Islam Pedoman Hidup: Siapa yang keliru? (sebuah tanggapan terhadap tulisan “untukmu yang masih bertanya tentang radio rodja”

Minggu, 01 April 2018

Siapa yang keliru? (sebuah tanggapan terhadap tulisan “untukmu yang masih bertanya tentang radio rodja”



Baru saja saya berselancar di dunia maya. Di saat itu mata saya tertuju kepada sebuah judul tulisan di sebuah blog milik salah seorang ustadz alumni salah satu ma’had di Yaman. Judul tulisan yang membuat saya penasaran itu adalah Untukmu yang Masih Bertanya Tentang Radio Rodja. Melihat judulnya yang masih mubham, saya segera segera mengobati rasa penasaran saya itu dengan mengklik judul tersebut dan membacanya.

Inti tulisan tersebut adalah mentahdzir Radio Rodja dan para pengisinya yang tidak lain adalah ustadz-ustadz pembawa panji dakwah Ahlussunnah wal Jama’ah –dan saya tidak mensucikan seorang pun di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla-. Dalam tulisan tersebut, sang ustadz mengatakan bahwa para pengisi Radio Rodja tidak komitmen dengan manhaj Ahlussunnah dan masih plintat-plintut dalam menyikapi ahli bid’ah. Sebaliknya, sang ustadz mentazkiyyah para ustadznya yang begitu tegas dalam menyikapi pelaku bid’ah.

Dalam tulisannya ini juga sang ustadz menyebutkan beberapa nama asatidzah Ahlussunnah yang biasa ngisi di radio yang penuh berkah ini secara tegas dan mengabsen ‘aib-‘aib masing-masing secara umum.

Dan pada kesempatan kali ini saya akan berusaha mensyarah tulisan penulis di atas –dengan berkat bertolongan Allah jua-.

Maka saya katakan, setelah saya membaca tulisan ini secara keseluruhannya, maka saya dapati dalam tulisan ini terdapat beberapa tanaqudhat (baca: kontradiksi) yang bisa dilihat oleh siapa pun meski dengan adna taammul. Awalnya penulis menyebutkan beberapa gagasan, namun di baris berikutnya malah dibantah dan dibatalkannya gagasannya tersebut.

Berikut penjelasannya:

*Pertama*, penulis mengatakan bahwa orang-orang mereka sangat berkomitmen dalam menjejaki manhaj Ahlussunnah, namun pernyataan ini beliau bantah sendiri dengan perbuatannya dalam tulisan ini. Dan di sini saya akan menyebutkan beberapa contoh kontradiksi yang ada di sini.

Menurut manhaj Salaf, yang diakui sebagai manhaj penulis, dalam membantah seseorang yang dianggap mukhalif (baca: menyimpang) tidak diharuskan menyebutkan nama orang yang menyimpang secara terang-terangan, terkecuali jika terdapat hajat. Dan inilah hukum asal yang disepakati. Sebab yang menjadi tujuan pokok dalam tahdzir adalah penyimpangan itu sendiri, bukan para pelakunya. Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam– sendiri ketika mentahdzir beberapa orang hanya mengatakan, Kenapa ada sekelompok kaum yang mengatakan anu dan anu… Akan tetapi sang ustadz yang mengaku komitmen terhadap manhaj Ahlussunnah justru menyebutkan nama-nama orang yang beliau anggap menyimpang, tanpa merasa menyimpang dari metode baginda Nabi Muhammad ketika mentahdzir. Karena kita tahu juga bahwa tahdzir merupakan salah satu bentuk daripada nasihat yang maknanya iradatul khair lil ghair, menginginkan kebaikan untuk orang lain.

Benar, terkadang Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– terkadang, dan ini sangat jarang sekali –menurut sependek pengetahuan saya-, menegaskan nama orang yang menyimpang, namun ini pada porsinya, tidak perlu ditambah-tambahi dengan yang lain, ini pun jika hajatnya mendesak.

Sekiranya dakwaan sang ustadz benar, tentu seharusnya penulis cukup menyebutkan praktek-praktek para asatidz yang dinilai ‘keliru’.

*Kedua*, dalam tulisannya ini sang ustadz telah menyelisihi praktek Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam memposisikan seseorang secara adil. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– biasanya menyapa seseorang, baik muslim ataupun kafir, sesuai posisinya di mata manusia. Lihat saja, misalnya, ketika Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– menyapa raja Romawi yang kafir dalam suratnya: “Kepada Heraclius, ‘azhimur Ruum (pembesarnya Romawi).” Misalnya lagi ketika Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallammenyapa gembongnya kaum munafiq, ‘Abdullah bin Salul, dengan kun-yahnya. Padahal sapaan dengan kun-yah di tengah tradisi orang Arab termasuk pemuliaan. Kenapa demikian? Karena memang demikianlah keadaanya di mata manusia pada umumnya.

Tapi lihatlah tulisan sang ustadz, beliau mendaftar beberapa nama orang yang dianggapnya ‘menyimpang’ langsung dengan namanya, tanpa mendahuluinya dengan sapaan ustadz atau semacamnya. Kenapa harus begitu? Karena memang demikianlah keadaan mereka dan di mata manusia pun seperti itu. Perbuatan penulis ini membantah gagasannya di atas!

*Ketiga*, dalam tulisannya ini memahami bahwa tahdzir-mentahdzir (atau bahasa halusnya amar makruf dan nahi mungkar) termasuk fardhu kifayah. Hal ini penulis bantah dengan sikapnya yang menyalahkan Ustadz Firanda, Ustadz ‘Abdullah Taslim, dan yang lainnya yang tidak ikut serta mentahdzir ahlul bida’ semacam ihya’ut turats.

Perlu diketahui bahwa ada sebagian orang yang menjadikan tahdzir-mentahdzir sebagai timbangan apakan seseorang itu Ahlussunnah atau bukan. Jika orang itu tidak mentahdzir, maka keahlussunnahannya perlu dipertanyakan. Maka konsekuensinya adalah semakin orang banyak mentahdzir, berarti kualitas Ahlussunnahnya baik. Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin yang jelas-jelas salafi saja masih ada orang meragukan keahlussunnahan beliau hanya ‘gara-gara’ tidak/jarang mentahdzir di pengajiannya, apalagi orang yang kedudukannya di bawah beliau.

Oleh karena tahdzir-mentahdzir termasuk fardhu kifayah, maka kita katakan: Cukup antum saja, wahai ustadz, yang mentahdzir ahlul bida’ wal ahwa’. Karena kita percaya dan yakin bahwa antum pakar dalam bidang ini dan boleh jadi bantahan antum terhadap ahlul bida’ lebih baik dan memuaskan. Cukup kami menukil bantahan dan tahdziran antum saja. Itung-itung menghemat tenaga dan pikiran. Di sana masih banyak orang-orang awam yang masih perlu dibenahi dan dibimbing.

Di antara hal yang perlu ‘disyarah’ dalam tulisan ini adalah penilian keliru penulis duduk bersama ahlul bida’ dalam mengisi suatu pengajian. Hal ini perlu dirinci, tidak boleh dihukumi secara mutlak keliru. Jika kajiannya itu mendukung langkah bid’ah, maka barang tentu hal ini tercela. Namun jika yang dibahas adalah sesuatu yang haq, maka ini tidak boleh disalahkan

Adapun menyalahkan seorang salafi tidak mendakwahi ahlul bida’ di sampingnya, maka ini lain bab.

Berikutnya, penulis mencela bekerja sama dengan ahli bid’ah secara mutlak. Ini juga keliru. Seharusnya penulis bersikap adil dalam menghukumi sesuatu.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Maidah: 008)

Sebaiknya sang ustadz melihat dulu kerja sama dalam bentuk apa dulu. Jika kerja sama tersebut justru lebih menguntungkan Ahlussunnah, kenapa tidak? Namun jika sebaliknya, tentu hal ini sangat-sangat tidak diperbolehkan. Dan umumnya kerja sama para ustadz kita adalah kerjasama jenis pertama.

Sebenarnya masih banyak hal yang ingin saya paparkan di sini, namun saya rasa sampai di sini sudah cukup untuk siapa saja yang menghendaki kebaikan. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjarh atau menta’dil seseorang atau suatu kelompok, namun tulisan ini dimaksudkan agar saya dan pembaca memperoleh nasihat untuk selalu bersikap adil dalam menilai sesuatu. Jangan gegabah dalam bertindak, namun bersikap hikmahlah dalam bersikap dan berkehendak.

"Aku tidak akan bisa selamat dari sasaran tukang cela, sekalipun aku berlindung di dalam gua di atas bukit. Siapakah yang dapat selamat dari celaan manusia, sekalipun dia sudah menyingkir di sarang burung.”

By: Al Marwadi




Upload Ulang:
→ Citramas, Bandung.