Islam Pedoman Hidup: Memilih Pendapat yang Berbeda dari Para Ulama

Kamis, 30 Mei 2019

Memilih Pendapat yang Berbeda dari Para Ulama


Bagaimana cara memilih pendapat yang berbeda dari para ulama?

Orang awam kadang dibingungkan dengan pendapat ulama yang berbeda-beda. Ada yang menyatakan boleh, ada yang tidak. Ada yang menyatakan haram, ada yang menyatakan halal. Ada ulama yang menyatakan wajib dan sunnah. Kalau kita sebagai orang yang buta akan dalil, bagaimanakah kita memilih pendapat-pendapat yang ada?

Yang jelas, ahlul ilmi atau orang yang berilmulah yang dijadikan referensi orang awam untuk bertanya ketika ia sulit menemukan dan memahami dalil. Allah Ta’ala memerintahkan untuk bertanya pada orang yang berilmu,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (QS. An Nahl: 43 dan Al Anbiya’: 7).

Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan,
وَهَذَا أَمْرٌ لِمَنْ لاَ يَعْلَمُ بَتَقْلِيْدِ مَنْ يَعْلَمُ
“Ayat di atas berisi perintah bahwa yang tidak tahu hendaklah taqlid (mengikuti) yang lebih tahu.” (I’lamul Muwaqqi’in, 2: 448)

Ibnu Taimiyah –guru dari Ibnul Qayyim- rahimahullah berkata,
وَأَنَّ الِاجْتِهَادَ جَائِزٌ لِلْقَادِرِ عَلَى الِاجْتِهَادِ وَالتَّقْلِيدَ جَائِزٌ لِلْعَاجِزِ عَنْ الِاجْتِهَادِ
“Ijtihad itu dibolehkan bagi orang yang mampu berijtihad. Taqlid juga dibolehkan bagi orang yang tidak mampu berijtihad.” (Majmu’ Al Fatawa, 20: 204).

Syaikh As Sa’di rahimahullah menyatakan bahwa kita diperintahkan untuk bertanya pada ahli ilmu di mana mereka diberikan kepahaman Al Qur’an. Mereka mengetahui dan memahami Al Qur’an tersebut. Ayat ini juga sekaligus pujian untuk orang yang berilmu. Adapun ilmu yang termulia adalah ilmu mengenai Al Qur’an. Bahkan Syaikh As Sa’di mengungkapkan bahwa ‘ahlu dzikri’ yang disebutkan dalam ayat adalah ahli Al Quran Al ‘Azhim. Merekalah ahlu dzikri yang sebenarnya. Mereka lebih utama dari lainnya yang menyandang nama semacam itu. (Lihat Taisir Al Karimir Rahman, hal. 463).

Sekarang, bagaimana jika kita dihadapkan pada pendapat ulama yang berbeda dalam suatu masalah? Ada ulama yang menyatakan boleh, ada yang menyatakan tidak boleh.

Kita bisa mengambil pelajaran dari hadits berikut,
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ
Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat -yang masih samar- yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada pengembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya.” (HR. Bukhari no. 2051 dan Muslim no. 1599)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata bahwa dari hadits di atas sebagian ulama berdalil jika ada ulama yang menyatakan haram, ada pula yang menyatakan halal, maka hendaklah ia ambil pendapat yang menyatakan haram dalam rangka wara’ (hati-hati). Namun Syaikh Ibnu Utsaimin menyatakan bahwa tetap di sini dipandang terlebih dahulu dari para ulama yang berselisih. Manakah yang lebih berilmu, manakah yang lebih kredibel dari yang lainnya. (Lihat Fathul Dzil Jalali wal Ikram, 15: 156-157)

Berarti bagi orang awam yang mesti ia lakukan adalah memilih pendapat yang lebih hati-hati yang menunjukkan sikap wara’. Jika tidak mampu, pendapat yang diikuti adalah dari orang yang lebih dipandang berilmu dari yang lain jika ia bingung dalam menimbang pendapat-pendapat ulama yang ada. Karena orang awam sulit untuk memahami dalil, maka ia ikuti yang paling berilmu di antara ulama yang ada.

Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan,
وَأَمَّا مَنْ كَانَ عَاجِزًا عَنْ مَعْرِفَةِ حُكْمِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَقَدْ اتَّبَعَ فِيهَا مَنْ هُوَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالدِّينِ وَلَمْ يَتَبَيَّنْ لَهُ أَنَّ قَوْلَ غَيْرِهِ أَرْجَحُ مِنْ قَوْلِهِ فَهُوَ مَحْمُودٌ يُثَابُ لَا يُذَمُّ عَلَى ذَلِكَ وَلَا يُعَاقَبُ وَإِنْ كَانَ قَادِرًا عَلَى الِاسْتِدْلَالِ وَمَعْرِفَةِ مَا هُوَ الرَّاجِحُ
“Adapun seseorang yang tidak mampu mengenal hukum Allah dan Rasul-Nya, ia hanya mengikuti ulama dan orang yang paham agama, tidak nampak baginya pula pendapat yang lebih kuat dari pendapat tersebut, maka taqlid seperti ini terpuji dan berpahala. Yang dilakukan tidaklah tercela dan tidak mendapatkan hukuman. Walaupun sebenarnya ia mampu untuk mencari dalil dan mengenal manakah pendapat yang lebih kuat.” (Majmu’ Al Fatawa, 20: 225).

Akan tetapi, catatan yang perlu diperhatikan bahwa perselisihan pendapat yang diterima adalah jika dalil yang jadi pegangan masih samar. Itulah khilaf yang masih teranggap. Jadi bukan perbedaan yang kita terima namun karena dalil yang belum sempurna untuk dipahami. Sedangkan dalam suatu masalah jika tidak berdasarkan dalil, maka yang memilih pendapat tanpa dalil tidak teranggap sebagai khilaf (beda pendapat). (Lihat Fathul Dzil Jalali wal Ikram, 15: 157)

Semoga bermanfaat. Wa billahit taufiq was sadaad.

Referensi:

  • Fathul Dzil Jalali wal Ikram bi Syarh Bulughil Marom, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, terbitan Madarul Wathon, cetakan pertama, tahun 1435 H.
  • I’lamul Muwaqqi’in, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan kedua, tahun 1433 H.
  • Ma’alim Ushulil Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Muhammad bin Husain bin Hasan Al Jizaniy, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan kesembilan, tahun 1431 H.
  • Majmu’atul Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Darul Wafa’ dan Dar Ibni Hazm, cetakan keempat, tahun 1432 H.
  • Taisir Al Karimir Rahman (Tafsir As Sa’di), Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan kedua, tahun 1433 H.

Selesai disusun menjelang Zhuhur di Darush Sholihin, 15 Rabi’ul Awwal 1436 H
Artikel Muslim.Or.Id


========
Share Ulang: