Tulisan Rumaysho kali ini ingin mengkritik Ustadz Rahmat Baequni–semoga Allah memberi taufik pada beliau–yang pernyataan-pernyataannya kontroversi saat berdialog dengan Gubernur Jabar Bapak Ridwan Kamil– semoga Allah senantiasa menjaga beliau dalam kebaikan–. Bisa lihat video lengkapnya di sini,
di mana dialog yang ada ingin meluruskan desain masjid yang dirancang
oleh Bapak Ridwan Kamil yaitu Masjid Al-Safar yang berada di rest area
KM 88 B Tol Cipularang, Bandung, Jawa Barat.
Bagaimana hukum masjid dengan simbol segitiga di mihrab
yang diklaim sebagai simbol illuminati dan Dajjal. Jawabannya moga
ditemukan dalam tulisan ini.
Sudah Kenal Dajjal?
Terlebih dahulu kita lihat siapakah Dajjal dan bagaimana
ciri-cirinya. Karena sebagian orang menyatakan bahwa segitiga dengan di
tengahnya terdapat mata sebagai simbol dari Dajjal.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«
بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ أَطُوفُ بِالْكَعْبَةِ ، فَإِذَا رَجُلٌ آدَمُ
سَبْطُ الشَّعَرِ يَنْطُفُ – أَوْ يُهَرَاقُ – رَأْسُهُ مَاءً قُلْتُ مَنْ
هَذَا قَالُوا ابْنُ مَرْيَمَ . ثُمَّ ذَهَبْتُ أَلْتَفِتُ ، فَإِذَا
رَجُلٌ جَسِيمٌ أَحْمَرُ جَعْدُ الرَّأْسِ أَعْوَرُ الْعَيْنِ ، كَأَنَّ
عَيْنَهُ عِنَبَةٌ طَافِيَةٌ قَالُوا هَذَا الدَّجَّالُ . أَقْرَبُ
النَّاسِ بِهِ شَبَهًا ابْنُ قَطَنٍ » . رَجُلٌ مِنْ خُزَاعَةَ
“Ketika aku tidur, aku bermimpi thawaf di ka’bah, tak tahunya ada seseorang yang rambutnya lurus, kepalanya meneteskan atau mengalirkan air. Maka saya bertanya, ‘Siapakah ini? ‘ Mereka mengatakan, ‘Ini Isa bin Maryam’. Kemudian aku menoleh, tak tahunya ada seseorang yang berbadan besar, warnanya kemerah-merahan, rambutnya keriting, matanya buta sebelah kanan, seolah-olah matanya anggur yang menjorok. Mereka menjelaskan, ‘Sedang ini adalah Dajjal. Manusia yang paling mirip dengannya adalah Ibnu Qaththan, laki-laki dari bani Khuza’ah.’” (HR. Bukhari, no. 7128 dan Muslim, no. 171)
Dari ‘Ubadah bin Ash Shaamit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنِّى
قَدْ حَدَّثْتُكُمْ عَنِ الدَّجَّالِ حَتَّى خَشِيتُ أَنْ لاَ تَعْقِلُوا
إِنَّ مَسِيحَ الدَّجَّالِ رَجُلٌ قَصِيرٌ أَفْحَجُ جَعْدٌ أَعْوَرُ
مَطْمُوسُ الْعَيْنِ لَيْسَ بِنَاتِئَةٍ وَلاَ جَحْرَاءَ فَإِنْ أُلْبِسَ
عَلَيْكُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّ رَبَّكُمْ لَيْسَ بِأَعْوَرَ
“Sungguh, aku telah menceritakan perihal Dajjal kepada kalian, hingga aku kawatir kalian tidak lagi mampu memahaminya. Sesungguhnya Al-Masih Dajjal adalah seorang laki-laki yang pendek, berkaki bengkok, berambut keriting, buta sebelah dan matanya tidak terlalu menonjol dan tidak pula terlalu tenggelam. Jika kalian merasa bingung, maka ketahuilah bahwa Rabb kalian tidak bermata juling.” (HR. Abu Daud, no. 4320 dan Ahmad, 5:324. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda tentang Dajjal,
أَعْوَرُ
هِجَانٌ أَزْهَرُ كَأَنَّ رَأْسَهُ أَصَلَةٌ أَشْبَهُ النَّاسِ بِعَبْدِ
الْعُزَّى بْنِ قَطَنٍ فَإِمَّا هَلَكَ الْهُلَّكُ فَإِنَّ رَبَّكُمْ
تَعَالَى لَيْسَ بِأَعْوَرَ
“(Dajjal) buta sebelah, putih dan berkilau, seolah kepalanya adalah (kepala) ular, dan (dia) adalah orang yang paling mirip dengan Abdul ‘Uzza bin Qathan. Jika dia itu celaka dan sesat, maka ketahuilah bahwa Tuhan kalian tidaklah buta sebelah.” (HR. Ahmad, 1:240. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih li ghairihi).
Di antara dua mata Dajjal tertulis KAFIR, sebagaimana disebutkan dalam hadits,
إِنَّهُ مَكْتُوبٌ بَيْنَ عَيْنَيْهِ كَافِرٌ يَقْرَؤُهُ مَنْ كَرِهَ عَمَلَهُ أَوْ يَقْرَؤُهُ كُلُّ مُؤْمِنٍ
“Di antara kedua matanya tertulis KAFIR yang bisa dibaca oleh
orang yang membenci perbuatannya atau bisa dibaca oleh setiap orang
mukmin.” (HR. Muslim, no. 169)
Masalah Simbol Salib
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – لَمْ يَكُنْ يَتْرُكُ فِى بَيْتِهِ شَيْئًا فِيهِ تَصَالِيبُ إِلاَّ نَقَضَهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamtidaklah meninggalkan salib di rumahnya melainkan beliau menghapusnya.” (HR. Bukhari, no. 5952).
Imam Bukhari membawakan hadits di atas pada Bab “Menghapus shuwar
(gambar)”. Maksud dari Imam Bukhari bukanlah hanya menghapus gambar atau
patung makhluk bernyawa. Salib juga termasuk di dalamnya dan lebih
daripada itu karena salib dijadikan sesembahan selain Allah. Yang
dimaksud naqodh dalam hadits adalah menghilangkan atau menghapus. (Lihat Fath Al-Bari karya Ibnu Hajar, 10:385).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وَالصَّلِيبُ
لَا يَجُوزُ عَمَلُهُ بِأُجْرَةِ وَلَا غَيْرِ أُجْرَةٍ وَلَا بَيْعُهُ
صَلِيبًا كَمَا لَا يَجُوزُ بَيْعُ الْأَصْنَامِ وَلَا عَمَلُهَا . كَمَا
ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُ قَالَ : ” { إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةَ
وَالْخِنْزِيرَ وَالْأَصْنَامَ}
“Tidak boleh seorang muslim membuat salib untuk mendapatkan upah.
Tidak boleh pula seorang muslim menjual salib sebagaimana tidak boleh
menjual berhala begitu pula membuatnya. Sebagaimana disebutkan dalam
hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah mengharamkan jual beli khamar, bangkai, babi dan
ashnam (berhala).” (Majmu’ah Al-Fatawa, 22:141-142)
Bentuk salib beraneka ragam. Bentuk berbagai macam salib bisa dilihat di Wikipedia.
Kalau bentuk salib beraneka ragam, lantas bentuk manakah yang dihapus?
1- Kalau bentuknya sebagaimana yang sudah masyhur saat ini yang ada
di berbagai gereja dan dikenakan pula oleh orang Nashrani yaitu ada dua
garis yang dibentuk, ada di sisi panjang dan ada di sisi lebar, di mana
dua garis tersebut disilangkan dan bagian atas lebih pendek dibandingkan
bawahnya, inilah yang wajib dihapus atau diubah bentuknya menjadi tidak
seperti salib.
2- Kalau bentuknya tidak nampak dan tidak dimaksudkan untuk salib,
seperti palang untuk bagian bangunan yang dirancang oleh para insinyur,
atau tanda penambahan (plus) dalam matematika, seperti itu tidak wajib
untuk dihapus dan tidak termasuk dalam larangan jual beli karena illah
(sebab) larangan sudah ternafikan (sudah tidak ada). Di situ tidak ada
lagi maksud tasyabbuh dan mengagungkan simbol-simbol mereka. Intinya,
tanda seperti itu tidak teranggap sebagai salib. (Keterangan dari Syaikh
Muhammad Shalih Al Munajjid dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 121170)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
أَمَّا
مَا ظَهَرَ مِنْهُ أَنَّهُ لاَ يُرَادُ بِهِ الصَّلِيْبُ ، لاَ
تَعْظِيْمًا ، وَلاَ بِكَوْنِهِ شِعَارًا ، مِثْلُ بَعْضِ العَلاَمَاتِ
الحِسَابِيَّةِ ، أَوْ بَعْضِ مَا يَظْهَرُ بِالسَّاعَاتِ
الإِلِكْتُرُوْنِيَّةِ مِنْ عَلاَمَةٍ زَائِدٍ ، فَإِنَّ هَذَا لاَ بَأْسَ
بِهِ ، وَلاَ يَعُدُّ مِنَ الصَّلْبَانِ بِشَيْءٍ
“Adapun sesuatu yang nampak namun bukan dimaksudkan untuk salib,
simbol tersebut tidak diagungkan, juga bukan sebagai syi’ar seperti
tanda tambah (plus) dalam perhitungan matematika, begitu pula simbol
pada jam elektonik, seperti itu tidaklah masalah dan tidak teranggap
seperti salib.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin, 18:114-115, jawaban soal no. 74)
Hukum Shalat di Gereja dan di Tempat yang Ada Salib
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun pakaian yang terdapat
gambar salib, atau sesuatu yang melalaikan, maka terlarang (dimakruhkan)
shalat dengannya, shalat menghadapnya, atau shalat di atasnya.” (Al-Majmu’, 3:185)
Namun kalau dalam kondisi hajat, yang makruh jadi dibolehkan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan mengenai pakaian
yang terlarang,
إنْ كَانَ مَكْرُوهًا؛ فَعِنْدَ الْحَاجَةِ تَزُولُ الْكَرَاهَةُ
“Yang makruh akan hilang kemakruhannya ketika ada hajat.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 21:203)
Dalam Syarh Manzhumah Ushul Al-Fiqh wa Qawa’iduhu(hlm.
62-63), Syaikh Ibnu Utsaimin menyebutkan, “Makruh itu dibolehkan ketika
ada hajat. Karena derajat makruh di bawah derajat haram. Kalau perbuatan
haram harus ditinggalkan dan pelakunya divonis hukuman. Sedangkan
perbuatan makruh terlarang karena memilih mana yang lebih utama, pelaku
yang mengerjakan yang makruh tidaklah dikenakan hukuman. Oleh karenanya
perbuatan makruh dibolehkan ketika ada hajat.”
Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Al-Mughni (2:57)
menerangkan mengenai hukum shalat di gereja, ia menyatakan, “Tidaklah
mengapa melakukan shalat di gereja yang bersih. Al-Hasan Al-Bashri,
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, Asy-Sya’bi, Al-Auza’i, Sa’id bin ‘Abdul ‘Aziz
memberikan keringanan (rukhsah) untuk hal ini. Diriwayatkan pula hal
yang sama dari ‘Umar dan Abu Musa. Sedangkan Ibnu ‘Abbas dan Malik
menyatakan makruhnya shalat di kanisah (gereja) karena alasan adanya
gambar (makhluk bernyawa). Alasannya yang membolehkan adalah karena
dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di Kabah yang ada
gambar (makhluk bernyawa, juga terdapat patung, pen.). Juga alasan
dibolehkannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, “Di
mana saja engkau mendapati tempat shalat, maka shalatlah karena itu
masjid.”
Simbol Mata itu Lambang Dajjal?
Ada yang menyebar isu bahwa bahwa Simbol Mata merupakan Simbol
Zionis. Sampai menuduh Kerajaan Saudi Arabia yang terdapat banyak simbol
Zionis, seperti pada lambang kepolisian Saudi Arabia. Yang menyebar isu
semacam ini tidak paham Budaya Bangsa Arab. Bagi Bangsa Arab sejak
dulu, mata adalah sesuatu yang sangat terhormat dan merupakan simbol
pengawasan serta kecintaan. Sehingga ketika seseorang menyatakan
loyalitasnya atau kecintaannya, orang Arab sering mengatakan “’Ala ra’s wal ‘ain” (di atas kepala dan mata) atau “’Ala ra’si wa ‘aini”
(di atas kepalaku dan mataku). Bahkan ada juga ucapan orang Arab untuk
menyatakan janjinya dengan mengatakan “’Ainayya” (dengan kedua mataku).
Sekarang pertanyaannya, lebih manakah yang dahulu ada: Budaya Arab atau
Simbol Zionisme?? Kalau jawabannya simbol zionisme, maka yang menyatakan
harus belajar lagi sejarah dunia dengan baik.
Apakah Shalat di Masjid yang Ada Segitiga Tidak Sah?
Karena menganggap simbol segitiga adalah simbol Zionis dan Dajjal, akhirnya mereka membuat bid’ah yang baru dengan
menyatakan tidak sahnya shalat di masjid semacam itu. Sampai yang
merinci menyatakan bahwa di Masjid Nabawi ada simbol-simbol Zionis
semacam ini. Kami tidak mengetahui bagaimanakah nantinya ketika ia
menjalankan shalat di Masjid Nabawi.
Kritikannya adalah sebagai berikut.
Pertama: Menyatakan simbol segitiga sebagai simbol
Dajjal tidaklah berdalil. Sumber bacaan dari yang menyatakan seperti ini
hanyalah dari Muhammad Isa Dawud, seorang jurnalis dari Mesir, bukan
seorang ulama yang berkompeten.
Kedua: Asalnya shalat di tempat mana pun itu sah.
Bahkan ada sebagian ulama sampai memberi keringanan shalat di gereja dan
shalat di tempat yang ada salib sebagaimana keterangan di atas.
Dalil bahwa shalat di tempat mana saja itu sah dan itulah hukum asalnya.
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku dianugerahi lima perkara yang tidak pernah diberikan seorang pun dari Rasul-Rasul sebelumku, yaitu:
أُعْطِيْتُ
خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الأَنْبِيَاءِ قَبْلِي ، نُصِرْتُ
بِالرُّعْبِ مَسِيْرَةَ شَهْرٍ ، وَجُعِلَتْ لِي الأَرْضُ مَسْجِدًا
وَطَهُوْرًا ، فَأَيُّمَا رَجُلٍ أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَة ُفَلْيُصَلِّ ،
وَأُحِلَّتْ لِي الغَنَائِمُ ، وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي ،
وَأُعْطِيْتُ الشَّفَاعَةُ ، وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ
خَاصَّةً وَبُعِثْتُ لِلنَّاسِ عَامَّةً
“(1) aku diberikan pertolongan dengan takutnya musuh mendekatiku
dari jarak sebulan perjalanan, (2) dijadikan bumi bagiku sebagai tempat
shalat dan bersuci (untuk tayammum, pen.), maka siapa saja dari umatku
yang mendapati waktu shalat, maka hendaklah ia shalat, (3) dihalalkan
rampasan perang bagiku dan tidak dihalalkan kepada seorang Nabi pun
sebelumku, (4) dan aku diberikan kekuasaan memberikan syafa’at (dengan
izin Allah), (5) Nabi-Nabi diutus hanya untuk kaumnya saja sedangkan aku
diutus untuk seluruh manusia.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari, no. 438 dan Muslim, no. 521, 523)
Ketiga: Menyatakan suatu tempat tidak sah untuk shalat haruslah dengan dalil untuk membatalkan hukum asal di atas. Maka
kalau mau menyatakan shalat di masjid yang ada simbol segitiga jadi
tidak sah, haruslah dibuktikan dengan dalil dari Al-Qur’an dan hadits.
Ada beberapa tempat yang dilarang untuk shalat sebagai berikut.
1. Shalat di tempat najis
Sebagaimana sepakat para ulama, tidak boleh shalat di tempat najis, lihat Maratib Al-Ijma’, hlm. 29, dinukil dari Ad-Dalil ‘ala Manhaj As-Salikin, hlm. 66.
Larangan shalat di tempat najis adalah berdasarkan hadits Arab Badui, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ketika kami duduk-duduk di masjid bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika itu datang seorang Arab Badui, ia berdiri lantas kencing di dalam masjid. Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ayo pergi, pergi.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam malah mengatakan, “Tak perlu kalian menghardiknya. Biarkan ia menyelesaikan kencingnya.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya dan mengatakan kepadanya,
إِنَّ
هَذِهِ المَسَاجِدَ لاَ تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا البَوْلِ وَلاَ
القَذَرِ . إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالصَّلاَةِ،
وَقِرَاءَةِ القُرْآنِ
“Sesungguhnya masjid-masjid ini tidaklah boleh ada kencing dan
kotoran (najis). Masjid adalah tempat untuk berdzikir kepada Allah ‘azza
wa jalla, untuk shalat, dan untuk membaca Al-Qur’an.” Atau beliau
mengatakan semisal itu. Kemudian beliau meminta seseorang dari kaum,
lantas didatangkanlah wadah berisi air, lantas kencingnya pun disiram.”
(HR. Muslim, no. 285)
2. Shalat di tanah rampasan
Al-magshub diartikan dengan merampas harta orang lain dengan paksa tanpa alasan yang dibenarkan.
Ada dua rincian untuk shalat di tanah rampasan.
Pertama: Hukum shalat di tanah rampasan adalah tidak boleh, ada ijmak (kata sepakat ulama) dari Imam Nawawi akan hal ini.
Kedua: Shalat yang dilakukan di tanah rampasan itu sah. Inilah
pendapat jumhur ulama seperti Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan
salah satu pendapat dari Imam Ahmad. Lihat Mulakhash Fiqh Al-‘Ibadat, hlm. 182.
3. Shalat di area pekuburan
Tidak sah shalat di area pekuburan (walaupun dimakamkan hanya satu
jenazah), inilah pendapat ulama Hambali dan menjadi pendapat yang
disandarkan pada kebanyakan ulama seperti menjadi pendapat Ibnu Hazm,
menjadi pilihan Ibnu Taimiyyah, Ash-Shan’ani, Syaikh Ibnu Baz, dan
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Lihat Mulakhash Fiqh Al-‘Ibadat, hlm. 181.
Dari Abu Martsad Al-Ghonawi, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ وَلاَ تَجْلِسُوا عَلَيْهَا
“Janganlah shalat menghadap kubur dan janganlah duduk di atasnya.” (HR. Muslim, no. 972).
Juga ada larangan menyatukan kubur dan masjid. Dari Jundab, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ
وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ
أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا
الْقُبُورَ مَسَاجِدَ إِنِّى أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
“Ingatlah bahwa orang sebelum kalian, mereka telah menjadikan
kubur nabi dan orang saleh mereka sebagai masjid. Ingatlah, janganlah
jadikan kubur menjadi masjid. Sungguh aku benar-benar melarang dari yang
demikian.” (HR. Muslim, no. 532).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menerangkan dalam Al-Qaul Al-Mufid (1:411) bahwa yang dimaksud menjadikan kubur sebagai masjid ada dua makna:
- Membangun masjid di atas kubur.
- Menjadikan kubur sebagai tempat untuk ibadah seperti shalat, di mana kubur menjadi maksud tujuan ibadah.
Catatan: Ada satu shalat yang masih dibolehkan di pekuburan yaitu shalat jenazah bagi yang belum sempat melaksanakannya.
4. Shalat di tempat pemandian (al-hammam)
Menurut jumhur (kebanyakan ulama) boleh shalat di tempat pemandian,
namun makruh hukumnya. Inilah yang menjadi pendapat ulama Hanafiyyah,
Malikiyyah, dan Syafi’iyyah, juga salah satu pendapat dari Imam Ahmad.
Lihat Mulakhash Fiqh Al-‘Ibadat, hlm. 180.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْمَقْبُرَةَ وَالْحَمَّامَ
“Seluruh bumi adalah masjid (boleh digunakan untuk shalat) kecuali kuburan dan tempat pemandian.”
(HR. Tirmidzi, no. 317; Ibnu Majah, no. 745; Abu Daud, no. 492;
Ad-Darimi, no. 1390, dan Ahmad, 3:83. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan
bahwa sanad hadits ini sahih).
5. Shalat di tempat menderumnya unta
Dari Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
وَسُئِلَ
عَنِ الصَّلاَةِ فِى مَبَارِكِ الإِبِلِ فَقَالَ « لاَ تُصَلُّوا فِى
مَبَارِكِ الإِبِلِ فَإِنَّهَا مِنَ الشَّيَاطِينِ ». وَسُئِلَ عَنِ
الصَّلاَةِ فِى مَرَابِضِ الْغَنَمِ فَقَالَ « صَلُّوا فِيهَا فَإِنَّهَا
بَرَكَةٌ»
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang shalat di tempat menderumnya unta, beliau menjawab, ‘Jangan shalat di tempat menderumnya unta karena unta biasa memberikan was-was seperti setan.’ Beliau ditanya tentang shalat di kandang kambing, ‘Silakan shalat di kandang kambing, di sana mendatangkan keberkahan (ketenangan).’” (HR. Abu Daud, no. 184; Tirmidzi, no. 81; Ahmad, 4:288. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Dilarang shalat di kandang unta di mana disebut dalam hadits bahwa
unta itu dari setan, maksudnya adalah unta itu beramal seperti amalan
setan dan jin yaitu sering memberikan gangguan pada hati orang yang
shalat. Lihat ‘Aun Al-Ma’bud, 1:231-232.
Dasarnya Pakai Ilmu Cocoklogi
Ilmu cocoklogi adalah ilmu yang mencoba mengaitkan suatu kejadian,
waktu, tempat, atau apapun dengan sabda alam. Maksudnya adalah
mengkaitkan segala sesuatu yang terjadi saat ini dengan tanda-tanda
kejadian di masa depan. Ilmu ini di sebagian orang bisa disebut dengan
ilmu nujum atau jangka. Salah satu tokoh di kalangan masyarakat
Indonesia (di Jawa khususnya) adalah prabu Jayabaya dengan bukunya
Jangka Jayabaya (Jawa: Jongko Joyoboyo).
Di tengah arus kemajuan teknologi dan informasi yang cukup pesat
seperti saat ini, mayoritas masyarakat [yang katanya modern] lebih
percaya dengan temuan-temuan serta simpulan ilmiah dari ilmu
pengetahuan. Hal-hal di luar nalar sains dianggap sebagai sebuah isapan
jempol dan cerita pengiring tidur semata. Tapi kenyataan ini justru
tidak terjadi di semua lapisan masyarakat Indonesia. Masyarakat
[maaf] berpendidikan rendah lebih percaya takhayul, masyarakat
berpendidikan menengah lebih percaya hasil nujum, dan masyarakat
berpendidikan tinggi justru percaya dengan ilmu cocoklogi.
Mereka mencoba membungkusnya dengan kemasan yang lebih saintis agar
tidak terlihat janggal, mereka menyebutnya sebagai teori konspirasi.
Teori ini sebenarnya sangat lemah apabila diujicobakan hipotesisnya pada
sebuah riset.
Salah satu contoh penerapan sebagian orang pada ilmu cocoklogi pernah
tersebar dalam pesan berantai saat meletusnya Gunung Kelud, Kediri,
Jawa Timur dengan nomor ayat-ayat tertentu yang sengaja
dicocok-cocokkan.
Mereka katakan bahwa meletusnya Gunung Kelud telah tertulis jelas di Al-Quran, ini buktinya:
Tanggal 13 Bulan 2 (Surat 13 ayat 2),
“Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu
lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy, dan menundukkan matahari
dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. ALLAH
MENGATUR URUSAN (Makhluk-Nya), MENJELASKAN TANDA-TANDA (Kebesaran-Nya),
supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.”-
Meletus Jam 22:49, 22:50 (Surat 22:
49-50), Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya Aku adalah seorang
PEMBERI PERINGATAN YANG NYATA kepadamu.”Maka ORANG-ORANG YANG BERIMAN
DAN BERAMAL SALEH, BAGI MEREKA AMPUNAN DAN REZKI YANG MULIA.-
Tahun 2014 (Surat 20:14):
“Sesungguhnya Aku ini adalah ALLAH, tidak ada Tuhan (yang hak) selain
Aku, Maka SEMBAHLAH AKU dan DIRIKANLAH SHALAT untuk MENGINGAT AKU.”—-
SUBHANALLAH —-
Kalau kita perhatikan, cara mengaitkan ayat
dengan kejadian tertentu itu jelas keliru. Karena hal itu baru
dikaitkan setelah peristiwa itu terjadi seperti Gunung Kelud meletus.
Seandainya tidak terjadi, apa ia bisa menebak seperti itu? Tentu saja
tidak.
Lalu kenapa hanya dikaitkan dengan meletusnya Gunung Kelud, bagaimana
dengan Gunung Merapi yang dahulu meletus dan bagaimana lagi dengan
Gunung Sinabung? Apa ketika gunung tersebut meletus baru dikait-kaitkan?
Kemudian kalau dalam ayat disebutkan suatu siksaan atau azab, maka
tidak bisa kita katakan berlaku untuk kejadian-kejadian saat ini.
Cara menafsirkan seperti di atas jelas adalah cara yang keliru yang tidak pernah dicontohkan oleh salafush shalih.
Yang perlu dipahami terlebih dahulu, ayat Al-Qur’an diturunkan untuk
ditadabburi, direnungkan dan dipahami maknanya. Ayat Al-Qur’an bukanlah
turun untuk mengaitkannya dengan kejadian-kejadian atau peristiwa saat
ini. Allah Ta’ala berfirman,
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُوا الْأَلْبَابِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan
berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat
pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shaad: 29)
Namanya tadabbur Al-Qur’an itu sebagaimana disebutkan oleh Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah–seorang tabi’in–, “Demi
Allah, Al-Qur’an bukanlah ditadabburi dengan sekedar menghafal
huruf-hurufnya, namun lalai dari memperhatikan hukum-hukumnya
(maksudnya: mentadabburinya). Hingga nanti ada yang mengatakan, ‘Aku
sudah membaca Al-Qur’an seluruhnya.’ Namun ternyata Al-Qur’an tidak
diwujudkan dalam akhlak dan juga amalannya.” Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:419).
Begitu pula cara menafsirkan Al-Qur’an
seperti mengaitkan nomor ayat dengan kejadian seperti itu, hanyalah
menafsirkannya dengan logika dan ini tercela.
Ibnu Katsir mengatakan, “Menafsirkan Al-Qur’an dengan logika semata, hukumnya haram.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 1:11).
Dalam hadits disebutkan,
وَمَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa berkata tentang Al-Qur’an dengan logikanya (semata), maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka.”
(HR. Tirmidzi, no. 2951. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan.
Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif).
Lihat saja ‘Umar bin Al-Khaththab mencontohkan tidak seenaknya
kita menafsirkan ayat. Ketika beliau membaca ayat di mimbar,
وَفَاكِهَةً وَأَبًّا
“Dan buah-buahan serta rumput-rumputan.”(QS. ‘Abasa: 31). Umar berkata, kalau “fakihah” dalam ayat ini sudah kita kenal. Namun apa yang dimaksud “abba”?” Lalu ‘Umar bertanya pada dirinya sendiri. Lantas Anas mengatakan,
إِنَّ هَذَا لَهُوَ التَّكَلُّفُ يَا عُمَرُ
“Itu sia-sia saja, mempersusah diri, wahai Umar.” (Dikeluarkan oleh
Abu ‘Ubaid, Ibnu Abi Syaibah, Sa’id bin Manshur dalam kitab tafsirnya,
Al-Hakim, serta Al-Baihaqi. Al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini sahih
sesuai syarat Bukhari dan Muslim. Imam Adz-Dzahabi juga menyetujuinya).
Yang dimaksud adalah Umar dan Anas ingin mengetahui bagaimana bentuk abba itu
sendiri. Mereka sudah mengetahuinya, namun bentuknya seperti apa yang
mereka ingin ungkapkan. Abba yang dimaksud adalah rerumputan yang tumbuh
di muka bumi. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al ‘Azhim, 1: 14).
Lihat saja seorang sahabat yang mulia–seperti ‘Umar bin Al-Khaththab
dan Anas bin Malik–begitu hati-hati dalam menafsirkan ayat. Mereka
begitu khawatir jika salah karena dapat jauh dari apa yang dikehendaki
Allah Ta’ala tentang maksud ayat itu. Beda dengan orang saat
ini yang menafsirkan seenaknya perutnya tanpa memakai tuntunan, hanya
semata-mata memakai logika dengan mengaitkan nomor ayat dengan peristiwa
gempa dan meletusnya gunung.
Ibnu Katsir menunjukkan bagaimana cara terbaik menafsirkan Al-Qur’an sebagai berikut:
- Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Jika ada ayat yang mujmal (global), maka bisa ditemukan tafsirannya dalam ayat lainnya.
- Jika tidak didapati, maka Al-Qur’an ditafsirkan dengan sunnah atau hadits.
- Jika tidak didapati, maka Al-Qur’an ditafsirkan dengan perkataan sahabat karena mereka lebih tahu maksud ayat, lebih-lebih ulama sahabat dan para senior dari sahabat Nabi seperti khulafaur rosyidin yang empat, juga termasuk Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar.
- Jika tidak didapati, barulah beralih pada perkataan tabi’in seperti Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah (bekas budak Ibnu ‘Abbas), ‘Atha’ bin Abi Rabbah, Al-Hasan Al-Bashri, Masruq bin Al-Ajda’, Sa’id bin Al-Musayyib, Abul ‘Aliyah, Ar-Rabi’ bin Anas, Qatadah, dan Adh-Dhahak bin Muzahim. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhimkarya Ibnu Katsir, 1:5-16)
Bahaya Mengambil Ilmu dari Ustadz Cocoklogi
Muhammad bin Sirin (seorang pembesar ulama tabi’in) berkata,
إِنَّ هَذَا العِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapakah kalian mengambil agama kalian.” (Diriwayatkan oleh Muslim dalam muqaddimah kitab Shahih-nya)
مِنْ
سَفِيْهٍ مُعْلِنٌ بِالسَّفِهِ وَإِنْ كَانَ أَرْوَى النَّاسِ وَلاَ
تَأْخُذْ مِنْ كَذَّابٍ يَكْذِبُ فِي أَحَادِيْثِ النَّاسِ إِذَا جَرَبَ
ذَلِكَ عَلَيْهِ وَإِنْ كَانَ لاَ يُتَّهَمُ اِنْ يَكْذِبَ عَلَى رَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلاَ مِنْ صَاحِبِ هَوَى يَدْعُوْ
النَّاسَ اِلَى هَوَاهُ وَلاَ مِنْ شَيْخٍ لَهُ فَضْلٌ وَعِبَادَةٌ إِذَا
كَانَ لاَ يَعْرِفُ مَا يحْدُث
“(1) Orang yang bodoh yang menampakkan kebodohannya meskipun ia
banyak meriwayatkan dari manusia; (2) Pendusta yang ia berdusta saat
berbicara kepada manusia, meskipun ia tidak dituduh berdusta atas nama
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam (dalam hadits); (3) Orang yang
memperturut hawa nafsunya dan mendakwahkannya; dan (4) Orang yang
mempunyai keutamaan dan ahli ibadah, namun ia tidak tahu apa yang
dikatakannya (yaitu tidak fakih).” (Al-Kifaayah, 1:77-78)
Mengenai Hal Ghaib, Diamlah Kalau Tidak Diketahui Dalil
Kita diperintahkan beriman kepada yang ghaib sebagaimana disebutkan dalam ayat,
الــم
{1} ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ ِفيهِ هُدَى لِلْمُتَّقِينَ {2}
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا
رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ {3} وَالَّذِينِ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزِلَ
إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِاْلآخِرَةِ هُمْ يُوِقنُونَ {4}
أُولَـئِكَ عَلَى هُدًى مِن رَبِّهِمْ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Alif lam mim. Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan padanya;
petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada
yang ghaib, yang mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rizki yang
kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab
(Alquran) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah
diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan)
akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabb mereka,
dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 1-5)
Apa yang dimaksud beriman dengan yang ghaib dalam ayat ini?
Abul ‘Aliyah mengatakan mengenai ayat ini bahwa beriman kepada yang
ghaib adalah beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para
rasul-Nya, hari akhir, surga dan neraka, serta perjumpaan dengan Allah,
dan beriman kepada kehidupan setelah kematian dan beriman kepada hari
berbangkit. Semua ini termasuk beriman kepada yang ghaib.
Ada juga pendapat dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud bahwa perkara
ghaib adalah perkara yang tidak tampak bagi hamba mengenai surga,
neraka, dan hal-hal yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Demikian disebutkan
dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir.
Berbicara tentang Dajjal dan akhir zaman harus berdasarkan dalil,
tidak sekadar berita-berita koran, dan berita website yang digunakan
sebagai rujukan.
Perkara Dajjal cuma dicirikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan buta sebelah, tanpa menyebutkan lambang-lambang tertentu. Sebagaimana hadits berikut pula menyebutkan,
إِنَّ
اللَّهَ لَيْسَ بِأَعْوَرَ ، أَلاَ إِنَّ الْمَسِيحَ الدَّجَّالَ أَعْوَرُ
الْعَيْنِ الْيُمْنَى ، كَأَنَّ عَيْنَهُ عِنَبَةٌ طَافِيَةٌ
“Sesungguhnya Allah tidak buta sebelah. Ingatlah bahwa Al-Masih
Ad-Dajjal buta sebelah kanan, seakan matanya seperti buah anggur yang
menjorok.” (HR. Bukhari, no. 3439 dan Muslim, no. 169)
Sehingga mau bicarakan tentang Dajjal harus berdasarkan wahyu. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ ۚ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
“Katakanlah : “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang
mengetahui perkara yang ghaib kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui
bila mereka akan dibangkitkan.” (An-Naml: 65)
Dalam ayat lain disebutkan,
عَالِمُ
الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَىٰ غَيْبِهِ أَحَدًا﴿٢٦﴾إِلَّا مَنِ
ارْتَضَىٰ مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ
خَلْفِهِ رَصَدًا
“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridahiNya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan belakangnya.” (QS. Al-Jin: 26-27)
Apakah Masjid Bermihrab Segitiga Perlu Diubah?
Kami terus menanyakan kenapa sampai diklaim simbol segitiga dan ada
mata di tengah sebagai simbol Dajjal. Berbicara masalah Dajjal ini
adalah perkara ghaib sehingga harus butuh dalil. Akhirnya ada masjid
yang di mihrabnya berbentuk segitiga–walau sebenarnya masjid yang
dikritik di mihrabnya berbentuk trapesium yang jelas berbeda dengan
segitiga—saat ini menjadi polemik. Sebenarnya kami tidak setuju kalau
desain masjid yang trapesium ini diubah karena cuma dengar komentar
netizen dan sejatinya kritikan yang ada berbau politik. Kalau kritikan
ini diikuti sehingga desain masjid diubah, masyarakat akan memahami
kalau simbol segitiga adalah simbol Dajjal sehingga tidak boleh ada sama
sekali pada tiap bangunan, padahal menyatakan seperti ini tidak
berdalil. Tentu jadi edukasi kurang baik di tengah masyarakat muslim
Indonesia, karena sebenarnya teori konspirasi yang diutarakan tidaklah
bersumber dari dalil Al-Qur’an maupun hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kesimpulan
- Perkara Dajjal adalah perkara yang ghaib, sehingga harus dijelaskan dengan dalil baik Al-Qur’an maupun hadits. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menjelaskan bahwa Dajjal adalah orang (yang mirip dengan Abdul ‘Uzza bin Qathan), bukan organisasi illuminati sebagaimana klaim sebagian kalangan yang tidak pernah membawakan dalil akan hal ini.
- Mengenai simbol Dajjal, tidak ada dalil mengenai segitiga atau satu mata, yang ada hanya tulisan “KAFIR” antara kedua matanya.
- Shalat di masjid bermihrab segitiga atau trapesium sah, tidak ada masalah. Shalat di gereja dan shalat di tempat yang ada salib saja masih diberi keringanan oleh sebagian ulama, apalagi shalat di masjid yang bermihrab segitiga atau trapesium yang tidak ada dalil tegas yang melarangnya.