Pada edisi kali ini, kami masih meneruskan sanggahan atas
pernyataan sebagian orang yang berdalil dengan tindakan sebagian ulama salaf
yang menentang dan memberontak kepada penguasa dzalim secara terang-terangan
untuk membenarkan keyakinan dan tindakan mereka yang memperbolehkan menentang
penguasa yang dianggap dzalim secara mutlak dan bahkan sebagai dalih bolehnya
memberontak (menggulingkan) penguasa yang sah.
Sanggahan ke tiga
Terdapat riwayat yang valid dari mayoritas ulama salaf
tersebut bahwa mereka telah rujuk (bertaubat) dari tindakan pemberontakan yang
mereka lakukan, setelah mereka mulai terjerumus di dalamnya (baru di awal
pemberontakan) atau hampir terjerumus dalam pemberontakan tersebut. Mereka pun
menyesal atas perbuatan dan kesalahan yang telah mereka lakukan. Husain bin ‘Ali radhiyallahu
‘anhu telah mengurungkan niatnya untuk memberontak kepada Yazid bin
Mu’awiyah setelah tampak baginya bahwa penduduk Irak (yang notabene adalah
orang-orang Syi’ah) menyelisihi janji dan bahwa tindakannya tersebut akan
menimbulkan kekacauan dan kerusakan yang besar.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu
Ta’ala berkata,
وَعَلِيٌّ –
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – فِي آخِرِ الْأَمْرِ تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّ الْمَصْلَحَةَ
فِي تَرْكِ الْقِتَالِ أَعْظَمُ مِنْهَا فِي فِعْلِهِ. وَكَذَلِكَ الْحُسَيْنُ –
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – لَمْ يُقْتَلْ إِلَّا مَظْلُومًا شَهِيدًا، تَارِكًا
لِطَلَبِ الْإِمَارَةِ ، طَالِبًا لِلرُّجُوعِ: إِمَّا إِلَى بَلَدِهِ، أَوْ إِلَى
الثَّغْرِ ، أَوْ إِلَى الْمُتَوَلِّي عَلَى النَّاسِ يَزِيدَ
“Adapun ‘Ali radhiyallahu ‘anhu pada akhir
peperangan melihat bahwa terwujudnya maslahat dengan meninggalkan peperangan
adalah lebih besar daripada meneruskan peperangan. Demikian pula
Al-Husain radhiyallahu ‘anhu, tidaklah beliau terbunuh kecuali
dalam kondisi terdzalimi dan dalam kondisi mati syahid. (Beliau juga terbunuh
dalam kondisi) meninggalkan keinginan beliau untuk meminta kekuasaan, dan
beliau meninggalkan dalam kondisi beliau meminta untuk kembali (tidak jadi
memberontak, pen.), baik kembali ke negerinya, atau ke daerah paling aman, atau
ke daerah yang dikuasai oleh Yazid.” (Minhaajus Sunnah
An-Nabawiyyah, 4/535)
Demikian pula, ‘Amir bin Syurahbil Asy-Sya’bi rahimahullahu
Ta’ala, setelah beliau merestui dan bahkan terlibat dalam
pemberontakan Ibnu Al-Asy’ats, beliau pun menyesali perbuatannya.
Dikatakan kepada beliau,
أَيْنَ
كُنْتَ يَا عَامِرُ؟
“Di
manakah Engkau wahai ‘Amir?”
Maksudnya, di manakah ilmu dan akalmu, wahai ‘Amir?
Pertanyaan ini ditujukan kepada beliau dalam rangka mengingkari perbuatan
beliau yang memasukkan diri ke dalam fitnah Ibnu Al-Asy’ats.
Kemudian ‘Amir bin Syurahbil Asy-Sya’bi rahimahullahu
Ta’ala berkata,
كُنْتُ
حَيْثُ يَقُولُ الشَّاعِرُ:
عَوَى
الذِّئْبُ فَاسْتَأْنَسْتُ بِالذِّئْبِ إِذْ عَوَى … وَصَوَّتَ إِنْسَانٌ فَكِدْتُ
أَطِيرُ.
أَصَابَتْنَا
فِتْنَةٌ لَمْ نَكُنْ فِيهَا بَرَرَةً أَتْقِيَاءَ، وَلَا فَجَرَةً أَقْوِيَاءَ.
“Aku pada waktu itu
sebagaimana dikatakan oleh penyair:
Serigala melolong, dan aku merasa nyaman dengan serigala ketika
melolong
Dan ada seorang manusia yang bersuara, dan hampir-hampir saja aku
terbang
(maksudnya, akal dan ilmu ketika itu seolah-olah hilang,
karena tertipu dan lalai dengan ajakan atau perkataan manusia, pen.)
Maka kami terjerumus dalam fitnah. Dalam
fitnah tersebut, kami bukanlah orang-orang baik yang bertakwa dan bukan
pula orang durjana yang kuat dan perkasa.” (Minhajus
Sunnah, 4/529. Diriwayatkan pula oleh Al-Baihaqi dalam Sunan
Al-Kubra 6/412)
Demikian pula, ketika pemberontakan Ibnu Al-Asy’atas gagal,
lalu beliau dihadapkan kepada Al-Hajjaj, sangat tampak penyesalan dari diri
beliau. Beliau pun menyesal atas tindakannya tersebut. Al-Hajjaj berkata kepada
Asy-Sya’bi,
كَيْفَ
وَجَدْتَ النَّاسَ بَعْدَنَا يَا شَعْبِيُّ؟
“Bagaimana Engkau
menjumpai manusia setelah (memberontak kepada) kami, wahai Asy-Sya’bi?” (Maksudnya,
bagaimana kondisimu ketika memberontak, enak atau tidak?)
Asy-Sya’bi rahimahullahu Ta’ala berkata,
أَصْلَحَ
اللَّهُ الْأَمِيرَ، قَدِ اكْتَحَلْتُ بَعْدَكَ السهر، واستوعرت السهل،
وَاسْتَوْخَمْتُ الْجَنَابَ، وَاسْتَحْلَسْتُ الْخَوْفَ، وَاسْتَحْلَيْتُ
الْهَمَّ، وَفَقَدْتُ صَالِحَ الْإِخْوَانِ، وَلَمْ أَجِدْ مِنَ الْأَمِيرِ خلفا
“Semoga Allah Ta’ala memperbaiki amir (pemimpin). Setelah (aku
mendukung Ibnu Al-Asy’ats), aku bercelak dengan begadang (tidak pernah tidur);
tanah yang landai (yang enak dilewati) justru terasa sulit; aku tidak merasa
nyaman dengan tanah yang lapang; aku senang dengan rasa takut; kesusahan aku
nilai sebagai suatu hal yang manis; dan aku kehilangan teman-teman yang baik.
Dan aku tidak menemukan pengganti (yang lebih baik) dari pemimpin (Al-Hajjaj).” (Al-Bidaayah wa
An-Nihaayah, 9/49)
Perhatikanlah kalimat-kalimat penyesalan Asy-Sya’bi rahimahullahu
Ta’ala di atas ketika dia menceritakan kondisinya menentang Al-Hajjaj.
Dan inilah kondisi pemberontak secara umum, yaitu hidup susah, lebih senang
tinggal di gunung, di hutan dan di gua-gua, dan selalu diliputi rasa takut.
Sanggahan ke empat
Para ulama salaf tersebut memberontak tidak semata-mata
karena penguasa dzalim tersebut dianggap fasiq (pelaku dosa besar), namun
karena mereka juga meyakini kafirnya sang penguasa. Dan kafirnya sang penguasa
adalah berdasarkan fatwa ulama di masa itu, bukan semata-mata fatwa orang-orang
bodoh.
Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullahu Ta’ala berkata,
“Yahya
bin ‘Isa Ar-Ramli berkata dari Al-A’masy, “Mereka berselisih tentang Al-Hajjaj.
Maka mereka bertanya kepada Mujahid (ulama besar tabi’in, pen.), lalu Mujahid berkata, “Kalian bertanya tentang orang tua yang kafir.”
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Asakir, dari Asy-Sya’bi (ulama besar
tabi’in, pen.), beliau berkata, “Al-Hajjaj itu beriman terhadap
sihir dan thaghut, dia kafir terhadap Allah Yang Maha agung.”
Demikian yang dikatakan oleh Asy-Sya’bi. Wallahu a’lam.
Ats-Tsauri berkata, “Dari Ma’mar, dari Ibnu Thawus dan
ayahnya (yaitu Thawus, ulama besar tabi’in, pen.), Thawus
berkata, “Sungguh mengherankan saudara-saudara kita penduduk Irak. Mereka
menyebut Al-Hajjaj itu seorang mukmin!” (Al-Bidaayah wa An-Nihaayah, 9/136)
Oleh karena itu, merupakan suatu tindakan yang ceroboh ketika
menyamakan tindakan ulama salaf terdahulu yang memberontak kepada Al-Hajjaj
karena diyakini telah kafir dengan tindakan orang-orang sekarang yang mengajak
atau membolehkan memberontak kepada penguasa muslim yang dzalim dan tidak kafir.
Sekali lagi, tindakan ulama salaf terdahulu adalah berasal dari
ijtihad yang keliru, karena memberontak tidak hanya diperbolehkan karena
kafirnya sang penguasa, namun juga dengan menimbang kekuatan (pasukan dan
persenjataan) yang dimiliki untuk mencegah terjadinya mafsadat yang jauh lebih
besar. Hal ini, insyaa Allah, akan kami bahas dalam tulisan tersendiri.
Sanggahan ke lima
Memang benar bahwa sebagian ulama tersebut merestui dan
bahkan ikut memberontak terhadap penguasa. Akan tetapi, perlu diingat bahwa
terdapat orang-orang yang lebih berilmu dan lebih tinggi kedudukannya dalam
Islam, yang melarang dan mencegah mereka dari memberontak terhadap penguasa.
Mereka melarang tindakan pemberontakan tersebut, dengan menyebutkan dalil-dalil
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya, Ibnu
‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnuz Zubair, dan Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu
‘anhum yang telah melarang Al-Husain dari memberontak terhadap
penguasa (Yazid bin Mu’awiyah).
Sebagaimana Ibnu ‘Umar dan Nu’man bin Basyir radhiyallahu
‘anhuma telah melarang penduduk Madinah dari memberontak terhadap
Yazid bin Mu’awiyah pada saat tragedi Harrah.
Dari Nafi’ rahimahullahu Ta’ala, beliau berkata,
“Ketika penduduk Madinah melepas bai’at dari khalifah Yazid bin
Mu’waiyah, Ibnu ‘Umar mengumpulkan kerabat dan anak keturunannya. Ibnu ‘Umar
kemudian berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
يُنْصَبُ
لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ القِيَامَةِ، وَإِنَّا قَدْ بَايَعْنَا هَذَا
الرَّجُلَ عَلَى بَيْعِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَإِنِّي لاَ أَعْلَمُ غَدْرًا
أَعْظَمَ مِنْ أَنْ يُبَايَعَ رَجُلٌ عَلَى بَيْعِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ
يُنْصَبُ لَهُ القِتَالُ، وَإِنِّي لاَ أَعْلَمُ أَحَدًا مِنْكُمْ خَلَعَهُ، وَلاَ
بَايَعَ فِي هَذَا الأَمْرِ، إِلَّا كَانَتِ الفَيْصَلَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ
“Pada
hari kiamat, akan dipasang bendera untuk setiap orang yang melanggar
perjanjian.” Sesungguhnya kita telah membaiat orang ini (yaitu Yazid,
pen.) di atas baiat Allah dan
Rasul-Nya. Dan aku tidak mengetahui pelanggaran yang lebih serius daripada
ketika seseorang telah membaiat seseorang di atas baiat Allah dan Rasul-Nya,
kemudian dia memasang peperangan (pemberontakan) kepadanya. Dan sungguh aku
tidak melihat salah seorang di atas kalian yang telah mencopotnya (dari jabatan
sebagai khalifah) dan ikut-ikutan di dalamnya, kecuali ada pemisah di antara
aku dan kalian.” (HR.
Bukhari no. 7111)
Lihatlah bagaimana Ibnu ‘Umar berlepas diri dari tindakan
penduduk Madinah yang melepas baiat dari khalifah Yazid bin Mu’awiyah (tidak
lagi menganggap Yazid sebagai khalifah mereka) lalu memberontak kepadanya.
Selain itu, Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu juga
telah mengingatkan ‘Abdullah bin Muthi’ ketika terjadi tragedi Harrah di kota
Madinah.
‘Abdullah bin Muthi’ yang merupakan salah satu pimpinan
gerakan pemberontakan ini berkata kepada Ibnu ‘Umar,
اطْرَحُوا
لِأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ وِسَادَةً
“Berikan kepada Abu
‘Abdirrahman (Ibnu ‘Umar) sebuah bantal untuk duduk.”
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku
ke sini bukan untuk duduk. Aku mendatangimu untuk menyampaikan sebuah hadits
yang aku mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakannya. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ خَلَعَ
يَدًا مِنْ طَاعَةٍ، لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ، وَمَنْ
مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang melepas tangan dari ketaatan (terhadap penguasa, pen.),
maka dia akan berjumpa dengan Allah pada hari kiamat dan dia tidak memiliki
hujjah atas perbuatannya itu. Dan barangsiapa yang mati dalam kondisi tidak ada
di lehernya ikatan baiat, maka dia mati sebagaimana mati jahiliyyah.” (HR. Muslim no. 1851)
Dan juga kita melihat bagaimana Al-Hasan Al-Bashri dan
Mujahid dan selain keduanya rahimahumullahu Ta’ala yang telah
melarang dari memberontak kepada Al-Hajjaj bin Yusuf ketika terjadi
pemberontakan Ibnu Al-Asy’ats.
Lihatlah bagaimana tabi’in yang mulia, Al-Hasan
Al-Bashri rahimahullahu Ta’ala menasihati penduduk Irak agar
mereka bersabar terhadap kedzaliman Al-Hajjaj bin Yusuf dan tidak memberontak
kepada Al-Hajjaj, untuk mencegah tumpahnya darah pada kaum muslimin. Hasan
Al-Bashari rahimahullahu Ta’ala berkata,
إِنَّ
الْحَجَّاجَ عَذَابُ اللَّهِ، فَلَا تَدْفَعُوا عَذَابَ اللَّهِ بِأَيْدِيكُمْ،
وَلَكِنْ عَلَيْكُمْ بِالِاسْتِكَانَةِ وَالتَّضَرُّعِ، فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ:
{وَلَقَدْ أَخَذْنَاهُمْ بِالْعَذَابِ فَمَا اسْتَكَانُوا لِرَبِّهِمْ وَمَا
يَتَضَرَّعُونَ} [سُورَةُ الْمُؤْمِنُونَ: 76]
“Sesungguhnya Al-Hajjaj adalah adzab
(hukuman) dari Allah. Janganlah kalian menolak adzab Allah dengan tangan-tangan
kalian. Akan tetapi, wajib bagi kalian untuk merendahkan diri dan tunduk.
Karena sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya
Kami telah pernah menimpakan adzab kepada mereka, maka mereka tidak tunduk
kepada Tuhan mereka, dan (juga) tidak memohon kepada-Nya dengan merendahkan
diri.“ (Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah, 4/529)
Oleh karena itu, taruhlah jika perkataan seseorang boleh
dijadikan sebagai hujjah, tentu perkataan para sahabat dan tabi’in yang
melarang dari menentang dan memberontak kepada penguasa itulah yang lebih layak
untuk diikuti. Apalagi jika perkataan mereka tersebut bersesuaian dengan
hadits-hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
telah banyak kami sebutkan.
Kesimpulan
Termasuk di antara pokok aqidah ahlus sunnah adalah
kewajiban taat dan patuh terhadap penguasa muslim, meskipun penguasa tersebut
dzalim dan lebih mementingkan diri sendiri daripada kepentingan rakyatnya.
Wajib untuk bersabar atas kedzaliman mereka dan tetap mendoakan mereka dengan
kebaikan. Tidak boleh menjelek-jelekkan, menghina, merendahkan, dan menyebarkan
aib mereka di muka umum. Bagi yang memiliki kebiasaan ini, hendaklah mereka
menghentikannya dan bertaubat kepada Allah Ta’ala.
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan hafidzahullahu
Ta’ala berkata,
والكلام في
ولاة الأمور من الغيبة والنميمة، وهما من أشد المحرمات بعد الشرك، لا سيما إذا
كانت الغيبة للعلماء ولولاة الأمور فهي أشد، لما يترتب عليها من المفاسد، من :
تفريق الكلمة، وسوء الظن بولاة الأمور، وبعث اليأس في نفوس الناس، والقنوط
“Mencela pemerintah termasuk
perbuatan ghibah (menggunjing) dan namimah (adu domba). Keduanya
termasuk di antara perkara yang paling diharamkan setelah syirik, lebih-lebih
lagi jika yang digunjing adalah para ulama dan pemerintah. Karena hal ini
akan menimbulkan berbagai kerusakan, yaitu tercerai berainya persatuan, buruk
sangka terhadap penguasa (pemerintah) dan tersebarnya rasa putus asa pada
jiwa-jiwa manusia.” (Al-Ajwibah Al-Mufiidah ‘an As’ilati
Al-Manaahij Al-Jadiidah, hal. 109)
Manhaj ahlus sunnah dalam menasihati penguasa yang dinilai
berbuat kesalahan adalah dengan menasihati secara tertutup dan empat mata,
tidak dengan disebar-sebarkan. Adapun menasihati secara terbuka, maka
diperbolehkan jika langsung disampaikan secara langsung di hadapannya (tidak di
belakangnya), dengan menimbang adanya maslahat dan tidak menimbulkan madharat
yang lebih besar. Juga dilakukan dengan penuh adab, karena tujuan asalnya
adalah menginginkan kebaikan dari sang penguasa.
Adapun keyakinan sebagian orang, yang memperbolehkan nasihat
secara terbuka secara mutlak, dengan berdalil tindakan sebagian ulama salaf
terdahulu, maka hal itu tidak bisa dibenarkan. Karena para ulama salaf tersebut
telah keliru dalam ijtihad, kemudian mereka pun telah menyesal dan bertaubat
setelah tampak timbulnya mafsadat (kerusakan) dari ijtihad mereka, berupa
terbunuhnya ribuan kaum muslimin dalam berbagai tragedi pemberontakan.
[Selesai]
***Diselesaikan di siang hari, Rotterdam NL, 3 Sya’ban 1439/ 20 April 2018
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.Or.Id
Catatan kaki:
[1] Disarikan dari: Khaqiqatul Khawarij fi Asy-Syar’i wa ‘Abra At-Taarikh, karya Syaikh Faishal Qazaar Al-Jaasim, hal. 45-4550 (penerbit Al-Mabarrah Al-Khairiyyah li ‘Uluumi Al-Qur’an wa As-Sunnah, cetakan pertama tahun 1428), dengan beberapa penambahan dari penulis.