Oleh
Dr. ‘Abdul-Qayyum as-Suhaibani [1]
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih nan Penyayang. Segala puji bagi
Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi
Muhammad, keluarga dan sahabat beliau.
Dalam sebuah hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« لأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِى يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا ». قِيلَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ
لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لاَ نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لاَ نَعْلَمُ.
قَالَ : « أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ
وَيَأْخُذُونَ مِنَ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ
إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا ».
“Niscaya aku akan melihat beberapa kaum dari umatku datang pada hari
kiamat dengan kebaikan laksana gunung-gunung Tihamah [2] yang putih,
kemudian Allah Azza wa Jalla menjadikannya debu yang beterbangan”.
Ada [3] yang bertanya: “Wahai Rasulullah, jelaskanlah sifat mereka
kepada kami, agar kami tidak menjadi bagian dari mereka sementara kami
tidak tahu,” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Ketahuilah,
mereka adalah saudara kalian, satu bangsa, dan bangun malam sebagaimana
kalian. Tapi jika mereka menyendiri dengan larangan-larangan Allah,
mereka melanggarnya” [4].
Seseorang mungkin menjauh dari dosa dan maksiat saat berada di
hadapan dan dilihat orang lain. Tetapi jika ia menyendiri dan terlepas
dari pandangan manusia, ia pun melepaskan tali kekang nafsunya,
merangkul dosa dan memeluk kemungkaran.
وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ بِذُنُوبِ عِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا
“Dan cukuplah Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Melihat dosa hamba-hamba-Nya”. [al-Isrâ`/17 : 17].
وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
“Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan”. [al-Baqarah /2 : 74].
Bahkan jika ingin berbuat dosa dan ada seorang anak kecil di
hadapannya, ia akan meninggalkan dosa itu. Dengan demikian, rasa malunya
kepada anak kecil lebih besar daripada rasa malunya kepada Allah. Andai
saat itu ia mengingat firman Allah:
أَوَلَا يَعْلَمُونَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا يُسِرُّونَ وَمَا يُعْلِنُونَ
“Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui segala yang mereka
sembunyikan dan segala yang mereka tampakkan?” [al-Baqarah/2 : 77].
أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ سِرَّهُمْ وَنَجْوَاهُمْ وَأَنَّ اللَّهَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ
“Tidakkah mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan bisikan
mereka, dan bahwasanya Allah amat mengetahui segala yang ghaib?”
[at-Taubah/9 : 78]
Sungguh celaka wahai saudaraku! Jika keberanian anda berbuat maksiat
adalah karena anda meyakini bahwa Allah Azza wa Jalla tidak melihat,
maka alangkah besar kekufuran anda. Dan jika anda mengetahui bahwa Allah
mengetahuinya, maka alangkah parah keburukan anda, dan alangkah sedikit
rasa malu anda!
يَسْتَخْفُونَ مِنَ النَّاسِ وَلَا يَسْتَخْفُونَ مِنَ اللَّهِ وَهُوَ
مَعَهُمْ إِذْ يُبَيِّتُونَ مَا لَا يَرْضَىٰ مِنَ الْقَوْلِ ۚ وَكَانَ
اللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطًا
“Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi
dari Allah, padahal Allah mengetahui mereka, ketika pada suatu malam
mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah
Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan”.
[an-Nisâ`/4 : 108].
Di antara hal yang sangat “ajaib” adalah anda mengenal Allah, tetapi
bermaksiat kepada-Nya. Anda mengetahui kadar kemurkaan-Nya, tetapi
justru menjatuhkan diri kepada kemurkaan itu. Anda mengetahui betapa
kejam hukuman-Nya, tetapi anda tidak berusaha menyelamatkan diri. Anda
merasakan sakitnya keresahan akibat maksiat, tetapi tidak pergi
menghindarinya dan mencari ketenangan dengan mentaati-Nya.
Qatadah berpesan: “Wahai anak Adam, demi Allah, ada saksi-saksi yang
tidak diragukan di tubuhmu, maka waspadailah mereka. Takutlah kepada
Allah dalam keadaan tersembunyi maupun nampak, karena sesungguhnya tidak
ada yang tersembunyi dari-Nya. Bagi-Nya, kegelapan adalah cahaya, dan
yang tersembunyi sama saja dengan yang nampak. Sehingga, barang siapa
yang bisa meninggal dalam keadaan husnuzhan (berbaik sangka) kepada
Allah, hendaklah ia melakukannya, dan tidak ada kekuatan kecuali dengan
izin Allah”[5].
وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ وَلَٰكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللَّهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِمَّا تَعْمَلُونَ وَذَٰلِكُمْ ظَنُّكُمُ الَّذِي ظَنَنْتُمْ بِرَبِّكُمْ أَرْدَاكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Kalian sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian
pendengaran, penglihatan dan kulit kalian terhadap kalian, tetapi kalian
mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kalian
kerjakan. Dan yang demikian itu adalah prasangka kalian yang telah
kalian sangka terhadap Rabb kalian, prasangka itu telah membinasakan
kalian, maka jadilah kalian termasuk orang-orang yang merugi”.
[Fushshilat/41 : 22-23].
Ibnul-A’rabi berkata: “Orang yang paling merugi, ialah yang
menunjukkan amal-amal shalihnya kepada manusia dan menunjukkan
keburukannya kepada Allah yang lebih dekat kepadanya dari urat lehernya”
[6].
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa
yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada
urat lehernya”. [Qâf /50:16].
إِذَا مَا خَلَوْتَ الدَّهْرَ يَوْمًا، فَلاَ تَقُلْ خَلَوْتُ وَلَكِنْ قُلْ عَلَيَّ رَقِيْبُ
وَلاَ تَحْسَبَنَّ الله يَغْفُـلُ سَـاعَـةً وَلاَ أَنَّ ماَ تُخْفِيْهِ عَنْهُ يَغِيْـبُ
Saat engkau sedang sendiri jangan katakan aku sendiri,
tetapi katakan ada yang senantiasa mengawasi diri ini.
Dan sedikitpun jangan menyangka bahwa Allah lalai,
atau menyangka Dia tak tahu apa yang tersembunyi.
tetapi katakan ada yang senantiasa mengawasi diri ini.
Dan sedikitpun jangan menyangka bahwa Allah lalai,
atau menyangka Dia tak tahu apa yang tersembunyi.
Sungguh takwa kepada Allah dalam keadaan tidak nampak (fil-ghaib) dan
takut kepada-Nya dalam keadaan tersembunyi merupakan tanda kesempurnaan
iman. Hal ini menjadi sebab diraihnya ampunan, kunci masuk surga. Dan
dengannya, seorang hamba meraih pahala yang agung nan mulia.
إِنَّمَا تُنْذِرُ مَنِ اتَّبَعَ الذِّكْرَ وَخَشِيَ الرَّحْمَٰنَ بِالْغَيْبِ ۖ فَبَشِّرْهُ بِمَغْفِرَةٍ وَأَجْرٍ كَرِيمٍ
“Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang
mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Rabb Yang Maha Pemurah
walaupun dia tidak melihat-Nya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan
ampunan dan pahala yang mulia”. [Yâsîn/36 : 11].
إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka dalam
keadaan tersembunyi akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar”.
[al-Mulk/67 : 12].
وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ
وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ وَلَٰكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللَّهَ
لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِمَّا تَعْمَلُونَ وَذَٰلِكُمْ ظَنُّكُمُ الَّذِي
ظَنَنْتُمْ بِرَبِّكُمْ أَرْدَاكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ مِنَ الْخَاسِرِينَ
وَأُزْلِفَتِ الْجَنَّةُ لِلْمُتَّقِينَ غَيْرَ بَعِيدٍ هَٰذَا مَا
تُوعَدُونَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيظٍ مَنْ خَشِيَ الرَّحْمَٰنَ بِالْغَيْبِ
وَجَاءَ بِقَلْبٍ مُنِيبٍ ادْخُلُوهَا بِسَلَامٍ ۖ ذَٰلِكَ يَوْمُ
الْخُلُودِ لَهُمْ مَا يَشَاءُونَ فِيهَا وَلَدَيْنَا مَزِيدٌ
“Dan didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada
tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepadamu,
(yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi
memelihara (peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada
Rabb Yang Maha Pemurah dalam keadaan tersembunyi dan dia datang dengan
hati yang bertobat. Masukilah surga itu dengan aman, itulah hari
kekekalan. Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan
Kami memiliki tambahannya”.[Qâf/50 : 31-35].
Dan di antara doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:
أَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِى الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ
“Aku memohon rasa takut kepada-Mu dalam keadaan tersembunyi maupun nampak”.[7]
Maknanya, hendaklah seorang hamba takut kepada Allah dalam keadaan
tersembunyi maupun nampak, serta lahir dan batin, karena kebanyakan
orang takut kepada Allah dalam keadaan terlihat saja. Namun yang penting
adalah takut kepada Allah saat tersembunyi dari pandangan manusia, dan
Allah telah memuji orang yang takut kepada-Nya dalam kondisi demikian.
Bakr al-Muzani berdoa untuk saudara-saudaranya: “Semoga Allah
menjadikan kami dan kalian zuhud terhadap hal yang haram, sebagaiman
zuhudnya orang yang bisa melakukan dosa dalam kesendirian, namun ia
mengetahui bahwa Allah melihatnya, maka ia tinggalkan dosa itu” [8].
Sebagian lagi mengatakan: “Orang yang takut bukanlah orang yang
menangis dan ‘memeras’ kedua matanya, tetapi ia adalah orang yang
meninggalkan hal haram yang ia sukai saat ia mampu melakukannya”[9].
إِذَا السِّرُّ وَالإِعْلاَنُ فِي المُؤْمِنِ اسْتَوَى فَقَدْ عَزَّ فِي الدَّارَيْنِ وَاسْتَوْجَبَ الثَّنَا
فَإِنْ خَالَـفَ الإِعْـلاَنُ سِرًّا فَمَا لَهُ عَلَى سَعْيِهِ فَضْلٌ سِوَى الْكَدِّ وَالْعَنَا
Jika tersembunyi dan tampak bagi seorang mukmin tiada beda,
maka ia telah berhasil di dua dunia dan kita pantas memujinya.
Namun jika yang tampak menyelisihi yang rahasia,
maka ia telah berhasil di dua dunia dan kita pantas memujinya.
Namun jika yang tampak menyelisihi yang rahasia,
tiada kelebihan pada amalnya, selain penat dan lelah saja.
Hal-hal yang menjadikan takut (khasy-yah) kepada Allah Azza wa Jalla :
2. Merenungkan kejamnya balasan Allah Subhanahu wa Taala dan
hukuman-Nya. Hal ini menjadikan seorang hamba tidak melanggar
aturan-Nya, sebagaimana dikatakan al-Hasan al-Bashri: “Wahai anak Adam,
kuatkah engkau memerangi Allah? Orang yang bermaksiat berarti telah
memerangi-Nya”. Sebagian lagi mengatakan: “Saya heran dengan si lemah
yang menentang Sang Kuat”.
3. Kewaspadaan yang kuat terhadap pengawasan Allah dan mengetahui
bahwa Allah mengawasi hati dan amalan para hamba, serta mengetahui
mereka di manapun berada. Orang yang sadar bahwa Allah melihat-Nya di
manapun berada, mengetahui dirinya secara lahir dan batin, mengetahui
yang tersembunyi maupun yang nampak, dan ia mengingat hal itu saat
menyendiri, maka ia akan meninggalkan maksiat dalam ketersembunyiannya.
Wahb bin al-Ward berkata: “Takutlah kepada Allah sebesar kekuasaan-Nya
atas dirimu! Malulah kepada-Nya seukuran kedekatan-Nya kepadamu, dan
takutlah kepada-Nya karena Dialah yang paling mudah bisa melihatmu”
[10].
4. Mengingat makna sifat-sifat Allah, antara lain: mendengar, melihat
dan mengetahui. Bagaimana anda bermaksiat kepada yang mendengar,
melihat dan mengetahui keadaan anda? Jika seorang hamba mengingat hal
ini, rasa malunya akan menguat. Ia akan malu jika Allah mendengar atau
melihat pada dirinya sesuatu yang Dia benci, atau mendapati sesuatu yang
Dia murkai tersembunyi pada hatinya. Dengan demikian, perkataan,
gerakan, dan pikirannya akan selalu ditimbang dengan timbangan syariat,
dan tidak dibiarkan dikuasai hawa nafsu dan naluri biologis.
Ibnu Rajab berkata: “Takwa kepada Allah dalam ketersembunyaian adalah
tanda kesempurnaan iman. Hal ini berpengaruh besar pada pujian untuk
pelakunya yang Allah ‘sematkan’ pada hati kaum mukminin”[11].
Sedang Abu ad-Darda’ menasihati: “Hendaklah setiap orang takut
dilaknat oleh hati kaum mukminin, sementara dia tidak merasa. Ia
menyendiri dengan maksiat, maka Allah menimpakan kebencian kepadanya di
hati orang-orang yang beriman”[12].
Sulaiman at-Taimi berkata: “Sungguh seseorang melakukan dosa dalam
ketersembunyiannya, maka iapun terjatuh ke dalam lubang kehinaan”[13].
Ada juga yang mengatakan: “Sungguh, seorang hamba berbuat dosa yang
hanya diketahui dirinya dan Allah saja. Lalu ia mendatangi
saudara-saudaranya, dan mereka melihat bekas dosa itu pada dirinya. Ini
termasuk tanda yang paling jelas akan keberadaan Rabb yang haq, yang
membalas amalan –yang kecil sekalipun- di dunia sebelum akhirat. Tidak
ada amalan yang hilang di sisi-Nya, dan tiada berguna tirai dan penutup
dari kuasa-Nya. Orang berbahagia adalah orang yang memperbaiki
hubungannya dengan Allah. Karena jika demikian, Allah akan memperbaiki
hubungannya dengan orang lain. Dan barang siapa yang mengejar pujian
manusia dengan mengorbankan murka Allah, maka orang yang awalnya memuji
akan berbalik mencelanya”[14].
Di antara hal paling ajaib mengenai hal ini adalah kisah yang
diriwayatkan dari Abu Ja’far as-Saih: “Habib Abu Muhammad adalah seorang
saudagar yang meminjamkan uang dengan bunga. Suatu hari, ia melewati
sekumpulan anak kecil yang sedang bermain. Merekapun berbisik di antara
mereka: ‘Pemakan riba datang,’ Habibpun menundukkan kepalanya dan
berkata: ‘Ya Rabb, Engkau telah sebarkan rahasiaku pada anak-anak
kecil,’ lalu ia pulang dan mengumpulkan seluruh hartanya. Ia berkata:
‘Ya Rabb, aku laksana tawanan. Sungguh aku telah membeli diriku dari-Mu
dengan harta ini, maka bebaskanlah aku’. Esok paginya, ia sedekahkan
seluruh harta itu dan mulai menyibukkan diri dengan ibadah. Suatu hari
ia melewati kumpulan anak kecil. Ketika melihatnya, mereka berseru di
antara mereka: ‘Diamlah! Habib si ahli ibadah datang,’ Habibpun menangis
dan berkata: “Ya Rabb, Engkau sekali mencela, sekali memuji, dan semua
itu dari-Mu’.”[15]
Sufyan ats-Tsauri berpesan: “Jika engkau takut kepada Allah, Dia akan
menjaga dirimu dari manusia. Tetapi jika engkau takut kepada manusia,
mereka tidak akan bisa melindungimu dari Allah”[16].
Ibnu ‘Aun berpisah dengan seseorang, maka ia berwasiat: “Takutlah
kepada Allah, karena orang yang takut kepada-Nya tidak akan merasa
sendiri” [17].Sedangkan Zaid bin Aslam berkata: “Dulu dikatakan: Barang siapa takut kepada Allah, orang akan mencintainya, meskipun mereka (pernah) membencinya”[18].
Marâji` Terjemah:
– Al-Maktabah asy-Syamilah.
– Al-Qamus al-Muhith, Muassasah ar-Risalah, 1424 H.
– Al-Qur`ân dan Terjemahnya, Mujamma’ Mâlik Fahd.
– http://quran.al-islam.com/Targama/
– Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab al-Hanbali, Darul Ma’rifah, 1408 H.
– Mushaf al-Madinah an-Nabawiyyah Digital.
– Syu’abul Iman lil Baihaqi, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1410 H.
– Tafsir Ibnu Katsir, Muassasah ar-Rayyan, 1418 H.
– Taysirul Karimir Rahmân, Abdurrahmân as-Sa’di, Muassasah ar-Risalah, 1426.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Dosen Fakultas Hadits Universitas Islam Madinah. Tulisan ini diterjemahkan oleh Abu Bakr Anas dari leaflet berjudul “al-Muraqabah adz-Dzatiyyah”. Semua catatan kaki dalam tulisan ini dibuat oleh penerjemah.
[2]. Tihamah, ialah nama lain untuk Makkah. Lihat al-Qamus al-Muhith, hlm. 1083.
[3]. Dalam riwayat Ibnu Majah disebutkan bahwa yang bertanya adalah sahabat bernama Tsauban.
[4]. HR Ibnu Majah no. 4245, dishahîhkan Syaikh al-Albâni. Lihat as-Silsilah ash-Shahîhah, no. 505.
[5]. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 3/368.
[6]. Syu’abul-Iman lil-Baihaqi, 5/368 no. 6987
[7]. HR Ahmad, 18351 dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni.
[8]. Lihat Jami’ul-‘Ulum wal-Hikam, 1/162.
[9]. Lihat Mukhtashar Minhajil-Qashidin, 4/63.
[10]. Lihat Jami’ul-‘Ulum wal-Hikam, 1/162.
[11]. Ibid., 1/163.
[12]. Ibid.
[13]. Lihat Jami’ul-‘Ulum wal-Hikam, 1/163.
[14]. Ibid.
[15]. Ibid.
[16]. Diriwayatkan juga dari ‘Aisyah dalam wasiat beliau kepada Mu’awiyyah Radhiyallahu ‘anhu. Lihat Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 8/32.
[17]. Lihat al-Fawaid (Ibnul Qayyim), Bab : Takwa, hlm. 52.
[18]. Ibid.