Di dalam kitab beliau Shifat
Shalatin Nabi, Asy-Syaikh Al-Albani pernah menukilkan kisah sekumpulan pemuda
Jepang yang ingin masuk Islam. Mendengar keinginan para pemuda ini, berbagai
perkumpulan Islam pun menyodorkan mazhab-mazhab yang mereka anut. Sekelompok
muslim dari India mengatakan kepadanya, “Bermazhablah dengan mazhab Imam Abu
Hanifah, karena dia adalah pelita umat ini.” Sebaliknya sekelompok muslimin
dari Jawa-Indonesia mengatakan, “Wajib baginya untuk menjadi seorang Syafi’i.”
Ketika orang-orang Jepang itu
mendengar perselisihan ini, mereka pun menjadi bingung dan tidak paham apa yang
mereka maksud. Maka lihatlah betapa permasalahan mazhab ini bisa menjadi
penghalang seseorang untuk masuk ke dalam Islam.
Berseberangan dengan dua kelompok
fanatik dalam kisah di atas, para imam mazhab tidaklah menganjurkan
murid-muridnya dan segenap kaum muslimin untuk taqlid buta kepada
mereka. Bahkan mereka berpesan agar umat ini kembali kepada Kitabullah dan
Sunnah Rasul-Nya yang shahih.
Masih di dalam muqaddimah Kitab
Shifat Shalat Nabi, Asy-Syaikh Al-Albani pun menukilkan ucapan-ucapan para Imam
Mazhab yang empat yang seolah-olah berkata dengan satu suara, “Jangan
fanatik kepada kami, ikutilah sunnah, tinggalkan ucapan kami bila bertentangan
dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam …”
Imam Abu Hanifah (Imam Mazhab Hanafi)
Beliau adalah Abu Hanifah Nu’man bin
Tsabit yang dilahirkan pada tahun 80 Hijriyah. Beliau berkata,
1.
“Apabila hadits itu shahih, maka hadits itu
adalah madzhabku.” (Ibnu Abidin di dalam Al- Hasyiyah 1/63)
2.
“Tidak dihalalkan bagi seseorang untuk
berpegang pada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami
mengambilnya.” (Ibnu Abdil Barr dalam Al-Intiqa’u fi Fadha ‘ilits
Tsalatsatil A’immatil Fuqaha’i, hal. 145) Dalam riwayat yang lain dikatakan, “Adalah
haram bagi orang yang tidak mengetahui alasanku untuk memberikan fatwa dengan
perkataanku.” Di dalam sebuah riwayat ditambahkan, “Sesungguhnya
kami adalah manusia yang mengatakan perkataan pada hari ini dan meralatnya di
esok hari.”
3.
“Jika aku mengatakan suatu perkataan yang
bertentangan dengan kitab Allah ta’ala dan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, maka tinggalkanlah perkataanku.” (Al-Fulani di dalam Al-
lqazh, hal. 50)
Imam Malik (Imam Mazhab Maliki)
Beliau adalah Malik bin Anas, dilahirkan
di Kota Madinah pada tahun 93 Hijriyah. Beliau berkata,
1.
“Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang
manusia yang kadang salah dan kadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku.
Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka ambillah. Dan setiap
yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah.”
(Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)
2.
“Tidak ada seorang pun setelah Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam, kecuali dari perkataannya itu ada yang diambil
dan yang ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.”
(Ibnu Abdil Hadi di dalam Irsyadus Salik, 1/227)
3.
Ibnu Wahab berkata, “Aku mendengar bahwa Malik ditanya
tentang hukum menyela-nyelan jari di dalam berwudhu, lalu dia berkata, ‘Tidak
ada hal itu pada manusia’. Maka aku meninggalkannya hingga manusia berkurang,
kemudian aku berkata kepadanya, ‘Kami mempunyai sebuah sunnah di dalam hal
itu’. Maka Imam Malik berkata, ‘Apakah itu?’ Aku berkata, ‘Al Laits bin Saad
dan Ibnu Lahi’ah dan Amr bin Al-Harits dari Yazid bin Amr Al ¬Ma’afiri dari Abi
Abdirrahman Al-Habli dari Al Mustaurid bin Syidad Al-Qirasyi telah memberikan
hadist kepada kami, ia berkata, ”Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam menggosok antara jari-jemari beliau dengan kelingkingnya.” Maka Imam
Malik berkata, ‘Sesungguhnya hadist ini adalah hasan, aku mendengarnya baru kali ini.’
Kemudian aku mendengar beliau ditanya lagi tentang hal ini, lalu beliau (Imam
Malik) pun memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jari.” (Mukaddimah Al-Jarhu
wat Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 32-33)
Imam Asy-Syafi’i (Imam Mazhab Syafi’i)
Beliau adalah Muhammad bin idris
Asy-Syafi’i, dilahirkan di Ghazzah pada tahun 150 H. Beliau rahimahullah
berkata,
1.
“Tidak ada seorang pun, kecuali akan luput
darinya satu Sunnah Rasulullah. Seringkali aku ucapkan satu ucapan dan
merumuskan sebuah kaidah namun mungkin bertentangan dengan Sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam itulah pendapatku” (Tarikhu Damsyiq karya Ibnu Asakir,15/1/3)
2.
“Kaum muslimin telah sepakat bahwa barang
siapa yang telah terang baginya Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya, hanya karena mengikuti
perkataan seseorang.”
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)
(Ibnul Qayyim, 2/361, dan Al-Fulani, hal.68)
3.
”Jika kalian mendapatkan di dalam kitabku apa
yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
berkatalah dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan
tinggalkanlah apa yang aku katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul
Kalam,3/47/1)
4.
”Apabila telah shahih sebuah hadist, maka dia
adalah madzhabku. ” (An-Nawawi di dalam AI-Majmu’, Asy-Sya’rani,10/57)
5.
“Kamu (Imam Ahmad) lebih tahu daripadaku
tentang hadist dan para periwayatnya. Apabila hadist itu shahih, maka ajarkanlah
ia kepadaku apapun ia adanya, baik ia dari Kufah, Bashrah maupun dari Syam,
sehingga apabila ia shahih, aku akan bermadzhab dengannya.” (Al-Khathib
di dalam Al-Ihtijaj bisy-Syafi’I, 8/1)
6.
“Setiap masalah yang jika di dalamnya
terdapat hadits shahih dari Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam menurut para
pakar hadits, namun bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku rujuk di
dalam hidupku dan setelah aku mati.” (Al-Hilyah 9/107, Al-Harawi, 47/1)
7.
”Apabila kamu melihat aku mengatakan suatu perkataan,
sedangkan hadist Nabi yang bertentangan dengannya adalah hadits yang shahih,
maka ketahuilah, bahwa pendapatku tidaklah berguna.” (Al-Mutaqa, 234/1
karya Abu Hafash Al-Mu’addab)
8.
“Setiap apa yang aku katakan, sedangkan dari
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam terdapat hadist shahih yang
bertentangan dengan perkataanku, maka hadits nabi adalah lebih utama. Olah
karena itu, janganlah kamu taklid mengikutiku.” (Ibnu Asakir, 15/9/2)
9.
“Setiap hadits yang shahih dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam maka hal itu adalah pendapatku walaupun kalian
belum mendengarnya dariku” (Ibnu Abi Hatim, 93-94)
Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hambali)
Beliau Adalah Abu Abdillah Ahmad bin
Muhammad bin Hanbal yang dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah di Baghdad, Irak.
Beliau berkata,
1.
“Janganlah engkau taqlid kepadaku dan jangan
pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari
mana mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam
Al-I’lam, 2/302)
2.
“Pendapat Auza’i, pendapat Malik, dan
pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, dan ia bagiku adalah sama,
sedangkan hujjah itu hanyalah terdapat di dalam atsar-atsar (hadits-hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam-wr1)” (Ibnul Abdil Barr di
dalam Al-Jami`, 2/149)
4.
“Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sesungguhnya ia telah berada di tepi jurang
kehancuran. ” (Ibnul Jauzi, 182).
Demikianlah ucapan para Imam Mazhab.
Masihkah Anda taqlid buta kepada mereka, atau taqlid
kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?
(Sumber: Muqaddimah Shifat Shalatin
Nabi, Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah)