Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
HADITS PERTAMA : TENTANG GANJARAN ORANG YANG MELAKSANAKAN
IBADAH PUASA DAN SHALAT TARAWIH
عَنِ
النَّضْرِ بْنِ شَيْبَانَ قَالَ لَقِيتُ أَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
فَقُلْتُ حَدِّثْنِي بِحَدِيثٍ سَمِعْتَهُ مِنْ أَبِيكَ يَذْكُرُهُ فِي شَهْرِ
رَمَضَانَ قَالَ نَعَمْ حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ شَهْرَ رَمَضَانَ فَقَالَ شَهْرٌ كَتَبَ اللَّهُ
عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ وَسَنَنْتُ لَكُمْ قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ
إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Dari Nadhir bin
Syaibân, ia mengatakan, ‘Aku pernah bertemu dengan Abu Salamah bin
Abdurrahman rahimahullah, aku mengatakan kepadanya, ‘Ceritakanlah kepadaku sebuah hadits yang pernah engkau dengar dari
bapakmu (maksudnya Abdurraman bin ‘Auf Radhiyallahu ‘anhu)
tentang Ramadhân.’ Ia mengatakan, ‘Ya, bapakku (maksudnya Abdurraman bin ‘Auf Radhiyallahu ‘anhu)
pernah menceritakan kepadaku bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebut bulan Ramadhân lalu bersabda, ‘Bulan yang Allâh Azza wa
Jalla telah wajibkan atas kalian puasanya dan aku menyunahkan buat kalian
shalat malamnya. Maka barangsiapa yang berpuasa dan melaksanakan shalat malam
dengan dasar iman dan mengharapkan ganjaran dari Allâh Azza wa Jalla, niscaya dia akan keluar dari dosa-dosanya sebagaimana
saat dia dilahirkan oleh ibunya”. [HR Ibnu Mâjah, no. 1328 dan Ibnu Khuzaimah,
no. 2201 lewar jalur periwayatan Nadhr bin Syaibân]
Sanad hadits ini lemah, karena Nadhr bin
Syaibân itu layyinul hadîts (orang yang haditsnya lemah), sebagaimana
dikatakan oleh al-Hâfizh Ibnu
Hajar rahimahullah dalam kitab Taqrîb beliau rahimahullah.
Ibnu Khuzaimah rahimahullah juga telah
menilai hadits ini lemah dan beliau rahimahullah mengatakan bahwa hadits yang
sah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
Hadits yang beliau rahimahullah maksudkan
yaitu hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhâri dan Muslim dan ulama hadits lainnya lewat jalur Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
مَنْ
قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang
shalat (qiyâm Ramadhân atau Tarawih) dengan dasar iman dan
mengharap pahala, maka diampuni dosanya yang telah lalu”.
Juga ada sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih riwayat
Bukhâri dan Muslim, yaitu :
مَنْ
حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barangsiapa yang
menunaikan ibadah haji dan tidak jima’ juga tidak fasiq, niscaya dia akan kembali seperti hari dia dilahirkan
oleh sang ibu” [HR. Bukhâri dan Muslim]
HADITS KEDUA : TENTANG PUASA ITU SETENGAH DARI KESEHATAN
… وَالصَّوْمُ نِصْفُ
الصَّبْرِ وَالطُّهُورُ نِصْفُ الْإِيْمَانِ
“Puasa itu setengah
kesabaran dan kesucian itu setengahnya iman”.
Dhaif. Hadits ini diriwayatkan oleh
at-Tirmidzi, no. 3519 dalam Kitab ad-Dâ’awât, juga diriwayatkan
oleh imam Ahmad dalam Musnad beliau rahimahullah (4/260 dan 5/363) lewat jalur
periwayatan Juraisy an-Nahdy dari seorang laki-laki bani (suku) Sulaim.
Sanad hadits ini dha’if, karena Juraisy bin Kulaib ini adalah seorang yang majhûl (tidak dikenal), sebagaimana dikatakan oleh
Imam Ibnul Madini rahimahullah (lihat, Tahdzîbut Tahdzîb, 2/78 karya
Ibnu Hajar rahimahullah).
Hadits dhaif lainnya yang senada yaitu :
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِكُلِّ شَيْءٍ زَكَاةٌ وَزَكَاةُ الْجَسَدِ الصَّوْمُ , الصِّيَامُ نِصْفُ
الصَّبْرِ
“Dari Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan,
“Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Segala sesuatu itu ada zakatnya. Zakat badan
adalah puasa. Puasa itu separuh kesabaran.” [HR. Ibnu Mâjah, no. 1745
lewat jalur Musa bin Ubaidah dari Jumhân dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu]
Sanad hadits ini lemah, karena Musa bin
Ubaidah dinilai haditsnya lemah oleh sekelompok ulama ahli hadits, sebagaimana
dijelaskan dalam kitab Tahdzîb,
10/318-320. Beliau ini seorang yang shalih dan ahli ibadah, akan tetapi lemah
dalam periwayatan hadits.
Al-Hâfizh dalam kitab Taqrîbnya
mengatakan, “Dha’if.”
Hadits yang sah tentang hal ini adalah
riwayat yang menjelaskan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada seorang
lelaki dari suku Bahilah dalam hadits yang panjang, dalam hadits yang panjang
tesrbut terdapat kalimat :
صُمْ
شَهْرَ الصَّبْرِ رَمَضَانَ
“Berpuasalah pada
bulan kesabaran yaitu Ramadhân”. [HR Imam Ahmad dengan sanad yang shahih]
Hadits yang lain yaitu hadits yang
diriwayatkan lewat jalur Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang bulan Ramadhân :
شَهْرَ
الصَّبْرِ
“bulan kesabaran
(Ramadhan)”.
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad rahimahullah
(2/263, 384 dan 513), juga dikeluarkan oleh Imam Nasa’i rahimahullah (3/218-219). Dan hadits lain lewat jalur periwayatan a’rabiyûn sebagaimana dalam Majma’uz
Zawâid (3/196) oleh al Haitsami
rahimahullah.
HADITS KETIGA : TENTANG RAMADHAN DIBAGI TIGA
أَوَّلُ
شَهْرِ رَمَضَانَ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ (وفي رواية : ووَسَطُهُ) مَغْفِرَةٌ
وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
“Awal bulan Ramadhân itu adalah rahmat, tengahnya adalah
maghfirah (ampunan) dan akhirnya merupakan pembebasan dari api neraka”. [HR Ibnu Abi Dunya, Ibnu Asâkir, Dailami dan lain-lain lewat jalur
periwayatan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu]
Hadits ini sangat lemah. Silahkan lihat kitab
Dha’if Jâmi’is Shagîr, no. 2134 dan Faidhul Qadîr, no. 2815
Hadits lemah yang senada dengan hadits diatas yaitu :
عَنْ
سَلْمَانَ الْفَارِسِيّ قَالَ : خَطَبَنَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي
آخِرِ يَوْمٍ مِنْ شَعْبَانَ فَقَالَ : أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ
عَظِيْمٌ مُبَارَكٌ ، شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ ، جَعَلَ
اللهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةً ، وَقِيَامَهُ تَطَوُّعًا ، مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ
بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ ، كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ ،
وَمَنْ أَدَّى فِيْهِ فَرِيْضَةً كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِيْنَ فَرِيْضَةً
فِيْمَا سِوَاهُ ، وَهُوَ شَهْرُ الصَّبْرِ ، وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةُ
…وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُه رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ
النَّارِ …
“Dari Salmân al-Fârisi Radhiyallahu ‘anhu,
dia mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah berkhutbah dihadapan kami pada hari terakhir bulan Sya’bân. Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, ‘Wahai
manusia, sungguh bulan yang agung dan penuh barakah akan datang menaungi
kalian, bulan yang di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu
bulan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjadikan puasa (pada bulan itu) sebagai satu
kewajiban dan menjadikan shalat malamnya sebagai amalan sunnah. Barangsiapa
yang beribadah pada bulan tersebut dengan satu kebaikan, maka sama (nilainya)
dengan menunaikan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa yang
menunaikan satu kewajiban pada bulan itu, maka sama dengan menunaikan tujuh
puluh ibadah wajib pada bulan yang lain. Itulah bulan kesabaran dan balasan
kesabaran adalah surga …. Itulah bulan yang awalnya adalah rahmat,
pertengahannya ampunan dan akhirnya adalah merupakan pembebasan dari api neraka
…..”. [HR Ibnu Khuzaimah, no. 1887 dan lain-lain]
Sanad hadits ini dha’îf (lemah), karena ada seorang perawi yang bernama Ali bin Zaid bin Jud’ân. Orang ini seorang perawi yang lemah
sebagaiamana diterangkan oleh Imam Ahmad rahimahullah, Yahya rahimahullah, Bukhâri rahimahullah, Dâru Quthni rahimahullah, Abu Hâtim rahimahullah dan lain-lain.
Ibnu Khuzaimah rahimahullah sendiri
mengatakan, “Aku tidak
menjadikannya sebagai hujjah karena hafalannya jelek.” Imam Abu Hatim rahimahullah mengatakan, “Hadits ini mungkar.”
Silahkan lihat kitab Silsilah ad-Dha’îfah Wal Maudhû’ah, no. 871, at-Targhîb
wat Tarhîb, 2/94 dan Mizânul I’tidâl, 3/127.
HADITS KEEMPAT : TENTANG TIDUR DAN DIAMNYA ORANG YANG
BERPUASA
الصَّائِمُ
فِي عِبَادَةٍ وَإِنْ كَانَ رَاقِدًا عَلَى فِرَاشِهِ
“Orang yang berpuasa
itu tetap dalam kondisi beribadah meskipun dia tidur di atas kasurnya”. [HR Tamâm]
Sanad hadits ini dha’if, karena dalam sanadnya terdapat Yahya bin Abdullah bin Zujâj dan Muhammad bin Hârûn bin Muhammad bin Bakar
bin Hilâl. Kedua orang ini tidak
ditemukan keterangan tentang jati diri mereka dalam kitab Jarh wat Ta’dil (yaitu kitab-kitab yang berisi keterangan
tentang cela atau cacat ataupun pujian terhadap para rawi). Ditambah lagi,
dalam sanad hadits ini terdapat perawi yang bernama Hâsyim bin Abu Hurairah al Himshi. Dia seorang perawi yang majhûl (tidak diketahui keadaan dirinya),
sebagaimana dijelaskan oleh adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitab beliau
rahimahullah Mizânul I’tidâl. Imam Uqaili rahimahullah mengatakan, “Orang ini haditsnya mungkar.”
Ada juga hadits lain yang semakna dengan
hadits diatas yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Dailami rahimahullah dalam
kitab Musnad Firdaus lewat jalur Anâs bin Mâlik Radhiyallahu ‘anhu dengan lafazh :
الصَّائِمُ
فِي عِبَادَةٍ وَإِنْ كَانَ نََائِمًا عَلَى فِرَاشِهِ
“Orang yang berpuasa
itu tetap dalam ibadah meskipun dia tidur di atas kasurnya”.
Sanad hadits ini maudhû’ (palsu), karena ada seorang perawi yang
bernama Muhammad bin Ahmad bin Sahl. Orang ini termasuk pemalsu hadits,
sebagaimana diterangkan oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab ad-Dhu’afa.
Silahkan, lihat kitab Silsilah ad-Dha’îfah wal Maudhû’ah, no. 653 dan kitab Faidhul Qadîr, no. 5125
Ada juga hadits lain yang semakna :
نَوْمُ
الصَّائِمِ عِبَادَةٌ وَصَمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ وَدُعَاؤُهُ
مُسْتَجَابٌ وَذَنْبُهُ مَغْفُوْرٌ
“Tidurnya orang yang
sedang berpuasa itu ibadah, diamnya merupakan tasbih, amal perbuatannya (akan
dibalas) dengan berlipatganda, doa’nya mustajab dan dosanya diampuni”. [(Dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’abul Imân dan lain-lain
dari jalur periwayatan Abdullah bin Abi Aufa.]
Sanad hadits ini maudhû’, karena dalam sanadnya terdapat seorang
perawi yang bernama Sulaiman bin Amr an-Nakha’i, seorang pendusta. [Lihat, Faidhul Qadîr, no. 9293, Silsilatud Dha’ifah, no. 4696]
HAITS KELIMA : TENTANG DO’A BUKA PUASA
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَفْطَرَ قَالَ
: اللَّهُمَّ لَكَ صُمْنَا وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْنَا فَتَقَبَّلْ مِنَّا
إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu ‘anhu, beliau Radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, apabila hendak berbuka, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan :
اللَّهُمَّ
لَكَ صُمْنَا وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْنَا فَتَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ
السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Wahai Allâh! UntukMu kami berpuasa dan dengan rizki dari
Mu kami berbuka. Ya Allâh !
Terimalah amalan kami ! Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. [Diriwayatkan oleh Daru Quthni t dalam kitab
Sunan beliau rahimahullah, Ibnu Sunni dalam kitab ‘Amalul Yaumi wal Lailah, no. 473 dan Thabrani t dalam kitab al-Mu’jamul Kabîr]
Sanad hadits ini sangat lemah (dha’îfun jiddan), karena :
Pertama : Ada seorang rawi yang bernama Abdul
Mâlik bin Hârun bin ‘Antarah. Orang ini adalah sseorang rawi yang sangat lemah.
– Imam Ahmad
rahimahullah mengatakan, “Abdul Mâlik itu dha’if.”
– Imam Yahya
rahimahullah, “Dia seorang
pendusta (kadzdzâb).”
– Sementara Ibnu Hibbân rahimahullah mengatakan, “Dia seorang pemalsu hadits.”
– Imam Sa’di mengatakan, “Dajjâl (pendusta).”
– Imam Dzahabi
rahimahullah, ‘Dia tertuduh
sebagai pemalsu hadits.”
– Ibnu Hatim
mengatakan, “Matrûk (orang yang riwayatnya ditinggalkan oleh
para Ulama).”
Kedua : Dalam sanad hadits ini terdapat juga
orang tua dari Abdul Mâlik yaitu Hârun bin ‘Antarah. Dia ini seorang rawi yang diperselisihkan oleh para Ulama ahli
hadits. Imam Daru Quthni rahimahullah menilainya lemah, sedangkan Ibni Hibbân rahimahullah telang mengatakan, “Mungkarul hadîts (orang yang haditsnya diingkari), sama sekali tidak boleh berhujjah
dengannya.”
Hadits ini telah dilemahkan oleh Imam Ibnul Qayyim
rahimahullah, Ibnu Hajar rahimahullah, al Haitsami rahimahullah dan Syaikh
al-Albâni rahimahullah dan lain-lain. Silahkan para pembaca melihat kitab-kitab
; Mizânul I’tidal (2/666), Majma’uz Zawâ’id (3/156 oleh Imam Haitsami
rahimahullah), Zâdul Ma’âd dalam kitab Shiyâm oleh Imam Ibnul Qayyim t dan
Irwâ’ul Ghalîl (4/36-39 oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah)
Hadits dhaif lainnya tentang do’a berbuka yaitu :
عَنْ
أَنَسٍ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ n كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ
: بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Dari Anas
Radhiyallahu ‘anhu, beliau
Radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila berbuka, beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengucapkan :
بسم الله
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Dengan nama Allâh, Ya Allâh karenaMu aku berpuasa dan dengan rizki dari Mu aku berbuka”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani
rahimahullah dalam kitab al-Mu’jamus
Shagîr, hlm. 189 dan al-Mu’jam Ausath.
Sanad hadits ini lemah (dha’îf), karena
Pertama : Dalam sanad hadits ini terdapat
Ismail bin Amar al Bajali. Dia adalah seorang rawi yang lemah. Imam Dzahabi
rahimahullah mengatakan dalam kitab adh-Dhu’âfa, “Bukan hanya satu
orang saja yang melememahkannya.”
Imam Ibnu ‘Adi rahimahullah mengatakan, “Orang ini sering membawakan hadits-hadits yang tidak boleh diikuti.”
Imam Ibnu Hâtim rahimahullah mengatakan, “Orang ini lemah.”
Kedua : Dalam sanadnya terdapat Dâwud bin az-Zibriqân. Syaikh al-Albâni
rahimahullah mengatakan, “Orang
ini lebih jelek daripada Ismail bin Amr al bajali.”
Sementara itu, Imam Abu Dâwud rahimahullah, Abu Zur’ah rahimahullah dan Ibnu Hajar rahimahullah
memasukkan orang ini ke golongan matrûk (orang yang riwayatnya ditinggalkan oleh para Ulama ahli hadits).
Imam Ibnu ‘Adi mengatakan, “Biasanya
apa yang diriwayatkan oleh orang ini tidak boleh diikuti.” (lihat, Mizânul I’tidâl, 2/7)
Hadits Thabrani rahimahullah ini pernah dibawakan oleh
Ustadz Abdul Qadir Hassan dalam risalah puasa, namun beliau tidak mengomentari
derajatnya.
Masih tentang do’a berbuka, ada hadits dha’if
lainnya yang senada yaitu :
عَنْ
مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم-
كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ « اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Dari Mu’adz bin Zuhrah, telah sampai kepadanya bahwa
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam apabila hendak berbuka, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan :
اللَّهُمَّ
لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Ya Allâh karenaMu aku berpuasa dan dengan rizki dari
Mu aku berbuka”.
Hadits ini dha’if l(lemah). Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dâwud, no. 2358, al-Baihaqi, 4/239, Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Sunni.
Lafazh hadits ini sama dengan hadits sebelumnya, hanya beda dalam kalimat
awalnya. Hadits ini lemah karena ada dua illah (penyebab) :
Pertama : Mursal [1]. Karena Mu’adz bin Zuhrah, seorang tabi’in bukan shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua : Juga karena Mu’adz bin Zuhrah ini seorang rawi yang majhûl, tidak ada yang meriwayatkan hadits darinya
selain Hushain bin Abdurrahman. Sementara Ibnu Abi Hâtim rahimahullah dalam kitab beliau rahimahullah Jarh Wa Ta’dil tidak menerangkan tentang celaan maupun
pujian untuknya.
Sebatas yang saya ketahui, tidak ada satu
riwayatpun yang sah tentang do’a
berbuka puasa kecuali riwayat dibawah ini :
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا
أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ
شَاءَ اللَّهُ
“Dari Ibnu Umar
Radhiyallahu ‘anhuma, adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam apabila berbuka puasa, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan :
ذَهَبَ
الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Dahaga telah lenyap,
urat-urat telah basah dan pahala atau ganjaran tetap ada insya Allâh”
Hadits ini hasan riwayat Abu Dâwud, no. 2357; Nasâ’i, 1/66; Daru Quthni, ia mengatakan, “Sanad hadits ini hasan.”;
al Hâkim, 1/422 dan Baihaqi,
4/239. Syaikh al-Albâni
rahimahullah sepakat dengan penilai Daru Quthni terhadap hadits ini.
Sebatas yang saya ketahui, semua rawi
(orang-orang yang meriwayatkan) hadits ini adalah tsiqah (terpercaya) kecuali
Husain bin Wâqid. Dia seorang rawi
yang tsiqah namun memiliki sedikit kelemahan , sehingga tepatlah kalau sanad
hadits ini dinilai hasan.
HADITS KEENAM : TENTANG KEUTAMAAN I’TIKAF
مَنِ
اعْتَكَفَ عَشْرًا فِي رَمَضَانَ كَانَ كَحَجَّتَيْنِ وَعُمْرَتَيْنِ
“Barangsiapa yang
beri’tikaf pada sepuluh hari
(terakhir) bulan Ramadhân, maka
dia seperti telah menunaikan haji dan umrah dua kali”.
Diriwayatkan oleh al-Baihaqi rahimahullah
dalam kitab beliau Syu’abul Imân dari Husain bin Ali bin Thâlib Radhiyallahu ‘anhuma. hadits ini Maudhû’.
Syaikh al-Albâni rahimahullah dalam kitab beliau Dha’if Jami’ish Shaghiir, no.
5460, mengatakan ,”Maudhû.’ Kemudian beliau rahimahullah menjelaskan penyebab kepalsuan hadits ini
dalam kitab beliau rahimahullah Silsilah ad-Dha’ifah, no. 518
Hadits dha’if lain yang hampir senada yaitu :
مَنِ
اعْتَكَفَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang
beri’tikaf atas dasar keimanan dan
mengharapkan pahala, maka dia diampuni dosanya yang telah lewat”.
Hadits dha’if riwayat Dailami rahimahullah dalam Musnad Firdaus. Al-Munâwi rahimahullah, dalam kitab beliau Faidhul
Qadîr, syarah Ja’mi’ Shaghîr (6/74, no. 8480)
mengatakan, “Dalam hadits ini
terdapat rawi yang tidak aku ketahui.”
HADITS KETUJUH : TENTANG BERANDAI-ANDAI RAMADHAN SEPANJANG
TAHUN
لَوْ
يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا (فِي ) رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ يَكُوْنَ
السَّنَةُ كٌلَّهَا
“Sekiranya manusia
mengetahui apa yang ada pada buan Ramadhân, niscaya semua umatku berharap agar Ramadhân itu sepanjang tahun”.
Maudhu’. Ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah rahimahullah, no. 1886 lewat
jalur periwayatan Jarîr bin Ayyûb al Bajali, dari asy-Sya’bi dari Nâfi’ bin Burdah, dari Abu
Mas’ud al-Ghifari- ia mengatakan, “Suatu hari, aku mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda , “(lalu
beliau menyebutkan hadits diatas).
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah membawakan
hadits di atas dalam kitab beliau rahimahullah al-Maudhû’ât, 2/189 lewat jalur periwayatan Jarîr bin Ayyûb al Bajali dari
Sya’bi dari Nâfi’ bin Burdah dan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu .
kemudian beliau rahimahullah mengatakan, “Hadits ini maudhû’ (palsu)
dipalsukan atas nama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang tertuduh telah memalsukan hadits ini
adalah Jarîr bin Ayyûb.
Yahya rahimahullah mengatakan, ‘Orang-orang ini tidak ada apa-apanya (laisa bi
syai-in).’
Fadhl bin Dukain rahimahullah mengatakan, ‘Dia termasuk orang yang biasa memalsukan
hadits.’
An-Nasa’i dan Daru Quthni rahimahullah mengatakan, ‘Matrûk (orang yang
haditsnya tidak dianggap).'”
Imam Syaukani rahimahullah dalam kitab al-Fawâ-idul Majmû’ah Fil Ahâdîtsil Maudhû’ah, no. 254 mengomentari hadits diatas, “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la rahimahullah lewat jalur Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu ‘anhu
secara marfuu. Hadits ini maudhû
(palsu). Kerusakannya ada pada Jarîr bin Ayyûb dan susunan
lafazhnya merupakan susunan yang bisa dinilai oleh akal bahwa itu adalah hadits
palsu.’
HADITS KEDELAPAN : TENTANG RAMADHAN BULAN TERBAIK BAGI KAUM
MUSLIMIN
مَا
أَتَى عَلَى الْمُسْلِمِينَ شَهْرٌ خَيْرٌ لَهُمْ مِنْ رَمَضَانَ وَلَا أَتَى
عَلَى الْمُنَافِقِينَ شَهْرٌ شَرٌّ مِنْ رَمَضَانَ
“Tidak ada bulan yang
datang kepada kaum Muslimin yang lebih baik daripada Ramadhân . dan tidak datang kepada kaum Munafiqin
bulan yang lebih buruk daripada bulan Ramadhân”.
Hadits ini dha’if. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah (2/330, Fathurrabbani,
9/231-232), Ibnu Khuzaimah, no. 1884 dan lain-lainnya. Semua riwayat ini
melalui jalur periwayatan Katsîr
bin Zaid rahimahullah dari Amr bin Tamim dari bapaknya dari Abu Hurairah secara
marfu’
Al-Haitsami rahimahullah dalam kitabnya Majma’uz Zawâid, 3/140-141 mengatakan, “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah dan Thabrani
rahimahullah dalam kitabnya al-Ausath dari Tamîm dan aku tidak menemukan riwayat hidup Tamîm.” Maksudnya Tamîm (bapaknya Amr) seorang perawi yang majhûl.
Dalam kitab Mizânul I’tidâl, 3/249, adz Dzahabi rahimahullah mengatakan,
“Amr bin Tamim dari bapaknya dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
tentang keutamaan bulan Ramadhân.
Dan dari Amr, hadits ini diriwayatkan oleh Katsîr bin Zaid. Tentang Amr bin Tamim, Imam Bukhâri rahimahullah mengatakan, ‘Haditsnya perlu diteliti (Fi hadîtsihi nazhar).”
Ini adalah salah satu istilah Imam Bukhâri dalam mengkritik dan menerangkan cacat
perawi yang sangat halus akan tetapi makna dan maksudnya dalam sekali. Apabila
Imam Bukhâri mengatakan, “Fiihi nazhar atau fi haditsihi nazhar, maka
perawi itu derajatnya lemah atau bahkan sangat lemah. ”
HADITS KESEMBILAN : TENTANG MENGQADHA PUASA RAMADHAN DENGAN
CARA BERTURUT-TURUT
مَنْ
كَانَ عَلَيْهِ صَوْمُ رَمَضَانَ فَلْيَسْرُدْهُ وَلاَ يَقْطَعْهُ
“Barangsiapa yang
memiliki tanggungan shaum (puasa) Ramadhân, maka hendaknya dia mengqadha’nya dengan cara berturut-turut dan tidak diputus-putus (selang-seling)”.
Hadits ini dha’if. Hadits ini diriwayatkan oleh Daru Quthni rahimahullah dalam
sunannya, 2/191-192 dan al-Baihaqi dalam sunan beliau, 2/259 lewat jalur
Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh
dari ‘Alâ bin Abdurrahman dari bapaknya dari Abu Hurairah (ia mengatakan), Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : (seperti hadits diatas).
Sanad hadits ini dha’if (lemah), karena Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh adalah seorang rawi yang dha’if (lemah).
Ad-Daaru Quthni rahimahullah mengatakan, “Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh adalah dha’îful hadîts (orang yang
haditsnya lemah).”
Al Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya Talkhishul Habîr ,2/260, no. 920 mengatakan, “Ibnu Abil Hâtim rahimahullah telah menerangkan bahwa bapaknya yaitu Abu Hâtim telah mengingkari hadits ini karena ada
Abdurrahman.”
Al-Baihaqi rahimahullah mengatakan, “Dia (Abdurrahman bin Ibrahim al Qâsh) telah dinilai lemah oleh Ibnu Ma’in rahimahullah, Nasa’i rahimahullah dan Daru Quthni rahimahullah.”
Adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitab Mizânul I’tidâl, 2/545, “Diantara hadits-hadits mungkarnya adalah ….. (kemudian beliau rahimahullah membawakan
hadits di atas)
Ada juga hadits dha’if lainnya yang bertentangan dengan hadits dha’if di atas yaitu :
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ فِى قَضَاءِ
رَمَضَانَ : إِنْ شَاءَ فَرَّقَ وَإِنْ شَاءَ تَابَعَ
“Dari Ibnu Umar
Radhiyallahu ‘anhuma, beliau
Radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang qadha’ Ramadhân, ‘Jika ia mau, dia bisa
mengqadha’nya dengan dipisah-pisah
(selang-seling) dan jika dia mau, dia juga bisa mengqadha’nya secara beturut-turut (tanpa
diselang-seling)”.
Hadits ini dha’if. Hadits ini diriwayatkan oleh Daru Quthni rahimahullah, 2/193 lewat
jalur periwayatan Sufyân bin
Bisyr, ia mengatakan, ‘Kami telah
diberitahu oleh Ali bin Mishar dari Ubaidullah bin Umar dari Nâfi’ dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dia mengatakan : (seperti hadits di atas)
Sebatas yang saya ketahui, sanad hadits ini
dha’if karena Sufyaan bin Bisyr
adalah seorang perawi yang majhûl,
sebagaimana telah ditegaskan oleh Syaikh al-Albâni rahimahullah, karena beliau rahimahullah tidak mendapatkan riwayat
hidupnya. Kemudian syaikh al-Albâni
rahimahullah mengatakan, “Ringkasnya,
tidak ada satu pun hadits marfu’
yang sah yang menerangkan (mengqadha’ shaum Ramadhân) dengan
selang-seling dan tidak juga berturut-turut. Pendapat yang lebih dekat (kepada
kebenaran) ialah boleh mengqadha’
dengan cara keduanya, sebagaimana pendapat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu. [Lihat Irwâ’ul Ghalîl, 4/97]
Demikianlah beberapa contoh hadits dha’if bahkan sebagiannya maudhu’ yang banyak beredar dan sering diulang-ulang
penyampaiannya diatas mimbar pada bulan Ramadhân. Semoga naskah singkat ini bisa menjadi pengingat bagi kita untuk
tidak lagi menjadikan hadits-hadits diatas sebagai hujjah dalam beramal.
Cukuplah bagi kita dengan mengikuti hadits-hadits shahih atau hadits-hadits
yang layak dijadikan sebagai hujjah. Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa
membimbing kita untuk mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara mengamalkan
hadits-hadits yang tsabit dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi, 04-05/Tahun
XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Hadits mursal yaitu hadits yang
diriwayatkan langsung dari rasulullah n oleh tabi’in tanpa perantara shahabat
From
<https://almanhaj.or.id/3950-hadits-hadits-dhaif-maudhu-yang-banyak-beredar-pada-bulan-ramadhan.html>