Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah sah sedekah
dari orang yang berhutang ? Apa kewajiban syari’at yang gugur dari
seorang yang mempunyai hutang ?
Jawaban
Shadaqah termasuk jenis infak yang dianjurkan secara syari’at, ia
merupakan perbuatan baik kepada hamba-hamba Allah apabila tiba waktunya.
Seseorang diberi ganjaran pahala karenanya, dan setiap orang akan
berada di naungan sedekahnya pada hari kiamat. Dia tetap dikabulkan,
sama saja apakah atas seseorang yang memiliki tanggungan hutang maupun
tidak menanggung hutang, apabila telah sempurna syarat-syarat
dikabulkannya amalan, yakni dilakukan dengan ikhlas karena Allah
Subhanahu wa Ta’ala, berasal dari usaha yang baik dan dilakukan pada
tempat yang tepat.
Dengan dipenuhinya syarat-syarat ini, jadilah dia amal yang terkabul
menurut ketetapan dalil syariat, tidak dipersyaratkan keharusan tiadanya
hutang atas diri seseorang, _akan tetapi apabila hutang itu meliputi
seluruh harta miliknya maka perbuatan itu (bersedekah) bukanlah tindakan
yang bijaksana, tidak juga masuk akal bahwa dia bersedekah –padahal
sedekah hanyalah amalan sunnah bukan wjib- tapi membiarkan (tidak
melunasi) hutang yang wajib dia bayar_.
Hendaklah dia memulai dengan amalan wajib terlebih dahulu barulah
kemudian bersedekah, para ulama telah berselisih tentang masalah orang
yang bersedekah di saat menanggung hutang yang menghabiskan seluruh
hartanya, sebagian dari mereka berkata, ‘Sesungguhnya hal itu tidak
boleh dia lakukan ; karena berakibat buruk pada orang yang berhutang,
serta membuatnya terus memikul tanggungan hutang yang wajib ini.
Sebagian dari mereka mengatakan, ‘Tindakan itu boleh, tetapi dia menentang hal yang lebih utama’.
Yang terpenting hendaknya seseorang yang mempunyai hutang yang
menghabiskan seluruh harta miliknya, tidak bersedekah sampai terbayarnya
hutang ; karena wajib didahulukan daripada sunnah.
Adapun kewajiban-kewajiban syari’at yang diringankan bagi orang yang menannggung hutang sampai melunasinya :
Termasuk darinya haji, haji tidak wajib atas seseorang yang masih mempunyai hutang hingga dia melunasinya.
Adapun zakat, para ulama bersilang pendapat tentang apakah kewajiban
itu gugur atas orang yang berhutang ataukah tidak ? Sebagian dari ulama
ada yang berkata, ‘Sesungguhnya (kewjiban) zakat gugur pada saat
berhadapan dengan hutang, sama saja apakah berupa harta yang konkrit
maupun yang tidak konkrit (abstrak)’.
Sebagian mereka ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya zakat tidak
gugur kewajibannya pada saat berhadapan dengan hutang, tetapi wajib
atasnya mengeluarkan zakat dari semua harta yang ada di tangannya,
walaupun dia menangggung hutang yang mengurangi nishab.
Sebagian dari mereka ada orang yang menjelaskan dengan berkata :
“Jika harta itu termasuk harta abstrak yang tidak terlihat dan tidak
tersaksikan, seperti uang dan harta perniagaan, maka kewajiban zakatnya
gugur pada saat berhadapan dengan hutang, sedangkan jika harta itu
termasuk golongan harta konkrit seperti binatang ternak dan hasil bumi
maka kewajiban zakatnya tidak gugur”.
Yang benar menurut saya : Bahwa kewajiban zakat itu tidak gugur, sama
saja apakah harta itu termasuk konkrit atau abstrak, bahwa setiap orang
yang di tangannya terdapat harta yang mencapai nishab wajib maka wajib
atasnya membayarkan zakat itu meski dia masih menanggung hutang, itu
karena zakat merupkan kewajiban atas harta berdasarkan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ
عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendo’alah untuk mereka.
Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [at-Taubah/9 : 103]
Serta berdasarkan sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
Muadz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu tatkala beliau mengutusnya ke Yaman, “Beritahukanlah
kepada mereka bahwa Allah menetapkan kewajiban zakat atas mereka, yang
diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang-orang
miskin dari kalangan mereka”. Hadits tersebut di dalam kitab
shahih Bukhari menggunakan lafadz seperti ini, dengan dalil dari
Al-Qur’an dan Sunnah ini menjadikan sisi ini terurai lepas, maka
hendaknya jangan dipertentangkan antara zakat dan hutang ; karena hutang
merupakan kewajiban pada tanggungan sedangkan zakat merupakan kewajiban
pada harta, dengan demikian masing-masing dari keduanya diwajibkan pada
tempat di mana yang lain tidak diwajibkan di sana, sehingga tidak
mengakibatkan adanya pertentangan dan benturan di antara keduanya, pada
waktu itu hutang tetaplah berada di dalam tanggungan si penghutang dan
zakat tetap berada pada harta, dikeluarkan darinya pada tiap-tiap
kondisi.
Penerjemah Furqon Syuhada dkk, Penerbit Pustaka Arafah]