Oleh
Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-‘Aql
Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-‘Aql
Membedakan
antara perpecahan dan perselisihan termasuk perkara yang sangat
penting. Para ahli ilmu seyogyanya memperhatikan masalah ini lebih
banyak lagi. Karena mayoritas manusia -terlebih para du’at dan sebagian
penuntut ilmu yang belum matang dalam mendalami ilmu agama- tidak dapat
membedakan antara permasalahan khilafiyah dengan perpecahan !
Kelirunya, sebagian mereka menerapkan sanksi hukum akibat perpecahan
dalam masalah-masalah ikhtilaf. Ini merupakan kekeliruan yang sangat
fatal. Penyebabnya tidak lain karena jahil tentang hakikat perpecahan,
kapankah perbedaan itu disebut perpecahan? Bagaimana terjadinya
perpecahan? Siapakah yang berhak memvonis bahwa seseorang atau kelompok
tertentu telah memecah dari jama’ah ?
Oleh
sebab itu, sudah sewajarnya mengetahui perbedaan antara perpecahan dan
perselisihan. Ada lima perbedaan yang kami angkat sebagai contoh.
Pertama
: Perpecahan adalah bentuk perselisihan yang sangat tajam. Bahkan dapat
dikatakan sebagai buah dari perselisihan. Banyak sekali kasus yang
membawa perselisihan ke muara perpecahan ! Meski kadang kala
perselisihan tidak mesti berujung kepada perpecahan. Jadi, perpecahan
adalah sesuatu yang lebih dari sekedar perselisihan. Dan sudah barang
tentu, tidak semua ikhtilaf (perselisihan) disebut perpecahan. Maka
dapat kita katakan : {?; mungkin masih ada narasi/redaksi yang terpotong=dass}
Kedua
: Tidak semua ikhtilaf disebut perpecahan ! Namun setiap perpecahan
sudah pasti ikhtilaf! Banyak sekali persoalan yang diperdebatkan kaum
muslimin termasuk kategori ikhtilaf, dimana masing-masing pihak yang
berbeda pendapat tidak boleh memvonis kafir atau mengeluarkan salah
satu pihak dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Ketiga : Perpecahan hanya terjadi pada permasalahan prinsipil, yaitu masalah ushuluddin yang tidak boleh diperselisihkan.
Yakni masalah-masalah ushuluddin yang ditetapkan oleh nash yang qath’i,
ijma atau sesuatu yang telah disepakati sebagai manhaj (pedoman
operasional) Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Siapa saja yang menyelisihi
masalah di atas, maka ia termasuk orang yang berpecah dari Al-Jama’ah.
Adapun selain itu, masih tergolong perkara ikhtilaf.
Jadi,
ikhtilaf hanya terjadi dalam masalah-masalah yang secara tabiat boleh
berbeda pendapat dan boleh berijtihad yang mana seseorang memiliki hak
berpendapat, atau masalah-masalah yang mungkin tidak diketahui sebagian
orang, atau ada unsur paksaan dan takwil. Yakni pada masalah-masalah
furu’ dan ijtihad, bukan masalah ushuluddin. Bahkan juga sebagian
kesalahan dalam persoalan ushuluddin yang masih bisa ditolerir menurut
alim ulama yang terpercaya. Seperti halnya beberapa persoalan aqidah
yang disepakati dasar-dasarnya namun diperselisihkan rincian furu’nya,
misalnya masalah isra’ dan mi’raj yang disepakati kebenarannya, namun
diperselisihkan apakah dalam mi’raj tersebut Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam melihat Rabb Ta’ala dengan mata kepala atau mata hati
?
Keempat
: Ikhtilaf bersumber dari sebuah iijtihad yang disertai niat yang
lurus. Dalam hal ini, mujtahid yang keliru mendapat satu pahala karena
niatnya yang jujur mencari kebenaran. Sementara mujtahid yang benar
mendapat pahala lebih banyak lagi. Kadang kala pihak yang salah juga
pantas dipuji atas ijtihadnya. Adapun bila ikhtilaf tersebut bermuara
kepada perpecahan, tidak syak lagi hal itu tercela.
Sementara
perpecahan tidak berpangkal dari ijtihad atau niat yang tulus.
Pelakunya sama sekali tidak mendapat pahala bahkan mendapat cela dan
dosa. Maka dapat kita katakan bahwa perpecahan itu berpangkal dari
bid’ah, menuruti hawa nafsu, taqlid buta dan kejahilan.
Kelima
: Perpecahan tidak terlepas dari ancaman dan siksa serta kebinasaan.
Tidak demikian halnya dengan ikhtilaf walau bagaimanapun bentuk
ikhtilaf yang terjadi diantara kaum muslimin, baik akibat perbedaan
dalam masalah-masalah ijtihadiyah, atau akibat mengambil pendapat
keliru yang masih bisa ditolerir, atau akibat memilih pendapat yang
salah karena ketidaktahuannya terhadap dalil-dalil sementara belum
ditegakkan hujjan atasnya, atau karena uzur, seperti dipaksa memilih
pendapat yang salah sementara orang lain tidak mengetahuinya, atau
akibat kesalahan takwil yang hanya dapat diketahui setelah ditegakkan
hujjah.
MELURUSKAN BEBERAPA KESALAH PAHAMAN
Ada
beberapa kekeliruan sebagian orang sekarang ini yang mesti diluruskan,
berkaitan dengan beda antara perpecahan dengan ikhtilaf. Khususnya bagi
para penegak amar ma’ruf nahi mungkar dan para juru dakwah. Yang lebih
banyak lagi disebabkan karena lemahnya ilmu dan pemahaman dalam agama
serta minimnya pengalaman, atau karena ketidakjelian dan salah
persepsi. Terlebih lagi bagi para penopang dakwah islamiyah pada hari
ini.
Beberaoa kekeliruan itu di dantaranya.
Pertama
: Mengingkari terjadinya perpecahan dalam umat ini. yang berakibat
sebagian orang menolak hadits ifftiraq yang telah dinukil secara shahih
dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini merupakan kesalahan
fatal! Beberapa orang berasumsi atau mendakwahkan bahwa perpecahan umat
tidak mungkin terjadi! Selintas kelihatannya ia ingin menampakkan
keinginan yang tulus bagi umat. Melihat umat secara lahir saja (yaitu
semuanya muslimun), Akibatnya ia menolak hadits iftiraq, atau
mentakwilkannya kepada makna lain, atau beranggapan bahwa perpecahan
hanya terjadi pada kelompok-kelompok yang jelas-jelas di luar Islam
atau kelompok-kelompok Islam yang secara jelas telah murtad dari Islam.
Ini jelas keliru, bahkan jelas bertentangan dengan hadits-hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan nash-nash dari Al-Qur’an
dan As-Sunnah yang menunjukkan terjadinya perpecahan umat. [1]
Umat
memang telah dilanda perpecahan, realita itulah yang benar-benar telah
terjadi. Perpecahan termasuk bala’, sementara kebenaran tidak akan
tampak kecuali dengan lawannya (kesesatan). Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah menuliskannya dalam catatan takdir bahwa pengikut kebenaran
sangat sedikit jumlahnya. Oleh sebab itu, meyakini terjadinya
perpecahan bukan berarti berburuk sangka terhadap umat! Bahkan
begitulah realita yang harus diakui. Berita yang dibawa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam harus dibenarkan. Dan fenomena perpecahan
itu sendiri bukan berarti seorang muslim harus menerimanya tanpa usaha
menghindar. Apalagi beranggapan bahwa berpecah itu dibolehkan, rela
berpecah, tidak berusaha mencari kebenaran karena pasrah menerima
takdir. Namun sebaliknya, perpecahan yang pasti terjadi itu justru
mendorongnya mencari dan memegang teguh kebenaran. Memicunya mengenal
keburukan untuk dihindari dan dijauhi. Dan hendaklah ia ketahui bahwa
kebenaran hanya terdapat pada manhaj Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta
manhaj Salafus Shalih.
Kedua
: Asumsi bahwa perpecahan pasti terjadi, berarti umat harus menerimanya
dengan rela. Dan para du’at harus menerima kenyataan ini, menerima
kesesatan yang ada tanpa berusaha memperbaikinya. Asumsi seperti ini
sering dijadikan alasan melegitimasi perpecahan. Mereka beranggapan
seorang muslim bebas memilih kelompok manapun! Beralasan dengan
realitas perpecahan yang pasti terjadi. Sehingga setiap orang bebas
memilih kelompok manapun yang disukainya, meski jelas-jelas bid’ah dan
sesat. Beranggapan boleh bertoleransi dengan kelompok-kelompok tersebut
atau berusaha menyatukan mereka.
Ini
merupakan anggapan batil, bahkan termasuk memperdayai kaum muslimin.
Sudah barang tentu tidak boleh menjadikan hadits iftiraq tersebut
sebagai alasan untuk berpecah belah! Atau sebagai dalih menerima bid’ah
dan menuruti hawa nafsu atau rela berada di atas kesalahan. Sebab
hadits tersebut diucapkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam konteks larangan dan peringatan keras terhadap hal itu.
Lebih
parah lagi, sebagian orang yang mengaku juru dakwah berpendapat, selagi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan terjadinya
perpecahan umat, maka kita terima dan kita benarkan saja bid’ah dan
kesesatan yang terjadi sebagai suatu realita ! Bukankah kita tahu bahwa
pasti dalam beragama itu ada cemar dan kurangnya! Jelas ini pendapat
yang batil, bahkan termasuk perangkap setan yang menjerat umat manusia.
Sebab, di samping Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghabarkan
terjadinya perpecahan, beliau juga mengabarkan bahwa akan tetap ada
satu kelompok yang teguh diatas kebenaran, yaitu Ath-Thaifah
Al-Manshurah. Golongan yang senantiasa memegang teguh kebenaran,
menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Golongan yang menegakkan
hujjah yang nyata. Yang membawa panji hidayah bagi siapa yang
menghendakinya. Yang menjadi panutan bagi yang ingin kebenaran,
kebaikan dan sunnah!.
Jadi,
hujjah mesti selalu tegak, kebenaran pasti senantiasa tampak, tidak
akan tersamar sedikitpun bagi orang-orang yang memiliki bashirah dan
bagi para pencari al-haq yang jujur. Barangsiapa bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan memberinya jalan keluar. Selama kebenaran masih tampak
jelas dan panji sunnah masih tetap tegak, siapapun tidak boleh
berpaling darinya, meski dengan itu pengikutnya jadi berkurang, baik ia
seorang da’i atau bukan. Dan ia tidak boleh menerima bid’ah dan
kesesatan meski dengan begitu pengikutnya semakin betambah banyak.
Golongan yang selamat (Al-Firqatun Najiyah) hanya satu dari tujuh puluh
tiga kelompok umat ini. Camkanlah hal itu baik-baik.
Maka
menerima bid’ah dan kesesatan dengan dalih takdir tidaklah dibolehkan!
Anggapan seperti itu termasuk memperdayai kaum muslimin, termasuk
pembenaran bagi kebatilan serta berpaling dari kebenaran, dan termasuk
juga selain jalan selain jalan orang-orang yang beriman. Semoga Allah memberikan keselamatan bagi kita semua.
Ketiga
: Menjadikan ikhtilaf sebagai alasan memvonis sesat yang berseberangan
dengannya, atau menghukumi mereka keluar dari agama atau dari Ahlus
Sunnah wal Jama’ah. Serta beberapa sikap kelewat batas lainnya dalam
menghukumi pihak yang berseberangan. Tanpa merujuk kepada kaidah-kaidah
syari’at dan metode alim ulama dalam masalah ini. Perlu diketahui bahwa
dalam memvonis kafir ada batasan dan kaidah yang perlu diperhatikan.
Meskipun terhadap ahli bid’ah dan ahli ahwa’ (hawa nafsu). Sebab vonis
kafir, bara’ah (berlepas diri), bughdu (kebencian), hajr (pemboikotan) dan tahdzir
(peringatan) tidak boleh dilakukan tanpa meneliti dan menegakkan hujjah
terlebih dahulu. Maksudnya, tidak boleh terburu-buru memvonis seseorang
keluar dari jama’ah karena bid’ah yang ada padanya atau karena
menyalahi syari’at dan menyelisihi sunah. Sebab barangkali ia tidak
tahu hukumnya, seorang yang jahil tentunya mendapat uzur (dimaklumi)
hingga ia mengetahui ilmunya. Banyak sekali kaum muslimin yang
terperangkap lingkungan yang mengitarinya, hingga jatuh kedalam
penyelisihan. Hal itu banyak terjadi di beberapa negara-negara Islam.
Banyak orang yang mencukur jenggotnya, meninggalkan shalat berjama’ah,
melakukan amal-amal yang menyalahi syari’at bahkan mengucapkan kalimat
kufur karena lingkungan memaksanya. Sekiranya tidak melakukannya mereka bisa dibunuh, disiksa, atau dirobek kehormatannya!
Jadi,
bilamana ia lakukan itu semua karena ‘terpaksa’, maka seorang hakim
yang bijaksana hendaknya dapat menggambarkan hukum apa yang layak
dijatuhkannya.
Boleh
jadi seorang pelaku bid’ah dan seorang yang meyakini i’tiqad sesat
meyakininya karena takwil (anggapan keliru), sementara hujjah belum
ditegakkan atasnya. Dalam kasus ini, hujjah harus ditegakkan atas
mereka ! Barangkali diantara kita pernah melihat seorang melakukan
sebuah bid’ah yang pada umumnya dilakukan oleh pengikut
kelompok-kelompok sesat, misalnya bid’ah maulid nabi, jika ternyata dia
seorang awam yang jahil, maka kita tidak boleh tergesa-gesa memvonis ia
orang sesat dan tidak boleh pula menghukuminya keluar dari jama’ah
sebelum dijelaskan duduk perkara tersebut dan ditegakkan hujjah
atasnya. Adapun perbuatannya dapat kita hukumi sebagai bid’ah. Namun
jangan cepat-cepat memvonisnya keluar dari jama’ah atau menghukumi
sebagai pengikut aliran sesat hanya karena bid’ah yang dilakukannya
sebelum ditegakkan hujjah. Kecuali bid’ah mukaffirah (yang menyebabkan
pelakunya kafir), akan tetapi risalah kecil ini tidak mungkin memuat
perinciannya.
Bahkan sebaliknya, terburu-buru memvonis orang lain keluar dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam masalah-masalah furu termasuk bid’ah dan penyimpangan yang tidak boleh dilakukan. Sikap seperti itu sangat tercela.
Bila ia melihat saudaranya jatuh dalam perbuatan bid’ah, hendaknya
mengecek terlebih dahulu, menanyakannya kepada ahli ilmu, serta
menganggap orang yang melakukannya jahil, atau melakukannya karena
takwil atau ikut-ikutan saja dan butuh nasihat serta bimbingan. Dan hendaknya ia perlakukan saudaranya itu dengan lemah lembut terlebih dahulu. Sebab tujuan kita adalah membimbingnya kepada hidayah bukan memojokkannya.
Keempat
: Tidak mengetahui perkara mana saja yang dibolehkan berbeda pendapat
dan mana yang tidak boleh. Yaitu tidak dapat membedakan perkara-perkara
khilafiyah dan perkara-perkara yang tidak boleh diperselisihkan. Hal
ini banyak menimpa orang awam, bahkan juga para du’at.
Kami akan bawakan beberapa contoh.
[1]
Sebagian orang menggolongkan beberapa masalah khilafiyah ke dalam
masalah ushul (pokok). Tanpa merujuk kaidah dan arahan ahli ilmu serta
tanpa bimbingan dari ahli fiqih yang dapat membantu mereka dalam hal
ini.
[2]
Tidak membedakan antara perkara mukaffirah (yang dapat mengeluarkan
pelakunya dari Islam) dan ghairu mukaffirah (yang tidak mengeluarkan
pelakunya dari Islam).
[3]
Tidak memperhatikan tingkatan-tingkatan bid’ah, di antara bid’ah ada
yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam dan ada yang tidak. Banyak
sekali kesalahan yang dilakukan seseorang, sebuah kelompok atau jama’ah
di vonis kafir secara terburu-buru oleh sebagian oknum. Sebenarnya
tidak demikian caranya. Sebab setiap orang yang mengetahui
perkara-perkara yang dapat menyebabkan kekafiran, seperti meyakini
bahwa Al-Qur’an mahluk, lalu ia menerapkan hukum kafir itu atas setiap
orang yang meyakini demikian tanpa membedakan antara menghukumi ucapan
dan menghukumi orang yang mengucapkannya, maka ia telah menyelisihi kaidah Salafus Shalih Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Ahlus
Sunnah wal Jama’ah membedakan antara menghukumi kafir, bid’ah atau
fasik terhadap sesuatu secara umum dengan menghukumi orang tertentu.
Boleh jadi kita menghukumi kufur suatu amalan atau sebuah ucapan, namun
bukan berarti setiap orang yang meyakininya, mengucapkannya atau
melakukannya jatuh kafir. Banyak sekali orang yang tidak membedakan hal
ini. Mereka menjatuhkan vonis kafir secara zhahir saja tanpa
memperhatikan kaidah-kaidah takfir (pengkafiran). Padahal vonis kafir
tidak boleh dijatuhkan sehingga benar-benar diteliti, ditegakkan hujjah
dan dalil, serta telah diketahui tidak adanya alasan dan uzdur lainnya
yang menghalangi vonis tersebut terhadap seseorang tertentu. Boleh jadi
karena ia jahil, dipaksa atau mentakwil.
Masalah
takfir (mengkafirkan), seseorang perlu penelitian lebih dalam dan perlu
mendatangi orang yang bersangkutan serta perlu meneliti kondisinya
disamping perlu diajak diskusi dan diberi nasihat. Janganlah kita
memvonis kafir setiap orang yang melakukan perbuatan kufur, mengucapkan
dan meyakini keyakinan kufur. Kecuali dalam masalah-masalah prinsipil
yang sudah dikenal luas oleh segenap kaum muslimin. Seperti mengingkari
syahadat Laa ilaaha illallah, mengingkari nubuwah nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mencela Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan masalah-masalah prinsip lainnya.
Perlu
diketahui, bahwa ada juga beberapa permasalahan usuhuluddin yang
tersamar perinciannya atas sebagian orang awam. Seperti masalah sifat
Allah, masalah takdir, masalah melihat Allah pada hari Kiamat, masalah
syafa’at, mensikapi sahabat dan beberapa permasalahan lain yang tidak
diketahui orang awam secara rinci. Bahkan juga tersamar perinciannya
atas sebagian ilmu. Kadang kala mereka mengucapkan kalimat kufur tanpa
mereka sadari, tanpa mereka sengaja dan tanpa mereka ketahui serta
tanpa memperhatikan dengan seksama ucapan yang dilontarkan. Apakah
harus dihukumi kafir ? Jawabannya tentu saja tidak!.
Kesalahan
besar yang sering dilakukan oleh beberapa oknum-oknum yang suka
menghukumi orang lain adalah tidak berhati-hati dalam masalah ini
sehingga jatuh dalam bahaya. Khususnya penuntut ilmu yang masih pemula
dan masih hijau serta belum matang mendalami ilmu agama melalui para
ulama, namun hanya belajar secara otodidak dari buku-buku dan
sarana-sarana lainnya, tanpa dibimbing dan dituntun para ulama, dan
tanpa memperhatikan kaidah-kaidah dalam pengambilan dalil dan penetapan
hukum. Mereka kerap kali keliru dalam menempatkan kaidah umum dan dalam
menerapkan kaidah itu pada perkara-perkara parsial dan kasus-kasus
tertentu.
Hukum
kufur dan kafir atas sebuah perkara dan atas jenis orang tertentu,
bukan berarti hukum kafir bagi setiap orang yang melakukan, mengucapkan
dan meyakininya. Demikian pula halnya hukum-hukum yang berkaitan dengan al-wala’ (monoloyalitas) serta al-bara’ (berlepas diri), bukan berarti setiap orang divonis kafir lalu diterapkan padanya hukum-hukum tersebut.
Sehingga
perkaranya menjadi jelas. Maksud kami adalah hukum-hukum al-bara’,
sementara al-wala’, adalah hak bagi setiap muslim. Tidak boleh memutus
al-wala’, sebab al-wala’ wajib diberikan kepada setiap orang yang
menunjukkan identitas dirinya sebagai muslim sehingga kita mendapatinya
menyelisihi identitas tersebut.
Di
antara kesalahan mereka juga adalah : Tidak memperhatikan maslahat dan
mafsadat serta tidak mengetahui kaidah-kaidah yang berkaitan dengan
maslahat dan mafsadat. Hal ini juga merupakan salah satu pemicu
utamanya.
[Disalin
dari kitab Al-Iftiraaq Mafhumuhu asbabuhu subulul wiqayatu minhu, edisi
Indonesia Perpecahan Umat ! Etiologi & Solusinya, oleh Dr. Nashir
bin Abdul Karim Al-‘Aql, terbitan Darul Haq, penerjemah Abu Ihsan
Al-Atsari]
_________
Foote Note.
Foote Note.
[1] Akan kami sebutkan nash-nash qath’i yang menunjukkan terjadinya perpecahan umat pada pasal-pasal mendatang {mungkin ada di buku atau artikel lainnya=dass}
Sumber: https://almanhaj.or.id/465-perbedaan-antara-ikhtilaf-perselisihan-dan-iftiraq-perpecahan.html