Baca pembahasan sebelumnya Perbedaan antara Ibadah Mahdhah dan Ibadah Ghairu Mahdhah (Bag. 1)
Jenis-jenis ibadah ghairu mahdhah
Terdapat beberapa model ibadah ghairu mahdhah, di antaranya:
Pertama, melakukan berbagai macam kewajiban dan perkara yang dianjurkan yang pada asalnya bukanlah termasuk dari ibadah.
Misalnya, memberikan nafkah kepada anak dan istri; melunasi hutang;
menikah; menghutangi orang lain; memberikan pinjaman barang kepada orang
yang membutuhkan; memberikan hadiah; berbuat baik kepada kedua orang
tua; memuliakan tamu; dan yang lainnya.
Jika seorang muslim melaksanakan berbagai perkara tersebut -baik yang
statusnya wajb maupun sunnah- dalam rangka mencari ridha dan pahala
dari Allah Ta’ala, maka perkara-perkara tersebut statusnya adalah ibadah
sehingga pelakunya berhak mendapatkan pahala karenanya.
Misalnya, seorang kepala rumah tangga yang memberikan nafkah kepada
anak-anaknya dengan niat untuk memenuhi perintah Allah Ta’ala dan dengan
niat untuk mendidik anak-anaknya agar mereka beribadah kepada Allah
Ta’ala. Juga seseorang yang menikah dengan niat untuk menjaga dirinya
dari perbuatan zina.
Perhatian: Menikah dan jual beli termasuk perkara yang pada asalnya non-ibadah atau ibadah ghairu mahdhah. Hal
ini karena tanpa wahyu, manusia sudah biasa beraktivitas jual beli dan
menikah. Dan juga maksud pokok kedua aktivitas tersebut adalah dalam
rangka memenuhi kebutuhan duniawi. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya,
kedua perkara ini kemudian diatur dalam syariat.
وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ بِهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ
“Dan kamu tidaklah menginfaqkan suatu nafkah yang hanya kamu niatkan
untuk mencari ridha Allah, kecuali pasti diberi balasan pahala atasnya,
bahkan sekalipun nafkah yang kamu berikan untuk mulut isterimu.” (HR. Bukhari no. 1295 dan Muslim no. 1628)
Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا أَنْفَقَ المُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ، وَهُوَ يَحْتَسِبُهَا، كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً
“Jika seorang muslim memberi nafkah pada keluarganya dengan niat mengharap pahala, maka baginya hal itu adalah sedekah.” (HR. Bukhari no. 5351 dan Muslim no. 1002)
Karena pahala tersebut sesuai dengan niat pelakunya, maka bisa jadi
seorang suami tidak mendapatkan pahala ketika dia memberikan nafkah
kepada anak dan istrinya. Misalnya, suami memberikan nafkah karena
itulah memang kewajiban suami menurut adat kebiasaan di masyarakat.
Kalau tidak memberikan nafkah, dia khawatir akan menjadi buah bibir di
masyarakat. Atau tidak lebih dari niat dan alasan semacam itu.
Misalnya, meninggalkan riba; meninggalkan perbuatan mencuri; tidak
melakukan penipuan; meninggalkan minum khamr; dan perbuatan yang
lainnya. Perbuatan meninggalkan yang haram tersebut hanya akan berpahala
jika pelakunya meniatkan dalam hati untuk mencari pahala dari Allah
Ta’ala, karena motivasi takut terhadap adzab dan hukuman-Nya.
Jadi, seseorang yang meninggalkan minum khamr, hanyalah akan
berpahala jika dilandasi oleh niat dan motivasi tersebut. Jika tidak
ada, maka tidak berpahala. Misalnya, seseorang tidak minum khamr karena
memang tidak pernah terlintas dalam pikiran untuk minum khamr atau
semata-mata karena tidak suka dengan bau minuman khamr. Jika latar
belakang meninggalkan minum khamr adalam semacam ini, maka tidak
berpahala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَقُولُ
اللَّهُ: إِذَا أَرَادَ عَبْدِي أَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً، فَلاَ
تَكْتُبُوهَا عَلَيْهِ حَتَّى يَعْمَلَهَا، فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا
بِمِثْلِهَا، وَإِنْ تَرَكَهَا مِنْ أَجْلِي فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً،
وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً فَلَمْ يَعْمَلْهَا فَاكْتُبُوهَا
لَهُ حَسَنَةً، فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ بِعَشْرِ
أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ
“Allah berfirman, ‘Jika seorang hamba-Ku ingin melakukan kejahatan
(keburukan), maka janganlah kalian catat hingga dia melakukannya. Jika
dia melakukannya, maka catatlah dengan yang semisalnya (yaitu satu
kejelekan, pent.). Dan jika dia meninggalkannya karena Aku, maka catatlah satu kebaikan baginya.
Adapun jika dia berniat melakukan kebaikan, meskipun dia belum
melakukannya, maka catatlah kebaikan baginya. Dan jika dia melakukannya,
maka catatlah sepuluh kebaikan baginya, bahkan hingga tujuh ratus kali
lipat’.” (HR. Bukhari no. 7501 dan Muslim no. 128. Lafadz hadits ini milik Bukhari)
Ketiga, melakukan perkara yang pada asalnya mubah (bukan perkara
wajib atau perkara sunnah), dengan niat sebagai sarana untuk
melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala, maka perbuatan tersebut
berpahala.
Misalnya, seseorang makan, minum, dan tidur. Perkara-perkara tersebut
pada asalnya adalah perkara mubah, yang tidak bernilai ibadah. Akan
tetapi, jika seseorang melaksanakan berbagai aktivitas tersebut dengan
niat untuk membantu melaksanakan ketaatan atau ibadah kepada Allah
Ta’ala, maka aktivitas dan perbuatan tersebut bisa mendatangkan pahala
dari sisi Allah Ta’ala.
Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah cakupan makna umum
dari hadits yang telah kami sebutkan sebelumnya berkaitan dengan
memberikan nafkah kepada istri atau keluarga.
Juga dikuatkan oleh perkataan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, ketika ditanya oleh Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu Ta’ala ‘anhu berkaitan dengan aktivitasnya membaca Al-Qur’an. Maka Mu’adz bin Jabal radhiyallahu Ta’ala ‘anhu berkata,
أَنَامُ
أَوَّلَ اللَّيْلِ، فَأَقُومُ وَقَدْ قَضَيْتُ جُزْئِي مِنَ النَّوْمِ،
فَأَقْرَأُ مَا كَتَبَ اللَّهُ لِي، فَأَحْتَسِبُ نَوْمَتِي كَمَا
أَحْتَسِبُ قَوْمَتِي
“Saya tidur diawal malam, kemudian bangun, kulaksanakan hak tidurku, dan aku baca apa yang Allah tetapkan bagiku. Aku berharap pahala dari tidurku sebagaimana berharap pahala dari shalat malamku.” (HR. Bukhari no. 4341)
Dalam hadits di atas, Mu’adz tidur di awal malam dengan niat agar
bisa bangun di akhir malam untuk membaca Al-Qur’an dan juga shalat
malam. Jadi, Mu’adz menjadikan aktivitas tidurnya dalam rangka
membantunya untuk melaksanakan ibadah kepada Allah Ta’ala, yaitu membaca
Al-Qur’an di akhir malam (menjelang subuh).
Perhatian:
Perkara-perkara yang hukum asalnya mubah ini bisa mendatangkan pahala jika dijadikan sebagai sarana untuk
melaksanakan ibadah kepada Allah Ta’ala. Akan tetapi, jika perkara
mubah itu sendiri dijadikan sebagai ibadah yang diyakini bisa
mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, maka dalam kondisi semacam ini,
dia terjatuh ke dalam perbuatan bid’ah.
Contoh, makan daging hukum asalnya mubah. Jika seseorang makan
daging, dan meyakini bahwa makan daging itu sendiri adalah aktivitas
yang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, maka aktivitas makan daging dalam kondisi itu adalah bid’ah. Hal ini karena seseorang menjadikan perkara tertentu sebagai ritual ibadah, padahal tidak ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian juga berpakaian. Orang pada asalnya bebas berpakaian dengan
bahan apa saja, kecuali jika terdapat larangan dari syariat. Namun, jika
seseorang meyakini bahwa memakai pakaian dari kain wol itu memiliki
nilai lebih atau keistimewaan tertentu sehingga dengan memakainya dia
bisa lebih dekat kepada Allah Ta’ala, maka keyakinan semacam ini adalah
bid’ah, karena tidak ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Perkara ini haruslah dibedakan, sehingga seseorang dapat menjaga dirinya dari terjatuh ke dalam bid’ah.
Dari penjelasan ini, dapat kita ketahui bahwa perkara ibadah adalah
perkara yang sangat luas cakupannya. Sehingga hendaknya setiap kita
berlomba-lomba, siapakah di antara kita yang paling bagus amal
ibadahnya.