Wanita Istihadah dan Cara Bersucinya?
Wanita yang mengalami Istihadah, mendapatkan keringanan dalam bersuci. Mengingat darah tersebut sering keluar, sehingga sangat menyusahkan bila diwajibkan berwudhu dan membersihkan diri setiap kali darah itu keluar.
Sementara Islam adalah agama yang memberikan kemudahan kepada penganutnya. Allah ‘azza wa jala berfirman,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَج
Dia (Tuhanmu) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama ini suatu kesempitan. (QS. al Haj: 78).
Dari ayat ini kemudian para ulama menyimpulkan sebuah kaidah fikih,
المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
“Sebuah kesulitan akan menjadi sebab datangnya kemudahan dan keringanan.”
Cara Bersuci Wanita Istihadah
Cara berwudhu untuk wanita mustahadoh adalah dengan melakukan dia hal berikut :
[1] Cukup berwudhu setiap masuk waktu sholat.
[2] Membasuh kemaluan dan bagian tubuh yang terkena darah. Kemudian mengenakan pembalut, agar tidak menyebar semampunya.
Pertama, berwudhu setiap masuk waktu sholat.
Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada Fatimah bintu Abu Hubaisy, saat bertanya kepada Nabi perihal istihadah yang beliau alami,
ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ حَتَّى يَجِيءَ ذَلِكَ الْوَقْتُ
“Berwudhulah kamu setiap kali shalat hingga waktu itu tiba.”
(HR. Bukhori no. 226)
Maksudnya, setiap kali masuk waktu sholat. Karena lam dalam kalimat likulli untuk menunjukkan waktu (lit tauqit). Seperti dalam firman Allah ta’ala,
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Dirikanlah shalat diwaktu telah tergelincirnya matahari, sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (QS. al Isra’: 78). (Lihat: Syarah Abi Dawud 2/86, karya al ‘Aini).
Ketentuan ini berlaku apabila hadast tersebut keluar setelah berwudhu. Adapun bila tidak keluar, maka boleh menggunakan wudhu sholat sebelumnya untuk sholat berikutnya.
Al Mardawi rahimahullah dalam kitab al Inshaf menjelaskan,
مراده بقوله: “وتتوضأ لوقت كل صلاة ” إذا خرج شيء بعد الوضوء ؛ فأما إذا لم يخرج شيء فلا تتوضأ على الصحيح من المذهب.
“Berwudhu setiap masuk waktu sholat.”, maksudnya adalah, apabila setelah wudhu tersebut keluar sesuatu (hadast). Adapun bila tidak keluar, maka tidak wajib wudhu kembali menurut pendapat yang shahih dalam mazhab (hambali).” (al Inshof fi Ma’rifati ar Rajih min al Khilaf, 1/286).
Kedua, membasuh kemaluan dan bagian tubuh yang terkena darah. Kemudian mengenakan pembalut.
Landasannya adalah hadis Aisyah radhiyallahu’anha yang mebceritakan tentang Fatimah bintu Abu Hubaisy, saat bertanya kepada Nabi perihal istihadah yang beliau alami, apakah menyebabkan tidak sholat. Nabi menjawab,
لَا إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيَْس بِحَيْض فَدَعِي اَلصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ اَلدَّمَ ثُمَّ صَلِّي
“Tidak, itu hanyalah darah penyakit, bukan darah haid. Bila haidmu datang tinggalkanlah shalat. Dan bila darah itu berlanjut (dari jadwal haidmu), maka bersihkanlah dirimu dari darah itu, lalu shalatlah.” (Muttafaqun ‘alaih).
al Harowi rahimahullah menerangkan,
( فاغسلي عنك الدم ) أي أثر دم الاستحاضة واغتسلي مرة واحدة ، ولعل الاكتفاء بغسل الدم دون غسل انقطاع الحيض
“Bersihkanlah dirimu dari darah itu, maksudnya dari bekas darah istihadah, dengan sekali basuhan. Barangkali maksudnya adalah membasuh bagian yang terkena darah saja, bukan mandi seperti mandi karena berhenti dari haid.” (Mirqoh al Matafih Syarh Misykah al Mashobih, 2/499).
Apakah harus membasuh kemaluan atau mengganti pembalut setiap masuk waktu sholat berikutnya?
Selama ia sudah berusaha maksimal dalam membersihkan najis kemudian menjaga najis supaya tidak menyebar dengan mengenakan pembalut, maka tidak harus diulang. Kalaupun ingin mengulangi, itu sebatas anjuran.
Kecuali bila ada keteledoran, maka ia diharuskan mengulang. Inilah pendapat yang dipegang oleh ulama Hanabilah dan yang kami pilih dalam masalah ini, wallahua’lam.
Kecuali bila ada keteledoran, maka ia diharuskan mengulang. Inilah pendapat yang dipegang oleh ulama Hanabilah dan yang kami pilih dalam masalah ini, wallahua’lam.
Dalam kitab Matholib Ulin Nuha, diterangkan,
ولا يلزم إعادة غسل , ولا إعادة تعصيب لكل صلاة حيث لا تفريط في الشد ; لأن الحدث مع غلبته وقوته لا يمكن التحرز منه
“Tidak harus membasuh ulang, juga tidak harus mengganti pembalut setiap kali sholat, selama tidak teledor dalam mengenakan pembalut (sehingga hadast benar-benar terjaga, pent). Mengingat hadast tersebut sering keluar, maka tidak mungkin untuk dihindari.”
Kemudian diterangkan,
فإن فرّط في الشد , وخرج الدم بعد الوضوء لزمت إعادته ; لأنه حدث أمكن التحرز منه
“Namun bila ia teledor dalam mengenakan pembalut, dan darah (istihadoh) keluar setelah wudhu, maka wajib mengulang wudhu dan mencuci kemaluan kembali. Karena ia (dihukumi kondisi) berhadas yang mungkin dihindari.” (Matholib Ulin Nuha 1/263).
Dalilnya adalah perkataan Aisyah radhiyallahu’anha,
اعْتَكَفَتْ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ امْرَأَةٌ مِنْ أَزْوَاجِهِ فَكَانَتْ تَرَى الدَّمَ وَالصُّفْرَةَ وَالطَّسْتُ تَحْتَهَا وَهِيَ تُصَلِّي
” Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah beri’tikaf bersama salah seorang isteri beliau. Ia melihat ada darah dan cairan berwarna kekuningan. Lalu di bawahnya diletakkan baskom sementara ia tetap mengerjakan shalat.” (HR. Bukhori).
” Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah beri’tikaf bersama salah seorang isteri beliau. Ia melihat ada darah dan cairan berwarna kekuningan. Lalu di bawahnya diletakkan baskom sementara ia tetap mengerjakan shalat.” (HR. Bukhori).
Beliau melakukan ini tentu setelah berusaha maksimal. Dan Nabi tidak melarangnya.
Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah (no. 53090) diterangkan,
وفي هذا يسر على المرأة، وعليه فلا حرج عليك أن تأخذي به، لأن الله يقول: وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ [سورة الحـج: 78].
“Pendapat ini memberi kemudahkan bagi para wanita. Oleh karenanya tidak masalah Anda mengikuti pendapat ini. Karena Allah berfirman, “Dia (Tuhanmu) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama ini suatu kesusahan. (QS. al Haj: 78).”
Kapan Wudhunya Batal?
Wudhunya batal dikarenakan dua sebab berikut :
[1] Keluar dari waktu shalat.
[2] Keluar hadats lain selain darah Istihadah.
Misalkan dia berwudhu untuk sholat Subuh. Maka ketika terbit matahari, otomatis wudhunya batal karena telah keluar dari waktu subuh. Oleh karena itu apabila ingin sholat dhuha, wajib beruwudhu kembali.
Hal ini berdasarkan hadis,
ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ حَتَّى يَجِيءَ ذَلِكَ الْوَقْتُ
“Berwudhulah kamu setiap masuk waktu shalat hingga waktu itu tiba.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi).
Pada hadis ini dijelaskan bahwa keabsahan wudhu wanita mustahadoh dikaitkan dengan waktu sholat. Sehingga apabila telah keluar dari waktu sholat, maka wudhu batal.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin saat ditanya apakah boleh bagi wanita yang mengalami uzur karena hadast yang sering keluar, menggunakan wudhu subuh untuk sholat dhuha. Beliau menjawab,
لا يصح ذلك، لأن صلاة الضحى مؤقتة، فلابد من الوضوء لها بعد دخول وقتها، لأن هذه المرأة كالمستحاضة، وقد أمر النبي صلى الله عليه وسلم ، المستحاضة أن تتوضأ لكل صلاة ،
“Seperti itu tidak boleh. Karena waktu sholat dhuha itu sendiri (sudah keluar dari waktu subuh). Ia harus berwudhu kembali untuk sholat dhuha setelah masuk waktunya. Kondisk wanita ini seperti wanita mustahadoh. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan wanita mustahadoh untuk berwudhu setiap masuk waktu shalat.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail al ‘Utsaimin no. 241, 11/286)
Kemudian keluar hadats lain selain darah Istihadah. Seperti (mohon maaf) keluar gas kentut, maka wudhunya batal. Meskipun ia masih di dalam waktu sholat yang sama. Karena kentut adalah hadats normal yang menyebabkan batalnya wudhu. Sehingga ia dikembalikan ke hukum normal.
Keringanan Ini Juga Berlaku Untuk Hadas Daa-im Lainnya
Hadast Daa-im adalah keadaan berhadats yang terus-menerus atau sulit dihindari. Seperti tetesan air seni (sulasul baul), cairan keputihan atau cairan madzi, yang sering keluar. Bagi mereka yang mengalami keadaan seperti ini, ia mendapatkan keringanan dalam hal wudhunya, seperti keringanan yang didapat wanita mustahadoh.
Syaikh Abdulaziz Alu Syaikh (Musti kerajaan Saudi Arabia) menerangkan,
وقد أخذ العلماء من هذا الحديث أن أصحاب الأعذار ممن حدثهم دائم لهم نفس حكم المستحاضة من جهة الوضوء لوقت كل صلاة، مع التحفظ لئلا يصيب اليدين أو الثوب أو البقعة التي يصلي عليها شيء من النجاسة.
“Dari hadis ini (hadis tentang Fatimah bintu Abu Hubaisy di atas, pent), para ulama menyimpulkan bahwa orang-orang yang beruzur, karena mengalami hadast daa-im, mendapatkan hukum yang sama seperti wanita mustahadoh. Maksudnya dalam hal wudhu setiap kali masuk waktu sholat dan mengenakan pembalut (atau yang sejenis) supaya najis tersebut tidak mengenai tangan, baju atau tempat sholat.”
(http://www.mufti.af.org.sa/node/2960)
(http://www.mufti.af.org.sa/node/2960)
Wallahua’lam bis showab.
Madinah An NabawiyahAhmad Anshori
Sumber: https://konsultasisyariah.com/27730-bagaimana-wanita-istihadah-bersuci.html