Dalam ilmu agama
terdapat beberapa perbedaan pendapat atau yang disebut dengan
ikhtilaf/khilaf. Terdapat beberapa jenis ikhtilaf/khilaf yang harus
diketahui agar kita bijak dalam menyikapinya. Sebagian orang ada yang
siap belajar akan tetapi tidak siap menerima perbedaan pendapat.
Akhirnya ia kaku, ingin menang sendiri dan mencela pendapat yang
bersebrangan dengan dia, padahal permasalahan itu adalah masalah
ikhtilaf mu’tabar. Secara umum khilaf ada beberapa jenis:
1. Khilaf Tanawwu’ (variasi)
Yaitu khilaf hanya sekedar perbedaan bahasa dan pengungkapan saja.
Intinya sama dan maksudnya sama. Contohnya: Tafsir “ash-shiratal
mustaqim” dalam al-fatihah, beberapa ahli tafsir menafsirkan
bermacam-macam yaitu Al-Quran, Islam, As-sunnah, Al-jama’ah. Ini
hakikatnya sama
2. Khilaf Tadhad
Yaitu khilaf yang benar-benar bertentangan dan tidak bisa
dikombinasikan lagi. Dalam menyikapi hal ini perlu ilmu juga dan perlu
bijaksana. Khilaf jenis ini terbagi menjadi dua yaitu khilaf mu’tabar
(teranggap) dan ghairu mu’tabar (tidak teranggap).
3. Khilaf Mu’tabar
Yaitu masing-masing pendapat memiliki dalil sesuai dengan cara
berdalil yang benar. Ulama yang berdalil dan mengambil pendapat tersebut
juga mu’tabar (teranggap) keilmuannya.
Asy-Syathibi menjelaskan bahwa masing-masing bersumber dari Al-Quran dan Sunnah dengan pemahaman yang benar. Beliau rahimahullah berkata,
إنما يعد في الخلاف : الأقوال الصادرة عن أدلة معتبرة في الشريعة
“Yang teranggap (mu’tabar) pada khilaf adalah pendapat
yang bersumber dari dalil-dalil yang sesuai dengan
syari’at.” [Al-Asybah wan Nadza-ir 1/112]
Menyikapi khilaf jenis ini perlu bijaksana, saling berlapang dada dan
tidak kaku serta tidak mencela orang lain yang bersebrangan dengan
pendapat dirinya. Terkadang seseorang merasa dialah yang paling benar
yang tercermin dengan mencela orang lain dan menyampaikan pendapatnya
dengan sombong dan kasar, padahal bisa jadi ia yang belum membaca dan
mempelari pendapat ulama lain yang juga memiliki dalil dan hujjah yang
kuat juga.
Orang yang terlalu kaku dalam agama bisa jadi adalah orang yang belum
belajar banyak dan belum menguasai fiqih dengan baik. Qatadah (seorang
tabi’in) berkata,
مَنْ لَمْ يَعْرَفِ الِاخْتِلَافَ لَمْ يَشُمَّ رَائِحَةَ الْفِقْهِ بِأَنْفِهِ
”Orang yang belum mengetahui perbedaan (pendapat ulama), berarti hidungnya belum mencium baunya ilmu fiqih“. [Jami’ Bayanil Ilmi 2/814-815]
- Bangkit dari shalat dengan membuka tangan atau mengepalkan tangan
- Shalat tarawih 11 atau 23 rakaat
4. Khilaf Ghairu Mu’tabar
Khilaf yang tidak teranggap, karena salah satu yang bertentangan
tidak berdasarkan dalil dan yang berpendapat juga tidak teranggap
keilmuannya.
- Syiah mengatakan mayoritas sahabat Nabi shallallahu alaihi wa salam kafir sedangkan ahlus sunnah menyatakan semua sahabat adalah muslim dan adil
- Nikah tanpa wali, yang benar adalah wali syarat sah nikah
Dari berbagai jenis khilaf ini tentu kita perlu mencari tahu dengan
belajar mana yang paling rajih/tepat. Hendaknya kita banyak berdoa
memohon kepada Allah agar benar-benar diberi taufik mengetahui mana yang
paling benar/rajih dan mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)
1. Selama orang tersebut masih muslim, maka walaupun kita berbeda
pendapat dengannya, ia masih berhak mendapat persaudaraan dalam Islam
seperti dijaga kehormatannya, tidak boleh dicela dan tidak diolok-olok
(ini hukum asalnya). Imam Asy-Syafi’i pernah berkata pada Abu Musa,
يَا أَبَا مُوْسَى، أَلاَ يَسْتَقِيْمُ أَنْ نَكُوْنَ إِخْوَانًا وَإِنْ لَمْ نَتَّفِقْ فِيْ مَسْأَلَةٍ
“Wahai Abu Musa, bukankah kita tetap bersaudara (bersahabat) meskipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?” [Siyar A’lamin Nubala’, 10: 16]
2. Kita tidak boleh memilih-milih pendapat yang sesuai selera kita
apabila ada beberapa perbedaan pendapat. Kita harus konsisten sesuai
dengan mahzab dan kaidah yang kita pakai.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata,
من تتبع ما اختلف فيه العلماء ، وأخذ بالرخص من أقاويلهم ، تزندق ، أو كاد
“Barangsiapa yang mencari-cari pada perselisihan ulama
pendapat yang “ringan”/rukhshah maka ia akan binasa atau
hampir binasa” [Ighatsatul Lahfan 1/228]