Oleh
Ustadz Dr Erwandi Tarmidzi MA
Ustadz Dr Erwandi Tarmidzi MA
Kehidupan
penuh dengan pilihan antara yang baik dan buruk, antara maslahat dan
mafsadat. Dan sangat banyak sekali kaidah-kaidah syar’i yang membantu
kita untuk menentukan pilihan.
Berikut ini kami ringkaskan kaidah-kaidah dalam memilih yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Makalah ini diringkas dari disertasi pada jurusan Ushul Fiqih Universitas Islam Muhammad Ibnu Saud, Riyadh KSA.
KAIDAH-KAIDAH MEMILIH ANTARA MASHLAHAT DAN MUDHARAT
Kaidah Pertama :
مَصْلَحَةُ أَدَاءِ الْوَاجِبِ أَعْظَمُ مِنْ مَفْسَدَةِ الْوُقُوْعِ فِي الشُّبْهَةِ
Maslahat melakukan hal yang wajib lebih besar dari pada mafsadat (kerusakan akibat) terjatuh dalam syubhat
Syubhat adalah suatu hal yang berada diantara yang haram dan yang mubah.
Bila syubhat bertentangan dengan meninggalkan hal yang wajib dan
kondisi menuntut kita harus menentukan pilihan antara meninggalkan hal
yang wajib atau jatuh dalam syubhat. Dalam kondisi seperti ini, pilihan
yang diambil adalah melakukan hal yang wajib sekalipun akan terjerumus
dalam hal yang syubhat.
Namun apabila pertentangan itu antara syubhat dan haram maka pilihan yang diambil adalah melakukan syubhat agar tidak jatuh dalam hal yang haram, karena mafsadat (kerusakan) yang haram lebih berat.
Aplikasi Kaidah :
1. Seseorang yang diundang oleh kerabatnya untuk menghadiri walimah yang pembuat acara walimah memiliki harta syubhat. Dan yang diundang khawatir bila dia tidak datang akan menyebabkan terputusnya hubungan kerabat (silaturrahim) maka pilihannya adalah wajib dia menghadirinya. Karena mempererat silaturrahim hukumnya wajib, sedangkan untuk tidak hadir hanyalah karena ada syubhat.
1. Seseorang yang diundang oleh kerabatnya untuk menghadiri walimah yang pembuat acara walimah memiliki harta syubhat. Dan yang diundang khawatir bila dia tidak datang akan menyebabkan terputusnya hubungan kerabat (silaturrahim) maka pilihannya adalah wajib dia menghadirinya. Karena mempererat silaturrahim hukumnya wajib, sedangkan untuk tidak hadir hanyalah karena ada syubhat.
2. Seseorang yang wafat dan memiliki utang ke pihak lain dan harta yang ditinggalkannya terdapat harta syubhat maka
pilihannya hendaklah utangnya dibayarkan dari harta yang syubhat,
karena maslahat membayar utang lebih besar daripada mafsadat
(kerusakan) harta syubhat.
Kaidah Kedua :
مَا كَانَ مُحَرَّمًا لِسَدِّ الذَّرِيْعَةِ أُبِيْحَ لِلْمَصْلَحَةِ الرَّاجِحَةِ
Sesuatu yang diharamkan dengan tujuan sadduz zarî’ah menjadi boleh bila terdapat maslahat yang kuat
Seluruh perbuatan yang sering menghantarkan kepada perbuatan yang haram maka perbuatan tersebut diharamkan. Namun terkadang, perbuatan yang diharamkan tersebut memiliki maslahat yang kuat seperti hajat (kebutuhan) maka hukumnya dapat dibolehkan.
Dalam hal ini terdapat dua pilihan antara maslahat yang besar dan mudharat yang sering terjadi. Dalam kondisi seperti ini, maka pilihan jatuh kepada melakukan perbuatan tersebut karena maslahatnya lebih besar.
Dalam
kasus seperti ini, seorang ahli fikih hendaknya memiliki kemampuan yang
cukup untuk mencari tahu mana perbuatan yang diharamkan dengan sebab
berpotensi menghantarkan kepada hal yang haram dan mana yang diharamkan
dengan sebab zatnya. Untuk yang pertama, hukum haram tersebut bisa berubah menjadi boleh bila ada maslahat yang kuat.
Sedangkan untuk yang kedua, yaitu yang diharamkan dengan sebab zatnya,
maka hukum haram tersebut tidak bisa berubah dengan alasan adanya
maslahat.
Aplikasi kaidah :
1. Memandang wanita yang bukan mahram hukumnya adalah haram. Akan tetapi hukum haram ini bisa berubah menjadi boleh bila ada maslahat yang besar seperti seseorang yang ingin meminang seorang wanita. Orang ini biperbolehkan memandang wanita yang akan dipinangnya.
1. Memandang wanita yang bukan mahram hukumnya adalah haram. Akan tetapi hukum haram ini bisa berubah menjadi boleh bila ada maslahat yang besar seperti seseorang yang ingin meminang seorang wanita. Orang ini biperbolehkan memandang wanita yang akan dipinangnya.
2.
Pada dasarnya setiap hal yang melalaikan hukumnya batil. Karena hal
tersebut dapat menyita perhatian sehingga tidak melakukan hal berguna.
Ini merupakan salah satu alasan yang menyebabkan suatu perbuatan
diharamkan. Akan tetapi beberapa bentuk hal yang melalaikan itu
terkadang berguna untuk menolak mudharat yang lebih besar. Ketika
kondisi seperti ini, maka perbuatan ini dibolehkan bahkan dianjurkan.
Contoh
: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan wanita dan anak-anak
bernyanyi (tanpa musik) dalam acara walimah dan hari raya.
Catatan:
tentunya nyanyian ini tidak dimaksudkan untuk sarana dakwah taqarrub
kepada Allâh Azza wa Jalla. Karena perbuatan ini masih dalam ranah hal
yang melalaikan, akan tetapi dibolehkan karena ada manfaat yang kuat.
Kaidah Ketiga :
مَا
حُرِّمَ مُطْلَقًا لَمْ تُبِحْهُ الضَّرُوْرَةُ، وَمَا حُرِّمَ أَكْلُهُ
وَشُرْبُهُ لَمْ يُبَحْ إِلاَّ لِضَرُوْرَةٍ، وَمَا حُرِّمَ مُبَاشَرَتُهُ
ظَاهِرًا أَبِيْحَ لِلْحَاجَةِ
Sesuatu
yang diharamkan secara mutlak maka tidak ada yang dapat membolehkannya
sekalipun darurat. Sesuatu yang haram untuk dimakan atau diminum maka
darurat dapat merubah hukumnya menjadi boleh. Sesuatu yang dilarang
untuk dipakai langsung maka hajat dapat membolehkannya
Sesuatu
yang diharamkan Allâh Azza wa Jalla secara mutlak seperti hal-hal yang
jelaskan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya :
قُلْ
إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ
مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا
لَا تَعْلَمُونَ
Katakanlah
(wahai Muhammad), “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji
(zina), baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa,
melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)
mempersekutukan Allâh dengan sesuatu yang Allâh tidak menurunkan hujjah
untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allâh apa yang
tidak kamu ketahui.” [al-Arâf/7:33]
Empat
yang diharamkan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam ayat ini tidak akan
berubah hukumnya menjadi “boleh” dalam kondisi apapun karena
mafsadatnya murni, yaitu; zina, zhalim, syirik dan mengada-ada atas
nama Allâh Azza wa Jalla .
Kecuali
dalam keadaan seseorang dipaksa untuk melakukannya dibawah ancaman maka
dosanya dihapuskan. Sebagaimana dalam firman Allâh Azza wa Jalla :
مَنْ
كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ
مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا
فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ ﮈ
Barangsiapa
kafir kepada Allâh sesudah dia beriman (dia akan mendapat kemurkaan
Allâh), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang
dalam beriman (dia tidak berdosa). akan tetapi orang yang melapangkan
dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya
azab yang besar. [an-Nahl/16:106]
Adapun
sesuatu yang diharamkan dalam bentuk makanan atau merusak akal atau
tubuh maka adakalanya bisa berubah hukumnya menjadi “boleh” dalam
kondisi darurat, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :
قُلْ
لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ
إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ
خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah,
“Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena
sesungguhnya semua itu kotor, atau binatang yang disembelih atas nama
selain Allâh. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya
Rabbmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [al-An’âm/6:145]
Adapun
sesuatu yang diharamkan untuk dipakai seperti emas dan sutera bagi
laki-laki maka bila ada hajat yang sekalipun tidak sampai kondisi
darurat tetap dibolehkan sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
membolehkan Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu anhu memakai sutera karena
menderita penyakit kulit (gatal).
Aplikasi Kaidah Ini :
1. Seorang wanita tidak boleh berzina dengan alasan untuk mencari makan. Karena zina tidak dibolehkan kapanpun juga sekalipun dia mati kelaparan. Namun, dibolehkan dia memakan bangkai jika memang dalam kondisi kelaparan.
1. Seorang wanita tidak boleh berzina dengan alasan untuk mencari makan. Karena zina tidak dibolehkan kapanpun juga sekalipun dia mati kelaparan. Namun, dibolehkan dia memakan bangkai jika memang dalam kondisi kelaparan.
2.
Dalam keadaan darurat yang diperkirakan akan membawa kepada kematian
bila tidak mendapat obat yang dimakan atau diminum selain yang terbuat
dari bahan baku yang haram, seperti babi dan turunannya atau khamar dan
turunannya, maka diperbolehkan untuk mengkonsumsi obat tersebut.
Kaidah Keempat:
كُلُّ عِبَادَةٍ كَانَ ضَرَرُهَا أَعْظَمَ مِنْ نَفْعِهَا نُهِيَ عَنْهَا
Setiap ibadah yang mudharatnya lebih besar dari pada manfaatnya maka ibadah tersebut dilarang
Pada dasarnya, suatu ibadah itu disyariatkan untuk mendatangkan atau mewujudkan maslahat (kebaikan) dan menolak mudharat. Akan
tetapi pada kondisi-kondisi tertentu ibadah tersebut dapat mendatangkan
mudharat, bahkan mudharatnya lebih besar bila dibandingkan dengan
manfaatnya. Ketika seperti ini, maka ibadah itu terlarang.
Aplikasi Kaidah:
1. Pada prinsipnya shalat adalah ibadah yang dicintai Allâh, akan tetapi pada waktu terbit dan tenggelamnya matahari shalat dilarang untuk didirikan. Karena mudharatnya lebih besar yaitu menyerupai ibadah para penyembah matahari. Begitu juga dengan shalat di kuburan dilarang karena mencegah terjadinya kesyirikan yang lebih besar mudharatnya dibandingkan shalat sunat.
1. Pada prinsipnya shalat adalah ibadah yang dicintai Allâh, akan tetapi pada waktu terbit dan tenggelamnya matahari shalat dilarang untuk didirikan. Karena mudharatnya lebih besar yaitu menyerupai ibadah para penyembah matahari. Begitu juga dengan shalat di kuburan dilarang karena mencegah terjadinya kesyirikan yang lebih besar mudharatnya dibandingkan shalat sunat.
2.
Apabila sebuah kemungkaran tidak dapat dihilankgan kecuali dengan
kemungkaran yang lebih besar atau berat daripada kemunkaran yang sedang
terjadi, maka menghilangkan kemunkaran dengan cara ini terlarang.
Contohnya: seseorang
yang memerintahkan sebuah kebaikan sedangkan dia tidak memiliki ilmu
tentang kebaikan tersebut, maka kemudharatan yang dia timbulkan lebih
besar dari maslahat yang diinginkannya dengan mengingkari kemungkaran tersebut.
Kaidah Kelima :
فَرْقٌ
بَيْنَ مَا يَفْعَلُهُ الإِنْسَانُ فِي نَفْسِهِ، وَيَأْمُرُ بِهِ،
وَيُبِيْحُهُ، وَبَيْنَ مَا يَسْكُتُ عَنْ نَهْيِ غَيْرِهِ وَتَحْرِيْمِهِ
عَلَيْهِ
Berbeda
antara seseorang mengamalkan ilmunya dan mengajak orang lain untuk
mengamalkannya dengan sesuatu hal yang diamalkan orang lain dan dia
tidak melarang atau mengharamkannya. (Majmû Fatâwâ, 14/472)
Prinsip
dasarnya bahwa yang baik adalah baik dan yang buruk adalah buruk. Dan
hukum syariat tidak membolehkan seseorang melakukan hal yang buruk dan
terlarang. Akan tetapi jika diketahui dengan pasti bahwa apabila ada
seseorang yang jika dia dilarang melakukan suatu yang mungkar maka dia
pasti akan meninggalkan perbuatan wajib yang lebih besar, maka
sebaiknya dia jangan dilarang untuk melakukan kemungkaran tersebut.
Sebagaimana Umar bin Khattab Radhiyaallahu anhu mengangkat
sebagian pegawainya dari orang yang tidak baik agamanya dengna
pertimbangan bahwa pegawai ini lebih besar maslahatnya untuk pekerjaan
tersebut dan kemudian dia memperbaiki agama orang tersebut dengan
kekuatan dan keadilannya.
Maka kaidah ini sangat penting yaitu “berbeda
antara seorang alim meninggalkan sebuah perbuatan dengan melarang
orang-orang melakukan sebuah perbuatan apabila dalam pelarangan
tersebut terdapat mudharat yang lebih besar dengan ia mengizinkan
perbuatan tersebut”. Artinya seorang alim yang mendiamkan sebuah
perbuatan yang tidak baik bukan berarti dia menyetujui atau mengizinkan
perbuatan tersebut.
Dalam
hal ini kondisinya akan berbeda sesuai dengan kemaslahatan yang
ditimbang oleh seorang yang alim. Mungkin dalam suatu kesempatan dia
wajib menyatakan bahwa perbuatan tersebut terlarang; baik dengan cara
menjelaskan hukumnya atau sikap pribadinya atau harapan bahwa perbuatan
tersebut ditinggalkan atau dengan menjelaskan dalilnya. Ini dapat kita
lihat dalam sikap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap
kemungkaran; terkadang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah, terkadang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam maafkan.
Karena
kita hidup dimana kebanyakan kaum Muslimin begitu jauh dari ajaran
agama mereka, mencampur adukkan antara kebaikan dan kemungkaran, maka
sikap yang harus diambil oleh seseorang yang ingin menyelamatkan
dirinya adalah :
a. Selalu berusaha berpegang teguh mengamalkan sunnah, baik yang zahir dan batin untuk diri, keluarga dan orang-orang terdekatnya.
b.
Mengajak orang-orang untuk melakukan sunah semampunya. Apabila dia
menemukan seseorang mengamalkan perbuatan yang bercampur antara baik
dan buruk dan bila diingatkan untuk meniggalkan yang buruk hampir bisa
dipastikan dia akan melakukan perbuatan yang lebih buruk lagi, maka
hendaklah si pemberi peringatan berhati-hati dalam menimbang mana lebih
besar mudharat dan maslahatnya.
Aplikasi Kaidah :
Orang yang masuk Islam melalui dakwah bid’ah lebih baik dari pada mereka berada dalam kekafiran, akan tetapi apabila mungkin untuk dipindahkan kepada jalan yang benar tentu lebih baik lagi.
Orang yang masuk Islam melalui dakwah bid’ah lebih baik dari pada mereka berada dalam kekafiran, akan tetapi apabila mungkin untuk dipindahkan kepada jalan yang benar tentu lebih baik lagi.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmû Fatâwâ 3/286 menjelaskan bahwa seseorang
yang berada di sebuah komunitas Muslim wajib melakukan shalat Jumat,
ikut shalat berjamaah bersama mereka, loyal kepada mereka dan tidak
memusuhi mereka sekalipun dia tidak menyetujui bidah atau perbuatan
maksiat yang mereka lakukan. Dan sebaiknya dia diam jika tidak mampu menjelaskannya kepada mereka.
Sebagian
hartawan menghiasai masjid dengan ornamen-ornamen mahal, sekalipun hal
ini makrûh akan tetapi itu lebih baik dari pada hartawan tersebut
mengalihkan dananya untuk perbuatan-perbuatan maksiat. (Ikhtiyârât, hlm. 137)
Kaidah Keenam:
مَفْسَدَةُ الْمُحَرَّمِ أَرْجَحُ مِنْ مَصْلَحَةِ الْمُسْتَحَبِّ
Mudharat perbuatan haram lebih besar daripada maslahat perbuatan mustahab (sunat) (Lihat Minhâj Sunnah 4/154
Sebuah
amalan sunat apabila menyebabkan perbuatan haram maka perbuatan
tersebut tidak lagi disunatkan akan tetapi berubah menjadi perbuatan
haram.
Aplikasi Kaidah:
Membaca al-Qur’ân dengan suara keras disunatkan akan tetapi apabila menyebabkan gangguan terhadap orang lain maka perbuatan tersebut menjadi terlarang.
Membaca al-Qur’ân dengan suara keras disunatkan akan tetapi apabila menyebabkan gangguan terhadap orang lain maka perbuatan tersebut menjadi terlarang.
Menyentuh
serta mencium hajar aswad disunatkan, akan tetapi apabila menimbulkan
kemudharatan dengan saling dorong, saling menyikut orang lain,
bercampur baur antara laki dan wanita, maka amalan tersebut menjadi
terlarang.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus 11/Tahun XVII/1435H/2014M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57773 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Sumber: https://almanhaj.or.id/4180-ketika-harus-memilih-antara-maslahat-dan-mudarat.html