Islam Pedoman Hidup: Puasa
Tampilkan postingan dengan label Puasa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puasa. Tampilkan semua postingan

Jumat, 31 Mei 2019

Tidak Mampu Puasa tapi tidak Mampu Fidyah




Pertanyaan:
Ada wanita tua yang belum menikah dan sangat miskin. Suatu ketika, dia sedang sakit keras. Bolehkan dia tidak berpuasa, sementara dia tidak mampu membayar fidyah?

Jawaban:
Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulilllah.
Jika sakit wanita ini hanya sementara maka dia wajib meng-qadha di hari yang lain, setelah sembuh. Berdasarkan firman Allah,
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّة مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Siapa saja di antara kalian yang sakit atau bersafar, kemudian dia berbuka, maka hendaknya dia mengganti di hari yang lain sesuai jumlah hari yang ditinggalkan.” (Q.s. Al-Baqarah:184)

Namun, jika sakitnya menahun (tidak ada harapan sembuh) maka dia wajib membayar fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin. Jika tidak mampu dan ada orang lain yang menanggung fidyahnya maka hukum fidyahnya sah, karena menggantikan orang lain dalam urusan harta itu diperbolehkan.

Jika tidak ada orang yang menggantikannya dalam membayarkan fidyahnya maka kewajiban ini tidak gugur dan tetap menjadi tanggungannya, sampai dia mampu membayar. Jika dia sampai meninggal namun dia belum mampu membayar fidyah maka tidak ada tanggungan apa pun baginya. Sebagaimana yang Allah firmankan,
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (Q.s. Al-Baqarah:286)

Allah juga berfirman,
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلاَّ مَا آتَاهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya.” (Q.s. Ath-Thalaq:7)

Allahu a’lam.

Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus, no. 78.
Sumber: http://www.ferkous.com/rep/Ramadhan-fatawa/Bg5.php

Diterjemahkan oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah.com).
____

Share Ulang:

Baca Selengkapnya >>>

Jumat, 17 Mei 2019

14 Amalan yang Keliru di Bulan Ramadhan


Berikut adalah beberapa kesalahan yang dilakukan di bulan Ramadhan yang tersebar luas di tengah-tengah kaum muslimin.

1. Mengkhususkan Ziarah Kubur Menjelang Ramadhan 

Tidaklah tepat keyakinan bahwa menjelang bulan Ramadhan adalah waktu utama untuk menziarahi kubur orang tua atau kerabat (yang dikenal dengan “nyadran”). Kita boleh setiap saat melakukan ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian. Namun masalahnya adalah jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa menjelang Ramadhan adalah waktu utama untuk nyadran atau nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini.

2. Padusan, Mandi Besar, atau Keramasan Menyambut Ramadhan 

Tidaklah tepat amalan sebagian orang yang menyambut bulan Ramadhan dengan mandi besar atau keramasan terlebih dahulu. Amalan seperti ini juga tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lebih parahnya lagi mandi semacam ini (yang dikenal dengan “padusan”) ada juga yang melakukannya campur baur laki-laki dan perempuan dalam satu tempat pemandian. Ini sungguh merupakan kesalahan yang besar karena tidak mengindahkan aturan Islam. Bagaimana mungkin Ramadhan disambut dengan perbuatan yang bisa mendatangkan murka Allah?!

3. Menetapkan Awal Ramadhan dengan Hisab 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
“Sesungguhnya kami adalah umat yang buta huruf. Kami tidak memakai kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula memakai hisab (dalam penetapan bulan). Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Bazizah mengatakan,”Madzhab ini (yang menetapkan awal ramadhan dengan hisab) adalah madzhab bathil dan syari’at ini telah melarang mendalami ilmu nujum (hisab) karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan (dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) atau persangkaan kuat. Maka seandainya suatu perkara (misalnya penentuan awal ramadhan, pen) hanya dikaitkan dengan ilmu hisab ini maka agama ini akan menjadi sempit karena tidak ada yang menguasai ilmu hisab ini  kecuali sedikit sekali.” (Fathul Baari, 6/156)

4. Mendahului Ramadhan dengan Berpuasa Satu atau Dua Hari Sebelumnya 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدٌ الشَّهْرَ بِيَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَحَدٌ كَانَ يَصُومُ صِيَامًا قَبْلَهُ فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari sebelumnya, kecuali bagi seseorang yang terbiasa mengerjakan puasa pada hari tersebut maka puasalah.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Nasa’i)

Pada hari tersebut juga dilarang untuk berpuasa karena hari tersebut adalah hari yang meragukan. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan maka dia telah mendurhakai Abul Qasim (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen).” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)

5. Melafazhkan Niat “Nawaitu Shouma Ghodin…” 

Sebenarnya tidak ada tuntunan sama sekali untuk melafazhkan niat semacam ini karena tidak adanya dasar dari perintah atau perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dari para sahabat. Letak niat sebenarnya adalah dalam hati dan bukan di lisan. An Nawawi rahimahullah –ulama besar dalam Madzhab Syafi’i- mengatakan,
لَا يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ خِلَافٍ
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.” (Rowdhotuth Tholibin, I/268, Mawqi’ul Waroq-Maktabah Syamilah)

6. Membangunkan “Sahur … Sahur” 

Sebenarnya Islam sudah memiliki tatacara sendiri untuk menunjukkan waktu bolehnya makan dan minum yaitu dengan adzan pertama sebelum adzan shubuh. Sedangkan adzan kedua ketika adzan shubuh adalah untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Inilah cara untuk memberitahu kaum muslimin bahwa masih diperbolehkan makan dan minum dan memberitahukan berakhirnya waktu sahur. Sehingga tidak tepat jika membangunkan kaum muslimin dengan meneriakkan “sahur … sahur ….” baik melalui speaker atau pun datang ke rumah-rumah seperti mengetuk pintu. Cara membangunkan seperti ini sungguh tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak pernah dilakukan oleh generasi terbaik dari ummat ini. Jadi, hendaklah yang dilakukan adalah melaksanakan dua kali adzan. Adzan pertama untuk menunjukkan masih dibolehkannya makan dan minum. Adzan kedua untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memiliki nasehat yang indah, Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian.” (Lihat pembahasan at Tashiir di Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 334-336)

7. Pensyariatan Waktu Imsak (Berhenti makan 10 atau 15 menit sebelum waktu shubuh) 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ يَهِيدَنَّكُمُ السَّاطِعُ الْمُصْعِدُ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَعْتَرِضَ لَكُمُ الأَحْمَرُ
“Makan dan minumlah. Janganlah kalian menjadi takut oleh pancaran sinar (putih) yang menjulang. Makan dan minumlah sehingga tampak bagi kalian warna merah yang melintang.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Khuzaimah. Dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan shahih). 

Maka hadits ini menjadi dalil bahwa waktu imsak (menahan diri dari makan dan minum) adalah sejak terbit fajar shodiq –yaitu ketika adzan shubuh dikumandangkan- dan bukanlah 10 menit sebelum adzan shubuh. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.

Dalam hadits Anas dari Zaid bin Tsabit bahwasanya beliau pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk menunaikan shalat. Kemudian Anas berkata, Berapa lama jarak antara adzan Shubuh dan sahur kalian?” Kemudian Zaid berkata, Sekitar 50 ayat.” (HR. Bukhari dan Muslim). Lihatlah berapa lama jarak antara sahur dan adzan? Apakah satu jam?! Jawabnya: Tidak terlalu lama, bahkan sangat dekat dengan waktu adzan shubuh yaitu sekitar membaca 50 ayat Al Qur’an (sekitar 10 atau 15 menit)
 
8. Do’a Ketika Berbuka “Allahumma Laka Shumtu wa Bika Aamantu…” 

Ada beberapa riwayat yang membicarakan do’a ketika berbuka semacam ini. Di antaranya adalah dalam Sunan Abu Daud no. 2357, Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 481 dan no. 482. Namun hadits-hadits yang membicarakan amalan ini adalah hadits-hadits yang lemah. Di antara hadits tersebut ada yang mursal yang dinilai lemah oleh para ulama pakar hadits. Juga ada perowi yang meriwayatkan hadits tersebut yang dinilai lemah dan pendusta (Lihat Dho’if Abu Daud no. 2011 dan catatan kaki Al Adzkar yang ditakhrij oleh ‘Ishomuddin Ash Shobaabtiy).

Adapun do’a yang dianjurkan ketika berbuka adalah,
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Dzahabazh zhoma-u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah (artinya: Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah) (HR. Abu Daud. Dikatakan hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud)

9. Dzikir Jama’ah Dengan Dikomandoi dalam Shalat Tarawih dan Shalat Lima Waktu 

Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah tatkala menjelaskan mengenai dzikir setelah shalat, “Tidak diperbolehkan para jama’ah membaca dizkir secara berjama’ah. Akan tetapi yang tepat adalah setiap orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa dikomandai oleh yang lain. Karena dzikir secara berjama’ah (bersama-sama) adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam yang suci ini.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 11/189)

10. “Ash Sholaatul Jaami’ah…” untuk Menyeru Jama’ah dalam Shalat Tarawih 

Ulama-ulama Hambali berpendapat bahwa tidak ada ucapan untuk memanggil jama’ah dengan ucapan “Ash Sholaatul Jaami’ah…” Menurut mereka, ini termasuk perkara yang diada-adakan (baca: bid’ah). (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9634, Asy Syamilah)

11. Bubar Terlebih Dahulu Sebelum Imam Selesai Shalat Malam 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً
“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih). Jika imam melaksanakan shalat tarawih ditambah shalat witir, makmum pun seharusnya ikut menyelesaikan bersama imam. Itulah yang lebih tepat.

12. Perayaan Nuzulul Qur’an 

Perayaan Nuzulul Qur’an sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga tidak pernah dicontohkan oleh para sahabat. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan,
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya.” Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ahqof ayat 11)

13. Membayar Zakat Fithri dengan Uang 

Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz mengatakan, “Seandainya mata uang dianggap sah dalam membayar zakat fithri, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan hal ini. Alasannya, karena tidak boleh bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan penjelasan padahal sedang dibutuhkan. Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar zakat fithri dengan uang, tentu para sahabat –radhiyallahu ‘anhum– akan menukil berita tersebut. Kami juga tidak mengetahui ada seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membayar zakat fithri dengan uang. Padahal para sahabat adalah manusia yang paling mengetahui sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang paling bersemangat dalam menjalankan sunnahnya. Seandainya ada di antara mereka yang membayar zakat fithri dengan uang, tentu hal ini akan dinukil sebagaimana perkataan dan perbuatan mereka yang berkaitan dengan syari’at lainnya dinukil (sampai pada kita).” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 14/208-211)

14. Tidak Mau Mengembalikan Keputusan Penetapan Hari Raya kepada Pemerintah 

Al Lajnah Ad Da’imah, komisi Fatwa di Saudi Arabia mengatakan, “Jika di negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat (tentang penetapan 1 Syawal), maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya.” (Fatawa no. 388)

Demikian beberapa kesalahan atau kekeliruan di bulan Ramadhan yang mesti kita tinggalkan dan mesti kita menasehati saudara kita yang lain untuk meninggalkannya. Tentu saja nasehat ini dengan lemah lembut dan penuh hikmah.

Semoga Allah memberi kita petunjuk, ketakwaan, sifat ‘afaf (menjauhkan diri dari hal yang tidak diperbolehkan) dan memberikan kita kecukupan. Semoga Allah memperbaiki keadaan setiap orang yang membaca risalah ini.

Wa shallallahu wa salaamu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Share Ulang:
Baca Selengkapnya >>>

Kamis, 16 Mei 2019

Bahasan Ilmiah: Pendapat “Paling Pas” Tentang Tabyiitun Niyyah (Niat Puasa)

Prolog 

Dalam masalah puasa Ramadhan, para ulama berbeda pendapat terkait kewajiban niat puasa. Setidaknya pendapat mereka terbagi menjadi dua pendapat. Saya (dengan segala keterbatasan ilmu dan kerdilnya amal) mencoba melakukan penelitian  “kecil-kecilan” tentang tema ini demi mencari pendapat yang paling dekat dengan kebenaran.
Alhasil, penelitian “kecil-kecilan” tersebut mengantarkan saya pada kesimpulan sementara bahwa pendapat yang lebih kuat adalah pendapat kedua, tentunya dengan dalil dan argumentasi ulama yang menyokongnya.
Penelitian berlanjut selama beberapa hari. Ternyata saya dapati di sana ada pendapat ketiga, juga dengan ulama dan dalil-dalinya. Simpul-simpul masalah mulai semakin banyak dan bercabang. Sampai akhirnya –dengan taufik dari Allah- saya berjumpa dengan pendapat keempat yang seolah mengurai simpul-simpul masalah tersebut dengan lembut. Hatipun menjadi lapang dan bertambah yakin karenanya. Pendapat (keempat) inilah yang saya pilih dan ingin saya kisahkan dalam artikel singkat ini.

Pemaparan Khilaf 

Dalam masalah puasa Ramadhan, para ulama berbeda pendapat terkait kewajiban niat puasa:
  • Pendapat pertama; membolehkan niat puasa dilakukan di awal bulan Ramadhan sekaligus untuk sebulan penuh. Jadi pada kasus orang yang lupa berniat di malam hari dan baru bagun dari tidur setelah fajar, maka berdasarkan pendapat pertama ini, puasa orang tersebut sah dan tidak perlu meng-qadha’ (mengganti) di hari lain.
Di antara para ulama yang mendukung pendapat ini adalah; ulama Maalikiyyah, Imam Ibnul ‘Utsaimin dan Syaikh Abdullah al-Bassam rahimallaahul jamii’[1].
  • Pendapat kedua; mengharuskan tabyiitun niyyah (berniat di malam hari sebelum fajar) berdasarkan hadits Hafshoh radhiallaahu’anha. Dalam kasus orang yang baru mengetahui masuknya Ramadhan di siang hari (sekalipun dia belum makan dan minum), para ulama yang memegang pendapat ini memfatwakan bahwa orang tersebut wajib menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa sampai tenggelam matahari, plus meng-qodho’ (mengganti puasa di hari lain) karena orang tersebut tidak dinilai berpuasa gara-gara belum sempat berniat di malam hari.
Para ulama yang memfatwakan pendapat ini di antaranya dari kalangan Syaafi’iyyah, Hanabilah, (juga) Maalikiyyah. Di antara ulama zaman ini adalah; Syaikh Bin Baaz (dalam Majmu Fatawa beliau: 15/251, asy-Syamilah), Syaikh Shalih Fauzan (dalam Majmu’ Fatawa beliau: 2/389, asy-Syamilah). Didukung juga oleh fatwa al-Lajnah ad-Daa-imah (no. 4352). Termasuk murid Syaikh al-Albani rahimahullaah, Syaikh Husein al-‘Uwaisyah dalam kitabnya al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassaroh (3/214).
  • Pendapat ketiga; membolehkan niat puasa (fardhu) dari sejak tenggelamnya matahari sampai waktu zawaal (siang hari waktu zhuhur) sekalipun memungkinkan untuk berniat di malam hari. Ini adalah pendapat Hanafiyyah [Tuhfatul Fuqoha: 1/534 as-Samarkandi, Badaa-i’u as-Shonaa’i: 2/48 al-Kisaaniy, Fathul Qodiir: 2/48 Ibnul Hammaam, dinukil dari http://www.ferkous.com]
  • Pendapat keempat; sama seperti pendapat kedua, namun membolehkan pendapat ketiga hanya dalam kondisi darurat yang tidak memungkinkan terjadinya niat di malam hari, seperti orang yang pingsan sejak sore sampai keesokan harinya (di bulan Ramadhan) dan jelas belum sempat niat di malam hari, maka boleh bagi dia untuk meniatkan puasa saat dia sadar di siang hari.
Ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Imam asy-Saukaniy, Imam Ibnu Hazm, dan Imam al-Albani rahimallaahul jamii’ [lihat Silsilah ash-Shahihah no. 2624].
Konsekuensi dari perbedaan pendapat ini cukup kontras, karena menyangkut sah tidaknya puasa. Jika tidak sah, maka (sebagaimana yang telah dimaklumi bersama) qodho’ (mengganti) puasa wajib dilakukan di lain hari.

Mengapa (Pada Awalnya) Saya Memilih yang Kedua 

Awalnya saya tentram dengan pendapat kedua yang juga merupakan pendapat jumhur ahlul ‘ilmi yaitu wajibnya tabyiitun niyyah atau meniatkan puasa setiap malam sebelum fajar, tidak cukup hanya dengan sekali niat di awal Ramadhan untuk semua hari.
Berikut ini saya paparkan beberapa alasannya:
Pertama; karena puasa Ramadhan adalah ibadah yang bersifat mustaqillah (berdiri sendiri) antara satu hari dengan hari lainnya.
  • Buktinya, ulama sepakat jika seseorang kehilangan satu hari saja puasa Ramadhan, maka dia tidak diwajibkan untuk meng-qadha’ kecuali hanya satu hari saja, tidak semua hari. Ini membuktikan bahwa puasa Ramadhan bersifat mustaqillah. Karena bersifat mustaqillah, maka diperlukan niat yang baru untuk setiap harinya dan wajib dilakukan sebelum fajar.
  • Bukti yang lain, jika seseorang menggauli istrinya selama dua hari berturut-turut misalkan, maka kaffarat-nya pun ganda (dua kali juga), karena setiap hari Ramadhan adalah ibadah tersendiri [al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassaroh: 3/312-313]
Kedua; zhahir hadits Hafshoh radhiallahu’anha berikut ini begitu gamblang dan jelas menyebutkan kewajiban niat sebelum fajar. Jika cukup dengan sekali niat di awal Ramadhan untuk sebulan penuh, maka lafaz “qoblal fajr” akan kehilangan esensi.
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
Barangsiapa belum meniatkan puasa sebelum terbit fajar, maka tidak ada puasa baginya.” [Shahih Abi Dawud no. 2118]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah membawakan lafaz berikut:
لَا صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ مِنْ اللَّيْلِ
Tidak ada puasa bagi orang yang tidak meniatkan puasa sejak malam.” [lih. Majmu’ Fatawa: 25/120]
Syaikh Abu ‘Abdil Mu’iz Muhammad ‘Ali mengatakan (setelah membahas panjang lebar hadits Hafshoh di atas):
فإنّ العمل بمقتضى حديث الباب وحمله على ظاهره آكد وجوبه، واشتراط تبييت النية فيه من الليل حتم لزومه، وهو مذهب جمهور السلف والخلف
Mengamalkan tuntutan hadits dalam bab ini (yaitu hadits Hafshoh) dan mempraktekkannya sesuai (makna) zhahirnya adalah perkara yang lebih meyakinkan akan kewajibannya, dan pensyaratan niat (puasa) sejak malam adalah kelaziman yang bersifat wajib, dan ia merupakan madzhab jumhur baik salaf maupun kholaf.” [Dari makalah ilmiah beliau yang berjudul “Hadiitsu Tabyiitin Niyyah”, http://www.ferkous.com]
Ketiga; riwayat Hafshoh radhiallaahu’anha di atas bersifat lebih khusus jika dibandingkan dengan hadits “innamal a’maalu bin niyyaat..” yang sering dijadikan dalil bolehnya sekali niat di awal Ramadhan untuk sebulan penuh. Sementara telah dimaklumi dalam ilmu Ushul Fiqh bahwa jika didapati nash yang lebih khusus, maka nash yang umum dibawa pemahaman dan prakteknya kepada nash yang lebih khusus. Dalam hal ini, khusus untuk puasa fardhu, maka niatnya harus tiap malam sebelum fajar.
Keempat; riwayat Hafshoh radhiallaahu’anha di atas akan kehilangan fungsinya jika kita mengambil pendapat bolehnya “sekali niat untuk sebulan penuh”. Sementara dalam kaidah fiqh disebutkan bahwa:
إعْمَالُ النُّصُوصِ أوْلَى مِنْ إهْمَالِهَا
Memfungsikan nash-nash (jam’un nushuush), lebih utama daripada tidak memfungsikannya
Kelima; pendapat yang membolehkan “sekali niat untuk sebulan penuh” tidak memiliki dhowaabith (batasan-batasan) yang jelas. Dikuatirkan nantinya akan ada yang berkata “kalau begitu kita niat saja puasa Ramadhan sekaligus untuk sepanjang umur”, jika demikian, jelas riwayat di atas akan kehilangan fungsinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:
لِأَنَّ جَمِيعَ الزَّمَانِ يَجِبُ فِيهِ الصَّوْمُ وَالنِّيَّةُ لَا تَنْعَطِفُ عَلَى الْمَاضِي
berpuasa itu wajib pada setiap zaman, namun urusan menghadirkan niat (puasa) tidak berhubungan dengan zaman sebelumnya.” [Majmu’ Fataawa: 25/120]
Atas alasan yang sama, Imam an-Nawawi rahimahullaah mengatakan[2]:
وَكَمَالُ النِّيَّةِ فِي رَمَضَانَ: أَنْ يَنْوِيَ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
Kesempurnaan niat di bulan Ramadhan: hendaknya seseorang meniatkan puasa esok hari demi menunaikan kewajiban (puasa) Ramadhan pada tahun ini karena Allah semata.”[3]
Keenam; Hanafiyyah tidak menganggap tabyiitun niyyah sebagai syarat sah puasa Ramadhan [al-Ikhtiyaar Syarhul Mukhtaar: 1/127]. Kendati demikian, mereka tetap mewajibkan niat setiap hari. Paling tidak sampai tengah hari, seseorang sudah harus berniat puasa Ramadhan. Ini menunjukkan bahwa mereka (Hanafiyyah) menganggap puasa Ramadhan sebagai ibadah mustaqillah setiap harinya yang butuh kepada niat terpisah dari hari-hari yang lain.
Sebagian fuqoha Hanafiyyah seperti al-Maushiliy rahimahullaah bahkan mengatakan:
وَالأَفْضَل الصَّوْمُ بِنِيَّةٍ مُعَيَّنَةٍ مُبَيَّتَةٍ لِلْخُرُوجِ عَنِ الْخِلاَفِ
“Yang lebih utama adalah berpuasa dengan niat tertentu pada malam harinya, untuk lepas dari perbedaan pendapat.”[4]
Ketujuh; menurut penjelasan yang saya dapatkan ketika menanyakan tentang pendapat Syaikh ‘Utsaimin, bahwa beliau (Syaikh ‘Utsaimin) tetap mewajibkan tajdiidun niyyah (mengulangi niat) jika seseorang mengalami udzur untuk berpuasa (karena sakit misalkan), ini menunjukkan bahwa pendapat beliau masih ada kemungkinan mendukung pendapat bahwa puasa Ramadhan adalah ibadah yang bersifat mustaqillah, karena jika tidak, maka tentu tajdiidun niyyah tidak perlu dilakukan lagi, niat di awal Ramadhan sudah cukup.
Kedelapan; lagi pula niat adalah ibadah tersendiri yang bisa menjadi kran pahala tersendiri pula. Para ulama salaf bahkan berusaha menghadirkan lebih dari satu niat kebaikan dalam hatinya ketika melakukan satu amal. Bagi mereka, semakin banyak niat shalih berkumpul dalam satu amalan, semakin banyak pula pahala yang terkumpul.
Imam Abu Tholib al-Makkiy rahimahullaah mengatakan:
فَرُبَّمَا اتَّفَقَ فِي الْعَمَلِ الْوَاحِدِ نِيَّاتٌ كَثِيْرَةٌ عَلَى مِقْدَارِ مَا يَحْتَمِلُ الْعَبْدُ مِنَ النِّيَّةِ، وَعَلَى مِقْدَارِ عِلْمِ الْعَامِلِ، فَيَكُوْنُ لَهُ بِكُلِّ نِيَّةٍ حَسَنَةٌ.
Bisa saja niat yang banyak berkumpul pada satu amalan sesuai kadar kemampuan seorang hamba dalam menghadirkan niat dan sesuai kadar ilmu yang dimiliki orang yang beramal. Maka ia akan memperoleh untuk setiap niat, pahala tersendiri.”[5]
Atas dasar ini, saya lebih condong pada pendapat kedua, karena dengannya kita akan (mau tidak mau) berniat setiap malam, dan niat tersebut akan menghasilkan pahala tersendiri yang akan menambah tabungan pahala kita untuk setiap malamnya di sisi Allah.

Pendapat Ketiga yang Me-review Pilihan 

Semakin jauh saya menelaah, saya mendapati ada pendapat ketiga (dari kalangan madzhab Hanafy) yang membolehkan niat puasa fardhu di siang hari setelah fajar. Dalil mereka adalah hadits berikut
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسَل غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى الأنْصَارِ: مَنْ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ، وَمَنْ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيَصُمْ.
“Bahawasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus di pagi 10 Muharram (utusan) ke kampung-kampung penduduk Anshor (untuk menyerukan): ‘siapa yang sudah makan-minum, maka wajib bagi dia untuk menyempurnakan sisa hari tersebut dengan berpuasa, dan barangsiapa di waktu pagi belum makan-minum, maka wajib baginya untuk berpuasa.”[6]
Hadits tersebut mengisyaratkan dengan tegas bolehnya berniat setelah fajar. Terlebih lagi, dulu puasa ‘Asyuro (ketika belum turun kewajiban puasa Ramadhan) memang bersifat wajib. Maka sekarang pun hukum “bolehnya niat setelah fajar” tetap berlaku untuk semua puasa wajib seperti; Ramadhan, qadha puasa, atau puasa kaffarat. Ini adalah qiyas yang benar, kata mereka. Dan memang benar, karena tidak ada dalil yang me-mansukh-kan “hukum niat setelah fajar” pada hadits tersebut, yang dimansukh hanya kewajiban puasa ‘Asyuro saja (sebagaimana nukilan Syaikh al-Albani, yang sejenak lagi akan saya paparkan).

Antara Pendapat Kedua & Pendapat Ketiga 

Pendalilan hadits di atas seolah membatalkan pendapat kedua yang saya pilih. Karena memang, bagi pendapat kedua, tidak ada udzur bagi orang yang belum sempat berniat di malam hari karena sesuatu yang tidak disengaja (seperti pingsan, tertidur pulas, dll) sementara pada hadits di atas, jelas-jelas ada udzur sebagai ‘illah (sebab hukum) yaitu ketidaktahuan penduduk kampung-kampung Anshor bahwa besok adalah hari ‘Asyuro.
Namun sayang pendapat ketiga juga memutlakkan bolehnya niat puasa fardhu setelah fajar bagi siapa saja, baik yang punya udzur ataupun tidak. Padahal hadits di atas jelas-jelas mengisyaratkan adanya udzur. Lantas, di mana kita akan memfungsikan hadits Hafshoh? Kondisi udzur ini adalah ‘illah (sebab hukum) yang begitu cermat dan teliti disikapi oleh sebagian ulama sehingga memunculkan pendapat keempat.

Pendapat Keempat yang Melegakan 

Akhirnya saya menjatuhkan pilihan pada pendapat keempat yang berusaha men-jama’ (mengkompromikan) semua pendapat. Dalam bahasa yang sederhana, pendapat keempat ini mengatakan:
Wajib berniat puasa fardhu setiap malam sebelum fajar bagi mereka yang mungkin untuk berniat, kecuali bagi mereka yang terhalang oleh kondisi darurat sehingga terpaksa luput dari niat di malam hari, maka boleh bagi dia untuk berniat di siang hari setelah fajar (saat kondisi darurat tersebut hilang). Puasanya sah dan tidak perlu meng-qadha’”
Berikut saya nukilkan ucapan Imaamul Muhadditsiin abad ini asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Silsilah ash-Shahiihah (no. 2624) setelah membahas seluk beluk sanad hadits Salamah bin al-Auka’ berikut ini:
أذن في قومك أو في الناس يوم عاشوراء: من [كان] أكل فليصم بقية يومه [إلى الليل] ، ومن لم يكن أكل فليصم
Permaklumkanlah pada kaummu atau pada manusia di hari ‘Asyuro: “Barangsiapa yang sudah menyantap makanan, maka hendaklah ia menahan diri dan berpuasa sampai petang, barangsiapa yang belum makan maka (berniatlah untuk) puasa.”
من فقه الحديث…
(Kata beliau, Syaikh al-Albani): di antara fiqih hadits (Salamah bin al-Auka’ di atas) adalah:…
أن من وجب عليه الصوم نهارا، كالمجنون يفيق، والصبي يحتلم، والكافر يسلم، وكمن بلغه الخبر بأن هلال رمضان رؤي البارحة، فهؤلاء يجزيهم النية من النهار حين الوجوب، ولو بعد أن أكلوا أو شربوا،
Bagi orang yang mendapati kewajiban puasa di siang hari seperti; orang gila (atau pingsan) yang sembuh atau sadar, anak kecil yang baru baligh, orang kafir yang baru masuk Islam, atau seperti orang yang baru mengetahui bahwa hilal Ramadhan sudah terlihat semalam, maka orang-orang semacam ini sah niatnya di siang hari saat kewajiban (puasa) itu berlaku (pada diri mereka), sekalipun sebelumnya mereka sudah makan atau minum (jadi hanya perlu melanjutkan puasa tanpa harus meng-qadha-pen).
فتكون هذه الحالة مستثناة من عموم قوله صلى الله عليه وسلم: ” من لم يجمع الصيام قبل الفجر فلا صيام له “، وهو حديث صحيح كما حققته في ” صحيح أبي داود ” (2118) . وإلى هذا الترجمة ذهب ابن حزم وابن تيمية والشوكاني وغيرهم من المحققين.
Maka kondisi (darurat) seperti ini merupakan pengecualian dari keumuman hadits “man lam yajma’ish shiyaam falaa shiyaama lahu” yang shahih, sebagaimana yang telah saya tahqiq dalam kitab Shahih Abi Dawud (no. 2118). Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyyah, asy-Syaukaaniy, dan selain mereka dari kalangan para muhaqqiq.
Kemudian beliau (Syaikh al-Albani) menukil ucapan Abul Hasan as-Sindi (Hasyiayatus Sindi ‘ala Ibni Maajah: 1/528-529):
دل الحديث على شيئين: أحدهما: وجوب صوم عاشوراء. والثاني: أن الصوم واجب في يوم بنية من نهار، والمنسوخ هو الأول، ولا يلزم من نسخه نسخ الثاني، ولا دليل على نسخه أيضا.
Hadits (Salamah bin al-Auka’) memberikan dalil akan dua hal: Pertama, wajibnya puasa ‘Asyuro (saat puasa Ramadhân beum diwajibkan-pen). Kedua, puasa (wajib) tetap wajib dilakukan (sekalipun) dengan niat di siang hari. Nah, yang mansukh (dihapus hukumnya) adalah yang pertama, dan naskh (penghapusan hukum) yang pertama tidak mengharuskan mansukh-nya hukum yang kedua, di samping juga tidak ada dalil tentang mansukh-nya.
بقي فيه بحث: وهو أن الحديث يقتضي أن وجوب الصوم عليهم ما كان معلوما من الليل، وإنما علم من النهار، وحينئذ صار اعتبار النية من النهار في حقهم ضروريا
Maka tersisa satu pembahasan dalam masalah ini: “bahwa kewajiban puasa (esok hari) atas mereka, tidak diketahui saat malam, baru diketahui di siang hari. Maka saat itu, jadilah kewajiban niat di siang hari bagi mereka, sebagai suatu hal yang bersifat darurat…”
Kemudian asy-Syaikh al-Albani rahimahullaah membawakan riwayat yang beliau shahihkan dari praktek seorang salaf sekaligus khalifah besar yang zuhud, Umar bin Abdil Aziz rahimahullaah:
أن قوما شهدوا على الهلال بعد ما أصبح الناس، فقال عمر بن عبد العزيز: من أكل فليمسك عن الطعام، ومن لم يأكل فليصم بقية يومه
Pernah suatu ketika, saat orang-orang telah berada dipagi hari, sekumpulan orang bersaksi bahwa mereka telah melihat hilal (semalam). Maka ‘Umar bin Abdil Aziz berkata: “barangsiapa telah makan (pagi ini), maka hendaklah ia menahan diri dari makan, dan barangsiapa belum sempat makan, maka hendaklah ia berpuasa di sisa harinya.[7]
Syaikh al-Albani rahimahullaah juga menukil ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah yang juga memilih pendapat ini dalam al-Ikhtiyaaroot al-‘Ilmiyyah (4/63-al-Kurdi):
ويصح صوم الفرض بنية النهار إذا لم يعلم وجوبه بالليل، كما إذا قامت البينة بالرؤية في أثناء النهار، فإنه يتم بقية يومه ولا يلزمه قضاء وإن كان أكل
“Puasa fardhu dengan niat di siang hari tetap sah, asalkan kewajiban puasa fardhu tersebut belum diketahui semalam. Sama hukumnya dengan orang yang baru mengetahui hasil ru’yat di siang hari (bahwa hilal sudah terlihat semalam), maka dia tinggal menyempurnakan sisa harinya (dengan puasa), dan dia tidak harus meng-qadha’ seandainya dia sudah terlanjur makan.”
Bagi Anda yang menginginkan penjelasan yang lebih terperinci dari Syaikhul Islam dalam masalah ini, Syaikh al-Albani rahimahullaah menyerankan untuk membuka Majmuu’ al-Fataawa Ibnu Taimiyyah (25/109 dan 117-118)[8]
Di antara para Imam Ahlussunnah yang menguatkan pendapat ini (menurut Syaikh al-Albani rahimahullaah)[9] adalah: Ibnu Qayyim al-Jauziyyah[10], Imam asy-Syaukaaniy[11], dan Ibnu Hazm[12] rahimallaahul jamii’.

Yang Harus Kita Camkan Bersama 

Bagi saya, terutama setelah melalui beberapa fase penelaahan, pendapat terakhirlah yang paling kuat dan paling mendekati kebenaran. Karena pendapat ini mengkompromikan semua nash yang ada. Namun bagi Anda, boleh jadi berbeda.
Masalah “harus memilih pendapat yang mana”, ini kembali pada Anda pribadi setelah melakukan studi komparasi. Namun satu hal yang harus Anda catat, bahwa khilaf dalam masalah ini masuk dalam ranah ijtihadiyyah, yang kita diharuskan untuk bersikap toleran dan tidak boleh ada celaan satu sama lain. Karena:
أن المسائل الاجتهادية ظنية في الغالب، بمعنى أنه لا يقطع فيها بصحة هذا القول أو خطئه، لكن قد توجد مسائل يسوغ فيها الاجتهاد وهي قطعية يقينية، يجزم فيها بالصواب، وذلك أن المجتهد قد يخالف الصواب دون تعمد، إما لتعارض الأدلة أو خفائها، فلا طعن على من خالف في مثل ذلك.
 “Masalah-masalah ijithadiyyah kebanyakannya bersifat zhonniyyah, dalam arti; tidak boleh divonis mutlak kebenarannya ataupun kesalahannya. Namun terkadang ditemukan permasalahan yang ada ruang untuk ijtihad, kendati begitu ia merupakan masalah yang pasti dan meyakinkan kebenarannya. Karena seorang mujtahid terkadang menyelisihi kebenaran tanpa disengaja, boleh jadi karena bertolakbelakangnya dalil atau kesamarannya (menurut sang mujtahid), maka tidak boleh ada celaan pada diri mujathid tersebut[Muhammad Husein al-Jizaniy dalam risalah doktoralnya yang berjudul “Ma’aalim Ushuulil Fiqh ‘Inda Ahlisunnah” hal. 493, Cet.-1 Daar Ibn. Jauzi, 1416]

Akhirul Kalam… 

Kesempurnaan hanya milik Allah semata. Artikel ini hanyalah cerita pribadi, yang intinya ingin berbagi bahwa:
Kebenaran (sekecil dan sesepele apapun itu di mata manusia) adalah anugerah Ilahi, sepantasnya untuk diperjuangkan dengan terus menggali dan memintanya dari Allah Sang Pemilik anugerah.
Di dalam artikel ini juga tidak sedikit tertuang pendapat-pendapat nafsi yang sangat rentan ditunggangi oleh muatan-muatan keliru sejak awal penulisan sampai akhir kalimat yang tertulis. Untuk itu, saya memohon maaf pada Allah untuk sebelum maupun sesudahnya.
Sebagaimana pintu maaf-Nya selalu terbuka, maka saya pun tidak punya alasan untuk sesaat saja menutup pintu saran maupun kritik bagi saudara-saudaraku (pembaca artikel ini) yang mencintai kebaikan bagi saudaranya. 
Wallaahu a’lam
***
Ahad, 16 Ramadhan 1433-H
05-08-2012
Jo Saputra Halim (Abu Ziyân)
Hari ini (03 Ramadhân 1434-H/ 12-07-2013) setelah 1 tahun berlalu,
saya kembali me-review artikel ini, puji syukur yang sedalam-sedalamnya kepada Allâh, yang telah menakdirkan artikel ini urung di-publish pada Ramadhân tahun lalu. Karena saya menemukan beberapa kesalahan tulis yang selayaknya untuk diperbaiki.
***
Artikel ini telah dibaca oleh guru kami Ust. Masyhuri, Lc. (hafizhahullâh). Sebagian saudara-saudara kami sesama penuntut ilmu juga saya minta membaca artikel ini, di antara mereka ada;
al-Akh al-Fâdhil Ust. Saefuddin Jaza, Lc. (S1-Fiqih, Madinah), al-Akh al-Fâdhil Ust. Sayudi, Lc. (S1-Hadits, Madinah), al-Akh al-Fâdhil Ust. Muhammad Firman, Lc. (S1-Fiqih, LIPIA), dan al-Akh al-Fâdhil Ust. Suryadi Abidin (sedang S1, Madinah).
Harapan saya, mereka bisa memberikan tanggapan (jika dalam artikel ini terdapat kesalahan) sebelum artikel ini di-publish. Alhamdulillah, al-Akh al-Fâdhil Ust. Saefuddin Jaza, Lc., dan al-Akh al-Fâdhil Ust. Muhammad Firman, Lc., dan al-Akh al-Fâdhil Ust. Samsul Luthfi (S1-Fiqih, LIPIA) yang secara kebetulan membaca artikel ini, semuanya memberikan tanggapan yang positif. Adapun yang lain, saya belum mendapat tanggapan dari mereka sampai saat ini. Akhirnya saya memberanikan diri mem-publish tulisan ini, karena saya melihat ada maslahat yang besar dalam momentum yang pas.

[1]  Untuk membaca ucapan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan Syaikh Abdullah al-Bassam dalam masalah ini, silahkan merujuk artikel yang sangat berharga dari saudara kami al-Akh Raehanul Baharaen (yang juga memilih pendapat pertama ini) dengan judul: Tidak Berniat Puasa Malam Hari Dan Tidak Makan Sahur, Puasa Sah?
[2]  Raudhotu ath-Thoolibiin: 2/350, asy-Syaamilah.
[3] Bukan berarti beliau (dengan ucapannya ini) menganjurkan untuk melafazkan niat ibadah, karena beliau mengatakan di halaman yang sama (Roudhotu ath-Thoolibiin: 2/350, asy-Syaamilah):
لَا يَصِحُّ الصَّوْمُ إِلَّا بِالنِّيَّةِ، وَمَحَلُّهَا الْقَلْبُ. وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلَا خِلَافٍ
Tidak sah puasa tanpa niat, dan tempat niat itu adalah hati. Dan tidak ada khilaf bahwa melafazkan niat bukanlah suatu yang dipersyaratkan.” [Raudhotu ath-Thoolibiin: 2/350, asy-Syaamilah]
[4]  al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah: 28/24, asy-Syaamilah.
[5]  Ta’thiirul Anfaas: 49, Dr. Sayyid bin Husein al-‘Affaaniy, Cet.-1, Maktabah Mu’adz bin Jabal.
[6]  Shahih Bukhari no. 1960, Shahih Muslim no. 1136
[7]  Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf: 3/69, Syaikh al-Albani mengatakan: “sanadnya shahih berdasarkan syarat asy-Syaikhain (Bukhari-Muslim)” [lih. Ash-Shahiihah: 6/253, Cet.-1, Maktabah al-Ma’aarif]
[8]  Ash-Shahiihah: 6/253, Cet-1, Maktabah al-Ma’aarif.
[9]  Idem-.
[10]  Zaadul Ma’aad: 1/235 dan Tahdziibu as- Sunan: 3/328.
[11]  Nailul Authar: 4/167.
[12]  Al-Muhallaa: 1/166.
________________


Share Ulang:
  • Citramas, Cinunuk: 11 Ramadhan 1440 H
  • Sumber: https://www.alhujjah.com/2019/05/10/bahasan-ilmiah-pendapat-paling-pas-tentang-tabyiitun-niyyah-niat-puasa/

Baca Selengkapnya >>>

Selasa, 05 Juni 2018

Hukum Puasa Musafir, Melihat Realita Sekarang Ini Puasa Tidak Memberatkan


Oleh
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan

Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimanakah hukumnya puasa seorang musafir, melihat realita bahwa sekarang ini puasa tidak memberatkan terhadap orang yang menjalankannya karena sempurnanya sarana perhubungan dewasa ini ?

Jawaban

Seorang musafir boleh tetap berpuasa dan boleh berbuka, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” [Al-Baqarah/2 : 185]

Para sahabat Radhiyallahu ‘anhum bepergian bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagian mereka ada yang berpuasa, sebagian yang lain berbuka, orang yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa, sebaliknya orang yang berpuasa tidak mencela orang yang berbuka, sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di waktu bepergian, Abu Darda Radhiyallahu ‘anhu berkata:

خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ فِي يَوْمٍ حَارٍّ حَتَّى يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلَّا مَا كَانَ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَابْنِ رَوَاحَةَ
Kami pernah bepergian bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada sebagian perjalanan Beliau pada hari yang sangat panas sehingga ada seseorang yang meletakkan tangannya diatas kepalanya karena amat panasnya dan tidak ada diantara kami yang berpuasa kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Ibnu Ruwahah[1].

Kaidah hukum bagi musafir adalah dia disuruh memilih antara puasa dan berbuka, akan tetapi jika berpuasa tidak memberatkannya maka puasa lebih utama, karena di dalamnya terdapat tiga manfaat:

1.Meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
2. Kemudahan, kemudahan puasa atas manusia; karena seorang manusia apabila dia berpuasa bersama orang banyak maka akan terasa ringan dan mudah.
3. Manfaatnya segera membebaskan diri dari beban tanggung jawabnya.

Apabila terasa berat atasnya maka sebaiknya dia tidak berpuasa, kaidah ‘Tidaklah termasuk kebaikan berpuasa di waktu bepergian’ tepat diterapkan pada keadaan seperti ini.
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَرَأَى زِحَامًا وَرَجُلًا قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ، فَقَالَ مَا هَذَا؟ فَقَالُوا: صَائِمٌ، فَقَالَ لَيْسَ مِنَ البِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat seseorang pingsan, orang-orang di sekitar beliau berdesak-desakan, Beliau bertanya. “Kenapa orang ini?”. Mereka menjawab. “Dia berpuasa”. Beliau bersabda, “Puasa di waktu bepergian bukanlah termasuk kebaikan[2].

Maka kaidah umum ini berlaku atas orang yang kondisinya seperti kondisi lelaki ini yang merasakan berat untuk berpuasa.

Karenanya kami berkata, “Bepergian di masa sekarang ini mudah –seperti yang dikatakan oleh penanya- tidak berat untuk berpuasa, pada umumnya, apabila puasa tidak berat dijalankan maka yang paling utama adalah berpuasa.

[Disalin dengan sedikit penyesuaian dari kitab Majmu Fatawa Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah Dan Ibadah, Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Pustaka Arafah]
_______
Footnote
[1] Diriwayatkan oleh Bukhari : Kitab Shaum/Bab 35 (1945). Muslim : Kitab Shiyam/Bab Memilih antara berpuasa dan berbuka di waktu bepergian (1122)
 
[2] Diriwayatkan oleh Bukhari : Kitab Shaum/Bab Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang pingsan karena sangat panas, tidaklah termasuk kebaikan bahwa seseorang berpuasa kala bepergian (1946). Muslim : Kitab Shiyam/Bab Bolehnya berpuasa dan berbuka di kala bulan Ramadhan bagi musafir untuk tujuan selain maksiat (1115)
-------------------
Share Ulang

Baca Selengkapnya >>>