Ingin Sedekah Tapi Masih Punya Utang
Beberapa tokoh agama mengajarkan agar kita banyak bersedekah agar utang kita cepat lunas. Apakah ini benar?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Kita diajarkan untuk mendahulukan kewajiban sebelum amal yang
sifatnya anjuran. Baik kewajiban terkait hak Allah maupun kewajiban
terkait hak makhluk. Ada kaidah mengatakan,
تقدم الفرائض على النوافل
Didahulukan yang wajib sebelum yang anjuran.
Kita bisa memahami, perbedaan hukum antara membayar utang dan
sedekah. Utang terkait kewajiban kita kepada orang lain dan harus kita
penuhi. Sementara sedekah sifatnya anjuran. Karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan agar manusia bersedekah setelah memenuhi kebutuhan pribadinya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنًى ، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ
Sedekah terbaik adalah sedekah setelah kebutuhan pokok dipenuhi. Dan mulailah dari orang yang wajib kamu nafkahi. (HR. Bukhari 1360 & Muslim 2433)
Mengingat pertimbangan ini, para ulama memfatwakan agar mendahulukan
pelunasan utang sebelum bersedekah. Bahkan sebagian ulama menyebut orang
yang mendahulukan sedekah sementara utangnya belum lunas, bisa
terhitung memalak harta orang lain.
Imam Bukhari dalam shahihnya mengatakan,
من تصدق وهو محتاج أو أهله محتاج أو عليه دين فالدين أحق أن يقضى من الصدقة والعتق والهبة وهو رد عليه ليس له أن يتلف أموال الناس
Siapa yang bersedekah sementara dia membutuhkan, keluarganya
membutuhkan atau dia memiliki utang, maka utangnya lebih layak dia
lunasi sebelum sedekah, membebaskan budak, atau memberi hibah. Maka
sedekah ini tertolak baginya. Dan dia tidak boleh menghilangkan harta
orang lain.
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
Siapa yang membawa harta orang lain (secara legal, seperti utang)
dan dia berniat untuk tidak mengembalikannya maka Allah akan
menghilangkannya.
Imam Bukhari melanjutkan,
إلا أن يكون معروفا بالصبر فيؤثر على نفسه ولو كان به
خصاصة كفعل أبي بكر رضي الله عنه حين تصدق بماله وكذلك آثر الأنصار
المهاجرين ونهى النبي صلى الله عليه و سلم عن إضاعة المال. فليس له أن
يضيع أموال الناس بعلة الصدقة
Kecuali masih dalam batas normal, dilandasi bersabar, lebih
mendahulukan orang lain dari pada dirinya, meskipun dia membutuhkannya.
Seperti yang dilakukan Abu Bakr ketika beliau mensedekahkan hartanya
atau perbuatan orang anshar yang lebih mendahulukan Muhajirin. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang kita untuk menyia-nyiakan harta. Karena itu, tidak boleh
menyia-nyiakan harta orang lain dengan alasan sedekah. (Shahih Bukhari,
2/517)
Masih banyak keterangan lain yang disampaikan ulama yang menekankan
agar pelunasan lebih didahulukan dari pada sedekah. Kita sebutkan
diantaranya,
[1] Keterangan Badruddin al-Aini,
أن شرط التصدق أن لا يكون محتاجاً ، ولا أهله محتاجاً ،
ولا يكون عليه دين، فإذا كان عليه دين : فالواجب أن يقضي دينه ، وقضاء
الدين أحق من الصدقة والعتق والهبة؛ لأن الابتداء بالفرائض قبل النوافل
Bahwa bagian dari syarat sedekah, dia bukan termasuk orang yang
membutuhkan, keluarganya membutuhkan dan tidak memiliki utang. Jika dia
memiliki utang, maka wajib baginya melunasi utangnya. Dan melunasi utang
lebih berhak didahulukan dari pada sedekah, membebaskan budak, atau
hibah. Karena harus mendahulukan yang wajib sebelum yang anjuran.
(Umdatul Qari, Syarh Sahih Bukhari, 13/327).
[2] Keterangan Ibnu Bathal,
وأما قوله: وأما من تصدق وعليه دين، فالدين أحق أن يقضى من
الصدقة والعتق والهبة، وهو رد عليه. فهو إجماع من العلماء لا خلاف بينهم
فيه
Pernyataan Bukhari, ‘Orang yang bersedekah sementara dia memiliki
utang, maka seharusnya pelunasan utang lebih didahulukan dari pada
sedekah, membebaskan budak, dan hibah.’ Ini merupakan ijma’ ulama, tidak
ada perbedaan dalam hal ini diantara mereka.. (Syarh Shahih Bukhari,
Ibnu Batthal, 3/430).
Dalam al-Minhaj dan syarahnya Mughnil Muhtaj – buku madzhab Syafiiyah
– disebutkan keterangan an-Nawawi dan komentar al-Khatib as-Syarbini.
An-Nawawi mengatakan,
من عليه دين يستحب أن لا يتصدق حتى يؤدي ما عليه.
An-Nawawi mengatakan, “Orang yang memiliki utang dianjurkan untu
tidak bersedekah sampai dia lunai utangnya.” Komentar al-Khatib
as-Syarbini,
قلت: الأصح تحريم صدقته بما يحتاج إليه لنفقة من تلزمه نفقته ، أو لدين لا يرجو له وفاء
“Menurutku, pendapat yang kuat adalah haramnya sedekah terhadap harta
yang dia butuhkan dan menjadi kebutuhan orang yang dia nafkahi, atau
karena dia memiliki utang yang tidak ada harapan bisa melunasi.”
(Mughnil Muhtaj, 4/197).
Keterangan lain disampaikan Ibnu Qudamah,
ومن عليه دين لا يجوز أن يتصدق صدقة تمنع قضاءها ؛ لأنه واجب فلم يجز تركه
Siapa yang memiliki utang, tidak boleh bersedekah yang menyebabkan
dia tidak bisa membayar utang. Karena membayar utang itu wajib yang
tidak boleh dia tinggalkan. (al-Kafi, 1/431)
Keterangan di atas berlaku ketika utang tersebut harus segera
dilunasi. Karena itulah, ketika utang jatuh tempo masih jauh, dan
memungkinkan baginya untuk melunasi, seseorang boleh bersedekah,
meskipun dia memiliki utang.
Imam Ibnu Utsaimin ditanya tentang hukum sedekah ketika seseorang memiliki utang. Jawab beliau,
أما إذا كان الدين مؤجلاً، وإذا حل وعندك ما يوفيه : فتصدق ولا حرج ؛ لأنك قادر
Jika utangnya jatuh tempo masih jauh, dan waktu jatuh tempo anda
memiliki dana untuk melunasinya, silahkan sedekah, tidak ada masalah.
Karena anda terhitung mampu.. (Ta’liqat Ibnu Utsaimin ala al-Kafi,
3/108)
Memahami fiqh prioritas akan mengarahkan kita untuk memutuskan sesuai
dengan urutan yang paling penting. Para ulama membahas ini bukan untuk
mengajak umat agar bersikap pelit. Tapi untuk memahamkan masyarakat
terkait sesuatu yang harus diprioritaskan. Tunaikan hak orang lain yang
ada di tempat kita, kerena itu kewajiban yang menjadi tanggung jawab
kita.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
=====
Share Ulang:
- Citramas, 26 Ramadhan 1440
- Sumber= https://konsultasisyariah.com/29450-dilarang-sedekah-jika-utang-belum-lunas.html