Menjamurnya Lembaga Amil
Zakat (LAZ) menuai berbagai masalah. Banyak aturan zakat yang tidak
mereka pahami, sehingga melakukan berbagai praktek yang sejatinya
melanggar aturan syariat zakat. Termasuk LAZ di bank syariah melalui
program qardhul hasan.
Oleh Muhammad Yassir, Lc, MA*) Penulis adalah dosen STDI Imam Syafi’i Jember
Pelaksanaan
ibadah zakat melibatkan tiga kelompok besar. Yakni wajib zakat (pemilik
harta), pengelola zakat (amil) dan penerima zakat (ada delapan
kelompok). Juga prosesnya, yakni sampainya harta dari wajib zakat ke
pihak yang berhak menerimanya. Mengingat banyak pihak terlibat, plus
proses yang dilaluinya, tidak bisa dipungkiri kemungkinan adanya
kekeliruan. Siapa pun yang memahami perkara ini tidak boleh tinggal
diam, tetapi harus berusaha turut memperbaikinya.
Tulisan ini membahas beberapa kekeliruan praktek pelaksanaan zakat.
1. Amil Zakat Tidak Ditunjuk Pemerintah
Tugas
pokok amil adalah mengambil zakat, menjaga dan menyalurkannya. Banyak
syarat yang harus dipenuhi amil. Di antaranya, orang Muslim, mukallaf
(baligh dan berakal), amanah, dan paham hukum-hukum zakat. Namun syarat
terpenting bagi amil yang sah menurut syar’i adalah ia harus ditunjuk
pemerintah. Hal ini karena amil berhak mengambil sebagian harta wajib
zakat secara paksa bila wajib zakat menolak membayar zakat. Kemampuan
“mengambil paksa” ini hanya dimiliki pemerintah. Oleh karena itu panitia
zakat yang tidak ditunjuk oleh pemerintah tidak bisa dikategorikan amil
zakat secara syar’i.
Pada Ramadhan biasanya menjamur panitia
penerima zakat. Mereka mendedikasikan diri sebagai penerima zakat harta
maupun zakat fitrah. Panitia-panitia itu muncul atas inisiatif sendiri
atau ditunjuk yayasan/takmir masjid dan sama sekali tidak ada
hubungannya dengan pemerintah. Bolehkah panitia zakat semacam itu?
Boleh-boleh
saja. Asalkan dipahami bahwa semua personel panitia zakat bukan
berstatus amil. Mereka hanyalah wakil pihak wajib zakat. Konsekuensinya,
wakil tidak berhak memperoleh bagian zakat. Hanya amil yang berhak.
Panitia zakat hanya boleh meminta upah dari wajib zakat untuk jasa
menyalurkan zakat, dan upah itu bukan diambil dari harta zakat.
Kesalahan
fatal ini banyak terjadi di tengah masyarakat kita. Yakni panitia yang
bukan ditunjuk resmi pemerintah menganggap pihaknya sebagai amil zakat.
Mereka pun merasa berhak mengambil sebagian harta zakat yang dititipkan
kepadanya.
Kaitan dengan hal itu, lembaga keuangan syariah yang
menampung zakat pada dasarnya juga berstatus bukan amil. Posisinya mirip
panitia penampung zakat. Konsekuensinya, Lembaga Amil Zakat (LAZ) bank
syariah tidak berhak memaksa nasabah membayar zakat melaluinya. Apalagi
mengambil zakat dari tabungan nasabah tanpa sepengetahuan pemiliknya.
Lebih dari itu, petugas LAZ juga tidak diperkenankan mengambil bagian
dari harta zakat, meski berbentuk kafalah.
2. Menyalurkan Zakat Berbentuk Uang Pinjaman
Dalam Al-Quran, Allah Ta’ala telah menentukan kelompok orang yang berhak menerima zakat. Allah berfirman, yang artinya:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin,
amil zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan
budak, untuk melunasi orang berutang (ghorim), untuk jihad fi
sabilillah dan untuk ibnu sabil (musafir yang kehabisan bekal untuk
pulang)” (QS. At-Taubah: 60).
Proses penyaluran zakat untuk
empat kelompok pertama (fakir, miskin, amil dan muallaf) dengan cara
menyerahkan zakat kepada mereka dan memberikan hak kepemilikan penuh
pada harta tersebut untuk digunakan sesuai keinginan mereka. Sedangkan
untuk empat kelompok terakhir (budak, ghorim, fi sabilillah, dan ibnu
sabil), zakat diserahkan sesuai dengan kebutuhan mereka.
Contoh,
orang terlilit utang, zakat disalurkan kepadanya hanya untuk melunasi
utangnya. Tidak boleh menggunakan zakat untuk keperluan lain (lihat Ibn
Qudamah, Al-Mughni 4/130). Intinya, zakat harus diserahkan kepada pihak
yang berhak untuk digunakan mereka, tanpa mewajibkan penerima untuk
mengembalikannya di kemudian hari kepada amil atau wajib zakat.
Akhir-akhir
ini muncul pendapat lain. Pendapat ini menyatakan, boleh meminjamkan
dana zakat kepada orang yang membutuhkan uang. Alasannya dengan qiyas
(analogi) terhadap ghorim (orang yang terlilit utang). Pendapat ini
mengatakan, apabila orang terlilit utang berhak menerima zakat, orang
yang butuh uang juga berhak mendapat pinjaman dari uang zakat.
Kalau kita perhatikan, pendapat tersebut keliru dan bertentangan dengan aturan penyaluran zakat, karena tiga alasan. Yakni:
- Jika orang itu butuh uang karena dia miskin, seharusnya dia berhak mendapat bagian zakat, bukan dipinjami uang.
- Jika orang itu butuh uang karena tidak mampu melunasi utangnya, seharusnya dia berhak mendapatkan zakat untuk melunasi utangnya, dan bukan butuh pinjaman. Karena jika diberikan dalam bentuk pinjaman yang uangnya dari zakat, tidak ada gunanya. Sementara dia juga masih dililit utang. Ini seperti gali lubang tutup lubang.
- Jika dia bukan orang miskin, namun butuh uang untuk kebutuhan primer atau konsumtif lain, sejatinya dia tidak berhak menerima zakat. Sehingga menyalurkan zakat kepadanya, walau berbentuk pinjaman, adalah sebuah kesalahan, karena mengakibatkan zakat tertunda sampai ke tangan yang berhak.
Beberapa LAZ
bank syariah menyalurkan dana zakat melalui program bernama qardhul
hasan (pinjaman lunak) kepada yang berhak menerima zakat seperti fakir,
miskin, dan lainnya. Hanya konsekuensinya, penerima dana qardhul hasan
itu harus mengembalikan pinjaman itu. Meskipun dalam prakteknya sebagian
dari mereka tidak mengembalikannya.
3. Menggunakan Harta Zakat untuk Investasi (Usaha Produktif)
Pertama, bila investasi diberikan ke golongan yang berhak menerima zakat, seperti fakir, miskin, dll.
Dalam hal ini, para ahli fikih telah menyatakan keabsahannya dalam
kitab fikih mereka. Karena, ketika orang yang berhak telah menerima
zakat, otomatis harta tersebut menjadi milik dia sepenuhnya. Terserah
dia untuk memanfaatkannya. Untuk membeli barang kebutuhan pokok atau
untuk usaha produktif. Mereka tidak harus dibebani tanggung jawab
mengembalikannnya. Mereka berhak menerimanya, dan dana itu bukan
pinjaman lunak, tetapi murni sedekah.
Kedua, dana zakat sebagai investasi usaha pemberi zakat.
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewajibkan mengeluarkan zakat dari
sebagian harta kaum Muslimin. Berarti dalam harta terdapat hak-hak orang
lain yang harus ditunaikan. Syariat Islam telah menentukan waktu
pemberian zakat sesuai jenis harta yang wajib dizakati. Oleh sebab itu,
yang seharusnya dilakukan orang takwa adalah bersegera menunaikan zakat.
Atas dasar ini, wajib zakat tidak berhak menunda pembayaran zakatnya
dengan alasan untuk diinvestasikan atau dikembangkan lebih dulu sebagai
modal usahanya.
Terlebih bila ditinjau dari sisi lain, investasi
pasti mengalami pasang-surut, dan ketidakpastian. Bisa untung dan bisa
buntung, yang bisa-bisa zakatnya malah tidak sampai ke yang berhak
menerimanya.
Ketiga, investasi yang dilakukan pemerintah atau lembaga amil zakat syar’i.
Sebelumnya kami ingatkan, LAZ yang kami maksud adalah lembaga yang
sesuai ketentuan syariah. Artinya, LAZ yang ditunjuk pemerintah
sebagaimana penjelasan sebelumnya. Pemerintah atau LAZ adalah jembatan
penghubung antara pemberi zakat dan penerima zakat. Karenanya, tanggung
jawab mereka adalah memegang amanah menyalurkan zakat kepada yang
berhak. Salah satu bentuk amanah itu adalah tidak menggunakan harta
zakat kecuali pada tempat penyaluran yang telah ditetapkan dalam
Al-Quran.
Sepengetahuan kami, kajian tentang “investasi pemerintah
terhadap harta zakat” belum pernah dibahas ulama dahulu, karena hal ini
baru dilakukan di pemerintah zaman sekarang. Kesimpulan ini berdasarkan
telaah kami terhadap kitab yang secara khusus membahas masalah zakat.
Semua pendapat, baik yang membolehkan maupun yang tidak, dinukil dari
pendapat ulama zaman sekarang.
Untuk itu, kami mengajak para amil
zakat untuk merenungkan: harta zakat yang sedang ditangani LAZ bukanlah
harta pribadi. Bukan pula harta warisan untuk dikembangkan dengan
harapan mendapat untung. Ini harta amanah yang dibebankan Allah Ta’ala
melalui tangan kita. Lantas, dengan alasan apa kita merasa berat
melepaskannya kepada yang berhak? Bisa jadi alasan mashlahat yang kita
buat hanyalah alasan sepihak. Sementara pihak lain (penerima zakat)
lebih senang jika zakatnya segera sampai ke tangan yang berhak
menerimanya.
Oleh karena itu, pendapat yang benar, zakat harus
disegerakan sampai ke yang berhak menerimanya. Pemerintah/amil hanya
pemegang amanah. Mereka tidak boleh menunda penyaluran zakat dengan
alasan diinvestasikan atau dikembangkan. Pendapat inilah yang sesuai
dengan maksud disyariatkan ibadah zakat. Yaitu mensucikan harta dengan
cara menyalurkannya kepada yang berhak. Wallahu A’lam
Jika
demikian aturan yang berlaku bagi pemerintah dan LAZ resmi, bagaimana
dengan LAZ tidak resmi yang menjamur belakangan ini? Sebagaimana kita
pahami, status LAZ tidak resmi hanyalah wakil wajib zakat. Tidak lebih
dari itu. Posisi wakil seharusnya lebih lemah dibandingkan amil. Karena
itu mereka sama sekali tidak berhak menahan harta zakat, walaupun dengan
alasan mengembangkan dana zakat.
Salurkan Sendiri, Lebih Baik!
Agar
terhindar dari penyalahgunaan zakat, kami menganjurkan para wajib zakat
untuk menyalurkan zakat secara langsung kepada yang berhak. Beberapa
alasannya antara lain:
- Boleh menyalurkan zakat secara pribadi, baik berupa emas, perak, zakat perniagaan atau uang. Tidak ada kewajiban menyerahkan melalui amil (Al-Majmu’: 6/137).
- Kinerja LAZ di Indonesia belum optimal. Praktek beberapa LAZ yang mengambil bagian dana zakat sebagai kafalah, padahal mereka bukan amil, sebagai buktinya.
- Ada beberapa bentuk kekeliruan yang dilakukan oleh sebagian LAZ, seperti menyalurkan zakat bukan pada tempatnya. Contoh, digunakan untuk membangun rumah sakit atau sekolah.
-
Jumlah orang miskin di Indonesia masih banyak. Mereka berhak diutamakan menerima zakat.
Ada beberapa keuntungan bila menyalurkan zakat secara langsung, di antaranya (lihat syarh Mumti’: 6/205): (1) Mendapatkan pahala lebih banyak, karena ada usaha mencari fakir-miskin dan menyalurkannya dengan tenaga sendiri; (2) Lebih yakin sampainya zakat ke penerimanya; (3) Menampik su’uzhon (buruk sangka) yang mengira orang kaya tidak mengeluarkan zakat; dan (4) Untuk lebih menumbuhkan rasa syukur.
Namun
kami tidak menganjurkan menggunakan open house untuk menyalurkan zakat.
Selain menimbulkan keributan, kecelakaan dan kekacauan, juga diragukan
sampainya zakat ke yang berhak. Kita tidak tahu orang yang datang
mengantre zakat adalah orang yang berhak menerima zakat atau bukan.
Jalan keluarnya, data fakir miskin, datangi rumahnya dan serahkan zakat
kita ke mereka.
Semoga menjadi pencerahan bagi pelaksanaan ibadah zakat yang sesuai syariah. Wallahu A’lam.***
++++++
Share Ulang:
Citramas, 18 Syawal 1440
Sumber= https://pengusahamuslim.com/5407-tiga-bentuk-penyalahgunaan-zakat.html