Oleh
Syaikh ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani
Syaikh ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani
1.
Dianjurkan untuk ta’ziyah[1] (belasungkawa) [2] terhadap keluarga yang
tertimpa musibah (kematian). Lafazh ta’ziyah yang paling utama yang
berasal dari Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اِصْبِرْ وَاحْتَسِبْ فَإِنَّ ِللهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلَّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مَسَمًّى.
Bersabarlah
dan berharaplah pahala dari Allah, sesungguhnya adalah hak Allah
mengambil dan memberikan sesuatu, segala sesuatu di sisi-Nya ada batas
waktu yang telah ditentukan.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim][3]
2. Tidak selayaknya berta’ziyah dengan ucapan turut berduka cita di koran, surat kabar, majalah dan media informasi lainnya.
Hal itu tidak pantas karena termasuk pemberitahuan kematian yang
dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena maksud
dari ta’ziyah tersebut untuk menyebarkan, mempublikasikan dan
mengumumkan kematiannya.[4]
3. Diperbolehkan untuk melakukan safar dalam rangka untuk ta’ziyah bagi orang yang sangat dekat hubungannya dengan si mayit, ditambah apabila dia tidak pergi untuk berta’ziyah akan dianggap memutuskan silaturrahmi.
4. Tidak mengapa mengabarkan kepada khalayak ramai bahwa seseorang telah meninggal dan akan dishalatkan di tempat tertentu.
Hal ini sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan
kematian an-Najasy (Raja Najasyi) dan beliau memerintahkan para
Sahabatnya supaya keluar ke tanah lapang kemudian mereka
menshalatkannya.
5. Tidak disyari’atkan mengucapkan doa istiftah pada shalat jenazah
karena shalat jenazah adalah shalat yang dikerjakan atas dasar sifat
yang ringkas dan cepat sehingga shalat tersebut tidak ada do’a
istiftahnya.
6. Apabila salah seorang keluarga terdekat mayit mengetahui bahwa si mayit tidak shalat maka tidak boleh meminta kaum Muslimin untuk menyalatkannya
karena ia telah memberikan orang kafir kepada kaum Muslimin untuk
dishalatkan. Di samping itu shalat yang dilakukan kaum Muslimin tidak
akan bermanfaat bagi mayit tersebut. Dan juga tidak boleh menguburkan
mayit tersebut di pekuburan kaum Muslimin.
7. Shalatnya seorang perempuan atas mayit di dalam rumahnya itu lebih baik daripada menyalatkannya di masjid,
jika ia termasuk salah satu anggota keluarga mayyit tersebut. Namun
tidak mengapa apabila ia keluar rumah dan menyalatkannya bersama kaum
Muslimin.
8. Dianjurkan untuk menyegerakan mengurus mayit berdasarkan hadits:
أَسْرِعُوْا
بِالْجَنَازَةِ فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ لَهُ فَخَيْرٌ
تُقَدِّمُوْنَهَا، وَإِنْ تَكُ سِوَى ذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُوْنَهُ عَنْ
رِقَابِكُمْ.
“Bersegeralah
dalam mengurus jenazah, karena jika ia baik maka engkau telah melakukan
suatu kebaikan dan jika tidak, maka engkau telah membuang suatu
kejelekan dari lehermu.” [HR. Al-Bukhari no. 1315 dan Muslim no. 944 (50)]
Tidak sepatutnya menunda-nunda dalam mengurus jenazah hanya dengan alasan agar sebagian anggota keluarga dapat menghadiri pemakaman si mayit,
kecuali jika hanya sebentar. Apabila keluarganya datang terlambat
setelah dikubur maka boleh menyalatkannya di kuburannya. Hal ini
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika menyalatkan seorang wanita (yang biasa membersihkan
masjid Nabi) di kuburannya, dimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak diberi tahu tentang kematian wanita tersebut, maka beliau berkata
(kepada para Sahabatnya):
دُلُّوْنِيْ عَلَى قَبْرِهَا، فَدَّلُوْهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا.
“‘Tunjukkan padaku makamnya.’ Lalu mereka menunjukkannya kemudian beliau menyalatkannya di kuburannya.” [HR. Al-Bukhari no. 458 dan Muslim no.956]
9.
Bukan termasuk Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bukan pula
termasuk sunnah Khulafaur Rasyidin melakukan do’a berjama’ah di sisi
kuburan yang dipimpin oleh satu orang dan diaminkan banyak orang.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya memberikan petunjuk
kepada orang-orang (yang mengantar jenazah) untuk memintakan ampunan
bagi mayyit dan memohon baginya keteguhan dan hal tersebut dilakukan sendiri-sendiri bukan secara bersama-sama.
10. Dianjurkan dengan dasar kesepakatan para ulama untuk menutup jenazah perempuan
dengan mantel atau kain yang tebal ketika menurunkannya ke liang lahat
supaya tidak terlihat orang, karena bisa jadi apabila tidak memakai
mantel atau kain penutup ketika menurunkan ke liang lahat, kain
kafannya lepas sehingga auratnya dapat tersingkap.
11. Tidak disyari’atkan untuk mengkhususkan berpakaian tertentu ketika berta’ziyah seperti
mengkhususkan warna hitam, bahkan ini termasuk perbuatan bid’ah dan
terkadang hal tersebut dapat menyebabkan manusia tidak rela terhadap
apa yang telah ditakdirkan Allah.
12. Tidak diperbolehkan berta’ziyah kepada ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) atau orang kafir lainnya ketika ada keluarga mereka yang meninggal, tidak boleh menghadiri jenazahnya maupun mengiringinya ke kubur.
13. Diperbolehkan untuk menerima ta’ziyah dari ahlul Kitab (Nasrani dan Yahudi) atau orang kafir lainnya ketika seorang muslim meninggal dunia dan mendo’akan mereka agar mendapatkan hidayah.
(Lihat Fataawaa at-Ta’ziyah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah).
[Disalin
dari kitab Aadaab Islaamiyyah, Penulis ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman
as-Suhaibani, Judul dalam Bahasa Indonesia Adab Harian Muslim Teladan,
Penerjemah Zaki Rahmawan, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir Bogor, Cetakan
Kedua Shafar 1427H – Maret 2006M]
_______
Footnote
[1]. Definisi ta’ziyah adalah menyuruh bersabar, membuat keluarga mayit terhibur dan bersabar dengan sesuatu yang bisa meringankan musibah yang mereka alami dan mengurangi kesedihan mereka. [Lihat Minhaajul Muslim oleh Syaikh Abu Bakar Jabir Aljazairi, hal. 305]-penj.
[2]. Sebagaimana hadits:
_______
Footnote
[1]. Definisi ta’ziyah adalah menyuruh bersabar, membuat keluarga mayit terhibur dan bersabar dengan sesuatu yang bisa meringankan musibah yang mereka alami dan mengurangi kesedihan mereka. [Lihat Minhaajul Muslim oleh Syaikh Abu Bakar Jabir Aljazairi, hal. 305]-penj.
[2]. Sebagaimana hadits:
مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يُعَزِّيْ أَخَاهُ بِمُصِيْبَةٍ إِلاَّ كَسَاهُ اللهُ سُبْحَانَهُ مِنْ حُلَلِ الْكَرَامَةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
“Tidaklah
seorang mukmin berbelasungkawa (ta’ziyah) kepada saudaranya karena
suatu musibah, melainkan Allah Yang Mahasuci memberinya pakaian dari
pakaian-pakaian kemuliaan di hari Kiamat.” [HR. Ibnu Majah no. 1601, hasan. Lihat Shahiih Ibni Maajah no. 1601]
[3]. Lafazh yang ada dalam riwayat al-Bukhari adalah:
إِنَّ ِللهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلَّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمَّى فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ.
“Sesungguhnya
adalah hak Allah untuk mengambil dan memberikan sesuatu, segala sesuatu
di sisi-Nya ada batas waktu yang telah ditentukan, oleh karena itu
bersabarlah dan berharaplah pahala dari Allah (dengan sebab musibah
itu).” [HR. Al-Bukhari no. 1284 dan Muslim no. 923]-penj.
[4].
Memberitahukan kematian seseorang di koran-koran setelah wafatnya mayit
serta melakukan ta’ziyah di dalamnya ini termasuk na’yu (pemberitahuan)
yang dilarang. Berbeda dengan na’yu sebelum si mayit dishalatkan (ia
meminta) agar dishalatkan (oleh orang banyak), maka hal itu tidak
mengapa sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan
kematian Raja Najasy dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh
para sahabatnya supaya keluar ke tanah lapang untuk shalat ghaib. Adapun setelah mayit dikubur tidak perlu lagi dikabarkan tentang kematiannya karena urusannya sudah selesai.
Maka memberitahukannya di koran-koran termasuk na’yu yang dilarang.
Lihat Fatwa at-Ta’ziyah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin
no. 3.-pent.
Sumber: https://almanhaj.or.id/4012-adab-adab-taziyah-bela-sungkawa-shalat-jenazah-dan-tata-cara-penguburannya.html