HANYA ADA SATU KEBENARAN
(MENCARI KEBENARAN DALAM MASALAH KHILAFIYAH YANG KONTRADIKTIF)
Oleh
Ustadz Fariq Qasim Anuz
Ustadz Fariq Qasim Anuz
Permasalahan ini penting
untuk diketahui oleh setiap muslim, lebih-lebih mereka yang berkiprah di bidang
dakwah. Sebenarnya, pembahasan ini memuat suatu kaidah yang sangat dikenal oleh
ulama salaf, tetapi menjadi asing di masa sekarang ini.
Kaidah itu berbunyi :
Kebenaran itu satu. Kaidah ini berlaku dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang
diperselisihkan oleh ulama ahlus sunnah wal jama’ah.
Diharapkan risalah ini
dapat menjadikan kita untuk mudah rujuk kepada kebenaran dalam masalah
khilafiyah ijtihadiyah dan membuang sikap taklid buta serta tidak tabu untuk
membicarakan masalah khilafiyah. Kedua diharapkan dari risalah ini agar kita
toleran dengan saudara-saudara kita yang mempunyai pendapat yang berbeda selama
perbedaan ini dalam hal ijtihadiyah bukan perbedaan aqidah atau yang bersifat
prinsip. Agar kita toleran dengan saudara-saudara kita yang mempunyai pendapat
berbeda selama kita semua tidak mengikuti hawa nafsu dan sudah optimal berusaha
untuk mencapai kepada kebenaran.
PERMASALAHAN IKHTILAF/
KHILAFIYAH
Perlu diketahui bahwa yang saya maksud dengan ikhtilaf di sini adalah ikhtilaf
tadladl, yaitu perbedaan pendapat yang saling menafikan (bertentangan). Di dalam
ikhtilaf seperti ini yang benar hanya satu.
Ada juga macam ikhtilaf
yang lain, yaitu ikhtilaf tanawwu’. Di dalam ikhtilaf tanawwu’ semua pendapat
benar, seperti :
1. Dua perkara atau perbuatan yang disyari’atkan, seperti macam-macam do’a
iftitah, bacaan sujud dan lainnya. Untuk bentuk seperti ini kadang-kadang salah
satunya ada yang lebih utama.
2. Dua lafadz yang
berbeda tetapi mempunyai makna yang sama atau mendekati. Contoh surat
Al-Fatihah disebut juga dengan Ummul Kitab, aqiqah sama dengan nasikah. Kata
“qadla”dalam firman Allah:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا
تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ
“Dan Tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia“ [al-Isra/17 : 23]
Ibnu Abbas berkata
“qadla” berarti “memerintahkan“, Mujahid mengatakan “mewasiatkan“, Rabi bin
Anas mengatakan “mewajibkan“. Kata-kata “memerintahkan“, “mewasiatkan“ dan
“mewajibkan” mempunyai makna yang hampir sama.
3. Dua lafazh dengan
makna berbeda, tetapi tidak saling menafikan bahkan saling melengkapi atau
mencakup semua di dalamnya. Contoh kata “an na’iim“ dalam firman Allah :
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ
يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
“Kemudian kamu pasti
akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di
dunia itu).” [at-Takatsur/102 : 8]
Sebagian ahli tafsir
mengatakan “an na’iim“ bermakna keamanan, kesehatan, kecukupan dalam makanan
dan minuman. Sebagian mengatakan ringannya syari’at dan sebagian lagi
mengatakan nikmat pendengaran dan penglihatan.
Dari sini jelas bahwa ikhtilaf tanawwu’ semuanya benar.
Untuk ikhtilaf tanawwu’,
tidak boleh seseorang menyalahkan salah satunya. Syaikhul Islam mengatakan, “Hanya kejahilan dan kezhaliman yang menjadikan seseorang mencela salah satunya
atau lebih mengutamakan salah satunya tanpa maksud yang baik, atau tanpa ilmu
atau tanpa keduanya" [1]
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا
جَهُولًا
“Sesungguhnya manusia
itu amat zalim dan amat bodoh” [al-Ahzab/33 : 72]
Allah Subhanahu wa
Ta’ala melarang kita berselisih dan mencela perselisihan dalam ayat-ayatNya
diantaranya :
وَأَطِيعُوا اللَّهَ
وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Dan taatlah kepada
Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu
menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah
beserta orang-orang yang sabar” [al-Anfal/8 : 46]
Begitu pula Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam amat membenci perselisihan. Apabila beliau
mendengar ada di antara sahabatnya yang berselisih, maka beliau marah dan
segera menyelesaikannya sehingga mereka kembali sadar akan kekeliruannya, lalu
berdamai dan bersatu dalam kebenaran.
Meskipun Allah
menghendaki agar kita tidak berselisih (iradah syar’iyah) tetapi Allah juga
menghendaki (iradah kauniyah) sesuai dengan hikmah-Nya bahwa perselisihan itu
akan selalu ada dan tidak bisa dihilangkan.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman :
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ
لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً ۖ وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلَّا مَن
رَّحِمَ رَبُّكَ ۚ وَلِذَٰلِكَ خَلَقَهُمْ ۗ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ
لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Jikalau Tuhanmu
menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka
Senantiasa berselisih pendapat, Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh
Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka. kalimat Tuhanmu
(keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya aku akan memenuhi neraka
Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya”. [Hud/11 : 118-119]
Memang di antara
perselisihan antara ulama ada hal-hal yang sudah dipastikan mana yang benar dan
mana yang salah. Tetapi banyak sekali di antara perselisihan tersebut terjadi
dalam perkara-perkara ijtihadiyah yang dapat diupayakan kesepakatan. Sudahkah
kita berusaha semaksimal mungkin untuk mencari kata sepakat ? Sudahkah kita
berusaha menghilangkan kebodohan dari masyarakat kita berupa ta’ashub atau
fanatik, baik fanatik hizbi (kelompok) ataupun madzhab, juga kultus individu ?
Ataukah kita pura-pura bodoh akan kebenaran yang ada di depan mata kita lalu
menolaknya karena mengikuti hawa nafsu atau berdalih dengan ucapan, ”Kebenaran
itu banyak !”
IJTIHAD SEORANG ULAMA
MUNGKIN BENAR DAN MUNGKIN SALAH
Siapa saja yang mengakui bahwa semua pendapat para ulama mujtahid dalam suatu
masalah adalah benar dan setiap mujtahid itu benar, maka berarti dia telah
mengucapkan kaidah yang tidak memiliki dalil, baik dari Al-Qur’an, As-Sunnah
atau ijma’ para sahabat serta tidak dapat diterima oleh akal sehat.
Rasulullah shallalahu
alaihi wasallam bersabda : ”Apabila seorang hakim memberi keputusan, lalu ia
berijtihad, kemudian ia benar maka baginya dua pahala, dan jika ia memberi
keputusan, lalu ia berijtihad kemudian salah, maka baginya satu pahala.” [HR.
Bukhari dan Muslim]
Syaikhul Islam
menjelaskan bahwa tidaklah setiap orang yang berijtihad dapat mencapai
kebenaran. Tetapi selama ia berdalil dan bertaqwa kepada Allah sesuai dengan
kesanggupannya, maka itulah yang Allah bebankan kepadanya. Allah tidak akan
menghulumnya apabila ia salah. Ancaman dan hukuman itu baru berlaku bagi orang
yang meninggalkan perintah dan melanggar larangan setelah tegak hujjah
kepadanya [2]. Ijtihad yang salah ini tidak boleh diikuti apabila kita
mengetahui mana yang benar dan mana yang salah[3]. Karena kita dituntut untuk
mengikuti dalil, bukan mengikuti manusia.
Syaikhul Islam
rahimahullah berkata, ”Tidak boleh bagi seseorang untuk berhujjah dengan
ucapan seseorang dalam masalah perselisihan, karena sesungguhnya hujjah adalah
nash dan ijma’ serta dalil yang diambil istimbathnya dari hal tersebut.
Pengutamaannya ditentukan dengan dalil-dalil syari’at, bukan dengan sebagian
ucapan ulama. Karena sesungguhnya ucapan para ulama itu baru menjadi hujjah
disebabkan adanya dalil-dalil syari’at. Ucapan para ulama tersebut tidak dapat
mengalahkan dalil-dalil syari’at."[4]
Perlu diingat bahwa kita
wajib menghormati dan mencintai para ulama [5] meskipun ijtihad mereka ada yang
salah, atau di antara ijtihad mereka ada yang kita yakini sebagai perbuatan
bid’ah (setelah diadakan penelitian berdasarkan kaidah-kaidah ilmiyyah dan
kriteria-kriteria secara ilmu ushul). Tetapi tidak boleh kita menuduhnya
sebagai ahli bid’ah kecuali setelah jelas bagi kita bahwa hujjah telah
ditegakkan atas mereka dan mereka tetap megikuti hawa nafsunya.
Syaikh Ali Hasan
berkata, ”Sedangkan orang yang melakukan bid’ah, bisa jadi dia seorang mujtahid
-sebagaimana telah dibicarakan-, maka orang yang berijtihad seperti ini,
meskipun salah tidak bisa dikatakan sebagai ahli bid’ah. Sebaliknya bisa jadi
ia jahil (bodoh). Maka ia tidak bisa dikatakan ahli bid’ah karena kejahilannya.
Meskipun demikian ia tetap berdosa dikarenakan kesalahan dia meninggalkan
kewajiban menuntut ilmu, kecuali apabila Allah menghendaki. Dan bisa jadi juga
ada sebab-sebab lain yang menghalangi seseorang yang melakukan bid’ah untuk
dikatakan sebagai ahli bid’ah. Berbeda dengan orang yang terus menerus
melakukan bid’ahnya setelah nampak kebenaran olehnya, karena mengikuti nenek
moyang, dan adat istiadatnya. Maka orang seperti ini pantas dan tepat untuk
mendapatkan predikat sebagai ahli bid’ah, dikarenakan penolakannya dan
pengingkarannya." [6]
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
وَمَن يُشَاقِقِ
الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ
الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ
مَصِيرًا
”Dan Barangsiapa yang
menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu [7] dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali” [an-Nisa/4 : 115]
KEBENARAN ITU SATU
Berikut ini akan saya nukilkan tulisan dari para ulama dahulu dan sekarang.
Semoga Allah memberi manfaat bagi kita semua.
Ibnul Qasim berkata,
”Saya telah mendengar dari Malik dan Laits tentang perselisihan para sahabat
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tidaklah seperti yang dikatakan
orang-orang, ’Dalam perselisihan tersebut terdapat kelapangan.’ Tidak demikian
yang ada adalah salah dan benar. [8]
Asyhab, mengatakan bahwa
Malik pernah ditanya tentang orang yang mengambil sebuah hadist dari seorang
yang tsiqat (terpercaya) dan orang itu mendapatkannya dari sahabat Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam, ” Apakah engkau berpendapat bahwa dalam
perselisihan terdapat kelapangan ?” Imam Malik menjawab, ”Tidak demi Allah,
sampai ia mendapatkan bahwa kebenaran itu satu. Adakah dua perkataan yang
bertentangan keduanya benar ? yang hak dan yang benar itu hanya ada satu.” [9]
Imam Al Muzani, sahabat
Imam Syafi’i berkata : Para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
telah berselisih. Lalu sebagian mereka menyalahkan yang lain dan mereka saling
memperhatikan tiap perkataan di antara mereka dan mengomentarinya. Jika
sekiranya mereka berpendapat semua perkataan mereka itu benar, tentu mereka
tidak akan melakukan demikian. Pernah Umar bin Khathab marah karena terjadi
perselisihan antara Ubay bin Ka’ab dengan Ibnu Mas’ud mengenai hukum salat
dengan satu pakaian. Ubay mengatakan bahwa salat dengan satu pakaian itu baik
dan indah. Sedangkan Ibnu Mas’ud megatakan bahwa hal itu dilakukan karena
sedikit pakaian. Kemudian Umar keluar dengan marah dan berkata, ”Dua orang
sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam telah berselisih, yaitu diantara
orang-orang yang memperhatikan Rasul dan mengambil pendapat beliau. Ubay benar
dan Ibnu Mas’ud tidak kurang (berusaha). Akan tetapi aku tidak mau mendengar
setelah ini ada orang-orang yang berselisih tentang hal itu. Jika masih ada
tentu aku akan melakukan ini dan itu.” [10]
Imam Al Muzani
mengatakan lagi : Katakanlah kepada orang-orang yang membolehkan perselisihan
dan berpendapat mengenai dua orang alim yang berijtihad dalam suatu masalah.
Salah seorang di antara mereka menyatakan halal dan yang lainnya menyatakan
haram. Dikatakan bahwa ijtihad keduanya benar semua, ”Apakah engkau mengatakan
ini dengan dasar ushul (pokok) atau qiyas ?” Apabila ia mengatakan dengan dasar
pokok, maka katakanlah kepadanya, ”Bagaimana mungkin dengan dasar pokok
padahal Al-Qur’an menolak perselisihan ?” Dan apabila ia mengatakan dengan
dasar qiyas, maka katakanlah, ”Mengapa engkau membolehkan padahal pokok telah
menolak perselisihan.” Hal ini tidak bisa diterima oleh orang yang berakal,
lebih-lebih seorang alim.” [11]
Ibnu Abdil Bar (wafat
463 H) berkata : Sekiranya kebenaran itu terdapat di dalam dua hal yang
bertentangan, maka tidak mungkin orang-orang salaf akan saling menyalahkan
dalam ijtihad, keputusan dan fatwa-fatwa mereka. Dan pemikiran juga enggan
menerima ada satu pendapat dan pendapat lain yang bertentangan dikatakan benar
seluruhnya. Tepatlah apa yang dikatakan di dalam syair :
“Penetapan dua hal yang
bertentangan secara bersamaan dalam satu hal Adalah seburuk-buruk kemustahilan
yang datang”.[12]
Syaikh Ali Hasan
berkata, ”Maka perbedaan pendapat dalam perkara apapun, apakah dia itu sunnah
atau bid’ah, mungkar atau bukan, tidaklah menjadikan seorang juru dakwah untuk
diam dari menyampaikan kebenaran. Yaitu dengan mengenal bid’ah sesuai dengan
kaidah-kaidah yang telah disebutkan sebelum ini dan menjelaskan kebenaran di
dalamnya. Apabila setelah pembahasan, penelitian, dan pengkajian yang mendalam
diperoleh hasil bahwa hal itu adalah bid’ah, maka wajib untuk menamapakkan
kebenaran dan menyingkap syubhat-syubhat orang yang menyalahinya. [13]
Syaikh Ali Hasan menukil
pula ucapan Imam Al-Khathabi dalam bukunya A’lamus Sunan bi Syarh Shahih Al
Bukhary juz 3/2091-2092, ”Seorang berkata, ’Sesungguhnya manusia ketika mereka
berbeda pendapat dalam hal minuman, mereka bersepakat atas haramnya khamr dan
anggur dan berbeda pendapat menegenai selainnya. Maka kita harus mengikuti apa
yang mereka sepakati tentang haramnya dan membolehkan apa-apa yang selainnya
(yang masih diperselisihkan, pent.).’ Hal ini merupakan kesalahan fatal,
padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan orang–orang yang
berselisih agar mereka mengembalikan kepada Allah dan Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن
كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya” [an Nisa/4 : 59]
Imam As Syatibi setelah
menukil ringkasan ucapan Al Khathabi dalam bukunya Al Muwafaqat 4/14 kenudian
beliau mengomentarinya, ”Orang yang berkata tadi telah mengikuti syahwatnya dan
menjadikan pendapat yang sesuai (dengan dirinya) sebagai hujjah. Dia telah
mengambil pendapat tadi sebagai jalan untuk mengikuti hawa nafsunya, bukan
jalan menuju taqwanya. Yang demikian itu jauh sekali untuk dikatakan melaksanakan
perintah Allah dan lebih tepat untuk dikatakan sebagai orang yang menjadikan
hawa nafsunya sebagai ilahnya.”[14]
BEBERAPA ALASAN DAN
JAWABANNYA
Ada beberapa alasan yang sering dijadikan pegangan oleh sebagian orang yang
tidak sependapat dengan kaidah ”kebenaran itu satu”.
Alasan Pertama :
Perbedaan Pendapat Umatku Adalah Rahmat.
Ucapan ini sering dibawakan oleh sebagian orang dan mereka mengatakannya
sebagai sabda Nabi Shallallahu alaihi wasallam.
Jawabannya : Jika engkau
cinta kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, tentu engkau tidak akan
berdusta atas namanya. Apalagi beliau telah bersabda : ”Barang siapa yang
berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah ia menempatkan tempat
duduknya dari api neraka.[15]
Seorang yang takut
terjerumus kepada perbuatan dusta atas nama Nabinya maka ia akan hati-hati
dalam membawakan hadist, dengan mencari keterangan terlebih dahulu dari ulama
hadist. Apabila ulama hadist pun berbeda pendapat tentang ke-shahih-an suatu
hadist, maka ia berusaha sesuai dengan kemampunnya untuk meneliti dan memilih
mana di antara mereka yang alasannya lebih kuat, bukan memilih pendapat yang
sesuai dengan hawa nafsunya. Apalagi kalau para ulama hadist telah sepakat akan
kelemahan atau kepalsuan suatu hadist maka kita harus mengikuti kesepakatan
mereka.
Di bawah ini saya
nukilkan tulisan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah dalam
Silsilah Al Ahadist Adl Dla’ifah mengenai hadist: “Perbedaan pendapat
ummatku adalah rahmat.”
Hadist ini tidak ada
asalnya. Para muhaddist sudah berusaha keras untuk mendapatkan sanad
hadist ini
tetapi mereka tidak mendapatkannya. Sampai beliau berkata, ”Al Munawi
menukil
dari as Subki bahwa ia berkata, ’Hadist ini tidak dikenal oleh para
muhaddist
dan saya belum mendapatkan baik dalam sanad shahih, dla’if atau maudlu.
’Syaikh Zakaria Al Anshari menyetujui dalam ta’liq atas tafsir Al
Baidawi
2/92/Qaaf (masih dalam manuskrip, pent.)”
Makna hadist ini pun
diingkari oleh para ulama peneliti. Al Allamah Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya
Al Ihkam fi Ushulil Ahkam juz V hal. 64 setelah beliau mengisyaratkan
bahwasanya ucapan itu bukan hadist, ”ini adalah ucapan yang paling rusak.
Karena kalau perselisihan itu rahmat, tentu kesepakatan itu sesuatu yang
dibenci dan tidak ada seorang muslim pun yang mengatakan demikian. Yang ada
hanya kesepakatan atau perselisihan, rahmat atau dibenci.” Di tempat lain
beliau mengatakan, ”Batil atau Dusta.”
Sesungguhnya di antara
sebagian dampak buruk dari hadist ini bahwa banyak dari kaum muslimin
menyetujui perbedaan pendapat yang sangat tajam di antara madzhab yang empat.
Mereka tidak berupaya sama sekali untuk kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah
yang shahih sebagaimana hal ini telah diperintahkan oleh imam-imam mereka
sendiri semoga Allah meridhai mereka. Bahkan mereka berpendapat bahwa
madzhab-madzhab imam radliallahu anhum tersebut sebagai syari’at-syari’at yang
bermacam-macam. Mereka mengatakan demikian, padahal mereka tahu bahwa
pertentangan dan kontradiksi itu tidak mungkin dipadukan kecuali dengan menolak
sebagian yang bertentangan dengan dalil dan menerima yang lain sesuai dengan
dalil. Tetapi hal ini tidak mereka lakukan! Dengan ini mereka telah menisbatkan
kepada syari’at akan adanya kontradiksi. Ini merupakan bukti satu-satunya bahwa
pertentangan bukanlah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala apabila mereka
memperhatikan firman Allah :
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ
الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ
اخْتِلَافًا كَثِيرًا
“Maka Apakah mereka
tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya” [an Nisa/4 : 82]
Ayat di atas menyatakan
dengan tegas bahwa pertentangan bukan dari Allah. Maka tidaklah benar
menjadikan pertentangan sebagai syari’at yang diikuti atau rahmat yang turun.
Disebabkan
hadist (yang
tidak ada asalnya) ini dan yang lainnya, kebanyakan kaum muslimin
setelah imam
yang empat terus menerus sampai hari ini bertentangan dalam banyak
masalah,
baik masalah aqidah maupun muamalah. Seandainya mereka menganggap bahwa
pertentangan itu buruk, -sebagaimana ucapan Ibnu Mas’ud [16] dan
selainnya
radliallahu anhum dan begitu juga banyak terdapat dalam Al Qur’an dan
hadist-hadist nabi Shallallahu alaihi wasallam yang menunjukkan betapa
buruknya
pertentangan itu – tentu mereka akan bersegera untuk mencapai kata
sepakat. Hal
ini mungkin terjadi dalam banyak permasalahan karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala
telah menjelaskan berupa dalil-dalil untuk mengetahui mana yang benar
dan mana
yang salah, mana yang haq dan mana yang batil. Setelah itu baru
bertoleransi
sebagian terhadap yang lainnya dalam hal-hal yang masih
diperselisihkan. (maksudnya : setelah berusaha semaksimal mungkin untuk
mendapatkan kebenaran dan
tidak didapat kepastian pendapat mana yang benar dalam masalah-masalah
yang
diperselisihkan. Sedangkan ucapan yang sebagian mereka lontarkan secara
mutlak,
’kami bekerjasama dalam hal yang kami sepakati dan saling bertoleransi
dalam
hal yang kami perselisihkan.” Maka ini adalah kesalahan yang nyata
sekali. [17]
Akan tetapi untuk apa
berusaha mencari kata sepakat kalau mereka berpendapat ”ikhtilaf itu rahmat”
dan madzhab yang berbeda-beda itu sebagai syari’at yang bermacam-macam? dan
kesimpulannya: Sesungguhnya ikhtilaf itu tercela dalam syari’at. Maka wajib
berusaha untuk menuntaskan darinya sebisa mungkin, dikarenakan pertentangan itu
merupakan salah satu sebab kelemahan ummat. Allah berfirman:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ
وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Dan taatlah kepada
Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan
kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah
beserta orang-orang yang sabar.” [al Anfal/8 : 46]
Sedangkan sikap ridha
dengan pertentangan dan menamakannya sebagai ”rahmah”, maka hal ini menyalahi
ayat-ayat Al Qur’an yang tegas-tegas mencelanya. Ia tidak bersandar kecuali
kepada hadist yang tidak ada asalnya dari Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Sampai disini mungkin
ada pertanyaan, yaitu : Kadang terjadi pertentangan di antara para sahabat.
Padahal mereka seutama-utama manusia, apakah celaan di atas mengenai mereka?
Ibnu Hazm rahimahullah menjawabnya dalam Al Ihkam fi Ushulil Ahkam juz V/67-68,
ia berkata : Sama sekali tidak. Celaan di atas tidaklah mengenai sahabat
sedikitpun, dikarenakan mereka telah berjuang keras mencari jalan Allah dan
pendapat yang benar. Maka jika di antara mereka ada yang salah, mereka mendapat
satu pahala dikarenakan niatnya yang baik dalam menghendaki kebenaran.
Terhapuslah dosa mereka dalam kesalahannya, karena mereka tidak bermaksud dan
tidak sengaja serta tidak meremehkan dalam mencari kebenaran. Sedangkan yang
benar diantara mereka mendapatkan dua pahala. Begitu pula untuk setiap muslim
sampai hari kiamat dalam hal-hal yang tidak diketahui dan belum sampai
kepadanya hujjah (dalil).
Celaan dan ancaman
tesebut, sebagaimana tertuang dalam nash, berlaku atas orang yang meninggalkan
kewajiban berpegang pada tali Allah -Al Qur’an dan As Sunnah- setelah datang
nash kepadanya dan setelah tegak hujjah atasnya. Kemudian setelah itu ia tetap
bergantung kepada fulan dan fulan, taklid, sengaja untuk berselisih, mengajak
kepada fanatik dan kebanggaan jahiliyah, bermaksud untuk berpecah belah,
berupaya dalam pengakuannya untuk selalu mengembalikan (urusannya) kepada Al
Qur’an dan As Sunnah yang shahih dengan keinginannya saja. Tetapi jika
berselisih (antara nafsu dan nash), maka ia bergantung pada kejahilannya,
meninggalkan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Mereka itulah orang-orangyang selalu berselisih dan orang-orang yang tercela.
Tingkatan yang lain
adalah mereka yang mempunyai iman yang tipis dan kurang ketaqwaannya. Mereka
mencari perkara yang cocok dengan hawa nafsu mereka dari tiap pendapat yang
ada. Mereka mengambil rukhsah (keringanan) dalam ucapan setiap ulama, taklid
kepadanya. Bukan mencari apa-apa yang diwajibkan oleh nash-nash dari Allah dan
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Di akhir ucapannya, Ibnu
Hazm mengisyaratkan tentang talfiq yang dikenal oleh para ahli fiqh, yaitu
mengambil pendapat seorang alim tanpa dalil, melainkan mengikuti hawa nafsu
atau rukhsah. Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya. Tetapi yang
benar adalah haram disebabkan beberapa alasan tertentu. Namun disini bukan
tempatnya untuk menjelaskan permasalahan itu.
Mereka yang membolehkan
talfiq ini mengambil dalil dari hadist yang tidak ada asalnya ini dan dengan
alasan hadist ini pula seorang berkata. ”Barang siapa bertaqlid kepada seorang
alim, ia akan menemui Allah dalam keadaan selamat.”
Semua ini merupakan
sebagian dampak buruk dari hadist-hadist dla’if (termasuk di dalamnya hadist
maudlu’, pent.) [18]. Maka berjhati-hatilah darinya apabila engkau mengharapkan
keselamatan, Allah berfirman dalam surat Asy Syu’aara 88-89 :
يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ
وَلَا بَنُونَ
“(yaitu) di hari harta
dan anak-anak laki-laki tidak berguna”
إِلَّا مَنْ أَتَى
اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“Kecuali orang-orang
yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”.
Syaikh Al Albani
menjelaskan pula dalam bukunya Shifat Shalat Nabi Shallallahu alaihi wasallam
mengenai perbedaan pendapat para sahabat dengan ikhtilaf di kalangan para
sahabat dengan ikhtilaf di antara muqallidin (orang-orang yang taqlid), dia
berkata : Para sahabat berbeda pendapat sebagai suatu keterpaksaan, tetapi
mereka mengingkari perselisihan dan menghindarinya ketika mereka mendapatkan
jalan keluarnya. Sedangkan muqallidin tidak sepakat dan tidak berusaha untuk
sepakat. Padahal besar kemungkinan kata sepakat itu bisa dicapai dalam sebagian
besar permasalahan yang ada. Akan tetapi mereka menyetujui adanya perbedaan.
Maka sungguh jauh berbeda antara keduanya. Ini dari segi sebab.
Adapun dari segi
pengaruhnya, meskipun para sahabat berbeda pendapat dalam masalah-masalah furu’
tetapi mereka benar-benar menjaga persatuan. Sangat jauh sekali dari hal-hal
yang memecah belah persatuan dan memporak-porandakan barisan. Umpamanya di
antara mereka ada yang berpendapat bahwa membaca basmalah disyari’atkan dengan
jahr (dikeraskan) dan yang lainnya berpendapat tidak jahr. Di antara mereka ada
yang berpendapat bahwa bersentuhan dengan wanita membatalkan wudlu’, sebagian
yang lain berpendapat tidak membatalkan wudlu’. Meskipun demikian mereka semua
shalat di belakang imam yang satu. Tidak seorang pun di antara mereka menolak
shalat di belakang imam dikarenakan ada perbedaan madzhab.[19]
Alasan Kedua : Perbuatan
Atau Ucapan Seorang Sahabat Adalah Hujjah.
Banyak hadist-hadist dari Nabi Shallallahu alaihi wasallam yang dijadikan dalil
oleh mereka. Salah satu di antaranya adalah hadist sahih, tetapi mereka salah
dalam memahaminya. Sedangkan yang lainnya adalah hadist-hadist maudlu’.
Berikut ini adalah dalil
yang mereka kemukakan, setelah itu saya nukilkan komentar ulama sebagai
penjelasan atas dalil tersebut.
Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam bersabda : “Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada
Allah, mendengar dan taat meskipun (yang memerintahkan kalian) seorang budak
dari Habasyah (Ethiopia). Sesungguhnya siapa yang hidup sesudahku di antara
kalian, maka kelak ia akan menjumpai perselisihan yang banyak. Maka haruslah
kalian mengikuti sunnahku (jalanku) dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk
dan bimbingan. Berpegang teguhlah kalian dengannya, gigitlah dengan gigi
geraham atas sunnah tersebut..” [20]
Syaikh Salim bin Ied Al
Hilali berkata (Dar’ul Irtiyab hal.7) : “Ketahuilah saudara-saudaraku seiman,
semoga Allah membimbingmu kepada kebenaran, bahwasanya ’athaf (kata penyambung
”dan” dalam sabdanya, ”Haruslah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para
khulafaur rasyidin, pent.) tidaklah berarti bahwa sunnah khulafaur rasyidin
diikuti tanpa mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.
Melainkan mereka senantiasa mengikuti sunnah beliau Shallallahu alaihi wasallam
dalam setiap jejak langkahnya. Oleh karena itu mereka dijuluki sebagai orang
yang mendapatkan petunjuk dan bimbingan. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam
menisbahkan sunnah kepada mereka dikarenakan merekalah yang paling berhak dan
seutama-utama manusia yang memahami sunnah tersebut. Pemahaman seperti ini
mutawatir dari ulama-ulama rabbani yang dirahmati ini, di antaranya adalah:[21]
1. Ibnu Hazm Al Andalusi
rahimahullah dalam kitabnya Al Ihkam fi Ushulil Ahkam juz 6 hal 76-78.
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya Majmu’ Al Fatawa
juz 1 hal. 282.
3. Al Qari rahimahullah dalam Mirqatil Mafatih juz 1 hal. 199.
4. Al Allamah Al Mubarakfury rahimahullah dalam Syarah At Tirmidzi Tuhfatul
Ahwadzi juz 3 hal. 50 dan juz 7 hal. 420. Begitu pula Imam Syaukani dan Imam As
Shan’ani rahimahullah berkata demikian.
Berkenaan dengan masalah
ini ada hadist maudlu’ yang berbunyi: “Sahabat-sahabatku seperti bintang,
dengan siapa saja kalian mengikuti di antara mereka, kalian mesti mendapat
hidayah”.
Berikut ini adalah
petikan dari Syaikh Al Albani dalam Silsilah Hadist Ad Dha’ifah wal Maudu’ah
juz 1 no. 58 dari halaman 144-145 : Hadist ini diriwayatkan oleh Ibnu Abdil bar
dalam Jami’ul Ilmi 2/91 dan oleh Ibnu Hazm dalam Al Ihkam 6/82 (kemudian beliau
menjelaskan tentang sebab maudlu’-nya hadist ini, pent.). Sedangkan orang yang
men-shahih-kan hadist ini bersandar dengan ucapan As Sya’rani dalam Al Mizan
1/28, ” Hadist ini meskipun ada pembicaraan (kelemahan) menurut para muhaddist,
tetapi hadist ini shahih menurut ahli kasyf.”Ucapan ini bathil dan sepantasnya
tidak ditengok, karena cara men-shahih-kan hadist dengan jalan al kasyf adalah
bid’ah sufi yang amat dibenci.
Kemudian Syaikh Al
Albani menjelaskan bahwa cara al kasyf itu seandainya dibolehkan itupun sebatas
sebagai pendapat yang bisa salah dan bisa benar, belum lagi kalau hawa nafsu
yang masuk, sehingga banyak hadist-hadist palsu dan yang tidak ada asalnya menjadi
shahih menurut keinginan hawa nafsu mereka.
Adapun hadist-hadist
maudlu’ yang semakna dengan hadist di atas terdapat dalam Silsilah Dla’ifah juz
1 no. 59-62 dan penjelasannya dari halaman 146-153.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah telah menjelaskan tentang kaidah ”ucapan seorang sahabat
bukan sebagai hujjah” dalam Majmu’ Fatawa.
Beliau memberikan contoh
yang banyak sekali mengenai pendapat sahabat yang bertentangan dengan nash-nash
yang jelas. Kemudian beliau juga menjelaskan bahwa ’ucapan seorang yang sahabat
sebagai hujjah” dapat berlaku apabila memenuhi dua persyaratan, yaitu :
Pertama : Tidak ada nash
yang bertentangan dengan ucapan tersebut.
Kedua : Tidak ada sahabat lain yang mengingkarinya. [22]
Alasan Ketiga : Apa Yang
Dinisbahkan Kepada Imam Malik Yang Berkata, “Masing-masing mereka adalah
benar”.
Syaikh Al Albani rahimahullah berkata : Apabila seseorang berkata, “Apa yang
engkau katakan tentang perkataan Imam Malik bahwa kebenaran itu satu, tidak
berbilang, adalah bertentangan dengan apa yang terdapat di dalam kitab Al
Madkhal Al Fikhi tulisan Al Ustadz Az Zarqa (1/89), Abu Ja’far Al Manshur dan
Ar Rasyid menginginkan memilih madzhab Imam Malik dan kitabnya Al Muwaththa’
sebagai undang-undang peradilan bagi Daulah Abbasiyah. Kemudian Imam Malik
mencegah mereka berdua melakukan hal yang demikian. Beliau
berkata, ’Sesungguhnya para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam ini
telah berselisih di dalam masalah furu’ dan mereka tersebar di berbagai negeri
dan masing-masing mereka adalah benar.”
Saya (Syaikh Al Albani)
mengatakan : Kisah ini telah dikenal dan masyhur dari Imam Malik rahimahullah.
Tetapi kata-kata terakhir yang berbunyi, ” Masing-masing mereka adalah benar, ”tidak saya ketahui asalnya berdasarkan penelitian saya dari riwayat-riwayat dan
sumber-sumber yang saya dapatkan [23]. Kecuali satu riwayat yang dikeluarkan
oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah 6/332 dengan isnad yang terdapat didalamnya Al
Miqdam bin Daud. Ia adalah salah seorang yang disebutkan oleh Adz Dzahabi dalam
kitabnya Ad Dlu’afa. Itu pun dengan lafazh, ”Dan masing–masing menurut dirinya
adalah benar. ” Ini menunjukkan bahwa riwayat yang terdapat dalam Al Madkhal
telah mengalami perubahan lafazh.
Bagaimana tidak, padahal
ini bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh orang-orang tsiqat
(terpercaya) dari Imam Malik bahwa kebenaran itu satu tidak berbilang,
sebagaimana telah diterangkan terdahulu. Hal ini juga dipegang oleh setiap Imam
dari para sahabat, tabi’in serta imam-imam mujtahid yang empat dan yang lainnya.[24]
PENUTUP
Setelah
kita membaca penjelasan mengenai kaidah ”kebenaran itu hanya satu“
Timbul pertanyaan, Bagaimana kita dapat mengetahui mana yang benar dan
mana
yang salah? Dan bagaimana kita dapat mengamalkan kebenaran tersebut?”
Jawabannya secara
ringkas adalah :
Pertama : Ikhlas di dalam mencari kebenaran. Dengan modal ikhlash maka syaithan
tidak berdaya dalam upayanya menyesatkan manusia.
Kedua : Ilmu yang benar.
Imam Syafi’i rahimahullah (wafat tahun 204 H) berkata [25] ”Seluruh ilmu
selain Al Qur’an adalah melalaikan kecuali hadist dan ilmu fiqh dalam dien ini.
Ilmu itu adalah yang ada padanya ucapan haddatsana sedangkan selain itu
merupakan bisikan syaithan.”
Ibnu Qayyim Al Jauziyah
rahimahullah berkata dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in, ’Ilmu itu adalah firman
Allah, sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan Ucapan para sahabat.”
Imam Al Auzai
rahimahullah (wafat 158H) berkata : ”Haruslah engkau mengikuti jejak
orang-orang salaf meskipun manusia menentangmu. Dan hati-hatilah engkau dari
pemikiran-pemikiran manusia meskipun mereka menghiasinya dengan kata-kata yang
manis kepadamu.[26]. Syaikh Ali Hasan mengatakan, ”Dengan sanad yang shahih”
[27]
Ibnu Katsir rahimahullah
berkata dalam muqaddimah tafsirnya, ”Maka yang semestinya dilakukan dalam
menceritakan perbedaan pendapat, yaitu engkau menguasai pendapat-pendapat yang
ada. Lalu engkau sebutkan yang benar dan engkau salahkan yang salah. Lalu
engkau sebutkan faedah khilaf dan buahnya agar perselisihan dan perbedaan
pendapat itu tidak berkepanjangan dalam hal-hal yang tidak bermanfaat, sehingga
engkau sibuk dengan hal tadi dan menyebabkan terbengkalainya mana yang lebih
penting dari yang penting. Sedangkan orang-orang yang menceritakan perbedaan
pendapat dalam satu masalah padahal ia belum menguasai pendapat-pendapat ulama
yang ada, maka hal itu kurang, karena boleh jadi pendapat yang nanti ia
tinggalkan adalah pendapat yang benar. Atau seseorang yang hanya menceritakan
perbedaan pendapat yang ada, kemudian dibiarkannya saja tanpa menyebutkan mana
yang benar, maka hal itu pun kurang. Begitu pula orang yang membenarkan
pendapat yang salah dengan sengaja, berarti ia telah berdusta. Apabila hal itu
dilakukan dengan tidak sengaja yaitu karena kejahilan maka dia telah berbuat
kesalahan.[28]
Untuk dapat memiliki
ilmu yang dalam haruslah sabar karena dibutuhkan ilmu yang dalam haruslah sabar
karena dibutuhkan waktu yang lama. Imam Syafi’i rahimahullah berkata :
“Saudaraku, engkau akan tidak memperoleh ilmu kecuali memiliki enam perkara.
Saya akan beritahu kepadamu keenamnya dengan jelas, yaitu : kecerdasan,
perhatian, kesungguhan dan kecukupan (materi) dan didampingi oleh guru sera
menempuh waktu yang lama”.
Ketiga : Mengendalikan
hawa nafsu agar tunduk kepada kebenaran
Hal ini sangat sulit, terlebih bagi jiwa manusia yang selalu mengajak kepada
keburukan. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menjanjikan surga bagi orang yang
takut kepada-Nya dan menahan hawa nafsunya.
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman :
وَأَمَّا مَنْ خَافَ
مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ
الْمَأْوَىٰ
“Dan Adapun orang-orang
yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa
nafsuny. Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya)”. [an Nazi’at/79 :
40-41]
Ya Allah, tunjukkanlah
kepada kami bahwa yang benar itu benar dan berilah kami kemampuan untuk
mengikutinya. Dan tunjukkanlah kepada kami bahwa yang bathil itu bathil dan
berilah kami kemampuan untuk menjauhinya.
Semoga shalawat dan
salam senantiasa Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi
wasallam , keluarga dan para sahabatnya. Amin.
Maraji’
1. Mushaf Al Qur’anul Karim dan terjemahannya.
2. Diwan Al Imam Asy Syafi’i, Asy Syafi’i
3. Dar’ul Irtiyab’an Hadist Ma Ana ’Alaihi Al Yauma wal Ashab, Syaikh Salim bin Ied AL Hilali.
4. Fathul Bari, Al Hafidz ibnu Hajar Al Asqalani.
5. Ilmu Ushulil Bida’ , Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Al Hallabi Al Atsari
6. Adtidla’ As Sirath Al Mustaqim li Mukhalafati Ashabil Jahim, Syaikhul Islam Ibnu taimiyah.
7. Irwa’ul Ghalil , Syeikh Al Albani
8. Jami Bayanil Ilmi wa Fadl-lih, Al Imam Ibnu Abdil Bar.
9. Majmu’ Fatawa , Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
10. Shahih AL Bukhari
11. Shifat Shalat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, Syaikh Al Albani.
12. Silsilah Al Hadits Ad Dla’ifah wal Maudlu’ah, Syaikh Al Alabni
13. Tafsir Al Qur’an Al ‘Adhim, Al Imam Ibnu Katsir
1. Mushaf Al Qur’anul Karim dan terjemahannya.
2. Diwan Al Imam Asy Syafi’i, Asy Syafi’i
3. Dar’ul Irtiyab’an Hadist Ma Ana ’Alaihi Al Yauma wal Ashab, Syaikh Salim bin Ied AL Hilali.
4. Fathul Bari, Al Hafidz ibnu Hajar Al Asqalani.
5. Ilmu Ushulil Bida’ , Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Al Hallabi Al Atsari
6. Adtidla’ As Sirath Al Mustaqim li Mukhalafati Ashabil Jahim, Syaikhul Islam Ibnu taimiyah.
7. Irwa’ul Ghalil , Syeikh Al Albani
8. Jami Bayanil Ilmi wa Fadl-lih, Al Imam Ibnu Abdil Bar.
9. Majmu’ Fatawa , Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
10. Shahih AL Bukhari
11. Shifat Shalat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, Syaikh Al Albani.
12. Silsilah Al Hadits Ad Dla’ifah wal Maudlu’ah, Syaikh Al Alabni
13. Tafsir Al Qur’an Al ‘Adhim, Al Imam Ibnu Katsir
[Disalin dari buku Hanya
Ada SATU KEBENARAN (Mencari Kebenaran Dalam Masalah Khilafiyah Yang
Kontradiktif), Cetakan I – Th.1424 H/ 2003 M. Penulis : Fariq Qasim Anuz,
Penerbit : Darul Qolam Jakarta. Komp. DepKes. Jln. Rawa Bambu Raya No. A2 Pasar
Minggu, Jakarta 12520, Telp. : (021) 78841426]
_______
Footnote
[1]. Lihat : Iqtidla As Shirat Al Mustaqiem, Ibnu Taimiyah rahimahullah juz 1 hal. 132-137, terdapat penjelasan mengenai ikhtilaf tadladl dan ikhtilaf tanawwu’
[2]. Lihat Majmu Fatawa juz 19, hal.213,216,217,227
[3]. Iqtidla’As Shiratal Mustaqim, hal. 268
[4]. Majmu Fatawa, juz 26 hal. 202
[5]. Raf’ul Malam ’an Aimmatil A’lam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
[6]. Lihat Ilmu Ushulil Bida’, hal 209-210
[7]. Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan.
[8]. Jami’u Bayanil ’Ilmi juz 2 hal. 100. Lihat Sifat Shalat Nabi hal. 61
[9]. Jami’u bayanil ’Ilmi juz 2, hal.100. Lihat Sifat Shalat Nabi hal. 61
[10]. Jami’u bayanil ’Ilmi juz 2, hal.103. Lihat Sifat Shalat Nabi hal. 62
[11]. Jami’u bayanil ’Ilmi juz 2, hal.109. Lihat Sifat Shalat Nabi hal 62
[12]. Jami’u bayanil ’Ilmi juz 2, hal.108. Lihat Sifat Shalat Nabi hal. 63
[13]. Ilmu Ushulil Bida’, hal 192
[14]. Ilmu Ushulil Bida’, hal. 194
[15]. Hadist Mutawatir, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan lainnya. Lihat Juga Fathul Bari juz 1, hal. 271, hadist no. 107, Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan masalah ini dari hal. 270-275
[16]. HR. Abu Dawud no. 1960 dengan sanad shahih
[17]. Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid dalam Ilmu Ushulil Bida’
[18]. Lihat Silsilah Al Ahadist Dla’ifah juz 1, hadist no. 57, hal. 141-144, Syeikh Albani
[19]. Lihat Sifat Shalat Nabi Shallallahu alaihi wasallam, hal. 64-65
[20]. HR. Abu Dawud no. 4607, At Tirmidzi (2/112-113), Ad Darimi (1/44-45), Ibnu Majah no. 43 dan 44, Ibnu Nashr dalam As Sunan hal. 21, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya ( 1/4/4 Al Farisi ) dan lain-lian, Syeikh Al Albani menyatakan : Hadist shahih. (Lihat Irwa’ul Ghalil juz 8 hal. 107, hadist no. 2455
[21]. Keterangan para ulama tersebut dapat dilihat dalam Dar’ul Irtuyab hal. 17-25
[22]. Majmu’ Fatawa juz 1 hal. 282-284
[23]. Syaikh Al Albani menulis dalam catatan kakinya, ” Lihat Al Intiqa’ oleh Ibnu Asakir (6-7), dan Tadzkiratul Huffadz oleh Imam Adz Dzahabi 1/195.
[24]. Lihat Diwan Al Imam As Syafi’i hal. 117
[25]. Lihat Diwan Al Imam As Syafi’i hal. 117
[26]. Atsar riwayat Al Imam Al Khatib Al Bagdhadi dalam kitabnya Syarafu Ashabil Hadist hal. 7
[27]. Lihat ili Ushulil Bida’, hal 277
[28]. Tafsir Ibnu Katsir juz 1, bagian Muqaddimah hal. 5
Footnote
[1]. Lihat : Iqtidla As Shirat Al Mustaqiem, Ibnu Taimiyah rahimahullah juz 1 hal. 132-137, terdapat penjelasan mengenai ikhtilaf tadladl dan ikhtilaf tanawwu’
[2]. Lihat Majmu Fatawa juz 19, hal.213,216,217,227
[3]. Iqtidla’As Shiratal Mustaqim, hal. 268
[4]. Majmu Fatawa, juz 26 hal. 202
[5]. Raf’ul Malam ’an Aimmatil A’lam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
[6]. Lihat Ilmu Ushulil Bida’, hal 209-210
[7]. Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan.
[8]. Jami’u Bayanil ’Ilmi juz 2 hal. 100. Lihat Sifat Shalat Nabi hal. 61
[9]. Jami’u bayanil ’Ilmi juz 2, hal.100. Lihat Sifat Shalat Nabi hal. 61
[10]. Jami’u bayanil ’Ilmi juz 2, hal.103. Lihat Sifat Shalat Nabi hal. 62
[11]. Jami’u bayanil ’Ilmi juz 2, hal.109. Lihat Sifat Shalat Nabi hal 62
[12]. Jami’u bayanil ’Ilmi juz 2, hal.108. Lihat Sifat Shalat Nabi hal. 63
[13]. Ilmu Ushulil Bida’, hal 192
[14]. Ilmu Ushulil Bida’, hal. 194
[15]. Hadist Mutawatir, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan lainnya. Lihat Juga Fathul Bari juz 1, hal. 271, hadist no. 107, Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan masalah ini dari hal. 270-275
[16]. HR. Abu Dawud no. 1960 dengan sanad shahih
[17]. Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid dalam Ilmu Ushulil Bida’
[18]. Lihat Silsilah Al Ahadist Dla’ifah juz 1, hadist no. 57, hal. 141-144, Syeikh Albani
[19]. Lihat Sifat Shalat Nabi Shallallahu alaihi wasallam, hal. 64-65
[20]. HR. Abu Dawud no. 4607, At Tirmidzi (2/112-113), Ad Darimi (1/44-45), Ibnu Majah no. 43 dan 44, Ibnu Nashr dalam As Sunan hal. 21, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya ( 1/4/4 Al Farisi ) dan lain-lian, Syeikh Al Albani menyatakan : Hadist shahih. (Lihat Irwa’ul Ghalil juz 8 hal. 107, hadist no. 2455
[21]. Keterangan para ulama tersebut dapat dilihat dalam Dar’ul Irtuyab hal. 17-25
[22]. Majmu’ Fatawa juz 1 hal. 282-284
[23]. Syaikh Al Albani menulis dalam catatan kakinya, ” Lihat Al Intiqa’ oleh Ibnu Asakir (6-7), dan Tadzkiratul Huffadz oleh Imam Adz Dzahabi 1/195.
[24]. Lihat Diwan Al Imam As Syafi’i hal. 117
[25]. Lihat Diwan Al Imam As Syafi’i hal. 117
[26]. Atsar riwayat Al Imam Al Khatib Al Bagdhadi dalam kitabnya Syarafu Ashabil Hadist hal. 7
[27]. Lihat ili Ushulil Bida’, hal 277
[28]. Tafsir Ibnu Katsir juz 1, bagian Muqaddimah hal. 5
____________________________
Share
Ulang
Citramas, Cinunuk.