Tidak Boleh Menghina dan Menyebarkan Aib atau Keburukan Penguasa Dzalim di
Muka Umum
Hendaknya diketahui bahwa stabilitas masyarakat Islam dibangun di atas dua pilar pokok: (1) ketaatan terhadap Allah Ta’ala dan Rasul-Nya; dan (2) ketaatan terhadap para ulama dan para penguasa (pemerintah).
Allah Ta’ala befirrman,
Ayat di atas memerintahkan kita untuk taat kepada pemilik otoritas kekuasaan atau pemilik kewenangan atas masyarakat, dengan nama (sebutan) apa pun, baik itu disebut presiden, gubernur, bupati, menteri, raja atau sebutan-sebutan yang lainnya. Karena merekalah yang secara riil memiliki kewenangan mengatur urusan rakyat, memiliki hak untuk memerintah aparat kepolisian, tentara atau lainnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Imam Malik rahimahullahu Ta’ala dan lainnya menambahkan untuk poin yang ke tiga,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Lihatlah bagaimana petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kita hidup tenang dan terbebas dari hati yang memiliki al-ghill (perasaan dongkol, jengkel, permusuhan, dan semacamnya), agar tidak terbebani banyak pikiran. Salah satu caranya adalah dengan menginginkan kebaikan kepada para penguasa. Yang dia pikirkan bukan hanya kejelekan dan kebobrokan penguasa, mengapa kondisinya begini dan mengapa kondisinya begitu. Karena hal itu hanya akan membuat hatinya sempit. Akan tetapi, mereka juga memikirkan kebaikan yang ada pada penguasa mereka dan bersabar atas kedzaliman mereka (itupun kalau mereka benar-benar telah berbuat dzalim).
Berdasarkan hadits di atas, maka mencela dan menghina penguasa hanya akan menimbulkan perpecahan dan menimbulkan kebencian dalam hati rakyat, sehingga rakyat akan seenaknya saja berbuat kerusakan, tersebarlah kekacauan dan hilanglah rasa aman. Karena jika rakyat benar-benar menginginkan kebaikan atas pemimpinnya, maka bagaimana mungkin mereka kemudian mencela, menghina atau merendahkan pemimpinnya di muka umum? Semua perbuatan ini menunjukkan bahwa mereka tidak menginginkan kebaikan, namun hanya menginginkan kekacauan dan keburukan, dan menjatuhkan kehormatan sang penguasa.
Diriwayatkan dari sahabat Tamim Ad-Daari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
Al-Khaththabi rahimahullahu Ta’ala berkata,
Oleh karena itu, marilah kita merenungkan, ketika kita mencela dan merendahkan penguasa di hadapan masyarakat umum, sebetulnya kita sedang menghendaki kebaikan atau sebaliknya, yaitu menghendaki keburukan?
Sahl At-Tusturi rahimahullahu Ta’ala mengatakan,
Beliau rahimahullahu Ta’ala juga mengatakan,
Maksudnya, kelompok yang selamat tersebut tidaklah menjadikan penguasa sebagai musuh.
Imam Al-Barbahari rahimahullahu Ta’ala berkata,
Baca pembahasan selanjutnya: Petunjuk Nabi dalam Menyikapi Penguasa Muslim yang Dzalim (Bag. 4)
***
Diselesaikan di siang hari, Lab EMC Rotterdam NL, 25 Rajab 1439/ 12 April 2018
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.Or.Id
Referensi:
Khaqiqatul Khawarij fi Asy-Syar’i wa ‘Abra At-Taarikh, karya Syaikh Faishal Qazaar Al-Jaasim, hal. 137-139 (penerbit Al-Mabarrah Al-Khairiyyah li ‘Uluumi Al-Qur’an wa As-Sunnah, cetakan pertama tahun 1428)
Sumber: https://muslim.or.id/38941-petunjuk-nabi-dalam-menyikapi-penguasa-muslim-yang-dzalim-03.html
Hendaknya diketahui bahwa stabilitas masyarakat Islam dibangun di atas dua pilar pokok: (1) ketaatan terhadap Allah Ta’ala dan Rasul-Nya; dan (2) ketaatan terhadap para ulama dan para penguasa (pemerintah).
Allah Ta’ala befirrman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai
orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, taatlah kalian kepada
Rasul dan ulil amri di antara kalian.” (QS.
An-Nisa’ [4]: 59)Ayat di atas memerintahkan kita untuk taat kepada pemilik otoritas kekuasaan atau pemilik kewenangan atas masyarakat, dengan nama (sebutan) apa pun, baik itu disebut presiden, gubernur, bupati, menteri, raja atau sebutan-sebutan yang lainnya. Karena merekalah yang secara riil memiliki kewenangan mengatur urusan rakyat, memiliki hak untuk memerintah aparat kepolisian, tentara atau lainnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا،
وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلَاثًا، فَيَرْضَى لَكُمْ: أَنْ تَعْبُدُوهُ، وَلَا
تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلَا
تَفَرَّقُوا، وَيَكْرَهُ لَكُمْ: قِيلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ،
وَإِضَاعَةِ الْمَالِ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala meridhai atas kalian tiga perkara
dan membenci tiga perkara atas kalian. (Pertama) Allah ridha kalian
menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. (Ke dua)
kalian berpegang teguh dengan tali (agama) Allah dan jangan berpecah belah.
Lalu Allah membenci atas kalian, (pertama) berita burung yang tidak jelas; (ke
dua) banyak bertanya yang tidak ada gunanya (atau banyak meminta harta orang
lain, pen.); dan (ke tiga) menyia-nyiakan (membuang-buang) harta.” (HR.
Muslim no. 1715)Imam Malik rahimahullahu Ta’ala dan lainnya menambahkan untuk poin yang ke tiga,
وَأَنْ تُنَاصِحُوا مَنْ وَلَّاهُ اللهُ
أَمْرَكُمْ
“Dan hendaklah kalian menginginkan
kebaikan (memberikan nasihat) kepada orang yang Allah Ta’ala berikan kepadanya
kekuasaan untuk mengatur urusan kalian.” (HR. Malik dalam Al-Muwaththa’ no.
1796, Ahmad 2/327, Ibnu Hibban dalam Shahih 8/182, Abu ‘Uwanah
dalam Musnad 4/165 dan Al-Baihaqi dalam Sunan
Al-Kubra 8/163)Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ
مُسْلِمٍ: إِخْلَاصُ العَمَلِ لِلَّهِ، وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ المُسْلِمِينَ،
وَلُزُومُ جَمَاعَتِهِمْ، فَإِنَّ الدَّعْوَةَ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ
“Ada tiga hal yang jika terdapat
dalam diri seseorang, maka dia akan terbebas dari al-ghill (yaitu, menghendaki kejelekan untuk orang lain atau permusuhan yang
tersembunyi, pen.), yaitu (1) seseorang beramal ikhlas karena Allah
Ta’ala; (2) menginginkan kebaikan (memberikan
nasihat)
kepada para pemimpin kaum muslimin; dan (3) komitmen dengan jamaah
kaum muslimin (yaitu jamaah kaum muslimin di atas satu
komando pemimpin yang sah, pen.). Karena seruan itu meliputi dari
belakang mereka (maksudnya,
ketika seorang pemimpin telah diangkat sebagai penguasa oleh yang berhak
mengangkatnya, maka kewajiban taat mengikat semua kaum muslimin, pen.) (HR. Tirmidzi no. 2658, Ibnu Majah no. 230,
Ahmad 3/225, hadits shahih)Lihatlah bagaimana petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kita hidup tenang dan terbebas dari hati yang memiliki al-ghill (perasaan dongkol, jengkel, permusuhan, dan semacamnya), agar tidak terbebani banyak pikiran. Salah satu caranya adalah dengan menginginkan kebaikan kepada para penguasa. Yang dia pikirkan bukan hanya kejelekan dan kebobrokan penguasa, mengapa kondisinya begini dan mengapa kondisinya begitu. Karena hal itu hanya akan membuat hatinya sempit. Akan tetapi, mereka juga memikirkan kebaikan yang ada pada penguasa mereka dan bersabar atas kedzaliman mereka (itupun kalau mereka benar-benar telah berbuat dzalim).
Berdasarkan hadits di atas, maka mencela dan menghina penguasa hanya akan menimbulkan perpecahan dan menimbulkan kebencian dalam hati rakyat, sehingga rakyat akan seenaknya saja berbuat kerusakan, tersebarlah kekacauan dan hilanglah rasa aman. Karena jika rakyat benar-benar menginginkan kebaikan atas pemimpinnya, maka bagaimana mungkin mereka kemudian mencela, menghina atau merendahkan pemimpinnya di muka umum? Semua perbuatan ini menunjukkan bahwa mereka tidak menginginkan kebaikan, namun hanya menginginkan kekacauan dan keburukan, dan menjatuhkan kehormatan sang penguasa.
Diriwayatkan dari sahabat Tamim Ad-Daari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الدِّينُ النَّصِيحَةُ
“Agama adalah nasihat.” Kemudian para sahabat bertanya, “Untuk
siapa (wahai Rasulullah)?”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ
وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Untuk
Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan masyarakat pada
umumnya.” (HR. Muslim no. 55)Al-Khaththabi rahimahullahu Ta’ala berkata,
النصيحةُ كلمةٌ يُعبر بها عن جملة هي
إرادةُ الخيرِ للمنصوح له
“Nasihat
adalah perkataan (kalimat) yang disampaikan untuk menghendaki kebaikan bagi
orang yang diberi nasihat.” (Jami’ul ‘Uluum wal Hikam, 1/219)Oleh karena itu, marilah kita merenungkan, ketika kita mencela dan merendahkan penguasa di hadapan masyarakat umum, sebetulnya kita sedang menghendaki kebaikan atau sebaliknya, yaitu menghendaki keburukan?
Sahl At-Tusturi rahimahullahu Ta’ala mengatakan,
لا يزال الناس بخير ما عظموا السلطان
والعلماء، فإذا عظموا هذين أصلح الله دنياهم وأخراهم، وإذا استخفوا بهذين أفسد
دنياهم وأخراهم
“Kaum
muslimin akan senantiasa berada di atas kebaikan selama mereka memuliakan
penguasa dan ulama. Jika mereka memuliakan keduanya, maka Allah Ta’ala akan
memperbaiki dunia dan akhirat mereka. Jika mereka meremehkannya, maka rusaklah
dunia dan akhirat mereka.” (Tafsir Al-Qurthubi, 5/260)Beliau rahimahullahu Ta’ala juga mengatakan,
هذه الأمة ثلاث وسبعون فرقة: اثنتان
وسبعون هالكة، كلّهم يبغض السلطان، والناجية هذه الواحدة التي مع السلطان
“Umat ini akan berpecah menjadi tujuh
puluh tiga kelompok. Tujuh puluh dua kelompok akan binasa, mereka semua
(sepakat untuk) membenci penguasa. Adapun satu kelompok yang selamat, mereka
selalu bersama penguasa (tidak
membenci penguasa, pen.).” (Quut
Al-Quluub, 2/242)Maksudnya, kelompok yang selamat tersebut tidaklah menjadikan penguasa sebagai musuh.
Imam Al-Barbahari rahimahullahu Ta’ala berkata,
وإذا رأيت الرجل يدعو على السلطان فاعلم
أنه صاحب هوى، وإذا رأيت الرجل يدعو للسلطان بالصلاح فاعلم أنه صاحب سنة
“Jika Engkau melihat seseorang yang
mendoakan jelek kepada penguasa, maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang
pengikut hawa nafsu (ahli bid’ah). Jika Engkau melihat ada seseorang yang
mendoakan kebaikan kepada penguasa, maka ketahuilah bahwa dia di atas sunnah
(petunjuk Nabi).” (Syarhus Sunnah, hal. 113)Baca pembahasan selanjutnya: Petunjuk Nabi dalam Menyikapi Penguasa Muslim yang Dzalim (Bag. 4)
***
Diselesaikan di siang hari, Lab EMC Rotterdam NL, 25 Rajab 1439/ 12 April 2018
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel: Muslim.Or.Id
Referensi:
Khaqiqatul Khawarij fi Asy-Syar’i wa ‘Abra At-Taarikh, karya Syaikh Faishal Qazaar Al-Jaasim, hal. 137-139 (penerbit Al-Mabarrah Al-Khairiyyah li ‘Uluumi Al-Qur’an wa As-Sunnah, cetakan pertama tahun 1428)
Sumber: https://muslim.or.id/38941-petunjuk-nabi-dalam-menyikapi-penguasa-muslim-yang-dzalim-03.html