Ini juga di antara argumen dari pelaku bid’ah ketika diberitahu mengenai bid’ah yang dilakukan, “Saudaraku, perbuatan seperti ini kan bid’ah.” Lalu dia bergumam, “Masa baca surat Yasin saja dilarang?!” Atau ada pula yang berkata, “Masa baca dzikir saja dilarang?!”
Untuk menyanggah perkataan di atas, perlu sekali kita ketahui mengenai dua macam bid’ah yaitu bid’ah hakikiyah dan idhofiyah.
Bid’ah hakikiyah adalah setiap
bid’ah yang tidak ada dasarnya sama sekali baik dari Al Qur’an, As
Sunnah, ijma’ kaum muslimin, dan bukan pula dari penggalian hukum yang
benar menurut para ulama baik secara global maupun terperinci. (Al I’tishom, 1/219)
Di
antara contoh bid’ah hakikiyah adalah puasa mutih (dilakukan untuk
mencari ilmu sakti), mendekatkan diri pada Allah dengan kerahiban
(hidup membujang seperti para biarawati), dan mengharamkan yang Allah
halalkan dalam rangka beribadah kepada Allah. Ini semua tidak ada
contohnya dalam syari’at.
Bid’ah idhofiyah adalah setiap bid’ah yang memiliki 2 sisi yaitu [1] dari satu sisi memiliki dalil, maka dari sisi ini bukanlah bid’ah dan [2] di sisi lain tidak memiliki dalil maka ini sama dengan bid’ah hakikiyah. (Al I’tishom, 1/219)
Jadi
bid’ah idhofiyah dilihat dari satu sisi adalah perkara yang
disyari’atkan. Namun ditinjau dari sisi lain yaitu dilihat dari enam
aspek adalah bid’ah. Enam aspek tersebut adalah waktu, tempat, tatacara (kaifiyah), sebab, jumlah, dan jenis.
Contohnya
bid’ah idhofiyah adalah dzikir setelah shalat atau di berbagai waktu
secara berjama’ah dengan satu suara. Dzikir adalah suatu yang masyru’
(disyari’atkan), namun pelaksanaannya dengan tatacara semacam ini tidak
disyari’atkan dan termasuk bid’ah yang menyelisihi sunnah.
Contoh
lainnya adalah puasa atau shalat malam hari nishfu Sya’ban (pertengahan
bulan Sya’ban). Begitu pula shalat rogho’ib pada malam Jum’at pertama
dari bulan Rajab. Kedua contoh ini termasuk bid’ah idhofiyah. Shalat
dan puasa adalah ibadah yang disyari’atkan, namun terdapat bid’ah dari
sisi pengkhususan zaman, tempat dan tatacara. Tidak ada dalil dari Al
Kitab dan As Sunnah yang mengkhususkan ketiga hal tadi.
Begitu
juga hal ini dalam acara yasinan dan tahlilan. Bacaan tahlil adalah
bacaan yang disyari’atkan. Bahkan barangsiapa mengucapkan bacaan tahlil
dengan memenuhi konsekuensinya maka dia akan masuk surga. Namun, yang dipermasalahkan adalah pengkhususan waktu, tatacara dan jenisnya.
Perlu kita tanyakan manakah dalil yang mengkhususkan pembacaan tahlil
pada hari ke-3, 7, dan 40 setelah kematian. Juga manakah dalil yang
menunjukkan harus dibaca secara berjama’ah dengan satu suara. Mana pula
dalil yang menunjukkan bahwa yang harus dibaca adalah bacaan laa ilaha illallah,
bukan bacaan tasbih, tahmid atau takbir. Dalam acara yasinan juga
demikian. Kenapa yang dikhususkan hanya surat Yasin, bukan surat Al
Kahfi, As Sajdah atau yang lainnya? Apa memang yang teristimewa dalam
Al Qur’an hanyalah surat Yasin bukan surat lainnya? Lalu apa dalil yang
mengharuskan baca surat Yasin setelah kematian? Perlu diketahui bahwa
kebanyakan dalil yang menyebutkan keutamaan (fadhilah) surat Yasin
adalah dalil-dalil yang lemah bahkan sebagian palsu.
Jadi,
yang kami permasalahkan adalah bukan puasa, shalat, bacaan Al Qur’an
maupun bacaan dzikir yang ada. Akan tetapi, yang kami permasalahkan
adalah pengkhususan waktu, tempat, tatacara, dan lain sebagainya. Manakah dalil yang menunjukkan hal ini?
.
Semoga
sanggahan-sanggahan di atas dapat memuaskan pembaca sekalian. Kami
hanya bermaksud mendatangkan perbaikan selama kami masih
berkesanggupan. Tidak ada yang dapat memberi taufik kepada kita
sekalian kecuali Allah. Semoga kita selalu mendapatkan rahmat dan
taufik-Nya ke jalan yang lurus.
Selesai beberapa sanggahan bagi para pembela ritual-ritual bid’ah. Semoga Allah beri taufik.
______________
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id, dipublish ulang oleh https://rumaysho.com
Sumber : https://rumaysho.com/894-mengenal-bidah-9-membaca-surat-yasin-mengapa-dilarang.html