Berikut adalah beberapa kesalahan yang dilakukan di bulan Ramadhan yang tersebar luas di tengah-tengah kaum muslimin.
Tidaklah tepat keyakinan bahwa menjelang bulan Ramadhan adalah waktu
utama untuk menziarahi kubur orang tua atau kerabat (yang dikenal dengan
“nyadran”). Kita boleh setiap saat melakukan ziarah kubur agar hati
kita semakin lembut karena mengingat kematian. Namun masalahnya adalah
jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan
meyakini bahwa menjelang Ramadhan adalah waktu utama untuk nyadran atau
nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran
Islam yang menuntunkan hal ini.
Tidaklah tepat amalan sebagian orang yang menyambut bulan Ramadhan
dengan mandi besar atau keramasan terlebih dahulu. Amalan seperti ini
juga tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lebih parahnya lagi mandi semacam ini (yang dikenal dengan “padusan”)
ada juga yang melakukannya campur baur laki-laki dan perempuan dalam
satu tempat pemandian. Ini sungguh merupakan kesalahan yang besar karena
tidak mengindahkan aturan Islam. Bagaimana mungkin Ramadhan disambut
dengan perbuatan yang bisa mendatangkan murka Allah?!
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ ، لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ ,الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا
“Sesungguhnya kami adalah umat yang buta huruf. Kami tidak
memakai kitabah (tulis-menulis) dan tidak pula memakai hisab (dalam
penetapan bulan). Bulan itu seperti ini (beliau berisyarat dengan
bilangan 29) dan seperti ini (beliau berisyarat dengan bilangan 30).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Bazizah mengatakan,”Madzhab ini (yang menetapkan awal ramadhan
dengan hisab) adalah madzhab bathil dan syari’at ini telah melarang
mendalami ilmu nujum (hisab) karena ilmu ini hanya sekedar perkiraan
(dzon) dan bukanlah ilmu yang pasti (qoth’i) atau persangkaan
kuat. Maka seandainya suatu perkara (misalnya penentuan awal ramadhan,
pen) hanya dikaitkan dengan ilmu hisab ini maka agama ini akan menjadi
sempit karena tidak ada yang menguasai ilmu hisab ini kecuali sedikit
sekali.” (Fathul Baari, 6/156)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدٌ الشَّهْرَ بِيَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ أَحَدٌ كَانَ يَصُومُ صِيَامًا قَبْلَهُ فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau
dua hari sebelumnya, kecuali bagi seseorang yang terbiasa mengerjakan
puasa pada hari tersebut maka puasalah.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Nasa’i)
Pada hari tersebut juga dilarang untuk berpuasa karena hari tersebut adalah hari yang meragukan. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan maka dia telah
mendurhakai Abul Qasim (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
pen).” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)
Sebenarnya tidak ada tuntunan sama sekali untuk melafazhkan niat semacam ini karena tidak adanya dasar dari perintah atau perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula dari para sahabat. Letak niat sebenarnya adalah dalam hati dan bukan di lisan. An Nawawi rahimahullah –ulama besar dalam Madzhab Syafi’i- mengatakan,
لَا يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ خِلَافٍ
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat
adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan dan pendapat ini
tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.” (Rowdhotuth Tholibin, I/268, Mawqi’ul Waroq-Maktabah Syamilah)6. Membangunkan “Sahur … Sahur”
Sebenarnya Islam sudah memiliki tatacara sendiri untuk menunjukkan
waktu bolehnya makan dan minum yaitu dengan adzan pertama sebelum adzan
shubuh. Sedangkan adzan kedua ketika adzan shubuh adalah untuk
menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Inilah cara untuk memberitahu
kaum muslimin bahwa masih diperbolehkan makan dan minum dan
memberitahukan berakhirnya waktu sahur. Sehingga tidak tepat jika
membangunkan kaum muslimin dengan meneriakkan “sahur … sahur ….”
baik melalui speaker atau pun datang ke rumah-rumah seperti mengetuk
pintu. Cara membangunkan seperti ini sungguh tidak ada tuntunannya sama
sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak
pernah dilakukan oleh generasi terbaik dari ummat ini. Jadi, hendaklah
yang dilakukan adalah melaksanakan dua kali adzan. Adzan pertama untuk
menunjukkan masih dibolehkannya makan dan minum. Adzan kedua untuk
menunjukkan diharamkannya makan dan minum. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memiliki nasehat yang indah, “Ikutilah
(petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat
bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian.” (Lihat pembahasan at Tashiir di Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 334-336)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ يَهِيدَنَّكُمُ السَّاطِعُ الْمُصْعِدُ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَعْتَرِضَ لَكُمُ الأَحْمَرُ
“Makan dan minumlah. Janganlah kalian menjadi takut oleh pancaran
sinar (putih) yang menjulang. Makan dan minumlah sehingga tampak bagi
kalian warna merah yang melintang.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Khuzaimah. Dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan shahih).
Maka hadits ini menjadi dalil bahwa waktu imsak
(menahan diri dari makan dan minum) adalah sejak terbit fajar shodiq
–yaitu ketika adzan shubuh dikumandangkan- dan bukanlah 10 menit sebelum
adzan shubuh. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Dalam hadits Anas dari Zaid bin Tsabit bahwasanya beliau pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk menunaikan shalat. Kemudian Anas berkata, “Berapa lama jarak antara adzan Shubuh dan sahur kalian?” Kemudian Zaid berkata, “Sekitar 50 ayat.” (HR. Bukhari dan Muslim). Lihatlah berapa lama jarak antara sahur dan
adzan? Apakah satu jam?! Jawabnya: Tidak terlalu lama, bahkan sangat
dekat dengan waktu adzan shubuh yaitu sekitar membaca 50 ayat Al Qur’an
(sekitar 10 atau 15 menit)
Ada beberapa riwayat yang membicarakan do’a ketika berbuka semacam ini. Di antaranya adalah dalam Sunan Abu Daud no. 2357, Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah
no. 481 dan no. 482. Namun hadits-hadits yang membicarakan amalan ini
adalah hadits-hadits yang lemah. Di antara hadits tersebut ada yang
mursal yang dinilai lemah oleh para ulama pakar hadits. Juga ada perowi
yang meriwayatkan hadits tersebut yang dinilai lemah dan pendusta (Lihat
Dho’if Abu Daud no. 2011 dan catatan kaki Al Adzkar yang ditakhrij oleh ‘Ishomuddin Ash Shobaabtiy).
Adapun do’a yang dianjurkan ketika berbuka adalah,
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Dzahabazh zhoma-u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya
Allah (artinya: Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan
pahala telah ditetapkan insya Allah)” (HR. Abu Daud. Dikatakan hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud)
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah tatkala menjelaskan
mengenai dzikir setelah shalat, “Tidak diperbolehkan para jama’ah
membaca dizkir secara berjama’ah. Akan tetapi yang tepat adalah setiap
orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa dikomandai oleh yang lain.
Karena dzikir secara berjama’ah (bersama-sama) adalah sesuatu yang tidak
ada tuntunannya dalam syari’at Islam yang suci ini.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 11/189)
Ulama-ulama Hambali berpendapat bahwa tidak ada ucapan untuk memanggil jama’ah dengan ucapan “Ash Sholaatul Jaami’ah…” Menurut mereka, ini termasuk perkara yang diada-adakan (baca: bid’ah). (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9634, Asy Syamilah)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً
“Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’
447 mengatakan bahwa hadits ini shahih). Jika imam melaksanakan shalat
tarawih ditambah shalat witir, makmum pun seharusnya ikut menyelesaikan
bersama imam. Itulah yang lebih tepat.
Perayaan Nuzulul Qur’an sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga tidak pernah dicontohkan oleh para sahabat. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan,
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya.”
Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang
tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan
semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu
kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ahqof ayat 11)
Syaikh Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz mengatakan, “Seandainya mata uang dianggap sah dalam membayar zakat fithri, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan hal ini. Alasannya, karena tidak boleh bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan penjelasan padahal sedang dibutuhkan. Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar zakat fithri dengan uang, tentu para sahabat –radhiyallahu ‘anhum– akan menukil berita tersebut. Kami juga tidak mengetahui ada seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membayar zakat fithri dengan uang. Padahal para sahabat adalah manusia yang paling mengetahui sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan orang yang paling bersemangat dalam menjalankan sunnahnya.
Seandainya ada di antara mereka yang membayar zakat fithri dengan uang,
tentu hal ini akan dinukil sebagaimana perkataan dan perbuatan mereka
yang berkaitan dengan syari’at lainnya dinukil (sampai pada kita).” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 14/208-211)
Al Lajnah Ad Da’imah, komisi Fatwa di Saudi Arabia mengatakan, “Jika
di negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat (tentang penetapan 1
Syawal), maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di
negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat,
hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri tersebut
wajib mengikuti pendapatnya.” (Fatawa no. 388)
Demikian beberapa kesalahan atau kekeliruan di bulan Ramadhan yang
mesti kita tinggalkan dan mesti kita menasehati saudara kita yang lain
untuk meninggalkannya. Tentu saja nasehat ini dengan lemah lembut dan
penuh hikmah.
Semoga Allah memberi kita petunjuk, ketakwaan, sifat ‘afaf (menjauhkan
diri dari hal yang tidak diperbolehkan) dan memberikan kita kecukupan.
Semoga Allah memperbaiki keadaan setiap orang yang membaca risalah ini.
Wa shallallahu wa salaamu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.
***Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id