
Masalah Keempat: Seputar Istighatsah
Definisi istighatsah ala jahiliyah
Pembaca yang budiman, sungguh mengherankan memang, ketika orang yang
hidup di abad 21 dengan berbagai kemajuan IPTEK-nya masih berpikir ala jahiliyah.
Masih mending jika keyakinan tersebut berangkat dari kebodohan karena
ia tinggal di tengah hutan belantara, atau di daerah terpencil yang tak
pernah mengenyam pendidikan. Namun jika ia mengaku ‘terpelajar’ dan
masih mempercayai takhayul bahkan mengajak orang kepada hal tersebut,
maka orang ini perlu kita waspadai. Pasti ada udang di balik batu! Saya
sudah berusaha untuk husnuzhan terhadap Novel dari awal buku ini. Akan tetapi, setelah membaca masalah istighatsah di
akhir bukunya, saya terbakar rasa cemburu. Cemburu akibat dilanggarnya
hak-hak Allah atas nama syariat! Coba perhatikan bagaimana si Qubury ini mendefinisikan istighatsah (hal128):
“Dalam syariat istighatsah diartikan sebagai permintaan tolong kepada Nabi, Rasul atau orang saleh –yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia— untuk mendoakan agar ia dapat memperoleh manfaat atau terhindar dari keburukan dan lain sebagainya”.
Minta doa kepada yang sudah meninggal dunia? Lho kok bisa? (Mungkin menurutnya) bisa saja, karena masalah takhayul memang
tidak mengenal batas. Segala sesuatu yang tidak masuk akal pun bisa
diterima dengan pola pikir jahiliyah semacam ini. Dia meyakini orang
yang sudah mati bisa mendoakan yang masih hidup, padahal Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَمَا يَسْتَوِي الْأَحْيَاءُ وَلَا الْأَمْوَاتُ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ
“Dan tidak
(pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati.
Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang
dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang
di dalam kubur dapat mendengar” (Faathir: 22).
Ayat di atas jelas sekali mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja
tidak dapat membikin orang yang sudah mati bisa mendengar, padahal
beliau adalah manusia paling shalih. Artinya, jelas sekali bahwa
siapapun yang sudah mati tidak bisa mendengar seruan orang yang masih
hidup. Jadi percuma saja orang minta-minta kepada orang mati, sebab yang
dia mintai tadi sama dengan batu yang tidak mendengar. Kalau ada yang
membolehkan minta doa kepada orang mati, berarti ia meyakini bahwa orang
mati bisa mendengar permintaan yang masih hidup. Nah, bukankah ini sama
dengan menentang makna ayat di atas? Lalu perhatikan ayat berikut
beserta penafsiran Imam Ibnu Jarir[1] atasnya:
Allah Ta’ala berfirman,
يُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَيُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ
وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمًّى ذَلِكُمُ
اللَّهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا
يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ (13) إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا
دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ
الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ
(14)
“Dia
memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan
menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu
yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nya
lah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada
mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” (QS. Fathir: 13-14)
Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau pun
mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan
di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang
dapat memberikan keterangan kepadamu seperti yang diberikan oleh Yang
Maha Mengetahui.
Syaikhul Mufassirin[2] Al
Imam Ibnu Jarir Ath Thabari dalam tafsirnya mengatakan: Allah
mengatakan bahwa jika kalian –wahai sekalian manusia- menyeru
sesembahan-sesembahan yang kalian sembah selain Allah itu, mereka tidak
akan mendengar seruan kalian karena mereka adalah benda mati yang tidak
bisa memahami apa yang kalian katakan. Kalau pun mereka bisa mendengar,
memahami dan tahu bahwa kalian menyeru mereka; mereka tidak akan
menjawab seruan kalian karena mereka tidak bisa bicara, dan tidak setiap
yang mendengar ucapan bisa menjawabnya dengan mudah. Kemudian Allah
berfirman kepada orang-orang yang menyekutukannya dengan para aalihah dan autsaan[3]:
“Lalu bagaimana kalian bisa menyembah selain Allah yang sifatnya
seperti itu? Sedangkan sesembahan itu tidak punya manfaat apa-apa untuk
kalian, dan tidak mampu mencelakai kalian, lalu kalian tinggalkan
peribadatan Dzat yang dapat memberi manfaat dan kecelakaan bagi kalian,
padahal Dia lah yang menciptakan dan memberi nikmat kalian? Demikianlah
penjelasan para ahli tafsir…”, kemudian beliau menyebutkan nama &
ucapan mereka satu persatu[4]. Lalu Allah berfirman kepada orang-orang musyrik penyembah watsan:
Di hari kiamat nanti, sesembahan-sesembahan kalian yang selain Allah
akan berlepas diri dari kalian. Mereka mengingkari kalau mereka
dijadikan sekutu Allah ketika di dunia. Mereka tidak pernah mengakui
perbuatan syirik tersebut dan tidak merestuinya. Dan tidak ada yang bisa
bercerita kepadamu, hai Muhammad, –tentang sesembahan kaum musyrikin
dan bagaimana keadaan mereka dan para penyembahnya di hari kiamat–
seperti Allah yang tahu akan semua yang sedang dan akan terjadi.
Demikianlah penjelasan para ahli tafsir”. Kata beliau mengakhiri
ucapannya.[5]
Dari uraian di atas, kita dapat menarik titik temu antara definisi Novel yang mengatakan bahwa istighatsah adalah
minta tolong kepada Nabi, Rasul, atau orang shalih walaupun sudah
meninggal.. dst; dengan keyakinan kaum musyrikin kepada berhala-berhala
mereka. Di mana titik temunya? Ialah karena Novel dan orang-orang
musyrik tersebut sama-sama meyakini bahwa para berhala maupun orang yang
mati tadi bisa memberi manfaat, atau mendengar seruan orang yang
menyerunya.
Na’udzubillahi minal kufri wasy syirki billaah (kami
berlindung kepada Allah dari perbuatan kufur dan syirik kepada-Nya)!!
Inikah yang kau ajarkan hai Novel?? Sungguh buruklah apa kau ajarkan
selama ini!! Engkau membolehkan kaum muslimin untuk minta doa dari orang
yang sudah mati, dan menganggap mereka bisa memberi manfaat kepada yang
masih hidup. Lantas apa bedanya ajaran yang engkau bela tersebut dengan
keyakinan musyrikin Mekkah yang selama 23 tahun ditentang habis-habisan
oleh Kakekmu[6], Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya? Toh musyrikin Quraisy pada hakikatnya tidak meyakini bahwa patung dan berhala yang mereka sembah mampu menolong mereka secara langsung, mereka
tidak lain tidak bukan hanyalah menganggap sesembahan itu sebagai
perantara untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah, karena berhala
tersebut adalah lambang atau simbol dari orang-orang shalih yang pernah
hidup di zaman dahulu[7]. Inilah
hakikat syirik yang mereka lakukan, yaitu menganggap bahwa dalam
beribadah kita harus pakai perantara. Siapakah perantaranya? Yaitu
berhala untuk musyrikin tempo dulu, atau kuburan ‘wali’, orang shalih, habib, kyai, dll untuk musyrikin zaman ini. Apa bedanya? Tidak ada.
Jadi, saya tidak mengada-ada bila mengatakan bahwa Novel hendak
mengembalikan ajaran jahiliyah yang dibungkus dengan indah dan dibumbui
ayat-ayat dan hadits-hadits[8] agar bisa diterima masyarakat. Toh banyak masyarakat kita masih banyak yang percaya dengan takhayul, tidak mengerti bahasa Arab, ilmu tafsir, musthalah hadits dan lain sebagainya. Hingga mudah bagi dia untuk mempermainkan akal mereka demi kepentingan pribadinya.
Kalau engkau mengatakan (hal 127): “Saudaraku, kita semua meyakini bahwa
hanya Allah lah yang dapat menolong kita. Hanya DIA lah yang dapat
memberi manfaat dan mencegah keburukan. Itulah keyakinan semua umat Islam. Tetapi, apakah dengan demikian kita tidak boleh meminta tolong kepada makhluk yang IA beri keistimewaan?”
Saya katakan:
engkau salah besar! Tidak semua orang yang mengaku Islam meyakini
seperti itu, bahkan puluhan atau mungkin ratusan juta kaum muslimin
masih meyakini bahwa para wali, orang shalih, atau haba-ib –yang
kuburannya dibangun megah dan dikeramatkan di berbagai penjuru
dunia– dapat memberi manfaat dan menyampaikan hajat mereka[9].
Kalaulah mereka tidak meyakini hal tersebut, niscaya tidak ada gunanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melarang
keras segala bentuk pengeramatan dan pengagungan terhadap orang shalih
yang sudah mati. Kalaulah seluruh kaum muslimin meyakini seperti apa
yang kau katakan, maka tolong jelaskan apa maksud ayat berikut?
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ [يوسف/106]
“Dan
sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam
keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)”. (QS. Yusuf: 106)
Adapun meminta tolong kepada orang yang DIA beri keistimewaan, maka
sepanjang yang dimintai tolong adalah orang yang masih hidup dan mampu
menolong, maka hal tersebut tidak mengapa dan tidak ada kaitannya dengan
makna istighatsah dalam syari’at. Itu adalah isti’anah (minta
tolong) biasa. Tapi jika yang dimintai tolong adalah orang mati, maka
kemungkinannya hanya dua: pertama, dia telah mendustakan firman Allah di
atas (Faathir: 22), atau dia orang gila karena menganggap orang mati bisa mendengar ucapannya.
-bersambung insya Allah-
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
Artikel www.muslim.or.id
______________________
[1] Penafsiran ini sengaja kami salin apa adanya secara selang-seling antara potongan ayat dengan tafsirnya agar mudah dipahami.
[2]
Demikianlah julukan para ulama terhadap beliau, yang artinya “Gurunya
para ahli tafsir”. Hal ini ialah karena kitab tafsir yang beliau susun
adalah kitab tafsir paling agung dan paling awal, dan seluruh ahli
tafsir setelah beliau pasti menukil dari kitab tersebut. Nama beliau
adalah Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir, Abu Ja’far Ath Thabary.
Beliau lahir tahun 224 H dan memiliki ilmu, kecerdasan dan banyaknya
karya tulis yang jarang ada tandingannya di zaman itu. Beliau
mengatakan: “Aku istikharah dan minta tolong kepada Allah selama
tiga tahun untuk mewujudkan niatku menyusun tafsir sebelum aku
menulisnya, maka Allah pun menolongku”. Suatu ketika beliau berkata kepada murid-muridnya:
“Tertarikkah kalian dengan tarikh sejak Nabi Adam hingga hari ini?”
“Seberapa panjang itu?” tanya mereka.
“Sekitar 30 ribu lembar“, jawab beliau.
“Wah, umur kita akan habis sebelum menyelesaikannya”, jawab mereka.
“Inna lillaah, semangat (dalam mencari ilmu) telah padam”, tukas beliau.
Maka beliau pun meringkasnya menjadi sekitar 3000 lembar. Kemudian ketika ingin meng-imla’kan (mendiktekan) kitab tafsirnya, beliau juga berkata seperti itu dan mendapat jawaban yang sama, maka beliau pun meringkasnya menjadi 3000 lembar.
Beliau wafat pada tahun 310 H, dan alhamdulillah, kedua kitab tersebut
masih ada sampai hari ini. Demikianlah sekelumit biografi beliau,
selengkapnya dapat saudara baca dalam Siyar A’laamin Nubala’ jilid 14 hal 267-282, tulisan Imam Adz Dzahabi.
[3] Inilah yang penting untuk difahami, apa makna aalihah dan autsaan? Yang pertama adalah bentuk jama’ dari kata ilaah, artinya sesuatu yang diibadahi, yang dalam konteks ini adalah shanam (patung/arca). Sedang yang kedua adalah bentuk jama’ dari kata watsan. Beda antara shanam dengan watsan ialah bahwa shanam memiliki tubuh atau wajah, sedangkan watsan tidak (lihat: Lisaanul ‘Arab, kata sha-na-ma (صنم) ).
[6]
Ironis memang kalau sang cucu justru mengkhianati perjuangan orang yang
diklaim sebagai leluhurnya. Mudah-mudahan dia segera bertaubat dari
kesesatannya agar tidak menjadi seperti anak Nabi Nuh yang durhaka dan
kufur terhadap ajaran ayahnya, hingga binasa dalam kekufuran. Ya karena
Islam bukan agama nepotisme, tidak bisa mentang-mentang keturunan Nabi
lantas dapat jaminan Surga, doanya manjur, banyak berkahnya dan
sebagainya. TIDAK sama sekali.
[7] Dalam surat Az Zumar ayat 3 Allah berfirman yang artinya: Dan
orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami
tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada
Allah dengan sedekat-dekatnya”. Lalu muncullah berhala seperti
Laatta, ‘Uzza dan sebagainya. Tahukah Anda siapa itu Laatta? Simak
penjelasan Ibnu ‘Abbas, Ibnuz Zubair, Mujahid berikut: Al Laatta konon
seorang yang membikin adonan gandum untuk jemaah haji –diambil dari
kata: latta-yaluttu fahuwa laattun, yang artinya mencampur
tepung dengan air. Al Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya:
“Setelah orang itu wafat, mereka mengeramatkan kuburannya dan
menyembahnya!” (lihat: Tafsir Al Qurthubi, 17/100).
[8] Tanpa peduli apakah itu shahih, dha’if
atau bahkan palsu sekalipun. kalaupun ada yang shahih –dan itu sangat
jarang— maknanya pasti tidak mengena dan dipelintir kesana kemari.
[9] Sebagai rujukan, silakan baca kitab yang berjudul: Dam’atun alat tauhid
(دمعة على التوحيد). Kitab ini dapat didownload dari internet, isinya
tentang fenomena penyembahan terhadap berbagai kuburan di seluruh
penjuru dunia. Anda mungkin tidak percaya jika di Mesir saja ada sekitar
6000 kuburan yang dikeramatkan, belum lagi di Pakistan, Bangladesh,
Sudan dan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya.