Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ibnu Bâzrahimahullâh
Pertanyaan
Apa hukum terhadap orang yang meledakkan dirinya, yang membunuh sekelompok kaum Yahudi dengan tindakannya tersebut?
Jawaban
Pandangan saya, -sungguh kami telah berulang kali memberikan peringatan- bahwa hal ini tidaklah benar karena ia sungguh telah membunuh dirinya sendiri, sedangkan Allah telah berfirman,
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
“Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian.” [An-Nisâ`: 29]
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
وَمَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Dan barang siapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, ia akan diadzab pada hari kiamat karena perbuatan itu.” [1]
(Seharusnya), ia berusaha untuk menunjuki (manusia) kepada hidayah, dan apabila jihad telah disyariatkan, ia berjihad bersama kaum muslimin. Bila ia terbunuh, segala puji hanya bagi Allah. Adapun tentang (hal) ia meledakkan dirinya dengan menaruh dinamit pada dirinya sehingga ia mati bersama mereka, hal ini adalah suatu kesalahan yang tidak boleh ia lakukan, atau tentang (hal) ia membinasakan dirinya bersama mereka, hal ini tidak boleh ia lakukan. Akan tetapi, ia berjihad bersama kaum muslimin ketika jihad telah disyariatkan. Adapun perbuatan putra-putra Palestina, hal ini adalah suatu kesalahan yang tidak dibenarkan. (Amalan) yang wajib terhadap mereka adalah berdakwah kepada jalan Allah, memberikan pengajaran, pengarahan, dan nasihat, tanpa beramal seperti (tindakan meledakkan diri) ini.[2]
Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Âlu Syaikh hafizhahullâh
Pertanyaan
Sebagian negeri Islam menghadapi peperangan atau penjajahan dari negeri-negeri lain sehingga sebagian penduduknya menyerang orang-orang dari negeri (lain) yang melampaui batas (tersebut) dengan jalan (melakukan aksi) bom bunuh diri yang menyebabkan ia terbunuh dan membunuh selainnya dari para musuh. Kadang, tindakan itu berimbas kepada penduduk negerinya sendiri atau orang-orang selain mereka yang berada dalam keamanan. Mereka berpendapat bahwa amalan ini adalah salah satu warna dari jihad fi sabilillah, dan orang yang meledakkan dirinya (dianggap) mati sebagai syahid. Apa pendapat Syaikh yang dermawan tentang amalan ini?
Jawaban
Jihad di jalan Allah ‘Azza Wa Jalla termasuk amalan-amalan yang mulia dan sebaik-baik qurbah untuk mendekatkan diri (pada Allah). Telah datang pula berbagai nash yang sangat banyak dari Al-Kitab dan As-Sunnah yang memerintahkan dan memotivasi untuk berjihad sehingga sebagian ulama berkata bahwa pengumpulan (nash-nash tersebut) memerlukan satu jilid sempurna. Di antaranya adalah sabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
لَغَدْوَةٌ فِي سَبِيلِ اللهِ أَوْ رَوْحَةٌ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Sesaat di waktu pagi dan petang berperang di jalan Allah lebih baik daripada dunia dan seisinya.” [3]
Kemudian, dari Abu ‘Abs Al-Hâritsy radhiyallâhu ‘anhû, beliau mendengar Nabishallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ اغْبَرَّتْ قَدَمَاهُ فِي سَبِيلِ اللهِ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ
“Barang siapa yang kedua kakinya berdebu di jalan Allah, Allah akan mengharamkan api neraka terhadapnya.” [4]
Lalu, dalam hadits Ibnu Abi Aufâ radhiyallâhu ‘anhû, bahwasanya Rasulullahshallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَاعْلَمُوا أَنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ ظِلاَلِ السُّيُوفِ
“Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya surga itu berada di bawah bayangan pedang.” [5]
Selanjutnya, dalam (Shahîh Al-Bukhâry dan Shahîh Muslim), dari Sahl bin Sa’dradhiyallâhu ‘anhmâ, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رِبَاطُ يَوْمٍ فِي سَبِيلِ اللهِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا وَمَوْضِعُ سَوْطِ أَحَدِكُمْ مِنْ الْجَنَّةِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا وَالرَّوْحَةُ يَرُوحُهَا الْعَبْدُ فِي سَبِيلِ اللهِ أَوِ الْغَدْوَةُ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا عَلَيْهَا
“Ribâth[6] di jalan Allah itu lebih baik daripada dunia dan seisinya, tempat cambuk seseorang di antara kalian di dalam surga itu lebih baik daripada dunia dan seisinya, dan waktu pagi atau sore yang dijalani oleh seorang hamba di jalan Allah itu lebih baik daripada dunia dan seisinya.” [7]
Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ juga telah memerintahkan (hamba-Nya) untuk berjihad, bahwa Dia berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
“Wahai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, serta bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam, dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” [At-Taubah: 73]
(Allah) memerintahkan pula kepada orang-orang yang beriman dengan hal tersebut. (Allah) Subhânahu Wa Ta’âlâ berfirman,
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Berangkatlah kalian, baik dalam keadaan merasa ringan maupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan diri kalian di jalan Allah. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” [At-Taubah: 41]
(Allah) juga menjadikan orang-orang yang berjihad di jalan Allah lebih mulia daripada selain mereka dari kalangan orang yang beriman yang tidak berjihad, bahwa (Allah) Subhânahu Wa Ta’âlâ berfirman,
لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا. دَرَجَاتٍ مِنْهُ وَمَغْفِرَةً وَرَحْمَةً وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai udzur dan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Allah melebihkan, orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk, satu derajat. Kepada mereka masing-masing, Allah menjanjikan pahala yang baik (surga), dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar. (Yaitu,) beberapa derajat dari-Nya, ampunan, serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [An-Nisâ`: 95-96]
Sangat banyak pula nash-nash lain yang menunjukkan perintah berjihad dan penjelasan keutamaannya. Yang demikian itu karena jihad di jalan Allah berkaitan dengan mashlahat agama dan mashlahat dunia. Di antara mashlahat agama adalah untuk meninggikan kalimat Allah, menyebarkan agamanya di belahan bumi, untuk menghinakan orang-orang yang menginginkan kejelekan pada agama Islam ini dan pada pemeluknya, serta untuk menampakkan pemeluk agama yang haq (benar) ini di atas selain mereka sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah. Pada mashlahatagama itu juga ada bentuk penjagaan terhadap wilayah kaum muslimin dan pembelaan terhadap agama, negeri, keluarga dan harta mereka.
Oleh karena itulah, para ulama berkata bahwa sesungguhnya jihad menjadi fardhu ‘ain, atas setiap muslim yang memiliki kemampuan, pada tiga keadaan:
Pertama, apabila kedua pasukan telah bertemu atau kedua barisan saling berhadapan, siapa saja yang hadir diharamkan untuk mundur, dan diwajibkan untuk tinggal dan berjihad berdasarkan firman Allah Ta’âlâ,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمْ فِئَةً فَاثْبُتُوا وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian memerangi pasukan (musuh), berteguh hatilah kalian dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung.” [Al-Anfâl: 45]
Juga firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلَا تُوَلُّوهُمُ الْأَدْبَارَ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerang kalian, janganlah kalian membelakangi mereka (mundur).” [Al-Anfâl: 15]
Selain itu, (tindakan) berpaling (dari pasukan) pada hari peperangan telah dikategorikan oleh Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam sebagai salah satu dari tujuh perkara yang membinasakan[8].
Kedua, apabila kaum kafir telah turun (baca: memerangi) pada suatu negeri (muslim), merupakan kewajiban terhadap penduduk negeri tersebut untuk memerangi dan mengusir kaum kafir itu.
Ketiga, apabila imam (pemerintah) memerintahkan suatu kaum untuk berangkat berjihad, (kaum) tersebut wajib berangkat berdasarkan firman (Allah) Ta’âlâ,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْضِ
“Wahai orang-orang yang beriman, ada apa dengan kalian, apabila dikatakan kepada kalian, “Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allah,” kalian merasa berat dan ingin tetap tinggal di tempat kalian?” [At-Taubah: 38]
Juga berdasarkan hadits Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا
“Apabila kalian diminta untuk berangkat (berperang), berangkatlah.” [9]
(Pelaksanaan) sebuah jihad seharusnya (dengan) ikhlas mengharap wajah Allah sebagaimana hal itu berlaku pada seluruh ibadah. Demikian pula, (seseorang) diwajibkan untuk menyesuaikan (amalan) dengan syariat Allah dan keterangan Rasul-Nya shallallâhu ‘alaihi wa sallam.
Di antara hal tersebut, bahwa sebuah jihad wajib berada di bawah bendera kaum muslimin dengan kepemimpinan seorang imam (pemerintah) muslim. Hendaknya pula umat Islam memiliki persiapan nyata berupa alat-alat perang dan keberadaan pasukan perang. Mempersiapkan hal ini adalah suatu keharusan, apalagi persiapan yang sifatnya maknawiyah berupa pemurnian aqidah dan ibadah kaum muslimin, serta perkara-perkara lain yang berkaitan dengan jihad yang syar’i.
Adapun yang berkaitan dengan pertanyaan tentang jalan bunuh diri di antara para musuh atau sesuatu yang dinamakan dengan cara-cara Al-Intihâriyah ‘bom bunuh diri’, sesungguhnya tentang cara ini, saya tidak mengetahui bahwa ada sisisyar’i sedikit pun padanya, dan cara ini bukanlah merupakan bentuk jihad di jalan Allah, dan saya khawatir jika cara ini merupakan bentuk bunuh diri. Benar! Membuat musuh jera dan memerangi mereka adalah suatu hal yang dituntut, bahkan terkadang menjadi suatu kewajiban, tetapi (perbuatan tersebut) haruslah dengan cara-cara yang tidak menyelisihi syariat.”[10]
[1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 6047 dan Muslim no. 176 dari hadits Tsâbit bin Adh Dhahhâk z.
[2] Kutipan dari kaset fatwa-fatwa ulama tentang jihad, dengan perantara Al-Fatâwâ Asy-Syari’iyyah Fî Al-Qadhâyâ Al-Ashriyyah hal. 125.
[3] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 2792 dan Muslim no. 1880 dari hadits Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhû.
[4] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 907.
[5] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 2818 dan Muslim no. 1742.
[6] Ribath adalah berjaga di garis pembatasan yang dikhawatirkan dari serangan musuh.
[7] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 2892 dan Muslim no. 1881.
[8] Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah z riwayat Al-Bukhâry no. 2766, 6857, Muslim no. 89, Abu Dawud no. 2874, dan An-Nasâ`iy 6/257. (pen.)
[9] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry no. 2783 dan Muslim no. 1353 dari hadits Ibnu ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhumâ.
[10] Kutipan dari harian Asy-Syarq Al-Ausath, edisi 8180, Sabtu, 21 April 2001, dengan perantara Al-Fatâwâ Asy-Syari’iyyah Fî Al-Qadhâyâ Al-Ashriyyah hal. 125-128. Cetak tebal dari kami.
from=http://dzulqarnain.net/fatwa-para-ulama-seputar-bom-bunuh-diri-bag-1.html