh ia lakukan, atau tentang (hal) ia membinasakan dirinya bersama mereka, hal ini tidak boleh ia lakukan. Akan tetapi, ia berjihad bersama kaum muslimin ketika jihad telah disyariatkan. Adapun perbuatan putra-putra Palestina, hal ini adalah suatu kesalahan yang tidak dibenarkan. (Amalan) yang wajib terhadap mereka adalah berdakwah kepada jalan Allah, memberikan pengajaran, pengarahan, dan nasihat, tanpa beramal seperti (tindakan meledakkan diri) ini.[2]
Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Âlu Syaikh hafizhahullâh
Pertanyaan
Sebagian negeri Islam menghadapi peperangan atau penjajahan dari negeri-negeri lain sehingga sebagian penduduknya menyerang orang-orang dari negeri (lain) yang melampaui batas (tersebut) dengan jalan (melakukan aksi) bom bunuh diri yang menyebabkan ia terbunuh dan membunuh selainnya dari para musuh. Kadang, tindakan itu berimbas kepada penduduk negerinya sendiri atau orang-orang selain mereka yang berada dalam keamanan. Mereka berpendapat bahwa amalan ini adalah salah satu warna dari jihad fi sabilillah, dan orang yang meledakkan dirinya (dianggap) mati sebagai syahid. Apa pendapat Syaikh yang dermawan tentang amalan ini?
Jawaban
Jihad di jalan Allah ‘Azza Wa Jalla termasuk amalan-amalan yang mulia dan sebaik-baik qurbah untuk mendekatkan diri (pada Allah). Telah datang pula berbagai nash yang sangat banyak dari Al-Kitab dan As-Sunnah yang memerintahkan dan memotivasi untuk berjihad sehingga sebagian ulama berkata bahwa pengumpulan (nash-nash tersebut) memerlukan satu jilid sempurna. Di antaranya adalah sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
لَغَدْوَةٌ فِي سَبِيلِ اللهِ أَوْ رَوْحَةٌ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Sesaat di waktu pagi dan petang berperang di jalan Allah lebih baik daripada dunia dan seisinya.” [3]
Kemudian, dari Abu ‘Abs Al-Hâritsy radhiyallâhu ‘anhû, beliau mendengar Nabishallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ اغْبَرَّتْ قَدَمَاهُ فِي سَبِيلِ اللهِ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ
“Barang siapa yang kedua kakinya berdebu di jalan Allah, Allah akan mengharamkan api neraka terhadapnya.” [4]
Lalu, dalam hadits Ibnu Abi Aufâ radhiyallâhu ‘anhûbahwasanya Rasulullahshallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَاعْلَمُوا أَنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ ظِلاَلِ السُّيُوفِ
“Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya surga itu berada di bawah bayangan pedang.” [5]
Selanjutnya, dalam (Shahîh Al-Bukhâry dan Shahîh Muslim), dari Sahl bin Sa’dradhiyallâhu ‘anh, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رِبَاطُ يَوْمٍ فِي سَبِيلِ اللهِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا وَمَوْضِعُ سَوْطِ أَحَدِكُمْ مِنْ الْجَنَّةِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا وَالرَّوْحَةُ يَرُوحُهَا الْعَبْدُ فِي سَبِيلِ اللهِ أَوِ الْغَدْوَةُ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا
Ribâth[6] di jalan Allah itu lebih baik daripada dunia dan seisinya, tempat cambuk seseorang di antara kalian di dalam surga itu lebih baik daripada dunia dan seisinya, dan waktu pagi atau sore yang dijalani oleh seorang hamba di jalan Allah itu lebih baik daripada dunia dan seisinya.” [7]
Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ juga telah memerintahkan (hamba-Nya) untuk berjihad, bahwa Dia berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
“Wahai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, serta bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam, dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” [At-Taubah: 73]
(Allah) memerintahkan pula kepada orang-orang yang beriman dengan hal tersebut. (Allah) Subhânahu Wa Ta’âlâ berfirman,
 انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Berangkatlah kalian, baik dalam keadaan merasa ringan maupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan diri kalian di jalan Allah. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” [At-Taubah: 41]
(Allah) juga menjadikan orang-orang yang berjihad di jalan Allah lebih mulia daripada selain mereka dari kalangan orang yang beriman yang tidak berjihad, bahwa (Allah) Subhânahu Wa Ta’âlâ berfirman,
لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا. دَرَجَاتٍ مِنْهُ وَمَغْفِرَةً وَرَحْمَةً وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai udzur dan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Allah melebihkan, orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk, satu derajat. Kepada mereka masing-masing, Allah menjanjikan pahala yang baik (surga), dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar. (Yaitu,) beberapa derajat dari-Nya, ampunan, serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [An-Nisâ`: 95-96]
Sangat banyak pula nash-nash lain yang menunjukkan perintah berjihad dan penjelasan keutamaannya. Yang demikian itu karena jihad di jalan Allah berkaitan dengan mashlahat agama dan mashlahat dunia. Di antara mashlahat agama adalah untuk meninggikan kalimat Allah, menyebarkan agamanya di belahan bumi, untuk menghinakan orang-orang yang menginginkan kejelekan pada agama Islam ini dan pada pemeluknya, serta untuk menampakkan pemeluk agama yang haq (benar) ini di atas selain mereka sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah. Pada mashlahatagama itu juga ada bentuk penjagaan terhadap wilayah kaum muslimin dan pembelaan terhadap agama, negeri, keluarga dan harta mereka.
Oleh karena itulah, para ulama berkata bahwa sesungguhnya jihad menjadi fardhu ‘ain, atas setiap muslim yang memiliki kemampuan, pada tiga keadaan:
Pertama, apabila kedua pasukan telah bertemu atau kedua barisan saling berhadapan, siapa saja yang hadir diharamkan untuk mundur, dan diwajibkan untuk tinggal dan berjihad berdasarkan firman Allah Ta’âlâ,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian memerangi pasukan (musuh), berteguh hatilah kalian dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung.” [Al-Anfâl: 45]
Juga firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلَا تُوَلُّوهُمُ الْأَدْبَارَ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerang kalian, janganlah kalian membelakangi mereka (mundur).” [Al-Anfâl: 15]
Selain itu, (tindakan) berpaling (dari pasukan) pada hari peperangan telah dikategorikan oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam sebagai salah satu dari tujuh perkara yang membinasakan[8].
Kedua, apabila kaum kafir telah turun (baca: memerangi) pada suatu negeri (muslim), merupakan kewajiban terhadap penduduk negeri tersebut untuk memerangi dan mengusir kaum kafir itu.
Ketiga, apabila imam (pemerintah) memerintahkan suatu kaum untuk berangkat berjihad, (kaum) tersebut wajib berangkat berdasarkan firman (Allah) Ta’âlâ,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْضِ
“Wahai orang-orang yang beriman, ada apa dengan kalian, apabila dikatakan kepada kalian, “Berangkatlah (untuk ber­perang) di jalan Allah,” kalian merasa berat dan ingin tetap tinggal di tempat kalian?” [At-Taubah: 38]
Juga berdasarkan hadits Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا
“Apabila kalian diminta untuk berangkat (berperang), berangkat­lah.” [9]
(Pelaksanaan) sebuah jihad seharusnya (dengan) ikhlas mengharap wajah Allah sebagaimana hal itu berlaku pada seluruh ibadah. Demikian pula, (seseorang) diwajibkan untuk menyesuaikan (amalan) dengan syariat Allah dan keterangan Rasul-Nya shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Di antara hal tersebut, bahwa sebuah jihad wajib berada di bawah bendera kaum muslimin dengan kepemimpinan seorang imam (pemerintah) muslim. Hendaknya pula umat Islam memiliki persiapan nyata berupa alat-alat perang dan keberadaan pasukan perang. Mempersiapkan hal ini adalah suatu keharusan, apalagi persiapan yang sifatnya maknawiyah berupa pemurnian aqidah dan ibadah kaum muslimin, serta perkara-perkara lain yang berkaitan dengan jihad yang syar’i.
Adapun yang berkaitan dengan pertanyaan tentang jalan bunuh diri di antara para musuh atau sesuatu yang dinamakan dengan cara-cara Al-Intihâriyah ‘bom bunuh diri’, sesungguhnya tentang cara ini, saya tidak mengetahui bahwa ada sisisyar’i sedikit pun padanya, dan cara ini bukanlah merupakan bentuk jihad di jalan Allah, dan saya khawatir jika cara ini merupakan bentuk bunuh diri. Benar! Membuat musuh jera dan memerangi mereka adalah suatu hal yang dituntut, bahkan terkadang menjadi suatu kewajiban, tetapi (perbuatan tersebut) haruslah dengan cara-cara yang tidak menyelisihi syariat.”[10]


[1]      Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 6047 dan Muslim no. 176 dari hadits Tsâbit bin Adh Dhahhâk z.
[2]      Kutipan dari kaset fatwa-fatwa ulama tentang jihad, dengan perantara Al-Fatâwâ Asy-Syari’iyyah Fî Al-Qadhâyâ Al-Ashriyyah hal. 125.
[3]      Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 2792 dan Muslim no. 1880 dari hadits Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhû.
[4]      Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 907.
[5]      Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 2818 dan Muslim no. 1742.
[6]      Ribath adalah berjaga di garis pembatasan yang dikhawatirkan dari serangan musuh.
[7]      Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 2892 dan Muslim no. 1881.
[8]      Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah z riwayat Al-Bukhâry no. 2766, 6857, Muslim no. 89, Abu Dawud no. 2874, dan An-Nasâ`iy 6/257. (pen.)
[9]      Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 2783 dan Muslim no. 1353 dari hadits Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ.
[10]     Kutipan dari harian Asy-Syarq Al-Ausath, edisi 8180, Sabtu, 21 April 2001, dengan perantara Al-Fatâwâ Asy-Syari’iyyah Fî Al-Qadhâyâ Al-Ashriyyah hal. 125-128. Cetak tebal dari kami.

from=http://dzulqarnain.net/fatwa-para-ulama-seputar-bom-bunuh-diri-bag-1.html
Baca Selengkapnya >>>