Bagaimana hukum mengambil buah di pinggir jalan? Jazakumullah khoiran
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Ada 3 hal terkait pemanfaatan harta yang perlu kita bedakan,
Pertama, harta milik pribadi, sehingga pemilik berhak untuk memiliki dan menguasai harta itu.
Misalnya,
anda memiliki mobil, maka anda berhak memiliki dan menguasai mobil itu.
Orang lain tidak diperbolehkan untuk memanfaatkannya kecuali dengan
cara yang diizinkan syariat, misalnya dengan sewa, pinjam, atau akad
lainnya. Memanfaatkan barang ini, atau mennguasainya tanpa seizin anda,
atau tanpa melalui akad yang sah, termasuk tindakan kedzaliman,
Allah berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu.” (QS. an-Nisa: 29)
Kedua,
harta milik pribadi, tapi diizinkan syariat untuk diambil sebagian
manfaatnya jika butuh, meskipun tidak ada izin dari pemiliknya.
Pada
asalnya ini termasuk jenis barang yang pertama. Hanya saja ada restu
dari syariah bagi orang yang butuh untuk memanfaatkannya. Karena ini
sifatnya pengecualian, maka dia terbatas untuk barang yang diizinkan
syariat. barang itu adalah buah yang ada di kebun milik orang lain atau
mengambil susu dari hewan ternak milik orang lain yang sedang
digembalakan.
Bagi anda yang berada di perjalanan, kemudian merasa
lapar atau butuh untuk mengambil buah di kebun, dipersilahkan selama
dimakan di tempat, tidak merusak, dan tidak membawa pulang.
Dalam hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ دَخَلَ حَائِطًا فَلْيَأْكُلْ وَلا يَتَّخِذْ خُبْنَةً
Siapa yang masuk ke kebun milik orang, silahkan makan buahnya, dan jangan dibawa pulang. (HR. Turmudzi 1334 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)
Dalam riwayat lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
إِذَا مَرَّ أَحَدُكُمْ بِحَائِطٍ فَلْيَأْكُلْ وَلا يَتَّخِذْ خُبْنَةً
Apabila kalian melewati kebun, silahkan makan buahnya dan jangan dibawa pulang. (HR. Ibnu Majah 2301 dan dishahihkan al-Albani)
Mengenai susu kambing gembalaan, dinyatakan dalam hadis dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
أَتَى أَحَدُكُمْ حَائِطًا فَأَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ، فَلْيُنَادِ: يَا
صَاحِبَ الْحَائِطِ ثَلَاثًا، فَإِنْ أَجَابَهُ وَإِلَّا فَلْيَأْكُلْ،
وَإِذَا مَرَّ أَحَدُكُمْ بِإِبِلٍ فَأَرَادَ أَنْ يَشْرَبَ مِنْ
أَلْبَانِهَا، فَلْيُنَادِ: يَا صَاحِبَ الْإِبِلِ – أَوْ يَا رَاعِيَ
الْإِبِلِ – فَإِنْ أَجَابَهُ وَإِلَّا فَلْيَشْرَبْ
Apabila
kalian masuk ke kebun orang lain, dan ingin makan buahnya, hendaknya
kalian panggil, “Wahai pemilik kebun…” sebanyak 3 kali. Jika ada respon,
silahkan minta izin. Jika tidak ada respon, silahkan makan.
Dan
apabila kalian melewati onta gembala, dan ingin minum susunya,
hendaknya dia memanggil, “Wahai penggembala…” atau “Wahai pemilik
onta..” jika ada respon, silahkan minta izin. Jika tidak ada, silahkan
minum.
(HR. Ahmad 11045 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)
Dalam riwayat Baihaqi ada tambahan,
“Dan jangan dia membawanya.”
Mengapa mereka diizinkan untuk mengambilnya tanpa seizin pemilik?
Jawabannya,
Ini
seperti tamu. Ketika seseorang bertamu, maka tuan rumah berkewajiban
untuk menjamu tamunya. Jika tuan rumah tidak menjamu, tamunya boleh
minta jamuan itu. Dan itu hak tamu yang menjadi kewajiban tuan rumah
selama 3 hari. Dan menjamu tamu, tidak akan membuat tuan rumah jadi
miskin.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
وَالضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ أَيَّامٍ ، فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهْوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ
Jamuan tamu itu selama 3 hari. Lebih dari itu statusnya sedekah. (HR. Bukhari 5673 & Muslim 48)
Orang
yang memiliki kebun, atau hewan gembalaan, berkewajiban untuk
mengizinkan orang yang lewat atau yang memasuki kebunnya. Dan orang yang
memasuki kebun telah mendapatkan izin syariat untuk memakannya.
Sehingga, sekalipun pemilik tidak ada, dia boleh mengambilnya.
Ketiga, barang milik bersama
Seperti pohon yang ada di tepian jalan, yang itu dimiliki negara.
Pepohonan semacam ini boleh dimiliki dan diambil manfaatnya oleh orang yang lewat, tapi tidak boleh menguasai apalagi memiliki.
Diantara
dalilnya adalah hadis di atas. Dengan menggunakan qiyas aula, bahwa
jika pohon milik individu yang menghasilkan buah bisa dimanfaatkan
buahnya, apalagi milik umum.
Dalam Fatwa Islam ada pertanyaan tentang hukum mengambil buah pohon di pinggir jalan. Jawaban yang diberikan,
لا
حرج في الأكل من الشجر المزروع على جانب الطرقات ؛ لأنه ملك لعامة
المسلمين ، وتركه دون حائط أو حراسة دليل على الإذن وإباحة الأكل منه
Tidak
masalah makan buah dari pohon yang ditanam di pinggir jalan. Karena
pepohonan ini milik kaum muslimin secara umum. Sementara pohon ini tidak
dipagari dan tidak dijaga, menunjukkan bahwa pohon ini diizinkan dan
boleh dimakan. (Fatwa Islam no. 87565)
Demikian, Allahu a’lam
_________________ Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)