(Sebuah Kajian Historis)
Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
Pada edisi lalu, telah kita bahas tentang keabsahan kitab al-Ibanah
sebagai karya Imam Abul Hasan al-Asy’ari, kedudukannya di mata ulama
Sunnah, sejarah penulisannya, dan bahwasanya kitab al-Ibanah adalah
karya terakhir al-Asy’ari.
Nah, pada kesempatan kali ini, kita akan mengulas tentang
tuduhan-tuduhan dusta yang dialamatkan kepada ulama Salaf Ashabul Hadits
bahwa mereka telah memalsukan dan memanipulasi kitab al-Ibanah. Bagaimana kebenaran tuduhan tersebut?! Ikutilah kajian berikut ini.
Benarkah Wahhabi Memanipulasi Kitab al-Ibanah?! Membongkar Kedustaan Idahram
Kitab al-Ibanah ini memang mengundang kontroversi sejak
dahulu hingga sekarang sehingga berbagai pihak dan kalangan
mengingkarinya dan ada yang meragukannya. Jadi, dapat kita bagi mereka
dalam dua bagian:
Golongan Pertama: Golongan yang meragukan nisbah kitab al-Ibanah kepada al-Asyari, seperti yang dikatakan oleh Abdurrahman al-Badawi, “Kami sangat meragukan tentang keabsahan nisbah kitab al-Ibanah.”[1]
Pengingkaran seperti bukanlah perkara baru, melainkan sudah ada sejak dahulu kala. Imam Ibnu Dirbas Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Sesungguhnya kitab al-Ibanah
pernah disodorkan kepada salah seorang tokoh Jahmiyyah yang menisbahkan
diri kepada Abul Hasan al-Asy’ari di Baitul Maqdis, lalu dia
mengingkari dan menolaknya seraya mengatakan, ‘Kami tidak pernah
mendengarnya sama sekali, buku ini bukanlah karya tulisnya.’ Ada lagi
yang mencoba berpikir realistis lalu mengatakan setelah menggerakkan
jenggotnya, ‘Mungkin ini ditulis tatkala dia masih Hasyawi.’ Saya tidak
mengerti, dari ucapan siapa yang lebih mengherankan? Apakah dari
kejahilannya terhadap kitab ini padahal sangat populer dan sering
disebut oleh para ulama?! Atau dari kejahilannya tentang keadaan gurunya
yang dia nisbahkan dirinya kepadanya secara dusta.”[2]
Kami tidak memperpanjang bantahan kepada golongan ini, karena telah
kami jelaskan di muka dengan bukti-bukti autentik tentang keabsahan
nisbah kitab al-Ibanah ini kepada Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan bahwasanya kitab tersebut termasuk buku (kitab) terakhir beliau.
Golongan Kedua: Golongan yang menetapkan kitab al-Ibanah sebagai karya al-Asy’ari tetapi meragukan keaslian kitab al-Ibanah yang beredar dan tercetak sekarang, sehingga mengatakan bahwa kitab al-Ibanah
yang tercetak sekarang sudah tidak asli lagi, terdapat manipulasi,
tambahan dan pengurangan oleh tangan-tangan yang tidak amanah, yang
menurut mereka pelakunya adalah para Salafi dan Wahhabi. Inilah yang
banyak didengungkan oleh para Asya’irah sekarang seperti Muhammad Idrus
Ramli dan seorang misterius bergelar Syaikh Idahram (!) yang telah kami
nukil ucapannya di awal tulisan.
Baiklah, berikut ini kami akan menanggapi beberapa data yang dikemukakan oleh Syaikh Idahram dalam bukunya Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Klasik Ulama hlm. 73–81 yang menurutnya adalah bukti-bukti bahwa Salafi telah memalsukan kitab al-Ibanah sehingga sudah tidak asli lagi. Insya Allah, kami akan membantahnya secara gamblang karena itulah inti dari tulisan ini:
Syubhat Pertama:
Pada hlm. 79, Idahram menukil ucapan gembong Jahmiyyah yaitu Muhammad Zahid al-Kautsari. Katanya:
Al-Allamah al-Kautsari pada muqoddimah yang disyarahnya menyatakan,
naskah kitab al-Ibanah yang dicetak di India adalah naskah yang sebagian
isinya juga telah dipalsukan. Bahkan, dicurigai, manuskrip kitab
al-Ibanah adalah manuskrip yang sudah diredukasi dan dimanipulasi isinya
oleh tangan-tangan terampil yang tidak amanah…[3]
Jawaban:
Ini adalah sebuah omongan kosong tanpa bukti yang semua orang bisa saja mengatakannya. Ada beberapa poin untuk membantahnya
1. Saya tidak mengerti kenapa Syaikh Idahram menukil ucapan
al-Kautsari di atas. Apakah dia mengerti siapakah al-Kautsari
sebenarnya?! Atau memang dia ingin mengelabui para pembaca?!!
Al-Kautsari adalah tokoh pengibar bendera Jahmiyyah pada abad ini yang
telah dibongkar kedok kesesatannya oleh para ulama Ahlus Sunnah sekarang[4].
Al-Allamah Muhammad Bahjat al-Baithar mengatakan dalam risalahnya al-Kautsari wa Ta’liqatuhu hlm. 26, “Kesimpulannya, orang ini (al-Kautsari) tidak dianggap akalnya, nukilannya, ilmunya, dan agamanya. Barangsiapa yang menelaah komentar-komentarnya (terhadap kitab-kitab ulama) niscaya dia akan membenarkan kejujuran ucapan kami.”[5]
Syaikh al-Allamah Abdul Aziz bin Baz menyifatinya, “Al-Affak (penuduh/pendusta), al-Atsiim (banyak dosa), al-Maftun (terkena fitnah).”[6]
Syaikh al-Albani menyifatinya, “Dia seorang berpaham Jahmiyyah Mu’aththilah, fanatik tulen terhadap madzhab Hanafi, pencela ahli hadits nomor wahid.”[7]
Dan tahukah Idahram serta pembaca bahwa al-Kautsari adalah pencela para ulama[8],
bahkan di antaranya adalah Imam Syafi’i?! Al-Ghumari mengatakan,
“Al-Kautsari telah mencela nasab Imam Syafi’i yang telah disepakati, dan
menganggapnya sebagai bekas budak bukan dari Quraisy, dan mengatakan
bahwa Imam Syafi’i bodoh tentang bahasa Arab dan hadits, lemah dan jahil
tentang hukum-hukum fiqih, menyelisihi ijma’ dalam empat ratus masalah,
dan masih banyak lagi celaan-celaan lainnya terhadap imam yang mulia
tersebut.”[9]
2. Anggapan al-Kautsari yang diikuti oleh Idahram bahwa ada manipulasi pada al-Ibanah
adalah anggapan tanpa bukti yang semua orang bisa saja mengatakan
seperti itu. Namun, anggapan ini adalah tidak terbukti sama sekali
berdasarkan beberapa alasan:
a. Kitab al-Ibanah memiliki enam manuskrip yang
ditemukan dan semuanya sama dalam babnya, permasalahannya, dan
lafal-lafalnya, yang semua itu membuktikan tidak adanya manipulasi.
Seandainya memang terjadi manipulasi, tentunya akan terjadi perbedaan
lafal yang menonjol dan kontroversi yang sangat tampak. Adapun adanya
perbedaan antara manuskrip, itu hanya perbedaan-perbedaan parsial yang
tidak berkaitan dengan isi kitab; seperti shalawat, ada yang diberi
shalawat ada yang tidak, ada yang diberi radhiyallahu ’anhu pada sahabat ada yang tidak, ada yang menggunakan lafal Ta’ala setelah Allah ada yang Azza wa Jalla, demikian seterusnya. Adapun perbedaan yang mengubah isi dan maksud kitab, sama sekali tidak ada.
b. Setelah kita bandingkan kitab al-Ibanah yang beredar
sekarang dengan nukilan-nukilan ulama dahulu, ternyata sama dan sesuai.
Sebagai contoh, al-Hafizh al-Baihaqi menukil sebuah pasal dari kitab al-Ibanah dalam kitabnya al-I’tiqad hlm. 114, ternyata sesuai dengan al-Ibanah cetakan sekarang. Demikian juga Ibnu Asakir menukil beberapa pasal dalam kitabnya Tabyin Kadzibil Muftari hlm. 152–162 ternyata sesuai dengan al-Ibanah cetakan sekarang. Ibnu Taimiyyah menukil beberapa pasal dalam beberapa kitabnya seperti Naqdhu Ta‘sis hlm. 63–85, Majmu’ Fatawa 3/224–225, 5/93–98 dan 168–178, Bayanu Talbis Jahmiyyah 1/420–426, 2/12–26 dan 348–349 ternyata sesuai dengan cetakan sekarang. Ibnul Qayyim menukil dalam Tahdzib Sunan 13/35–36, Mukhtashar Shawa’iq 2/169, dan Ijtima’ul Juyusy hlm. 182–190 ternyata sesuai dengan cetakan sekarang. Demikian juga adz-Dzahabi menukil dalam al-’Uluw hlm. 218 dan al-’Arsy hlm. 291–303 ternyata sesuai dengan cetakan sekarang.
c. Apa yang disampaikan oleh al-Asy’ari dalam al-Ibanah tentang aqidah ahli hadits kebanyakannya sesuai dan sama dengan apa yang beliau sampaikan dalam kitab-kitab lainnya seperti Maqalat Islamiyyin dan Risalah ila Ahli Tsaghar. Hal itu menguatkan bahwa tidak ada manipulasi pada isi kandungan kitab-kitab tersebut.[10]
Syubhat Kedua:
Pada hlm. 80–81, Idahram mengatakan:
Selain itu, mereka juga mendapati bahwa ternyata kitab al-Ibanah yang banyak beredar di pasaran adalah kitab al-Ibanah yang memiliki banyak versi, alias sudah tidak asli lagi. Di antara indikasinya adalah, pada halaaman 16 tertulis:
وأنكروا أن يكون له عينان
Mereka mengingkari Allah memiliki dua mata.
Kata عينان pada teks tersebut berbentuk tatsniyah (dua) dan
kalimatnya menunjukkan penolakan Allah punya dua mata. Sedangkan dalam
kitab al-Ibanah ’an Ushul Diyanah yang ditahkik oleh Dr.
Fauqiyah Husain Mahmoud, seorang professor di Universitas Ain Syams
Kairo, Mesir, cetakan ke-2 tahun 1987 M, pada masalah yang sama[11] di halaman 22 berbunyi:
وأن له عينين بلا كيف
Allah punya dua mata tanpa diketahui bagaimana caranya (haikakatnya).
Kata yang digunakan juga berbentuk tatsniyah, hanya saja berbentuk manshub inna[12] dan kalimatnya menunjukkan tidak menolak Allah punya dua mata. Sedangkan dalam kitab al-Ibanah versi Ibnu Asakir pada halaman 158 tertulis lagi:
وأن له عينا بلا كيف
Allah punya mata tanpa diketahui bagaimana caranya.
Kata yang digunakan berbentuk mufrod (satu mata) dan kalimatnya menunjukkan arti Allah punya mata tanpa harus tahu kondisinya”.
Jawaban:
Ada beberapa poin untuk membantah tulisan di atas:
1. Idahram telah melakukan manipulasi dalam tulisan di atas
ketika dia mengatakan tentang teks kedua yang menunjukkan penetapan
sifat mata dengan teks pertama yang meniadakan dianggap sebagai masalah
yang sama, padahal teks pertama adalah ketika al-Asy’ari menceritakan
pendapat kaum Mu’tazilah, sedangkan teks kedua ketika beliau menetapkan
aqidah ahli hadits. Untuk mengecoh pembaca, dia menyebutkan al-Ibanah
dari tahqiq lain yaitu tahqiq Dr. Fauqiyah Husain. Sungguh ini
kelicikan dan penipuan yang luar biasa, namun Allah pasti akan
membongkar kedustaan para pendusta.
Namun, tidak perlu heran dengan tadlis (manipulasi) ini, karena Idahram memang dikenal sebagai pembohong besar dalam tulisan-tulisannya terutama trio bukunya Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahhabi, Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Klasik Ulama dan Ulama Sejagad Menggugat Wahhabi.[13]
Buku pertama—misalnya—dari sampul depan hingga sampul belakang penuh
dengan kebohongan dan kedustaan. Adapun sampul depan, penulis misterius
ini menyebut dirinya dengan bertopeng Syaikh Idahram, padahal itu bukan
nama sesungguhnya. Dan telah sampai kabar kepada kami dari beberapa
ikhwan di Jakarta yang terpercaya bahwa nama sesungguhnya adalah Marhadi
kebalikan dari Idahram. Bayangkan, jika nama penulisnya saja terbalik,
bagaimana dengan isinya?! Jangan aneh jika isinya banyak terbalik dari
kenyataan. Kenapa penulis ini begitu pengecut dalam pertempuran wacana
ilmiah sehingga tidak menampakkan identitas aslinya?!
Adapun sampul akhirnya, karena mencatut nama-nama tokoh tersohor yang
memberikan rekomendasi terhadap buku ini seperti KH Ma’ruf Amin (Ketua
MUI) dan Muh. Arifin Ilham, padahal keduanya menyatakan tidak pernah
memberikan rekomendasi tersebut, baca aja belum apalagi memberi
rekomondasi?! Tentang Muh. Arifin Ilham, terdapat sebuah artikel di
internet[14]
yang memuatnya. Adapun tentang KH. Ma’ruf Amin, kami pernah menanyakan
kepada kawan yang sangat dekat dengan beliau, ternyata beliau
menyatakan, “Benar, saya mendapatkan kiriman buku itu, tapi saya belum
membacanya apalagi memberi rekomendasi, dan saya tidak ingin terlibat
dalam pertikaian umat.” Jika sampul depan dan akhirnya saja dusta,
lantas bagaimana dengan isinya?! Sungguh, sangat luar biasa
kebohongannya!!
2. Adapun perbedaan teks kedua dengan ketiga antara mutsanna dan mufrad, maka memang benar ada perbedaan tersebut. Dari enam manuskrip kitab al-Ibanah yang ada, satu manuskrip menggunakan lafal mufrad (tunggal) yaitu manuskrip Darul Kutub al-Qaumiyyah di Cairo, Mesir. Adapun lima manuskrip lainnya menggunakan lafal mutsanna (dua).
Namun, perlu diketahui bahwa perbedaan seperti ini adalah tidak
mempengaruhi keabsahan sebuah kitab dan tidak mengubah makna, karena
hampir semua kitab tidak selamat dari adanya perbedaan seperti ini,
karena perbedaan manuskrip dan penyalinnya. Bahkan kitab-kitab hadits
seperti Shahih Bukhari juga tidak luput dari perbedaan seperti
ini. Andaikan seperti ini disebut pemalsuan, maka tidak ada kitab yang
sah kalau begitu.
3. Sekalipun demikian, kami menguatkan pendapat yang menggunakan redaksi mutsanna bukan mufrad, dengan alasan sebagai berikut:
a. Demikian yang tertulis dalam banyak manuskrip sebagaimana berlalu penjelasannya.
b. Lafal mutsanna sesuai dengan aqidah salaf shalih.[15]
c. Lafal tersebut sesuai dengan apa yang tertulis di kitab-kitab al-Asy’ari lainnya seperti Maqalat Islamiyyin[16] dan Risalah ila Ahli Tsaghar[17].
d. Tidak ada pertentangan antara lafal mufrad dan mutsanna, karena mufrad tersebut maksudnya adalah jenis.[18]
b. Lafal mutsanna sesuai dengan aqidah salaf shalih.[15]
c. Lafal tersebut sesuai dengan apa yang tertulis di kitab-kitab al-Asy’ari lainnya seperti Maqalat Islamiyyin[16] dan Risalah ila Ahli Tsaghar[17].
d. Tidak ada pertentangan antara lafal mufrad dan mutsanna, karena mufrad tersebut maksudnya adalah jenis.[18]
Syubhat Ketiga:
Pada hlm. 74–75, dia mengatakan:
Salafi Wahabi telah mengacak-acak isi kitab Al-Ibanah fi Ushul ad-Diyanah karya
al-Imam Abu Hasan al-Asy’ari dengan menghapus kalimat-kalimat yang
tidak sejalan dengan akidah mereka. Di antaranya adalah menghilangkan
beberapa kalimat Imam al-Asy’ari tentang istiwa’ dalam al-Ibanah versi
terbitan mereka. Kalimat yang hilang itu, di antaranya:
وأن الله تعالى استوى على العرش على الوجه الذي قاله وبالمعنى
الذي أراده استواء منزها عن المماسة والاستقرار والتمكن والحلول والانتقال
لا يحمله العرش بل العرش وحملته محمولون بلطف قدرته ومقهورون في قبضته وهو
فوق العرش وفوق كل شيء إلى تخوم الثرى فوقية لا تزيده قربا إلى العرش
والسماء بل هو رفيع الدرجات عن العرش كما أنه رفيع الدرجات عن الثرى وهو مع
ذلك قريب من كل موجود وهو أقرب إلى العبد من حبل الوريد وهو على كل شيء
شهيد
“Dan sesungguhnya Allah istiwa’[19]
atas arsy seperti yang dia firmankan, dan dengan makna yang Dia
inginkan. Istiwa’ yang bersih dari arti menyentuh, menetap, bertempat,
dia dan pindah. Arsy tidak membawanya, melainkan arsy (yang dibawa).
Arsy yang dibawa maksudnya tercakup dalam kelembutan kuasaNya, serta
tunduk dalam genggamannya. Dia di atas (tidak menyentuh) arsy, bahkan di
atas segala sesuatu hingga gugusan bintang tata surya sekalipun. Di
atas yang tidak membuatNya tambah dekat ke arsy dan langit, melainkan
dia sangat tinggi derajatNya dari arsy sebagaimana dia sangat tinggi
derajatnya dari tata surya, dan Dia dengan itu dengan segala yang ada.
Dia lebih dekat kepada hambaNya daripada urat lehernya dan menyaksikan
segala sesuatu”.[20]
Pembaca budiman, saksikanlah, semua kalimat di atas raib sama sekali
tanpa bekas dari dalam kitab al-Ibanah yang diterbitkan oleh
penerbit-penerbit Salafi Wahabi, sehingga terbitan mereka sangat berbeda
dengan versi aslinya.[21]
Jawaban:
Demikianlah ucapan Idahram, kami menukilnya secara lengkap beserta
catatan kakinya dari dia agar kita bisa mengetahui lebih lanjut bantahan
berikut:
1. Idahram menukil ucapan di atas dari seorang bernama Hasan bin
Ali as-Segaf. Apakah Anda mengetahui siapa dia?! Hasan bin Ali as-Segaf
adalah seorang gembong Jahmiyyah abad sekarang, ahli bid’ah dari
Yordania. Kami tidak yakin kalau Idahram seorang Asy’ari, namun kami
lebih cenderung bahwa dia adalah seorang Jahmi dan Mu’tazili, seperti
Abul Hasan al-Asy’ari pada fase awal. Berikut gambaran secara ringkas
tentangnya:[22]
a. Orang ini ber‘aqidah Jahmiyyah tulen, mengingkari Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan takwil dan ta’thil. Dia berkata dalam bukunya at-Tandid liman ‘Addada at-Tauhid hlm. 50, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah menegaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak boleh disifati bahwa Dia berada di luar alam maupun di dalam alam.”
b. Sering melecehkankan hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seperti ucapannya tentang hadits budak perempuan pada hlm. 188, “Itu adalah lafal yang keji[23]!!!”
c. Menghina sebagian sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seperti Mu’awiyah bin Abu Sufyan Radhiallahu ‘Anhu, juru tulis Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
d. Mulutnya sangat kotor, sering melontarkan kata-kata keji
terhadap para ulama seperti Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Muhammad bin
Abdul Wahhab, Ibnu Baz, al-Albani, dan sebagainya.
e. Memuji para tokoh ahli bid’ah, lebih-lebih gurunya yang
bernama Muhammad Zahid al-Kautsari, panglima Jahmiyyah pada zaman
sekarang[24].
f. Sering melakukan kedustaan, tadlis (penipuan), dan talbis (kerancuan).
Sungguh, telah banyak para ulama yang membongkar kesesatan Hasan
as-Seggaf ini seperti Syaikh Sulaiman al-Ulwan, Syaikh Ali Hasan
al-Halabi, Syaikh Abdul Karim al-Humaid, Syaikh Khalid al-Anbari, Syaikh
Abdurrazzaq al-Badr, Syaikh Amr Abdul Mun’im dan masih banyak lagi
lainnya.[25]
2. Adapun penafsiran Idahram dalam catatan kaki bahwa di antara makna istawa adalah istaula (menguasai), maka ini adalah penafsiran yang batil dari beberapa segi, di antaranya:
a. Penafsiran ini tidak dinukil dari kalangan salaf, baik dari
kalangan sahabat maupun tabi’in. Tidak seorang pun dari mereka yang
menafsirkan seperti penafsiran ini, bahkan orang yang pertama kali
menafsirkan istawa dengan istaula adalah sebagian kaum Jahmiyyah dan Mu’tazilah sebagaimana diceritakan oleh Abul Hasan al-Asy’ari dalam bukunya al-Ibanah.[26]
b. Sesungguhnya menafsirkan kitab Allah dengan penafsiran yang baru dalam menyelisihi penafsiran as-salaf ash-shalih, mengandung dua perkara, yaitu: entah dia yang salah atau kaum as-salaf ash-shalih yang salah. Seorang yang berakal sehat tidak akan ragu bahwa penafsiran baru yang menyelisihi as-salaf ash-shalih ini yang pasti salah.
c. Tidak ada dalam bahasa Arab, kata istawa berarti istaula, bahkan hal ini diingkari oleh pakar bahasa seperti Imam Ibnu A’rabi.[27]
d. Asal sebuah kalam (ucapan) harus dibawa kepada makna
hakikatnya, tidak boleh dipalingkan kecuali dengan dalil. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Kaidah asal suatu
ungkapan adalah secara hakikatnya. Hal ini telah disepakati oleh seluruh
manusia dari berbagai bahasa, karena tujuan bahasa tidak sempurna
kecuali dengan hal itu.”[28]
3. Tambahan di atas yang dibawakan oleh pengibar bendera Jahmiyyah abad ini Hasan as-Segaf adalah tambahan yang bukan asli ucapan al-Asy’ari dalam kitab al-Ibanah[29] dengan beberapa argumen sebagai berikut:
a. Tambahan ini tidak ada dalam semua manuskrip asli kitab al-Ibanah
yang berjumlah enam, kecuali hanya satu manuskrip saja di
Iskandariyyah. Dan menurut penelitian, ternyata manuskrip ini tidak
diketahui penulisnya dan tanggal penyalinannya.
b. Biasanya kalau ada perbedaan dalam menyalin manuskrip itu
tidak lebih dari beberapa kalimat atau maksimal satu lembar, bukan
beberapa lembar seperti tambahan ini yang tidak ada dalam seluruh
manuskrip lainnya dan tidak ada dalam cetakan lainnya seperti cetakan
India dan Lebanon.
c. Para ulama yang menukil ungkapan al-Asy’ari dalam masalah ini tidak menampilkan tambahan tersebut, padahal al-Ibanah saat itu disalin oleh seorang ulama terpercaya yaitu Imam Nawawi.[30] Di antara ulama yang menukil adalah Ibnu Asakir dalam Tabyin hlm. 128, Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa 5/142, Dar‘u Ta’arudhil Aql 7/104, Bayanu Talbis Jahmiyyah 3/313, Ibnu Qayyim dalam Ijtima’ Juyusy hlm. 169, adz-Dzahabi dalam al-’Uluw 2/1240 dan Kitab al-Arsy 2/291, Ibnul Imad dalam Syadzarat Dzahab 2/304, Abdul Baqi dalam al-’Ain wal Atsar hlm. 111, Hamd bin Nashir dalam Tuhfah Madaniyyah hlm. 129, asy-Syinqithi dalam Adhwa‘ul Bayan 7/281. Perhatikanlah delapan ulama tersebut menukil dari al-Ibanah tanpa adanya tambahan tersebut, apakah mereka berpedoman pada manuskrip yang salah semua?!!
d. Dalam kitab lainnya seperti Maqalat Islamiyyin 1/168 dan 290, al-Asy’ari juga menyampaikan masalah istiwa‘ yang sama tanpa adanya tambahan tersebut dalam cetakan yang ada mana pun.
e. Lafal tersebut adalah lafal Abu Hamid al-Ghazali dalam tiga kitabnya yaitu Ihya‘ Ulumuddin 1/90, al-Arba’in fi Ushuliddin hlm. 7-8, Qawa’idul Aqa‘id hlm. 52. Dan ucapan al-Ghazali ini dinukil dengan menisbatkan padanya oleh sejumlah ulama seperti Ibnu Asakir dalam Tabyin hlm. 300, Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa 5/503 dan as-Subki dalam Thabaqat Syafi’iyyah
6/231. Seandainya ungkapan tersebut adalah ungkapan al-Asy’ari maka
mereka akan bersemangat menisbahkannya kepada al-Asy’ari bukan kepada
al-Ghazali, bahkan Ibnu Asakir sendiri—yang menukil ucapan Abul Hasan
al-Asy’ari dari al-Ibanah—menisbahkan ucapan ini kepada al-Ghazali bukan kepada al-Asy’ari.
f. Ungkapan tersebut jika dicermati justru meniadakan
ketinggian Allah yang diimani oleh al-Asy’ari. Oleh karenanya, Ibnu
Taimiyyah setelah menukil ucapan ini dari al-Ghazali, beliau
menghukuminya termasuk orang yang mengingkari ketinggian Allah di atas
Arsy[31]. Maka menisbahkan ucapan ini kepada al-Asy’ari merupakan kezaliman terhadap beliau.[32]
Dengan demikian, jelaslah bagi kita bahwa tambahan tersebut bukanlah
ucapan al-Asy’ari, melainkan itu adalah ucapan al-Ghazali yang
dicantumkan sebagian penyalin kitab al-Ibanah pada satu manuskrip yang ada.
Syubhat Keempat:
Pada hlm. 81, Idahram mengatakan:
Selain pemalsuan pada tema tersebut, contoh pemalsuan lain dari kitab
al-Ibanah yang dapat dijumpai adalah penghapusan hadits-hadits Nabi Saw
tentang keistimewaan Sayyidina Ali dan kasus kekhalifahannya.
Jawaban:
Ada beberapa poin untuk menjawab tuduhan ini:
1. Kami menuntut kepada Idahram untuk membuktikan tuduhannya tersebut. Apakah memang dia melihat manuskrip asli kitab al-Ibanah yang memuat hadits-hadits tentang keutamaan Ali Radhiallahu ‘Anhu?! Dari mana dia berani mengatakan demikian?! Apakah berdasarkan bukti ataukah sekedar bualan yang menjadi kebiasaannya?!
2. Kalau seandainya memang ada pembuangan pada hadits-hadits keutamaan Ali Radhiallahu ‘Anhu karena kebencian kepada Ali Radhiallahu ‘Anhu seperti dugaan Idahram, niscaya akan dibuang juga lafal-lafal yang menunjukkan keutamaan Ali Radhiallahu ‘Anhu,
seperti ucapan al-Asya’ari, “Kami berkeyakinan bahwa para khalifah
empat adalah para khalifah yang cerdas dan mendapatkan petunjuk, tidak
ada selain mereka yang bisa menandingi keutamaan mereka.”[33] Juga ucapan al-Asy’ari, “Kekhalifahan Ali Radhiallahu ‘Anhu telah ditetapkan setelah Utsman Radhiallahu ‘Anhu dengan kesepakatan para sahabat Radhiallahu ‘Anhum. Dan telah disepakati tentang keutamaan beliau dan keadilannya.”[34]
3. Ada sesuatu yang membuat hati bertanya-tanya, mengapa dia mengkhususkan hal itu pada Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu.
Apakah ini adalah adalah salah tanda-tanda bau Syi’ah dia yang telah
dicium oleh para peneliti buku-bukunya. Ya, itu bukanlah hal yang
mustahil, karena buku-bukunya banyak ditunggangi oleh pemikiran Syi’ah,
sebagaimana disingkap oleh para peneliti buku-bukunya.
Akhuna al-Ustadz Firanda Abu Abdil Muhsin—semoga Allah
menjaganya—menjelaskan bahwa aroma Syi’ah sangat mencolok dalam buku
Idahram dengan beberapa bukti:
1) Idahram mengatakan bahwa dalam dunia Islam ada tujuh madzhab
yang dikenal, yaitu madzhab Hanafi, Maliki, asy-Syafi’I, Hanbali,
Zhahiri, Ja’fari, dan Imamiyah.[35] Dan dua kelompok terakhir adalah Syi’ah.
2) Idahram banyak menukil dari buku-buku sejarawan Syi’ah.
3) Kedustaan yang banyak dilakukannya, sebagaimana kebiasaan Syi’ah yang gemar berdusta (taqiyyah).[36]
Peneliti buku Idahram lainnya, yaitu A.M. Waskito, berpendapat sama,
dia mengemukakan enam bukti tentang kesyi’ahan Syaikh Idahram, seperti
menyebut Najaf dengan kata Najaf al-Asyrof—sebutan yang hanya dikenal
dari Syi’ah, sering mengutip referensi Syi’ah, berpendapat Ali Radhiallahu ‘Anhu lebih utama daripada Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu, sering berlaku curang, kebenciannya yang mendalam terhadap Ahlus Sunnah.[37]
Peneliti lainnya lagi adalah Ust. Agus Hasan Bashori dalam makalahnya
berjudul “Waspada! Buku ‘Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi’
Mengusung Faham Rafidhah (Syi’ah Iran)”.[38]
Mengapa Mereka Membenci al-Ibanah?!
Setelah Anda mengetahui tentang keabsahan kitab al-Ibanah
kepada Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan keasliannya tanpa manipulasi,
sekarang di penutup ini kami mengajak Anda untuk berpikir jernih,
mengapa Asya’irah begitu berusaha mendustakan atau meragukan kitab al-Ibanah
ini? Jawabannya tidak lain dan tidak bukan adalah karena kitab ini
sangat berseberangan dengan keyakinan Asya’irah sendiri, bahkan menampar
mereka, sehingga boleh dikata bahwa dalam kitab al-Ibanah ini, Imam al-Asy’ari menggugat Asya’irah.
Syaikh Abu Zahrah telah mempelajari manhaj Abul Hasan al-Asy’ari lalu menyimpulkannya dalam beberapa poin berikut:
1) Al-Asy’ari berpendapat untuk mengimani seluruh apa yang
terdapat dalam al-Qur‘an dan Sunnah dalam masalah-masalah aqidah, dan
berhujjah dengan segala cara yang memuaskan untuk mendukung hal itu.
2) Beliau menerima nash-nash dalam ayat-ayat yang dianggap tasybih tanpa terjatuh dalam tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk), dia meyakini Allah punya wajah tetapi tidak seperti wajah hamba, demikian juga Allah punya tangan tetapi tidak sama seperti tangan makhluk.
3) Beliau berhujjah dengan hadits-hadits ahad dalam masalah aqidah untuk penetapannya. Beliau menegaskan untuk meyakini beberapa masalah aqidah yang ditetapkan dengan hadits ahad.
4) Beliau membantah seluruh ahli hawa nafsu dan Mu’tazilah dan berusaha untuk tidak tergelincir dalam penyimpangan.[39]
2) Beliau menerima nash-nash dalam ayat-ayat yang dianggap tasybih tanpa terjatuh dalam tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk), dia meyakini Allah punya wajah tetapi tidak seperti wajah hamba, demikian juga Allah punya tangan tetapi tidak sama seperti tangan makhluk.
3) Beliau berhujjah dengan hadits-hadits ahad dalam masalah aqidah untuk penetapannya. Beliau menegaskan untuk meyakini beberapa masalah aqidah yang ditetapkan dengan hadits ahad.
4) Beliau membantah seluruh ahli hawa nafsu dan Mu’tazilah dan berusaha untuk tidak tergelincir dalam penyimpangan.[39]
Sekadar sebagai contoh kebencian mereka terhadap al-Ibanah karena bertolak belakang dengan aqidah mereka yang rusak adalah ucapan Idahram sebagai berikut:
Pada halaman. 127, dalam buku itu bahkan Imam al-Asy’ari mengatakan sebuah kesimpulan yang mengejutkan, yang berbunyi:
وهذا يدل على أن الله عز وجل على عرشه فوق السماء
Ini menunjukkan bahwa Allah ada di arsy di atas langit.[40]
Para pembaca budiman, mungkinkah Imam Abul Hasan al-Asyari mengatakan
kalimat seperti ini? Padahal, Imam Asy’ari sangat membenci
kalimat-kalimat tasybih seperti ini dalam buku-bukunya. Imam Asy’ari-lah
yang bahkan menjadi musuh utama faham tasybih dan tajsim yang diusung
Salafi Wahhabi. Apalagi, isi kitab al-Ibanah cetakan Salafi Wahabi ini
telah terbukti berbeda dari versi manuskrip aslinya.[41]
Lihatlah, Idahram ingin agar Abul Hasan al-Asy’ari mengikuti aqidah
Jahmiyyah dan Asya’irah belakangan yang mengatakan bahwa Allah di
mana-mana, karena Imam Abul Hasan al-Asya’ri dalam kitabnya al-Ibanah (hlm. 405–423) telah memaparkan secara panjang lebar dalil-dalil tentang istiwa‘ dan ketinggian Allah di atas langit-Nya serta membantah orang-orang yang menyimpang dalam masalah ini[42]. Di antara ucapannya:
وَزَعَمَتِ الْمُعْتَزِلَةُ وَالْحَرُوْرِيَّةُ وَالْجَهْمِيَّةُ أَنَّ
اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ, فَلَزِمَهُمْ أَنَّهُ فِيْ بَطْنِ
مَرْيَمَ وَفِيْ الْحُشُوْشِ وَالأَخْلِيَةِ, وَهَذَا خِلاَفُ الدِّيْنِ,
تَعَالَى اللهُ عَنْ قَوْلِهِمْ
“Dan kaum Mu’tazilah, Haruriyyah, dan Jahmiyyah beranggapan bahwa
Allah berada di setiap tempat. Hal ini melazimkan mereka bahwa Allah
berada di perut Maryam, tempat sampah, dan WC. Paham ini menyelisihi
agama. Maha Suci Allah dari ucapan mereka.”[43]
Setelah ini, lantas pantaskah bagi Idahram untuk menisbahkan diri
kepada al-Asy’ari?!! Semoga Allah merahmati al-Hafizh Abul Abbas
ath-Tharqi tatkala berkata, “Saya melihat kaum Jahmiyyah yang meniadakan
Arsy dan menakwilkan istiwa‘, mereka menisbahkan diri kepada
Abul Hasan al-Asy’ari. Ini bukanlah awal kebathilan dan kedustaan yang
mereka lakukan. Saya telah membaca dalam kitabnya yang berjudul al-Ibanah ’an Ushul Diyanah dalil-dalil yang menetapkan istiwa‘.”[44]
Adapun tuduhan Idahram bahwa aqidah yang meyakini bahwa Allah di atas Arsy adalah tasybih dan tajsim, maka ini adalah kedustaan, sebab as-salaf ash-shalih
tatkala menetapkan sifat-sifat Allah, dalam waktu yang sama mereka
tidak menyerupakannya dengan makhluk. Namun, demikianlah ciri khas ahli
bid’ah sepanjang zaman sejak dahulu hingga sekarang, mereka mengecap
Ahli Sunnah sebagai Musyabbihah karena menetapkan sifat-sifat Allah
berdasarkan dalil.
Semoga Allah merahmati Imam Abu Hatim ar-Razi yang telah mengatakan:
وَعَلاَمَةُ أَهْلِ الْبِدَعِ : الْوَقِيْعَةُ فِيْ أَهْلِ الأَثَرِ
وَعَلاَمَةُ الْجَهْمِيَّةِ أَنْ يَسُمُّوْا أَهْلَ السُّنَّةِ مُشَبِّهَةً
“Tanda ahli bid’ah adalah mencela ahli atsar. Dan tanda Jahmiyyah adalah menggelari Ahli Sunnah dengan Musyabbihah.”[45]
Ishaq bin Rahawaih juga mengatakan:
عَلاَمَةُ جَهْمٍ وَأَصْحَابِهِ دَعْوَاهُمْ عَلَى أَهْلِ السُّنَّةِ
وَالْجَمَاعَةِ مَا أُوْلِعُوْا مِنَ الْكَذِبِ أَنَّهُمْ مُشَبِّهَةٌ بَلْ
هُمُ الْمُعَطِّلَةُ
“Tanda Jahm dan pengikutnya adalah menuduh ahli sunnah dengan penuh
kebohongan dengan gelar Musyabbihah padahal merekalah sebenarnya
Mu’atthilah (meniadakan/mengingkari sifat bagi Allah).”[46]
Imam Nu’aim bin Hammad Rahimahullahu Ta’ala berkata,
“Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya maka dia telah
kufur, barangsiapa mengingkari sifat Allah maka dia telah kufur, dan
tidaklah penetapan apa yang Allah sifatkan pada diri-Nya atau yang
disifatkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam disebut tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk).”
Imam adz-Dzahabi Rahimahullahu Ta’ala mengomentari ucapan di atas, “Ucapan ini benar sekali. Kita berlindung kepada Allah dari tasybih dan mengingkari sifat-sifat Allah.”[47]
Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr Rahimahullahu Ta’ala berkata,
“Seluruh Ahlus Sunnah telah bersepakat untuk menetapkan sifat-sifat yang
terdapat dalam al-Qur‘an dan as-Sunnah serta mengartikannya secara
lahirnya, tetapi mereka tidak menggambarkan bagaimana (bentuk)nya
sifat-sifat tersebut. Adapun Jahmiyyah, Mu’tazilah, dan Khawarij mereka
mengingkari sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak
mengartikannya secara lahirnya. Lucunya, mereka menyangka bahwa orang
yang menetapkannya termasuk Musyabbih (kaum yang menyerupakan Allah
dengan makhluk.”[48]
Sesungguhnya aqidah yang meyakini bahwa Allah di atas Arsy telah ditetapkan dalil-dalil yang banyak sekali dalam al-Qur‘an[49], hadits, ijma’, fitrah, dan akal; tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang sesat.[50] Akankah para ulama semuanya yang bersepakat tersebut memiliki aqidah tasybih seperti anggapan Idahram?!!
Penutup dan Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat kita tarik beberapa poin kesimpulan sebagai berikut:
1. Kitab al-Ibanah ’an Ushul Diyanah adalah benar-benar karya Imam Abul Hasan al-Asy’ari.
2. Kitab al-Ibanah termasuk karya terakhir al-Asy’ari.
3. Imam al-Asy’ari telah berlepas dari paham Mu’tazilah, Kullabiyyah, dan mengikuti jejak Ashabul Hadits, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Salaf Shalih dalam aqidah.
4. Tuduhan bahwa al-Ibanah yang yang beredar sekarang telah diacak-acak adalah tuduhan yang dusta.
5. Kitab al-Ibanah tidak disukai oleh Asya’irah karena tidak sesuai dengan paham mereka bahkan bertentangan dengan paham mereka.
2. Kitab al-Ibanah termasuk karya terakhir al-Asy’ari.
3. Imam al-Asy’ari telah berlepas dari paham Mu’tazilah, Kullabiyyah, dan mengikuti jejak Ashabul Hadits, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Salaf Shalih dalam aqidah.
4. Tuduhan bahwa al-Ibanah yang yang beredar sekarang telah diacak-acak adalah tuduhan yang dusta.
5. Kitab al-Ibanah tidak disukai oleh Asya’irah karena tidak sesuai dengan paham mereka bahkan bertentangan dengan paham mereka.
Demikianlah kajian yang dapat kami ketengahkan kepada pembaca.
Akhirnya, kami berdo’a kepada Allah agar merahmati Imam Abul Hasan
al-Asy’ari dan sebagaimana kami berdo’a juga kepada Allah agar
melapangkan hati kita semua untuk menerima kebenaran. Amin ya Rabbal ’Alamin.
Daftar Referensi Induk
1. Al-Ibanah ’an Ushul Diyanah karya Imam Abul Hasan al-Asy’ari,
tahqiq Dr. Shalih bin Muqbil al-Ushaimi, Darul Fadhilah, KSA, cet.
pertama, 1432 H.
2. Risalah ila Ahli Tsaghar karya Imam Abul Hasan al-Asy’ari, tahqiq Abdullah Syakir Muhammad al-Junaidi, Maktabah al-Ulum wal Hikam, KSA, cet. kedua, 1422 H.
3. Maqalat Islamiyyin karya Imam Abul Hasan al-Asy’ari, tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, al-Maktabah al-Ashriyyah, Beirut, cet. pertama, 1419 H.
4. Al-Asya’irah fi Mizani Ahli Sunnah karya Faishal bin Qazar al-Jasim, al-Mabarrah al-Khairiyyah, Kuwait, cet. pertama 1428 H.
5. Muqaddimah ’ala al-Ibanah oleh Syaikh Hammad al-Anshari, tergabung dalam Rasa‘il fil Aqidah, Maktabah al-Furqan, Emirat Arab, cet. pertama, 1424 H.
6. Madzhab Al-Asy’ari Benarkah Ahlussunnah wal Jama’ah? Jawaban Terhadap Aliran Salafi. Muhammad Idrus Ramli, Penerbit Khalista, Surabaya, cet. pertama, April 2009.
7. Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik. Episode Kebohongan Publik Sekte Salafi Wahabi. Syaikh Idahram, Percetakan PT LKIS Printing Cemerlang, Yogyakarta, cet. pertama, 2011.
2. Risalah ila Ahli Tsaghar karya Imam Abul Hasan al-Asy’ari, tahqiq Abdullah Syakir Muhammad al-Junaidi, Maktabah al-Ulum wal Hikam, KSA, cet. kedua, 1422 H.
3. Maqalat Islamiyyin karya Imam Abul Hasan al-Asy’ari, tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, al-Maktabah al-Ashriyyah, Beirut, cet. pertama, 1419 H.
4. Al-Asya’irah fi Mizani Ahli Sunnah karya Faishal bin Qazar al-Jasim, al-Mabarrah al-Khairiyyah, Kuwait, cet. pertama 1428 H.
5. Muqaddimah ’ala al-Ibanah oleh Syaikh Hammad al-Anshari, tergabung dalam Rasa‘il fil Aqidah, Maktabah al-Furqan, Emirat Arab, cet. pertama, 1424 H.
6. Madzhab Al-Asy’ari Benarkah Ahlussunnah wal Jama’ah? Jawaban Terhadap Aliran Salafi. Muhammad Idrus Ramli, Penerbit Khalista, Surabaya, cet. pertama, April 2009.
7. Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik. Episode Kebohongan Publik Sekte Salafi Wahabi. Syaikh Idahram, Percetakan PT LKIS Printing Cemerlang, Yogyakarta, cet. pertama, 2011.
[1] Lihat bukunya Madzahib Islamiyyin hlm. 533.
[2] Risalah adz-Dzabb ’an Abil Hasan al-Asy’ari hlm. 131
[3] Imam Ibnu Asakir, Tabyin Kidzbi al-Muftari, al-Maktabah al-Azhariyyah li Turots, Cairo, Mesir, h. Mukaddimah. — [Ini adalah catatan kaki yang ditulis oleh Idahram]
[4] Di antaranya adalah al-Hafizh Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimi dalam kitabnya at-Tankil Bima fi Ta’nibil Kautsari minal Abathil, Muhammad Bahjat al-Baithar dalam al-Kautsari wa Ta’liqatuhu, Ahmad bin Shiddiq al-Ghumari dalam Talbis Kadzibil Muftari Muhammad Zahid al-Kautsari, Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitabnya Bara‘ah Ahli Sunnah minal Waqi’ah fi Ulama‘il Ummah, dan sebagainya.
[5] Dinukil dari Bara‘ah Ahli Sunnah minal Waqi’ah fi Ulama‘il Ummah (ar-Rudud hlm. 274) oleh Bakr Abu Zaid.
[6] Kata pengantar buku Bara‘ah Ahli Sunnah karya Syaikh Bakr Abu Zaid
[7] Muqaddimah Syarh ath-Thahawiyyah hlm. 45 oleh Ibnu Abil Izzi al-Hanafi, cet. Maktab Islami
[8] Syaikh al-Albani Rahimahullahu Ta’ala mengatakan dalam muqaddimah tahqiq at-Tankil, “Kitab at-Tankil…
karya al-Allamah al-Muhaqqiq Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimi yang
berisi penjelasan dengan argumen dan bukti yang valid dalam membongkar
kedok dan penghinaan Ustadz al-Kautsari terhadap para imam dan perawi
hadits, seperti tuduhannya bahwa para ulama adalah kelompok Mujassimah
dan Musyabbihah, serangannya terhadap para ulama dengan hawa nafsu dan
fanatik buta, sehingga merembet hingga mencela sebagian sahabat, yaitu
tatkala dia menyatakan bahwa Abu Hanifah membenci hadits-hadits
mereka(!) dan qiyas (analogi)nya lebih utama daripada perkataan Sahabat.
Belum lagi cercaan-cercaannya terhadap keutamaan dan ilmu para imam
besar seperti omongannya bahwa nasab Imam Malik bukan Arab tetapi bekas
budak(!); Imam Syafi’i tidak fasih berbahasa Arab dan tidak pintar
fiqih(!); Imam Ahmad tidak faqih(!); Abdullah putra Imam Ahmad, Ibnu
Khuzaimah, Utsman ad-Darimi, Ibnu Abi Hatim, dan para imam lainnya
adalah Mujassimah!; Imam Daraquthni buta, sesat dalam aqidah, dan
pengekor hawa nafsu(!); Imam al-Hakim seorang Syi’ah dan hafalannya
rusak parah(!). Demikianlah, sehingga hampir tak satu pun ulama selamat
dari kejahatan lidahnya, bahkan seperti al-Humaidi, Shalih bin Muhammad
al-Hafizh, Abu Zur’ah ar-Razi, Ibnu Adi, Ibnu Abu Dawud, adz-Dzahabi,
dan sebagainya…”
[9] Talbis Kadzibil Muftari hlm. 66
[10] Dinukil dari kitab al-Asya’irah fi Mizani Ahli Sunnah hlm. 689–691 oleh Faishal bin Qazar al-Jasim dengan beberapa tambahan.
[11]
Perhatikanlah kalimat yang kami pertebal, dia menganggapnya pada
masalah yang sama, padahal berbeda; pada kalimat sebelumnya adalah
ketika al-Asy’ari menceritakan pendapat kaum Mu’tazilah dan Qadariyyah
yang mengingkari sifat mata bagi Allah, sedangkan yang kedua ini adalah
pendapat ahli hadits yang menetapkan sifat mata bagi Allah tanpa
membagaimanakan tangan Allah atau menyerupakannya dengan tangan makhluk.
Subhanallah, alangkah liciknya mereka dalam berdusta.
[12] Ini juga termasuk tadlis
(penipuan) Idahram kepada pembaca yang belum mengerti bahasa Arab
sehingga menggambarkan adanya pertentangan dan perbedaan dengan
sebelumnya, padahal teksnya berbeda, pada yang pertama kata ‘ainani marfu’ karena sebagai isim kana, sedangkan di sini manshub karena sebagai isim inna.
[13]
Alhamdulillah, telah banyak para penulis yang membongkar aurat buku
ini, di antaranya adalah: al-Ustadz Firanda Abu Abdil Muhsin dalam
bukunya “Sejarah Berdarah Sekte Syi’ah”, AM. Waskito dalam bukunya “Bersikap Adil Terhadap Wahabi”, dan Sofyan Cholid dalam bukunya “Salafy Antara Tuduhan dan Kenyataan”.
Belum lagi artikel-artikel para ustadz lainnya di internet. Oleh
karenanya, saya kira bantahan-bantahan tersebut sudah cukup bagi orang
yang berakal.
[14] http://arrahmah.com/read/2011/12/08/16720-kebohongan-syaikh-idahram-atas-nama-arifin-ilham.html
[15] Lihat ar-Raddu ’ala al-Marisi 1/327 oleh ad-Darimi, at-Tauhid hlm. 42 oleh Ibnu Khuzaimah.
[16] 1/285, 290, 345, 271
[17] Hlm. 225–226
[18] Disadur dari al-Asya’irah fi Mizani Ahli Sunnah hlm. 692–696 oleh Faishal bin Qazar al-Jasim.
[19] Di antara arti istawa adalah menguasai. — [Ini adalah catatan kaki yang ditulis oleh Idahram]
[20] Dinukil dari Syaikh Hasan ibnu Ali as-Segaf saat dia menjelaskan biografi Ibnul Jauzi, lihat kitab Daf’u Syibhi at-Tasybih, buku tahkikannya, h. 19. — [Ini adalah catatan kaki yang ditulis oleh Idahram]
[22] Lihat Silsilah Ahadits ash-Shahihah I/7–17 dan al-Qaulus Sadid fi Man Ankara Taqsim Tauhid oleh Syaikh Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad. Kata pengantar: Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan.
[23]
Sebaliknya, ucapan as-Saqqaf (biasa dituliskan dengan “as-Segaf”) ini
yang malah keji sekali. Aduhai, apakah Anda berani mengucapkan hal itu
di hadapan Nabi ?!! Pikirkanlah baik-baik!! Lihat pembelaan kami
terhadap hadits ini dalam buku kami Membela Hadits Nabi hlm. 27–48, cet. Media Tarbiyah, Bogor.
[24] Demikian juga Idahram, dia menyifati al-Kautsari dengan “al-Allamah”. Lihat bukunya Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Ulama Klasik hlm. 79.
[25] Lihat Kutub Hadzara Minha Ulama‘ 1/301 oleh Syaikhuna Masyhur bin Hasan alu Salman.
[26] Imam al-Asy’ari Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Kaum Mu’tazilah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah mengatakan bahwa istawa maknanya adalah istaula
‘menguasai’ dan bahwasanya Allah berada di setiap tempat dan
mengingkari kalau Allah di atas arsy-Nya sebagaimana pendapat ahlil haq,
sehingga mereka berpendapat bahwa istawa adalah menguasai. Seandainya
apa yang mereka katakan benar, berarti tidak ada bedanya antara Arsy dan
bumi karena Allah menguasai segala sesuatu.” (al-Ibanah ’an Ushul Diyanah hlm. 410–411, tahqiq al-Ushaimi)
[27] Lihat penelitian Dr. Fauqiyah Husain dalam tahqiqnya terhadap al-Ibanah hlm. 21 dan 188.
[28] Tanbih Rajulil Aqil 2/487
[29] Sebagaimana dikuatkan oleh Dr. Abdurrahman al-Mahmud dalam kitabnya Mauqif Ibnu Taimiyyah minal Asya’irah 1/354–355.
[30] Lihat al-Uluw 2/1240 oleh adz-Dzahabi.
[31] Majmu’ Fatawa 5/502
[32] Kami banyak mengambil faedah poin bantahan ini dari ta’liq Dr. Shalih al-Ushaimi terhadap al-Ibanah hlm. 205–208.
[33] Al-Ibanah ’an Ushul Diyanah hlm. 246
[34] Ibid. hlm. 620
[35] Sejarah Berdarah Salafi Wahhabi hlm. 203
[36] Sejarah Berdarah Sekte Syi’ah. Membongkar Koleksi Dusta Syaikh Idahram. Firanda Andirja, Lc., M.A., hlm. xviii–xix, Penerbit Nashirusunnah, Tahun 1433 H.
[37] Lihat Bersikap Adil Kepada Wahhabi. Bantahan Kritis dan Fundamental Terhada Buku Propaganda Karya Syaikh Idahram hlm. 122–135 oleh A.M. Waskito, Pustaka Al-Kautsar, Oktober 2011.
[38]
Silakan baca di
http://www.gensyiah.com/waspada-buku-sejarah-berdarah-sekte-salafi-wahabi-mengusung-faham-rafidhah-syiah-iran.html
[39] Ibnu Taimiyyah wa ’Ashruhu. Ara‘uhu wa Fiqhuhu hlm. 154
[40] Abu Hasan al-Asy’ari: al-Ibanah fi Ushul Diyanah,
Universitas Islamiyyah Madinah, cet ke-5, Kerajaan Saudi Arabia 1409,
h. 27. — [Ini adalah catatan kaki yang ditulis oleh Idahram]
[41] Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Klasik Ulama hlm. 78
[42] Demikian juga dalam Risalah ila Ahli Tsaghar
hlm. 232–236, beliau menukil ijma’ (kesepakatan ulama) tentang
ketinggian Allah di atas Arsy-Nya dan bahwasanya hal itu tidak
bertentangan dengan kebersamaan Allah dengan hamba-Nya. Demikian juga
dalam Maqalat Islamiyyin 1/284. Apakah semua kitab ini dusta
seperti klaim sebagian kalangan?! Ataukah karena bertentangan dengan
hawa nafsu dan pemikiran sesat mereka?! Dan lebih mengejutkan lagi,
apabila kita tahu bahwa Abdullah bin Sa’id bin Kullab juga menetapkan
ketinggian Allah di atas langit-Nya. Imam adz-Dzahabi berkata dalam
biografinya, “Dia menulis tentang tauhid dan menetapkan sifat dan bahwa
ketinggian Allah di atas makhluk telah diketahui dengan fitrah dan akal
sesuai dengan nash.” (Siyar A’lam Nubala‘ 11/175)
[43] Al-Ibanah hlm. 423, tahqiq al-Ushaimi
[44] Risalah fi Dzabbi ’an Abil Hasan al-Asy’ari, Ibnu Dirbas hlm. 111–112
[45] Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah wal Jama’ah al-Lalikai 1/204, Dzammul Kalam al-Harawi 4/390, Aqidah Salaf Ashabul Hadits ash-Shabuni hlm. 304.
[46] Syarh Ushul I’tiqad al-Lalikai: 937, Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah 1/85 oleh Ibnu Abi Izzi al-Hanafi.
[47] Siyar A’lam Nubala‘ 10/610
[48] Mukhtashar al-’Uluw hlm. 278–279
[49]
Sebagian sahabat kondang Imam Syafi’i pernah mengatakan, “Dalam
al-Qur‘an, terdapat seribu dalil lebih yang menunjukkan bahwa Allah
tinggi di atas makhluk-Nya.” (Majmu’ Fatawa 5/121)
[50] Penulis telah membahas masalah ini secara khusus dalam bukunya Di Mana Allah. Pertanyaan Penting yang Terabaikan, cet. Media Tarbiyah, Bogor. Silakan menelaahnya.
+++++++++
Share Ulang:
Citramas, 15 Syawal 1440
Sumber= http://abiubaidah.com/1725-mereka-membenci-kitab-al-ibanah-karya-abul-hasan-al-asyari-bagian-2-dari-2-tulisan.html