Islam Pedoman Hidup: Mafsadat
Tampilkan postingan dengan label Mafsadat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mafsadat. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 13 Mei 2017

Kaidah Penting: Menolak Mafsadat Didahulukan daripada Mengambil Manfaat


Menolak Mafsadat Didahulukan daripada Mengambil Manfaat

Dalil dari kaidah ini adalah:

1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَلاَ تَسُبُّواْ الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ فَيَسُبُّواْ اللّهَ عَدْواً بِغَيْرِ عِلْم
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al-An’am:108)

Allah mengharamkan mencela sesembahan kaum musyrikin. Padahal celaan tersebut merupakan kemarahan dan kecemburuan karena Allah dan sebagai bentuk penghinaan kepada sesembahan mereka. Musababnya, celaan tersebut merupakan pengantar munculnya celaan mereka kepada Allah dan maslahat tidak dicelanya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu lebih besar daripada maslahat celaan kita pada sesembahan mereka.

2. Telah datang dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha; Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يا عائشة لو لا أن قومك حديثوا عهد بجاهلية لأمرت بالبيت فهدم فأدخلت فيه ما أخرج منه و ألزقته الأرض
Wahai Aisyah, seandainya kaummu bukan orang-orang yang baru meninggalkan masa jahiliah, tentu aku perintahkan agar Baitullah dirombak. Kemudian aku bangun dan aku masukkan apa yang dikeluarkan darinya, dan niscaya aku turunkan sejajar dengan tanah ….” (Muttafaq ‘alaih)

Dalam hadits ini terdapat indikasi yang jelas atas makna kaidah ini. Yaitu ketika Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam meninggalkan maslahat membangun Baitullah al-‘atiq di atas pondasi Ibrahim ‘alaihis salam demi menolak mafsadat yang dikhawatirkan terjadi (apabila beliau meruntuhkan Ka’bah kemudian membangun kembali), yaitu larinya manusia dari Islam atau murtadnya mereka disebabkan perbuatan tersebut. Dengan demikian, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mendahulukan menolak mafsadat ini daripada mengejar maslahat tersebut.

3. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menahan diri dari memerangi orang-orang munafik. Padahal itu mengandung kemaslahatan. Ini dimaksudkan agar tidak menjadi penyebab larinya manusia dan menimbullkan penilaian mereka bahwa Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam membunuh shahabatnya.

4. Larangan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dari memerangi pemimpin dan memberontak kepada imam (penguasa) walaupun mereka berbuat zalim, selama mereka melaksanakan shalat. Tujuannya, yaitu demi menutup pintu-pintu yang bisa mengantarakan kepada kerusakan yang besar dan kejelekan yang banyak. Alasannya, memerangi dan memberontak terhadap penguasa menyebabkan timbulnya kemungkaran yang berlipat ganda daripada kemungkaran-kemungkaran yang sudah ada, sedangkan umat tetap berada dalam akibat-akibat kejelekan sampai sekarang.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما
Jika dua khalifah dibai’at maka perangilah yang kedua.” (HR. Muslim, dari Abu Sa’id)

Hal itu dilakukan sebagai bentuk penjagaan terhadap fitnah (ujian, ed.).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah menyebutkan sejumlah cabang yang bersumber dari kaidah “menolak mafsadat lebih utama daripada mengambil maslahat”. Selanjutnya, beliau rahimahullah menyampaikan bahwa jika maslahat dan mafsadat bertemu, maka yang diutamakan adalah yang paling kuat dari keduanya.

Secara rinci, beliau menjelaskan sebuah pemaparan yang intinya:

Termasuk pokok ajaran ahlus sunnah wal jama’ah adalah: mengikuti al-jamaah, tidak memerangi para pemimpin (yakni pemimpin yang fasik), dan menghindari peperangan di masa fitnah (tertimpa ujian, ed.).

Intisari hal itu masuk dalam kaidah yang umum “apabila betemu antara maslahat dan mafsadat, kebaikan dan kejelekan, atau saling berbenturan, maka wajib menimbang yang paling kuat di antara keduanya”.

Dasarnya, sesungguhnya perintah dan larangan – walaupun dapat membuahkan kemaslahatan dan menolak mafsadat – tetap harus diteliti bila saling berbenturan. Jika maslahat yang hilang atau mafsadat yang terjadi lebih banyak, maka hal itu tidak diperintahkan. Bahkan hukumnya haram jika mafsadat yang timbul lebih besar daripada maslahat yang didapat.

Syaikhul Islam juga merinci bahwa ukuran maslahat dan mafsadat harus diukur dengan timbangan syariat. Atas dasar ini, jika ada seseorang atau kelompok yang di dalamnya tergabung hal-hal ma’ruf dan mungkar – dan mereka tidak bisa memisahkan antara keduanya, bahkan mereka mengerjakan semuanya atau meninggalkan semuanya – maka orang/kelompok tersebut tidak boleh diperintah mengerjakan hal ma’ruf atau dicegah dari kemungkaran kecuali setelah permasalahan tersebut diteliti.

Jika perkara ma’rufnya lebih banyak maka: [i] Hal tersebut diperintahkan walau berkonsekuensi melahirkan kemungkaran yang lebih kecil; [ii] Jangan dicegah dari kemungkaran jika berkonsekuensi hilangnya perkara ma’ruf yang lebih besar. Karena mencegah orang/kelompok tersebut pada kondisi ini termasuk usaha untuk menghilangkan ketaatan kepada-Nya dan Rasul-nya serta menghilangkan perbuatan baik.

Jika kemungkaran lebih besar maka perbuatan tersebut harus dicegah walaupun berkonsekuensi menghilangkan perkara ma’ruf yang lebih ringan. Dalam kondisi seperti ini, memerintahkan kepada yang ma’ruf dengan melahirkan kemungkaran yang lebih besar termasuk perkara mungkar dan merupakan usaha yang mendukung kemasiatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Jika ma’ruf dan mungkar berimbang dan saling berkaitan, maka tidaklah diperintahkan kepada keduanya, dan terkadang baik untuk diperintahkan juga terkadang baik untuk dicegah, dan terkadang tidak baik untuk diperintah atau tidak baik utuk dicegah karena yang ma’ruf dan yang mungkar saling berkaitan. Hal itu kadang terjadi pada kasus tertentu.

Adapun dari sisi jenisnya maka diperintahkan kepada yang ma’ruf secara mutlak, dan dilarang dari yang mungkar secara mutlak pula. Penerapannya pada diri seseorang dan sebuah kelompok adalah dengan memerintahkannya kepada perkara ma’ruf dan mencegahnya dari kemungkaran. Perbuatan tersebut terpuji bila perintah kepada yang ma’ruf tidak menimbulkan hilangnya pekara ma’ruf yang lebih besar atau melahirkan kemungkaran yang lebih besar. Juga apabila mencegah kemungkaran tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar atau hilangnya perkara ma’ruf yang lebih banyak. (Majmu’ Al-Fatawa, 28:128–131; kitab Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar, hlm. 21)
_____________________
Disarikan dari buku Jadilah Salafi Sejati (terjemahan dari kitab Kun Salafiyyahn ‘alal Jaddah). Syaikh Dr. Abdussalam bin Salim As-Suhaimi. 2007. Jakarta: Pustaka At-Tazkia.
Dengan penyuntingan bahasa oleh Redaksi Muslimah.Or.Id
Artikel Muslimah.Or.Id


Sumber: https://muslimah.or.id/5148-kaidah-penting-menolak-mafsadat-didahulukan-daripada-mengambil-manfaat.html

 
Baca Selengkapnya >>>

Selasa, 17 Mei 2016

Kaidah : Menolak Mafsadat Lebih Didahulukan daripada Mencari Maslahat

Dasar kaidah ini adalah :


  1. Firman Allah ta’ala :
    يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا
    Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya" [QS. Al-Baqarah : 219].

    Ibnu Katsir rahimahullah berkata : “Dosanya itu menyangkut masalah agama, sedangkan manfaatnya berhubungan dengan masalah duniawi, yaitu minuman itu bermanfaat bagi badan, membantu pencernaan makanan, mengeluarkan sisa-sisa makanan, mempertajam sebagian pemikiran, kenikmatan, dan daya tariknya yang menyenangkan. Sebagaimana dikatakan oleh Hasan bin Tsabit pada masa Jahiliyyah :

    Kami meminumnya hingga kami terasa sebagai raja dan singa
    Yang pertemuan itu tidak menghentikan kami



    Demikian juga menjualnya dan memanfaatkan uang hasil dari penjualannya. Dan juga keuntungan yang mereka dapatkan dari permainan judi, lalu mereka nafkahkan untuk diri dan keluarganya. Tetapi faedah tersebut tidak sebanding dengan bahaya dan kerusakan yang terkandung di dalamnya, karena berhubungan dengan akal dan agama. Untuk itu Allah berfirman : ”tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya" [selesai – Tafsir Ibni Katsir 2/291-292].
  2. Firman Allah ta’ala :
    وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
    “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan” [QS. Al-An’am : 108].

    Memaki sembahan mereka sebenarnya merupakan upaya membuat mereka marah, menghinakan mereka dan sembahan mereka, serta sebagai satu pembelaan terhadap agama Allah. Namun Allah melarangnya karena jika kita menempuh jalan tersebut akan terbuka jalan/sebab mereka memaki Allah tanpa ilmu. Hal itu merupakan mafsadat yang lebih besar lagi. Oleh karena itu maslahat untuk tidak memaki sembahan mereka lebih besar daripada maslahat yang dicapai dengan memaki sembahan mereka.
  3. Hadits ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda :
    يا عائشة لولا أن قومك حديث عهد بجاهلية لأمرت بالبيت فهدم فأدخلت فيه ما أخرج منه وألزقته بالأرض
    “Wahai ‘Aisyah, seandainya bukanlah karena kaummu baru saja lepas dari Jahiliyyah, niscaya aku akan perintahkan meruntuhkan Ka’bah, lalu aku masukkan ke dalamnya apa yang pernah dikeluarkan daripadanya, dan niscaya aku akan tempelkan (pintunya) ke tanah…” [HR. Al-Bukhari no. 1586 dan Muslim no. 1333].

    Hadits di atas memberikan satu pelajaran bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam meninggalkan kemaslahatan pembangunan Ka’bah sesuai aslinya berdasarkan asas Nabi Ibrahim ‘alaihis-salaamdemi menolak mafsadah; yaitu jika beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam meruntuhkannya, maka manusia akan lari dari Islam atau murtad karenanya. Maka, beliau shallallaahu ‘alaihi wasallammendahulukan menolak mafsadah daripada upaya mencari maslahat.
  4. Hadits Jabir radliyallaahu ‘anhu tentang ‘Abdullah bin Ubay bin Salul dan kaum munafiqin lainnya :
    وقال عبد الله بن أبي بن سلول أقد تداعوا علينا لئن رجعنا إلى المدينة ليخرجن الأعز منها الأذل فقال عمر ألا نقتل يا رسول الله هذا الخبيث لعبد الله فقال النبي صلى الله عليه وسلم لا يتحدث الناس أنه كان يقتل أصحابه
    “’Abdullah bin Ubay bin Salul berkata : ‘Apakah orang-orang Muhajirin menantang kita ? Jika kita sudah kembali ke Madinah, pasti kelompok yang kuat akan mengusir kelompok yang lemah dari Madinah’. ‘Umar berkata : ‘Ya Rasulullah, mengapa tidak kita bunuh saja orang jahat ini ?’. Maksudnya : ’Abdullah bin ’Ubay bin Salul. Maka Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ’Jangan sampai orang-orang berkata bahwa Muhammad membunuh shahabatnya sendiri” [HR. Al-Bukhari no. 3518].

    Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam menahan diri dari membunuh kaum munafiqin padahal (kalaupun dilakukan) terdapat maslahat. Namun hal itu tidak dilakukan agar tidak menjadi sebab larinya manusia (dari Islam) dan mereka mengatakan bahwa Muhammad telah membunuh para shahabatnya.
Jika terkumpul di dalamnya antara maslahat dan mafsadat dalam satu perkara, maka harus dipertimbangkan dengan benar untuk mengambil kesimpulan dalam amalan. Wajib baginya untuk merajihkan, mana yang lebih dominan antara maslahat atau mafsadatnya yang akan timbul. Jika maslahat yang dihasilkan lebih besar daripada mafsadatnya, maka dianjurkan baginya untuk melakukan amalan tersebut. Akan tetapi jika sebaliknya, mafsadat yang ditimbulkan lebih besar daripada maslahatnya, maka ia tidak boleh untuk melaksanakannya. Bahkan haram dilakukan. Jika maslahat dan mafsadat yang ditimbulkan sama, maka hendaknya ia tetap tidak melakukannya sebagai langkah kehati-hatian (terhadap mafsadah yang diperkirakan timbul).

Oleh karena itu, tidak selamanya kemaslahatan itu harus dilakukan. Perlu pemikiran yang jernih dan analisis yang jeli sehingga amalan yang dilakukan tepat sesuai dengan keinginan Pembuat syari’at.


Abul-Jauzaa’.
NB : Saya jadi ingat dalam pembicaraan beberapa waktu silam tentang usaha yang dilakukan sebagian ikhwah untuk membuka wawasan keilmuan pada salafiyyin dengan menampilkan pendapat-pendapat yang kurang ’populer’ (pake apostrof) di kalangan ulama (baik klasik atau kontemporer). Maslahat yang hendak dicapai agar ikhwah salafiyyun tidak jumud dalam ilmu. Namun sayangnya hal itu justru menimbulkan mafsadat dicelanya beberapa da’i salafiyyin oleh pihak yang tidak senang dengan dakwah salaf karena mereka dianggap hanya memunculkan satu pendapat saja yang sesuai dengan mereka, dan terkesan ’menyembunyikan’ khilaf. Padahal, sifat fatwa, penjelasan, dan jawaban pada asalnya adalah ringkas sesuai dengan yang ditanyakan karena tujuannya adalah untuk segera diamalkan. Berbeda halnya jika hal itu merupakan pembahasan khusus sehingga perlu ditampilkan keluasan pandangan dari berbagai fuqahaa’ beserta dalil-dalil yang mungkin mereka pergunakan untuk membangun pendapatnya. Mungkin ini masih debatable tergantung dari sisi mana ia memandangnya. Oleh karena itu, usaha-usaha semacam ini – yang pada asalnya baik - menurut hemat saya hendaknya memperhatikan faktor kapan, dimana, dan pada siapa. Semoga Allah memberikan keistiqamahan, barakah, dan hidayah kepada kita semua. Amien...

from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2008/11/kaidah-menolak-mafsadat-lebih.html
Baca Selengkapnya >>>