Baru
saja saya berselancar di dunia maya. Di saat itu mata saya tertuju kepada
sebuah judul tulisan di sebuah blog milik salah seorang ustadz alumni salah satu
ma’had di Yaman. Judul tulisan yang membuat saya penasaran itu adalah “Untukmu
yang Masih Bertanya Tentang Radio Rodja”. Melihat judulnya yang masih
mubham, saya segera segera mengobati rasa penasaran saya itu dengan mengklik
judul tersebut dan membacanya.
Inti tulisan tersebut adalah mentahdzir Radio
Rodja dan para pengisinya yang tidak lain adalah ustadz-ustadz pembawa panji
dakwah Ahlussunnah wal Jama’ah –dan saya tidak mensucikan seorang pun di
hadapan Allah ‘Azza wa Jalla-. Dalam tulisan tersebut, sang ustadz mengatakan
bahwa para pengisi Radio Rodja tidak komitmen dengan manhaj Ahlussunnah dan
masih plintat-plintut dalam menyikapi ahli bid’ah. Sebaliknya, sang ustadz
mentazkiyyah para ustadznya yang begitu tegas dalam menyikapi pelaku bid’ah.
Dalam tulisannya ini juga sang ustadz
menyebutkan beberapa nama asatidzah Ahlussunnah yang biasa ngisi di radio yang
penuh berkah ini secara tegas dan mengabsen ‘aib-‘aib masing-masing secara
umum.
Dan pada kesempatan kali ini saya akan
berusaha mensyarah tulisan penulis di atas –dengan berkat bertolongan Allah
jua-.
Maka saya katakan, setelah saya membaca
tulisan ini secara keseluruhannya, maka saya dapati dalam tulisan ini terdapat
beberapa tanaqudhat (baca: kontradiksi) yang bisa dilihat oleh
siapa pun meski dengan adna taammul. Awalnya penulis menyebutkan
beberapa gagasan, namun di baris berikutnya malah dibantah dan dibatalkannya
gagasannya tersebut.
Berikut
penjelasannya:
*Pertama*, penulis mengatakan
bahwa orang-orang mereka sangat berkomitmen dalam menjejaki manhaj Ahlussunnah,
namun pernyataan ini beliau bantah sendiri dengan perbuatannya dalam tulisan
ini. Dan di sini saya akan menyebutkan beberapa contoh kontradiksi yang ada di
sini.
Menurut manhaj Salaf, yang diakui sebagai
manhaj penulis, dalam membantah seseorang yang dianggap mukhalif (baca:
menyimpang) tidak diharuskan menyebutkan nama orang yang menyimpang secara
terang-terangan, terkecuali jika terdapat hajat. Dan inilah hukum asal yang disepakati.
Sebab yang menjadi tujuan pokok dalam tahdzir adalah penyimpangan itu sendiri,
bukan para pelakunya. Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam–
sendiri ketika mentahdzir beberapa orang hanya mengatakan, “Kenapa ada
sekelompok kaum yang mengatakan anu dan anu…” Akan tetapi sang ustadz
yang mengaku komitmen terhadap manhaj Ahlussunnah justru menyebutkan nama-nama
orang yang beliau anggap menyimpang, tanpa merasa menyimpang dari metode
baginda Nabi Muhammad ketika mentahdzir. Karena kita tahu juga bahwa tahdzir
merupakan salah satu bentuk daripada nasihat yang maknanya iradatul
khair lil ghair, menginginkan kebaikan untuk orang lain.
Benar, terkadang Nabi –shallallahu ‘alaihi
wa sallam– terkadang, dan ini sangat jarang sekali –menurut sependek pengetahuan
saya-, menegaskan nama orang yang menyimpang, namun ini pada porsinya, tidak
perlu ditambah-tambahi dengan yang lain, ini pun jika hajatnya mendesak.
Sekiranya dakwaan sang ustadz benar, tentu
seharusnya penulis cukup menyebutkan praktek-praktek para asatidz yang dinilai
‘keliru’.
*Kedua*, dalam tulisannya
ini sang ustadz telah menyelisihi praktek Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-
dalam memposisikan seseorang secara adil. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa
sallam– biasanya menyapa seseorang, baik muslim ataupun kafir, sesuai
posisinya di mata manusia. Lihat saja, misalnya, ketika Nabi –shallallahu
‘alaihi wa sallam– menyapa raja Romawi yang kafir dalam suratnya: “Kepada
Heraclius, ‘azhimur Ruum (pembesarnya Romawi).” Misalnya lagi ketika Nabi –shallallahu
‘alaihi wa sallam– menyapa gembongnya kaum munafiq, ‘Abdullah bin Salul,
dengan kun-yahnya. Padahal sapaan dengan kun-yah di tengah tradisi orang Arab
termasuk pemuliaan. Kenapa demikian? Karena memang demikianlah keadaanya di
mata manusia pada umumnya.
Tapi lihatlah tulisan sang ustadz, beliau
mendaftar beberapa nama orang yang dianggapnya ‘menyimpang’ langsung dengan
namanya, tanpa mendahuluinya dengan sapaan ustadz atau semacamnya. Kenapa harus
begitu? Karena memang demikianlah keadaan mereka dan di mata manusia pun
seperti itu. Perbuatan penulis ini membantah gagasannya di atas!
*Ketiga*, dalam tulisannya
ini memahami bahwa tahdzir-mentahdzir (atau bahasa halusnya amar makruf dan
nahi mungkar) termasuk fardhu kifayah. Hal ini penulis bantah dengan sikapnya yang
menyalahkan Ustadz Firanda, Ustadz ‘Abdullah Taslim, dan yang lainnya yang
tidak ikut serta mentahdzir ahlul bida’ semacam ihya’ut turats.
Perlu diketahui bahwa ada sebagian orang yang
menjadikan tahdzir-mentahdzir sebagai timbangan apakan seseorang itu
Ahlussunnah atau bukan. Jika orang itu tidak mentahdzir, maka
keahlussunnahannya perlu dipertanyakan. Maka konsekuensinya adalah semakin
orang banyak mentahdzir, berarti kualitas Ahlussunnahnya baik. Al-‘Allamah
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin yang jelas-jelas salafi saja masih ada orang
meragukan keahlussunnahan beliau hanya ‘gara-gara’ tidak/jarang mentahdzir di
pengajiannya, apalagi orang yang kedudukannya di bawah beliau.
Oleh karena tahdzir-mentahdzir termasuk
fardhu kifayah, maka kita katakan: Cukup antum saja, wahai ustadz, yang
mentahdzir ahlul bida’ wal ahwa’. Karena kita percaya dan yakin bahwa antum
pakar dalam bidang ini dan boleh jadi bantahan antum terhadap ahlul bida’ lebih
baik dan memuaskan. Cukup kami menukil bantahan dan tahdziran antum saja.
Itung-itung menghemat tenaga dan pikiran. Di sana masih banyak orang-orang awam
yang masih perlu dibenahi dan dibimbing.
Di antara hal yang perlu ‘disyarah’ dalam
tulisan ini adalah penilian keliru penulis duduk bersama ahlul bida’ dalam
mengisi suatu pengajian. Hal ini perlu dirinci, tidak boleh dihukumi secara
mutlak keliru. Jika kajiannya itu mendukung langkah bid’ah, maka barang tentu
hal ini tercela. Namun jika yang dibahas adalah sesuatu yang haq, maka ini
tidak boleh disalahkan.
Adapun menyalahkan seorang salafi tidak mendakwahi
ahlul bida’ di sampingnya, maka ini lain bab.
Berikutnya, penulis mencela bekerja sama
dengan ahli bid’ah secara mutlak. Ini juga keliru. Seharusnya penulis bersikap
adil dalam menghukumi sesuatu.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ
أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا
تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah
kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi
saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Maidah: 008)
Sebaiknya sang ustadz melihat dulu kerja sama
dalam bentuk apa dulu. Jika kerja sama tersebut justru lebih menguntungkan
Ahlussunnah, kenapa tidak? Namun jika sebaliknya, tentu hal ini sangat-sangat
tidak diperbolehkan. Dan umumnya kerja sama para ustadz kita adalah kerjasama jenis pertama.
Sebenarnya masih banyak hal yang ingin saya
paparkan di sini, namun saya rasa sampai di sini sudah cukup untuk siapa saja
yang menghendaki kebaikan. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjarh atau
menta’dil seseorang atau suatu kelompok, namun tulisan ini dimaksudkan agar
saya dan pembaca memperoleh nasihat untuk selalu bersikap adil dalam menilai sesuatu.
Jangan gegabah dalam bertindak, namun bersikap hikmahlah dalam bersikap dan
berkehendak.
"Aku tidak akan bisa selamat dari
sasaran tukang cela, sekalipun aku berlindung di dalam gua di atas bukit.
Siapakah yang dapat selamat dari celaan manusia, sekalipun dia sudah menyingkir
di sarang burung.”
By:
Al Marwadi
Upload Ulang:
→ Citramas, Bandung.