Islam Pedoman Hidup: Amar Ma’ruf Nahi Mungkar Menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (2)

Selasa, 12 April 2016

Amar Ma’ruf Nahi Mungkar Menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (2)


AMAR MA’RÛF NAHI MUNKAR MENURUT AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
7. Mengingkari Kemungkaran Yang Terlihat dan Sudah Diketahui Sebagai Kemungkaran
Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran.”
Ini menunjukkan bahwa pengingkaran kemungkaran itu terkait dengan penglihatan. Jika kemungkaran itu tersembunyi dan tidak terlihat, namun seseorang mengetahuinya, maka -dalam sebagian besar riwayat dari Imam Ahmad- orang yang mengetahuinya ini tidak boleh menyelidikinya dan memeriksa sesuatu yang ia ragukan. Di riwayat lain disebutkan dari Imam Ahmad bahwa orang tersebut harus menyingkapnya jika terbukti. Contoh, jika seseorang mendengar suara lagu yang diharamkan atau alat-alat hiburan dan ia mengetahui sumber suara itu, maka ia harus mengingkarinya. Karena kemungkarannya telah terbukti dan ia tahu tempatnya, sehingga sama seperti ia melihat langsung. Itu ditegaskan Imam Ahmad dan beliau berkata, “Jika ia tidak mengetahui tempat kemungkaran, maka tidak terkena kewajiban untuk mengingkari.”
Adapun memanjat tembok untuk mengetahui orang-orang yang berkumpul dalam kemungkaran, maka ini dibenci para imam, seperti Sufyân ats-Tsauri dan lain-lain, karena tindakan tersebut masuk dalam kategori memata-matai yang dilarang. Dikatakan kepada Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu, “Celaka Walid bin ‘Uqbah, jenggotnya meneteskan minuman keras.” Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata, “Allâh melarang kita memata-matai.”[30]
8. Mengingkari Kemungkaran Dengan Hati
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah iman yang paling lemah.”
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللهُ فِـي أُمَّةٍ قَبـْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّوْنَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُوْنَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُوْنَ بِأَمْرِهِ، ثُمَّ إِنَّهَا تَـخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوْفٌ يَقُوْلُوْنَ مَا لَا يَفْعَلُوْنَ ، وَيَفْعَلُوْنَ مَا لَا يُؤْمَرُوْنَ ، فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الْإِيْمَـانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ.
Tidak ada seorang nabi pun yang diutus Allâh pada salah satu umat sebelumku melainkan ia mempunyai pengikut setia dan orang-orang yang mengambil sunnahnya dan mengikuti perintahnya. Kemudian setelah itu, datang generasi-generasi yang mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan. Barangsiapa melawan mereka dengan tangannya, ia orang mukmin. Barangsiapa melawan mereka dengan lisannya, ia orang mukmin. Dan barangsiapa melawan mereka dengan hatinya, ia orang mukmin. Dan di belakang itu tidak ada iman sebesar biji sawi pun.[31]
Ini menunjukkan bahwa amar ma’rûf nahi munkar termasuk bagian dari iman. Sabda beliau tersebut juga menunjukkan bahwa orang yang sanggup mengerjakan salah satu bagian dari iman itu lebih baik daripada orang yang meninggalkannya dan tidak sanggup mengerjakannya.
Mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisan, baik yang hukumnya fardhu ‘ain atau fardhu kifayah adalah sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan. Adapun mengingkari kemungkaran dengan hati adalah fardhu ‘ain yang tidak bisa gugur bagaimana pun keadaannya. Hati yang tidak mengetahui perbuatan ma’rûf dan tidak mengingkari kemungkaran adalah hati yang kosong dan hampa dari iman. Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu mendengar orang berkata, “Binasalah orang yang tidak menyuruh kepada kebaikan dan tidak melarang dari kemungkaran,” kemudian Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata :
هَلَكَ مَنْ لَـمْ يَعْرِفْ قَلْبُهُ الْـمَعْرُوْفَ وَيُنْكِرُ قَلْبُهُ الْـمُنْكَرَ
Binasalah orang yang hatinya tidak mengetahui kebaikan dan tidak mengingkari kemungkaran.[33]
Maksud beliau Radhiyallahu anhu ialah bahwa mengetahui perbuatan ma’rûf dan kemungkaran dengan hati itu adalah kewajiban yang tidak gugur dari siapa pun. Adapun dengan tangan dan lisan sesuai dengan kemampuan. Dan ridha terhadap kemungkaran adalah dosa dan kesalahan yang paling jelek. Tanggung jawab seorang hamba tidak hilang dengan mengingkari kemungkaran dengan hati sampai ia benar-benar tidak mampu mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisan dengan sebab bahaya yang mengancam badan atau harta serta ia tidak mempunyai kemampuan menanggung bahaya tersebut.
Faedah mengingkari kemungkaran dengan hati itu sangat sedikit, sedangkan faedah mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisan itu sangat banyak.[34]
9. Mengingkari Kemungkaran yang Telah Disepakati Sebagai Kemungkaran
Kemungkaran yang wajib kita hilangkan ialah kemungkaran yang telah disepakati kaum muslimin sebagai kemungkaran seperti syirik, menyekutukan Allâh Azza wa Jalla , menyembah kubur, berdo’a dan meminta kepada selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala , sihir, datang ke dukun ramal, mengada-ada perkara yang baru dalam agama yang tidak ada contoh dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , atau bid’ah, riba, zina, minum khamr (minuman keras), tabarruj (bersolek bagi wanita untuk selain mahramnya), meninggalkan shalat dan yang sepertinya.
Adapun perkara-perkara yang masih diperselisihkan di antara ulama tentang hukum haram atau wajibnya, maka perlu ada perincian. Jika perselisihan dalam permasalahan itu lemah dan hujjah para ulama yang mengharamkannya kuat, maka orang yang melakukan perbuatan yang diperselisihkan hukumnya ini boleh diingkari. Namun jika perselisihan pendapat dalam masalah itu tajam, susah untuk memilih pendapat yang kuat dan tarjih hanya mampu dilakukan oleh para ulama yang berkompeten (mumpuni), maka orang yang melakukan perbuatan seperti ini -wallâhu a’lam- tidak boleh diingkari.[35]
Berkaitan dengan masalah kemungkaran yang jelas menyalahi nash dan bukan masalah ijtihâdiyah maka hal ini harus diingkari. Sebab betapa banyak bid’ah, syirik, maksiat dan kemungkaran yang dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin dianggap masalah khilâfiyah dan ijtihâdiyah, padahal perbuatan tersebut adalah syirik, bid’ah dan menyimpang.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Orang yang menyalahi dan menyelisihi al-Qur’ân dan Sunnah yang masyhur atau menyalahi kesepakatan generasi Salaf maka tidak diterima udzur (alasan)nya, maka diberlakukan muamalah terhadapnya seperti muamalah terhadap ahlul bid’ah yaitu wajib mengingkari mereka.”[36]
10. Kaidah-Kaidah Amar Ma’rûf Nahi Munkar
a. Syari’at adalah pokok dalam menetapkan amar ma’rûf nahi munkar
Sesungguhnya yang menjadi timbangan dan tolok ukur dalam menentukan sesuatu itu ma’rûf atau munkar adalah Kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang menjadi kesepakatan Salafush Shalih, dan bukan perkara-perkara yang menyelisihi syari’at namun dianggap baik oleh manusia.
Memiliki ilmu dan bashirah tentang hakikat amar ma’rûf nahi munkar
Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullah berkata kepada para da’i yang mengajak manusia ke jalan Allâh dan pelaku amar ma’rûf nahi munkar, “Hendaklah engkau berada di atas bayyinah dalam dakwahmu, maksudnya berada di atas ilmu. Jangan engkau menjadi orang yang tidak tahu terhadap apa yang engkau dakwahkan :
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku ! Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allâh dengan bashirah (ilmu)…” [Yûsuf/12:108]
Maka harus ada ilmu, karena ilmu adalah wajib. Karena itu jauhilah olehmu berdakwah di atas kebodohan, jauhilah olehmu berbicara tanpa ilmu, karena orang yang tidak tahu itu hanya bisa menghancurkan dan tidak bisa membangun serta hanya bisa merusak dan tidak bisa memperbaiki.
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya bekal pertama yang harus dimiliki oleh para da’i yang mengajak ke (jalan) Allâh Azza wa Jalla ialah hendaklah ia berada di atas ilmu dari Kitabullah dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Adapun dakwah tanpa ilmu maka itu adalah dakwah di atas kebodohan, sedang dakwah di atas kebodohan maka lebih besar bahayanya daripada manfaatnya, karena seorang da’i telah menempatkan dirinya sebagai seorang pembimbing dan pendidik; apabila ia bodoh maka ia menjadi orang yang sesat dan menyesatkan. Wal’iyâdzu billâh.”[37]
b. Mendahulukan yang paling penting sebelum yang penting
Sesungguhnya memulai dengan perkara yang paling penting kemudian yang penting merupakan kaidah yang harus ada dalam melaksanakan kewajiban amar ma’rûf nahi munkar. Yaitu hendaklah pelaku amar ma’rûf nahi munkar memulai dengan memperbaiki yang ushûl (pokok-pokok) ‘aqidah. Jadi, pertama kali ia menyuruh untuk mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla semata dan melarang perbuatan syirik, bid’ah, dan khurafat; Kemudian ia menyuruh untuk mendirikan shalat, mengeluarkan zakat; kemudian menyuruh untuk melakukan kewajiban-kewajiban lainnya dan meninggalkan perbuatan-perbuatan haram, kemudian menyuruh untuk melaksanakan sunnah-sunnah dan meninggalkan perkara-perkara yang dimakruhkan.
c. Memikirkan dan menimbang antara maslahat dan mafsadat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata menjelaskan kaidah ini, “Amar ma’rûf tidak boleh menghilangkan kema’rufan lebih banyak, atau mendatangkan kemungkaran yang lebih besar. Nahi munkar tidak boleh mendatangkan kemungkaran yang lebih besar atau menghilangkan kema’rufan yang lebih kuat daripadanya.”[38]
Syari’at Islam dibangun di atas kaidah mendatangkan maslahat (kebaikan) dan menyempurnakannya serta mencegah mafsadat (kerusakan) dan menghilangkan atau meminimalisirnya. Oleh karena itu, diantara kaidah penting dalam amar ma’rûf nahi munkar ialah memperkirakan maslahat sehingga disyaratkan dalam amar ma’rûf nahi munkar agar tidak menimbulkan mafsadat yang lebih besar dari kemungkaran atau yang sepertinya. Apabila mengingkari kemungkaran menimbulkan kemungkaran yang lebih besar maka kewajiban mengingkari kemungkaran itu menjadi gugur bahkan tidak boleh dilakukan.
11. Memperhatikan Sikap Hikmah dalam Mengingkari Kemungkaran dan Menyuruh kepada Perbuatan Ma’ruf
Allâh Ta’ala berfirman :
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah (berdebatlah) mereka dengan cara yang baik…” [an-Nahl/16:125]
Di antara bentuk hikmah ialah memperhatikan keadaan orang yang akan kita perintah dan kita larang. Maka di satu kesempatan harus dengan lemah lembut dan bersikap halus sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
اذْهَبَا إِلَىٰ فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَىٰ﴿٤٣﴾فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” [Thâhâ/20:43-44]
Dan pada kesempatan lainnya digunakan sikap tegas dan keras. Allâh Azza wa Jalla
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ
Wahai Nabi! Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka…” [at-Taubah/9:73]
Oleh karena itu, orang yang mengemban tugas ini wajib memiliki sifat-sifat tertentu. Imam Sufyân ats-Tsauri rahimahullah mengatakan, “Tidak boleh melakukan amar ma’rûf dan nahi munkar kecuali orang yang memiliki tiga sifat: (1) lemah-lembut dalam menyuruh dan melarang, (2) adil dalam menyuruh dan melarang, dan (3) mengetahui sesuatu yang ia perintahkan dan yang ia larang.”[39]
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Semua manusia butuh sikap lemah lembut dalam amar ma’rûf bukan sikap keras kecuali terhadap orang yang memperlihatkan kefasikan, maka sikap keras tidak diharamkan terhadapnya.”
Beliau rahimahullah juga berkata, “Jika sahabat-sahabat Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu berjalan melewati suatu kaum yang mereka lihat melakukan sesuatu yang mereka benci, mereka mengatakan, “Pelan-pelanlah kalian, semoga Allâh merahmati kalian. Pelan-pelanlah kalian, semoga Allâh merahmati kalian.”[40]
12. Pelaku Amar Ma’rûf Nahi Munkar Hendaklah Menjadi Teladan Bagi Orang Lain
Menjadi contoh teladan yang baik bagi orang lain merupakan sifat dan perilaku yang harus ada pada diri da’i dan pelaku amar ma’rûf nahi munkar. Karena pengaruh mencontoh dan taklid kepadanya mempunyai nilai yang besar dalam jiwa orang yang diseru dan diajak. Oleh karena itulah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan yang baik dan panutan yang shalih sehingga manusia mengikuti beliau dalam perkataan dan perbuatannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” [al-Ahzâb/33:21]
Apabila perbuatan pelaku amar ma’rûf nahi munkar menyalahi perkataannya maka bahayanya tidak hanya mengancam dirinya sendiri bahkan biasanya mengancam orang lain karena ia menjadi teladan yang buruk bagi masyarakatnya.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Mengapa kamu menyuruh orang lain mengerjakan kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti? [al-Baqarah/2:44]
Jangan sampai kita menjadi seperti orang yang diceritakan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :
يُـجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِـي النَّارِ فَيَدُوْرُ كَمَـا يَدُوْرُ الْـحِمَـارُ بِرَحَاهُ ، فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُوْلُوْنَ : يَا فُلَانُ مَا شَأْنُكَ، أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُ بِالْـمَعْرُوْفِ وَتَنْهَانَا عَنِ الْـمُنْكَرِ ؟ قَالَ : كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْـمَعْرُوْفِ وَلَا آتِيْهِ ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْـمُنْـكَرِ وَآتِيْهِ.
Seseorang didatangkan pada hari Kiamat, lalu dilemparkan ke Neraka sehingga usus-ususnya keluar di dalam Neraka, lalu dia berputar-putar seperti berputarnya keledai di batu gilingannya. Penghuni Neraka berkumpul mengelilinginya dan mereka berkata, ‘Wahai fulan! Ada apa denganmu? Bukankah dulu engkau menyuruh kami melakukan kebaikan dan melarang kami dari kemungkaran?’ Dia menjawab, ‘Dulu aku menyuruh kalian melakukan kebaikan namun aku sendiri tidak melakukannya, dan dulu aku melarang kalian dari kemungkaran namun aku sendiri melakukannya.[42]
13. Bahaya Meninggalkan Amar Ma’rûf Nahi Munkar
Apabila kaum muslimin, baik penguasa, Ulama, maupun rakyat, meremehkan dan meninggalkan tugas amar ma’rûf nahi munkar, maka kehinaan dan perbuatan keji akan tersebar dan orang-orang yang fasik akan menguasai orang-orang yang shalih. Sehingga kebenaran dianggap kebatilan dan kebatilan dianggap kebenaran. Ini menyebabkan umat Islam akan mendapatkan malapetaka, di antaranya :[43]
Dijauhkan dari rahmat Allâh sebagaimana Ahlul Kitâb ketika mereka meninggalkan tugas penting ini. Allâh Azza wa Jalla berfirman,
لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَىٰ لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ﴿٧٨﴾كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melalui lisan (ucapan) Dâwud dan ‘Isa putera Maryam. Yang demikian itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka tidak saling mencegah dari perbuatan mungkar yang selalu mereka perbuat. Sungguh, amat buruk apa yang mereka perbuat.” [al-Mâidah/5:78-79]
1. Akan mendapat kebinasaan di dunia. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُوْدِ اللهِ وَالْوَاقِعِ فِيْهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اِسْتَهَمُوْا عَلَى سَفِيْنَةٍ ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا ، فَكَانَ الَّذِيْنَ فِـيْ أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْـمَـاءِ مَرُّوْا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ ، فَقَالُوْا : لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِـيْ نَصِيْبِنَا خَرْقًا وَلَـمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا ، فَإِنْ يَتْرُكُوْهُمْ وَمَا أَرَادُوْا هَلَكُوْا جَمِيْعًا ، وَإِنْ أَخَذُوْا عَلَى أَيْدِيْهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيْعًا.
Perumpamaan orang-orang yang tegak di atas batas-batas Allâh (melaksanakan hukum-hukum Allah) dan orang-orang yang jatuh (melanggar) batas-batas Allâh seperti satu kaum yang berundi (mengundi pembagian tempat) di atas perahu. Sebagian mendapat tempat di atas dan sebagian di bawah. Adapun orang-orang yang berada di bawah apabila mereka ingin mengambil air mereka mesti melewati orang-orang yang berada di atas, dan mereka mengatakan, ‘Seandainya kita lobangi perahu ini, kita tidak akan mengganggu orang yang berada di atas kita.’ Seandainya orang-orang yang berada di atas membiarkan orang-orang yang berada di bawah melobangi perahu, maka akan binasalah semuanya. Dan seandainya mereka memegang tangan (melarang) orang-orang yang berada di bawah melakukan hal itu, maka selamatlah yang berada di atas dan di bawah semuanya.[44]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوُا الظَّالِـمَ فَلَمْ يَأْخُذُوْا عَلَى يَدَيْهِ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابٍ مِنْهُ.
Sungguh, apabila manusia melihat pelaku kezhaliman (kemungkaran), tetapi tidak menghentikan (mengubahnya) dengan tangannya, hampir saja Allâh meratakan adzab kepada mereka.[45]
2. Tidak dikabulkannya do’a. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْـمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْـمُنْكَرِ أَوْ لَيُوْشِكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ، ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ.
Demi Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya. Hendaklah kalian menyuruh berbuat kebaikan dan mencegah dari kemungkaran, atau kalau tidak, hampir saja Allâh menurunkan adzab-Nya kepada kalian, kemudian kalian berdo’a kepada-Nya, namun do’a kalian tidak dikabulkan.[46]
Jika seorang hamba terjatuh dalam kemungkaran maka ia telah menjerumuskan dirinya sendiri untuk mendapatkan hukuman dari Allâh Azza wa Jalla dan kemurkaan-Nya, karena itu, wajib atas seorang muslim menyelamatkan saudaranya dari hukuman dan kemurkaan Allâh yaitu dengan melarangnya dari kemungkaran yang dilakukannya. Dan ini adalah bentuk kasih sayang kepadanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اَلرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ ، اِرْحَمُوْا مَنْ فِـي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِـي السَّمَـاءِ…
Orang-orang yang menyayangi orang lain, mereka disayangi oleh (Allâh) Yang Maha Penyayang. Maka sayangilah orang yang berada di bumi niscaya kalian disayangi oleh (Allâh) yang berada di langit…[47]
Karena Allâh-lah yang berhak ditaati, tidak boleh dimaksiati, wajib diingat tidak boleh dilupakan, wajib disyukuri tidak boleh diingkari, dan dibela dengan jiwa dan harta dari pelanggaran-pelanggaran yang Dia haramkan. Barangsiapa memperhatikan tingkatan tersebut dan tingkatan sebelumnya, maka gangguan apa saja yang ia temui di jalan Allâh menjadi kecil tidak bermakna dan tidak tertutup kemungkinan ia malah berdoa untuk orang yang mengganggunya, seperti disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang nabi yang dipukuli kaumnya kemudian ia mengusap darah dari wajahnya sambil berkata, “Rabb-ku, ampunilah kaumku, karena mereka tidak tahu.”[48]
FAWAA-ID HADITS
1. Hadits ini menunjukkan bahwa amar ma’rûf nahi munkar termasuk bagian dari iman. karena itulah Imam Muslim mengeluarkan hadits ini dalam Kitâbul Iimân, bab: Penjelasan bahwa Amar ma’rûf Nahi Munkar termasuk Iman.
2. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan mandat kepada seluruh umatnya untuk mengingkari kemungkaran, berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran…”
3. Tidak boleh mengingkari suatu perbuatan hingga yakin bahwa perbuatan itu mungkar. Ini ditinjau dari dua sisi; pertama, yakin bahwa itu kemungkaran, dan kedua, yakin bahwa itu mungkar bagi diri pelakunya. Sebab terkadang ada sesuatu yang memang mungkar pada dzatnya tetapi tidak disebut kemungkaran bagi pelakunya. Contohnya makan dan minum di siang hari bulan Ramadhan. Hukum asalnya adalah mungkar, tetapi terkadang tidak menjadi mungkar bagi pelakunya misalnya ia makan karena sakit yang menyebabkan dia boleh buka, atau ia sebagai musafir, atau ia sedang haid atau nifas.
4. Tangan adalah alat untuk mencegah kemungkaran karena biasanya tanganlah yang digunakan untuk mengerjakan sesuatu.
5. Seseorang yang tidak mampu mengubah kemungkaran dengan tangan dan lisannya maka ia wajib mengubahnya dengan hatinya yaitu dengan membencinya dan bertekad jika suatu mampu mengubahnya dengan tangan atau lisannya maka ia akan melakukannya.
6. Tidak ada kesusahan dalam agama. Maksudnya kewajiban dalam agama itu dilaksanakan dengan syarat mampu.
7. Mengingkari kemungkaran dengan tangan tidak boleh dilakukan oleh setiap orang pada setiap kemungkaran, karena berpotensi menimbulkan banyak kerusakan dan bahaya.
8. Mengingkari kemungkaran dilakukan dengan tangan, lisan, dan hati. Dan mengingkari kemungkaran dengan hati konsekuensinya adalah meninggalkan tempat kemungkaran.
9. Iman adalah amal dan niat. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tingkatan ini termasuk iman. Mengingkari dengan tangan dan lisan adalah amal, sedang hati adalah niat dan ia termasuk perbuatan hati.
10. Orang yang khawatir bahaya menimpa diri, harta atau keluarganya, kewajibannya mengingkari kemungkaran dengan tangan dan lisannya menjadi gugur.
11. Mengingkari kemungkaran mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Islam bahkan dapat menyamai ganjaran generasi pertama, bila terpenuhi syarat dan ketentuannya.
12. Mengingkari kemungkaran dengan lisan sama dengan dakwah di jalan Allâh, dilakukan dengan perkataan yang hak, lemah lembut, memberikan nasihat dan pelajaran yang baik.
13. Kemungkaran dan maksiat di muka bumi sangat banyak, karena itu wajib bagi setiap da’i atau ustadz untk mencegahnya.
14. Orang yang tidak mengingkari kemungkaran dengan hatinya, maka ia akan binasa. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhuma
15. Bahaya meninggalkan amar ma’rûf nahi munkar sangat besar, di antaranya ialah dijauhkan dari rahmat Allâh, mendapatkan hukuman, tidak dikabulkannya do’a, dan lain-lain.[49]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[31]. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (no. 18945), Abu Dawud (no. 4890), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir (no. 9741), dan al-Baihaqi (VIII/334) dengan sanad yang shahih.
[31]. Shahih: HR. Muslim (no. 50 (80)) dan Ahmad (I/458), Abu ‘Awanah (I/35-36), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir (no. 9784), dan Ibnu Mandah dalam Kitaabul Iimaan (no. 184) dari Shahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu.
[32]. Lihat Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam (II/253).
[33]. Atsar shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir (IX/no. 8564) dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 38577). Imam al-Haitsami berkata dalam Majma’uz Zawaa-id (VII/275), “Rawi-rawinya adalah rawi-rawi kitab ash-Shahiih.”
[34]. Lihat Qawaa’id wa Fawaa-id (hlm. 289).
[35]. Lihat Qawâ’id wa Fawâ’id (hlm. 290-291).
[36]. Lihat Majmû’ Fatâwâ (20/214; 24/172).
[37]. Zâdud Dâ’iyah (hlm. 7-8) dengan diringkas.
[38]. Al-Amru bil Ma’rûf wan Nahyu ‘anil Munkar (hlm. 48) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[39]. Lihat Qawâ’id wa Fawâ’id (292-293).
[40]. Jâmi’ul ‘ulûm wal hikam (II/256).
[41]. Lihat Haqîqatul Amri bil Ma’rûf (hlm. 81-82) dengan diringkas.
[42]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 3267) dan Muslim (no. 2989).
[43]. Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id (hlm. 294).
[44]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 2493, 2686), at-Tirmidzi (no. 2173), Ahmad (4/268, 269, 270), al-Baihaqi (10/91) dan al-Baghawi (no. 4151), dari Shahabat an-Nu’mân bin Basyir Radhiyallahu anhu.
[45]. Shahih: HR. Abu Dâwud (no. 4338), at-Tirmidzi (no. 2168, 3057), Ibnu Mâjah (no. 4005), dan selainnya dari Shahabat Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu. Dishahihkan oleh Syaikh Albâni dalam Silsilatul Ahâdîtsis Shahîhah (no. 1564).
[46]. Hasan: HR. Ahmad (V/388-389) dan at-Tirmidzi (no. 2169), dari Hudzaifah Ibnul Yaman z . Dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Hidâyatur Ruwât ‘ala Takhrîjil Ahâdîts Mashâbîh wal Misykât (no. 5068).
[47]. Shahih: HR. Ahmad (II/160), Abu Dâwud (no. 4941), at-Tirmidzi (no. 1924), al-Hâkim (IV/159), dan selainnya dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu.
[48]. Shahih: HR. al-Bukhâri (no. 3477), dan selainnya dari Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu
[49]. Untuk lebih lengkapnya, silakan lihat Buku ‘Amar Ma’rûf Nahi Munkar’ karya Yazid bin Abdul Qadîr Jawas, cet. II, Pustaka At-Taqwa, th. 2009 M.


Sumber: https://almanhaj.or.id/3578-amar-maruf-nahi-mungkar-menurut-ahlus-sunnah-wal-jamaah-2.html