Kesalahan Sebagian Orang yang Berdalih dengan Tindakan Sebagian Ulama Salaf
yang Menentang Penguasa secara Terang-Terangan
Sebagian orang berdalil dengan tindakan sebagian ulama salaf
(sahabat dan tabi’in) yang menentang dan memberontak kepada penguasa secara
terang-terangan. Hal ini mereka sampaikan sebagai dalih atas tindakan mereka
yang memperbolehkan menentang penguasa yang dianggap dzalim secara mutlak dan
bahkan sebagai dalih bolehnya memberontak (menggulingkan) penguasa yang sah.
Pemikiran ini adalah pemikiran khuruj (keluar
memberontak kepada penguasa) ala Khawarij yang
sangat berbahaya.
Beberapa kisah yang mereka gunakan sebagai dalih, misalnya:
Pertama, kisah
tabi’in Sa’id bin Jubair rahimahullahu Ta’ala ketika
menentang gubernur Irak, Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi. Sa’id
bin Jubair rahimahullahu Ta’ala bergabung dengan pasukan
pemberontak, Ibnu Al-Asy’ats, untuk memerangi Al-Hajjaj.
Ke
dua, kisah tabi’in ‘Amir bin Syurahbil Asy-Sya’bi rahimahullahu
Ta’ala yang juga menentang Al-Hajjaj bin Yusuf
Ats-Tsaqafi. Beliau pun termasuk yang merestui dan bahkan bergabung
dengan pasukan Ibnu Al-Asy’ats.
Pemberontakan Ibnu Al-Asy’ats ini berahir dengan kegagalan
setelah Ibnu Al-Asy’ats mati bunuh diri, dan menyebabkan terbunuhnya sekitar
130.000 orang, 4.000 orang di antaranya adalah ulama dan ahli ibadah.
Ke
tiga, kisah Al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu bersama dengan penduduk kota Madinah yang memisahkan diri
(memberontak) dari khalifah Yazid bin Mu’awiyah. Kisah
pemberontakan ini berakhir dengan tragedi Harrah, yaitu
terjadinya pertumpahan darah besar-besaran di kota Madinah, yang menyebabkan
terbunuhnya sekitar 700-an sahabat Muhajirin dan Anshar, dan selain sahabat
sebanyak kurang lebih 10.000 orang.
Kisah-kisah di atas dan yang lainnya lalu dijadikan sebagai
dalih atas tindakan mereka yang memperbolehkan mengoreksi kesalahan penguasa
secara terang-terangan di masyarakat umum, dengan dalih bahwa para ulama salaf
tersebut adalah sebaik-baik contoh dan teladan.
Sanggahan atas kekeliruan pernyataan dan anggapan mereka
adalah sebagai berikut.
Sanggahan pertama
Tidak boleh berdalil dengan perkataan atau perbuatan
siapa pun ketika tindakan mereka tersebut menyelisihi petunjuk Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Ini merupakan pokok-pokok aqidah ahlus sunnah yang sangat jelas
dan terang benderang bagi siapa pun. Dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah sudah
sangat jelas memerintahkan kita untuk bersabar terhadap penguasa muslim yang
dzalim dan sangat jelas melarang kita untuk memberontak kepada penguasa yang
sah.
Dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah sangatlah banyak yang
memerintahkan kita untuk mendahulukan perkataan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam atas perkataan siapa pun. Allah Ta’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 59)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِذَا
نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا
مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Jika
aku melarang kalian dari sesuatu, maka tinggalkanlah. Dan jika aku
memerintahkan kalian dengan satu perintah, maka laksanakanlah sesuai kemampuan
kalian.” (HR. Bukhari
no. 7288 dan Muslim no 1337. Lafadz hadits ini milik Bukhari.)
Dari sahabat yang mulia, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, beliau berkata,
أُرَاهُمْ
سَيَهْلِكُونَ أَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
وَيَقُولُ: نَهَى أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ
“Aku menyangka mereka akan binasa. Aku
katakan, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda’, lalu
mereka mengatakan, ‘Abu Bakr dan ‘Umar melarangnya’.” (HR. Ahmad 1/337)
Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu Ta’ala berkata,
أَجْمَعَ
النَّاسُ عَلَى أَنَّ مَنْ اسْتَبَانَتْ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ –
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ
أَحَدٍ مِنْ النَّاسِ
“Manusia bersepakat bahwa barangsiapa
yang telah jelas baginya sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maka tidak boleh baginya untuk menolaknya karena perkataan siapa
pun.” (I’laamul Muwaqi’in, 2/282)
Oleh karena itu, perkataan atau perbuatan ulama, siapapun
mereka, itu dimintai dalil-nya (apa alasan, hujjah atau dalilnya dari Al-Qur’an
dan As-Sunnah), dan bukan dijadikan sebagai dalil (hujjah) untuk
menolak sunnah. Karena perkataan siapa pun itu boleh diterima atau
ditolak, kecuali perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sanggahan ke dua
Para ulama telah menjelaskan sebab atau alasan serta
memberikan ‘udzur atas tindakan sebagian ulama salaf tersebut di atas yang
memberontak terhadap penguasa yang dianggap dzalim.
Di antaranya adalah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullahu Ta’ala,
“Sisi yang ke dua, barangsiapa yang
berperang bukan atas dasar keyakinan yang (keyakinan ini) mendorong mereka
untuk menolak sunnah dan jamaah (kaum muslimin), seperti perang Jamal dan
Shiffin [1],
tragedi Harrah dan Jamajim [2] dan yang
lainnya, akan tetapi (yang mendorong mereka berperang) adalah sangkaan
mereka bahwa dengan berperang (memberontak) akan terwujud maslahat yang mereka
inginkan. Padahal, maslahat tersebut terbukti tidak (pernah) terwujud dengan
pemberontakan. Bahkan, mafsadat (kerusakan) semakin membesar. Maka
jelaslah bagi mereka di akhir peperangan tentang (benarnya) apa yang
ditunjukkan oleh (dalil) syariat sejak pertama kalinya (yaitu,
larangan untuk memberontak untuk mencegah terjadinya kerusakan yang besar, pen.).” (Minhaajus
Sunnah An-Nabawiyyah, 4/538)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu Ta’ala juga
menjelaskan,
“Adapun tragedi Harrah, Ibnul Asy’ats, dan Ibnul
Muhallab [3] dan yang
lainnya, mereka pun dan sahabat-sahabatnya (pendukung atau pasukannya) pada
akhirnya dikalahkan (artinya, pemberontakan tersebut gagal, pen.). Jadilah
mereka ini tidak menegakkan agama dan tidak pula menyisakan (mendapatkan)
dunia. (Karena) Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan dengan suatu
perkara yang tidak mewujudkan kebaikan agama dan dunia. Meskipun pelaku
tindakan (pelanggaran) tersebut (pemberontakan) adalah wali Allah yang bertakwa
dan (di akhirat nanti) termasuk penghuni surga. Maka mereka (para pemberontak
saat ini, pen.) tidaklah lebih utama daripada ‘Ali, ‘Aisyah, Thalhah, Zubair
dan selainnya. Meskipun demikian tidaklah mereka (para sahabat) tersebut dipuji
atas tindakan pemberontakan yang mereka lakukan, meskipun mereka memiliki
kedudukan tinggi di sisi Allah Ta’ala dan memiliki niat yang baik dibandingkan
selain mereka. Demikian pula, orang-orang yang memberontak pada tragedi Harrah,
di antara mereka ada ulama dalam jumlah yang banyak. Juga pendukung Ibnul
Asy’ats, di antara mereka ada ulama dalam jumlah yang banyak. Dan Allah Ta’ala
mengampuni mereka seluruhnya.” (Minhajus
Sunnah An-Nabawiyyah, 4/528)
Kesimpulan dari penjelasan Ibnu Taimiyyah rahimahullahu
Ta’ala di atas adalah tindakan sebagian sahabat dan ulama salaf
terdahulu yang memberontak kepada penguasa itu hanyalah muncul dari ijtihad
yang keliru dan niat yang baik, bukan karena sengaja ingin menentang dan
menolak sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal
ini karena mereka juga manusia biasa yang bisa jadi terjatuh (tergelincir)
dalam kesalahan berijtihad. Akan tetapi, kesalahan ini tidaklah menjadikan kita
boleh untuk mencela dan merendahkan kehormatan mereka. Kita meyakini bahwa
mereka adalah para sahabat yang mulia, bahkan termasuk para penghuni surga
(ahlul jannah) radhiyallahu ‘anhum. Meskipun demikian, kesalahan
ijtihad mereka ketika itu yang membolehkan pemberontakan kepada penguasa, tetap
tidak boleh diikuti. Wallahu Ta’ala a’lam. (Lihat Minhajus Sunnah
An-Nabawiyyah, 4/543) [4]
Baca pembahasan
selanjutnya: Petunjuk Nabi dalam Menyikapi Penguasa Muslim yang Dzalim
(Bag. 6)
***
Diselesaikan di siang hari, Rotterdam NL, 3 Sya’ban 1439/ 20
April 2018
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.Or.Id
Catatan kaki:
[1] Perang
Jamal terjadi setelah terbunuhnya khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu
Ta’ala ‘anhu, yaitu antara ‘Ali bin Abi Thalib di satu sisi, dan pihak
‘Aisyah, Thalhah dan Zubair radhiyallahu Ta’ala ‘anhum di sisi
lainnya. Sedangkan perang Shiffin terjadi antara ‘Ali bin Abi Thalib dengan
Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
[2] Yang
beliau maksudkan adalah tragedi Dair Al-Jamajim, yaitu perang
besar-besaran antara Ibnul Asy’ats dan Al-Hajjaj, pada tahun 82 H, pada masa
khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan.
[3] Yang
dimaksud adalah pemberontakan Yazid bin Muhallab (Ibnul Muhallab) pada
masa khalifah Yazid bin ‘Abdul Malik (tahun 101 H).
[4] Disarikan
dari: Khaqiqatul Khawarij fi Asy-Syar’i wa ‘Abra At-Taarikh, karya
Syaikh Faishal Qazaar Al-Jaasim, hal. 42-45 (penerbit Al-Mabarrah Al-Khairiyyah
li ‘Uluumi Al-Qur’an wa As-Sunnah, cetakan pertama tahun 1428). Kutipan-kutipan
di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Sumber: https://muslim.or.id/39465-petunjuk-nabi-dalam-menyikapi-penguasa-muslim-yang-dzalim-05.html