Islam Pedoman Hidup: Dilarang Sedekah Jika Utang Belum Lunas?

Jumat, 31 Mei 2019

Dilarang Sedekah Jika Utang Belum Lunas?


Ingin Sedekah Tapi Masih Punya Utang

Beberapa tokoh agama mengajarkan agar kita banyak bersedekah agar utang kita cepat lunas. Apakah ini benar?

Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Kita diajarkan untuk mendahulukan kewajiban sebelum amal yang sifatnya anjuran. Baik kewajiban terkait hak Allah maupun kewajiban terkait hak makhluk. Ada kaidah mengatakan,
تقدم الفرائض على النوافل
Didahulukan yang wajib sebelum yang anjuran.

Kita bisa memahami, perbedaan hukum antara membayar utang dan sedekah. Utang terkait kewajiban kita kepada orang lain dan harus kita penuhi. Sementara sedekah sifatnya anjuran. Karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan agar manusia bersedekah setelah memenuhi kebutuhan pribadinya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنًى ، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ
Sedekah terbaik adalah sedekah setelah kebutuhan pokok dipenuhi. Dan mulailah dari orang yang wajib kamu nafkahi. (HR. Bukhari 1360 & Muslim 2433)

Mengingat pertimbangan ini, para ulama memfatwakan agar mendahulukan pelunasan utang sebelum bersedekah. Bahkan sebagian ulama menyebut orang yang mendahulukan sedekah sementara utangnya belum lunas, bisa terhitung memalak harta orang lain.

Imam Bukhari dalam shahihnya mengatakan,
من تصدق وهو محتاج أو أهله محتاج أو عليه دين فالدين أحق أن يقضى من الصدقة والعتق والهبة وهو رد عليه ليس له أن يتلف أموال الناس
Siapa yang bersedekah sementara dia membutuhkan, keluarganya membutuhkan atau dia memiliki utang, maka utangnya lebih layak dia lunasi sebelum sedekah, membebaskan budak, atau memberi hibah. Maka sedekah ini tertolak baginya. Dan dia tidak boleh menghilangkan harta orang lain.

Lalu beliau membawakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
Siapa yang membawa harta orang lain (secara legal, seperti utang) dan dia berniat untuk tidak mengembalikannya maka Allah akan menghilangkannya.

Imam Bukhari melanjutkan,
إلا أن يكون معروفا بالصبر فيؤثر على نفسه ولو كان به خصاصة كفعل أبي بكر رضي الله عنه حين تصدق بماله وكذلك آثر الأنصار المهاجرين ونهى النبي صلى الله عليه و سلم عن إضاعة المال.  فليس له أن يضيع أموال الناس بعلة الصدقة
Kecuali masih dalam batas normal, dilandasi bersabar, lebih mendahulukan orang lain dari pada dirinya, meskipun dia membutuhkannya. Seperti yang dilakukan Abu Bakr ketika beliau mensedekahkan hartanya atau perbuatan orang anshar yang lebih mendahulukan Muhajirin. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk menyia-nyiakan harta. Karena itu, tidak boleh menyia-nyiakan harta orang lain dengan alasan sedekah. (Shahih Bukhari, 2/517)

Masih banyak keterangan lain yang disampaikan ulama yang menekankan agar pelunasan lebih didahulukan dari pada sedekah. Kita sebutkan diantaranya,

[1] Keterangan Badruddin al-Aini,
أن شرط التصدق أن لا يكون محتاجاً ، ولا أهله محتاجاً ، ولا يكون عليه دين، فإذا كان عليه دين : فالواجب أن يقضي دينه ، وقضاء الدين أحق من الصدقة والعتق والهبة؛ لأن الابتداء بالفرائض قبل النوافل
Bahwa bagian dari syarat sedekah, dia bukan termasuk orang yang membutuhkan, keluarganya membutuhkan dan tidak memiliki utang. Jika dia memiliki utang, maka wajib baginya melunasi utangnya. Dan melunasi utang lebih berhak didahulukan dari pada sedekah, membebaskan budak, atau hibah. Karena harus mendahulukan yang wajib sebelum yang anjuran. (Umdatul Qari, Syarh Sahih Bukhari, 13/327).

[2] Keterangan Ibnu Bathal,
وأما قوله: وأما من تصدق وعليه دين، فالدين أحق أن يقضى من الصدقة والعتق والهبة، وهو رد عليه. فهو إجماع من العلماء لا خلاف بينهم فيه
Pernyataan Bukhari, ‘Orang yang bersedekah sementara dia memiliki utang, maka seharusnya pelunasan utang lebih didahulukan dari pada sedekah, membebaskan budak, dan hibah.’ Ini merupakan ijma’ ulama, tidak ada perbedaan dalam hal ini diantara mereka.. (Syarh Shahih Bukhari, Ibnu Batthal, 3/430).

Dalam al-Minhaj dan syarahnya Mughnil Muhtaj – buku madzhab Syafiiyah – disebutkan keterangan an-Nawawi dan komentar al-Khatib as-Syarbini.

An-Nawawi mengatakan,
من عليه دين يستحب أن لا يتصدق حتى يؤدي ما عليه.
An-Nawawi mengatakan, “Orang yang memiliki utang dianjurkan untu tidak bersedekah sampai dia lunai utangnya.” Komentar al-Khatib as-Syarbini,

قلت: الأصح تحريم صدقته بما يحتاج إليه لنفقة من تلزمه نفقته ، أو لدين لا يرجو له وفاء
“Menurutku, pendapat yang kuat adalah haramnya sedekah terhadap harta yang dia butuhkan dan menjadi kebutuhan orang yang dia nafkahi, atau karena dia memiliki utang yang tidak ada harapan bisa melunasi.” (Mughnil Muhtaj, 4/197).

Keterangan lain disampaikan Ibnu Qudamah,
ومن عليه دين لا يجوز أن يتصدق صدقة تمنع قضاءها ؛ لأنه واجب فلم يجز تركه
Siapa yang memiliki utang, tidak boleh bersedekah yang menyebabkan dia tidak bisa membayar utang. Karena membayar utang itu wajib yang tidak boleh dia tinggalkan. (al-Kafi, 1/431)

Keterangan di atas berlaku ketika utang tersebut harus segera dilunasi. Karena itulah, ketika utang jatuh tempo masih jauh, dan memungkinkan baginya untuk melunasi, seseorang boleh bersedekah, meskipun dia memiliki utang.

Imam Ibnu Utsaimin ditanya tentang hukum sedekah ketika seseorang memiliki utang. Jawab beliau,
أما إذا كان الدين مؤجلاً، وإذا حل وعندك ما يوفيه : فتصدق ولا حرج ؛ لأنك قادر
Jika utangnya jatuh tempo masih jauh, dan waktu jatuh tempo anda memiliki dana untuk melunasinya, silahkan sedekah, tidak ada masalah. Karena anda terhitung mampu.. (Ta’liqat Ibnu Utsaimin ala al-Kafi, 3/108)

Memahami fiqh prioritas akan mengarahkan kita untuk memutuskan sesuai dengan urutan yang paling penting. Para ulama membahas ini bukan untuk mengajak umat agar bersikap pelit. Tapi untuk memahamkan masyarakat terkait sesuatu yang harus diprioritaskan. Tunaikan hak orang lain yang ada di tempat kita, kerena itu kewajiban yang menjadi tanggung jawab kita.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
=====
Share Ulang: