Ibadah haji adalah ibadah yang
teramat mulia. Sungguh amat sulit untuk saat ini berangkat langsung dari tanah
air karena antrian yang saking panjangnya. Namun demikian antusias orang di
negeri kita di mana mereka amat merindukan ka’bah di tanah suci. Sampai-sampai
berbagai cara ditempuh dan dijalani untuk bisa ke sana meskipun dengan cara
yang tidak Allah ridhoi. Selain itu tidak sedikit yang niatnya untuk selain
Allah, hanya ingin mencari gelar. Label pak Haji-lah yang ingin disandang
bukanlah ridho dan pahala dari Allah yang dicari. Sampai-sampai ada yang
mengharuskan di depan namanya harus dilabeli gelar “H”.
Keutamaan
Haji Mabrur
Haji
adalah amalan yang teramat mulia. Sampai-sampai yang berhaji disebut dengan
tamu Allah dan apa saja yang mereka panjatkan pada-Nya mudah diperkenankan.
Dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْغَازِى فِى سَبِيلِ اللَّهِ
وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ وَفْدُ اللَّهِ دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ وَسَأَلُوهُ
فَأَعْطَاهُمْ
“Orang yang berperang di jalan Allah, orang yang
berhaji serta berumroh adalah tamu-tamu Allah. Allah memanggil mereka, mereka
pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu, jika mereka meminta kepada Allah pasti
akan Allah beri”
(HR. Ibnu Majah no 2893. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Amalan
haji terutama haji mabrur termasuk dalam jajaran amalan yang paling afdhol.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
سُئِلَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه
وسلم – أَىُّ الأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ « إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ » .
قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ « جِهَادٌ فِى سَبِيلِ اللَّهِ » . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا
قَالَ « حَجٌّ مَبْرُورٌ
»
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Amalan
apa yang paling afdhol?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ada yang bertanya lagi, “Kemudian apa
lagi?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jihad di jalan Allah.”
Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?” “Haji mabrur”, jawab Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1519)
Dan
haji pun termasuk jihad. Dari ‘Aisyah—ummul Mukminin—radhiyallahu
‘anha, ia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ ، نَرَى
الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ ، أَفَلاَ نُجَاهِدُ قَالَ « لاَ ، لَكِنَّ
أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ
»
“Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah
amalan yang paling afdhol. Apakah berarti kami harus berjihad?“Tidak. Jihad
yang paling utama adalah haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari no. 1520)
Ibnu
Rajab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Haji dan umroh termasuk jihad.
Karena dalam amalan tersebut seseorang berjihad dengan harta, jiwa dan badan.
Sebagaimana Abusy Sya’tsa’ berkata, ‘Aku telah memperhatikan pada
amalan-amalan kebaikan. Dalam shalat, terdapat jihad dengan badan, tidak dengan
harta. Begitu halnya pula dengan puasa. Sedangkan dalam haji, terdapat jihad
dengan harta dan badan. Ini menunjukkan bahwa amalan haji lebih afdhol’.” (Lathoif Al Ma’arif, 403)
Balasan
bagi haji mabrur adalah surga, ini sungguh balasan yang luar biasa. Dari Abu
Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ
جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Dan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya
selain surga.” (HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim
no. 1349).
Apa
itu Haji Mabrur?
Al
Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, “Haji mabrur adalah jika sepulang
haji menjadi orang yang zuhud dengan dunia dan merindukan akherat.”
Al
Qurthubi rahimahullah menyimpulkan, “Haji mabrur adalah haji yang
tidak dikotori oleh maksiat saat melaksanakan manasik dan tidak lagi gemar
bermaksiat setelah pulang haji.”
(Tafsir Al Qurthubi, 2/408)
An
Nawawi rahimahullah berkata, “Pendapat yang paling kuat dan
yang paling terkenal, haji mabrur adalah haji yang tidak ternodai oleh dosa,
diambil dari kata-kata ‘birr’ yang bermakna ketaatan. Ada juga
yang berpendapat bahwa haji mabrur adalah haji yang diterima. Di antara tanda
diterimanya haji seseorang adalah adanya perubahan menuju yang lebih baik
setelah pulang dari pergi haji dan tidak membiasakan diri melakukan berbagai
maksiat. Ada pula yang mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak
tercampuri unsur riya’.
Ulama yang lain berpendapat bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak
lagi bermaksiat. Dua pendapat yang terakhir telah tercakup dalam pendapat-pendapat
sebelumnya.”
(Syarh Shahih Muslim, 9/118-119)
Demikianlah
kriteria haji mabrur. Kriteria penting pada haji mabrur adalah haji tersebut
dilakukan dengan ikhlas dan bukan atas dasar riya’, bukan ingin mencari pujian,
bukan ingin disebut “Pak
Haji”.
Ikhlaslah
dalam Ibadah
Dalam
setiap ibadah kita diperintahkan untuk ikhlas di dalamnya. Kita diperintahkan
beribadah untuk mengharap wajah Allah dan mengharap ridho-Nya. Jika kita
beribadah malah ingin mencari pujian, maka jadi sia-sialah ibadah tersebut.
Termasuk di dalamnya menunaikan haji hanya ingin mencari gelar pak Haji, segala
pengorbanan yang kita tumpahkan dari sisi biaya maupun tenaga, itu jadi tidak
bernilai apa-apa. Perintah Allah untuk ikhlas sebagaimana dalam firman-Nya,
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا
اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا
الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al
Bayyinah: 5)
Allah pun
mengetahui segala sesuatu yang ada dalam isi hati hamba apakah ia ikhlas
ataukah ingin cari muka di hadapan manusia dalam ibadahnya. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ تُخْفُوا مَا فِي
صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللَّهُ
“Katakanlah: “Jika kamu menyembunyikan
apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui”.” (QS. Ali Imran:
29)
Dalam ayat
lainnya, Allah memperingatkan dari bahaya riya’ atau ingin cari pujian manusia dalam
firman-Nya,
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ
عَمَلُكَ
“Jika kamu mempersekutukan (Rabbmu),
niscaya akan hapuslah amalmu.” (QS. Az Zumar: 65)
Dalam hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang sia-sialah amalan yang
hanya ingin cari muka atau cari pujian manusia dalam sabdanya,
قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى
غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman:
Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa
yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya
(maksudnya: tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan syiriknya.” (HR. Muslim
no. 2985). Imam Nawawi mengatakan, “Makna hadits
ini adalah bahwa Allah tidak peduli pada orang menyekutukan-Nya dalam ibadah
dengan selain-Nya. Barangsiapa yang beramal yang dia tujukan untuk Allah dan
juga untuk selain-Nya, maka Allah tidak akan menerima amalannya bahkan Allah
akan meninggalkan dirinya jika ia bermaksud demikian. Amalan seseorang yang
berbuat riya’ (tidak ikhlas), itu adalah
amalan batil yang tidak berpahala apa-apa, bahkan ia akan mendapatkan dosa.” (Syarh Shahih Muslim, 18/116). Artinya,
siapa yang berhaji namun hanya ingin cari gelar, maka amalannya bisa jadi
sia-sia belaka. Ikhlaslah dalam beribadah pada Allah Ta’ala. Abul Qosim berkata, “Ikhlas adalah membersihkan amalan dari
komentar manusia.” (At Tibyan fi Adabi Hamalatil
Qur’an, 50-51)
Amalan
sholeh yang bisa disembunyikan lebih baik disembunyikan, tidak perlu seluruh
dunia mengetahuinya dan tidak perlu ingin cari pujian orang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ
التَّقِىَّ الْغَنِىَّ الْخَفِىَّ
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba
yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup dan yang suka
menyembunyikan amalannya.” (HR. Muslim no. 2965). Basyr Al Hafiy
mengatakan, “Tidak selayaknya orang-orang
semisal kita menampakkan amalan sholih walaupun hanya sebesar dzarroh (semut
kecil). Bagaimana lagi dengan amalan yang mudah terserang penyakit riya’?” Ibrahim An
Nakho’i mengatakan, “Kami tidak suka menampakkan amalan sholih
yang seharusnya disembunyikan.” Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa Abu Hazim berkata, “Sembunyikanlah amalan kebaikanmu sebagaimana
engkau menyembunyikan amalan kejelekanmu.” Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Sebaik-baik ilmu dan amal adalah sesuatu yang
tidak ditampakkan di hadapan manusia.” (Dinukil
dari Ta’thirul Anfas min
Haditsil Ikhlas).
Imam Al
Ghozali mengatakan, “Yang tercela adalah apabila
seseorang mencari pujian. Namun jika ia dipuji karena karunia Allah tanpa ia
cari-cari, maka itu tidaklah tercela.”
Semoga Allah
menganugerahkan kita sifat ikhlas dalam beribadah kepada-Nya dan menjauhkan
kita dari penyakit riya’ yang dapat menghapus amalan.
@
Lab. Sabic, Riyadh KSA, 22 Syawwal 1432 H (20/09/2011)