SEJARAH DAN KEUTAMAAN PUASA ASYURA
Sesungguhnya
hari Asyura (10 Muharram) meski merupkan hari bersejarah dan
diagungkan, namun orang tidak boleh berbuat bid’ah di dalamnya.
Adapun yang dituntunkan syariat kepada kita pada hari itu hanyalah
berpuasa, dengan dijaga agar jangan sampai tasyabbuh dengan orang
Yahudi.
أَنَّ
عَائِشَةَ رَضِي الهُِ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ
تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ الهِن صَلَّى
الهَُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ
وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ …
“Orang-orang
Quraisy biasa berpuasa pada hari asyura di masa jahiliyyah, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melakukannya pada masa
jahiliyyah. Tatkala beliau sampai di Madinah beliau berpuasa pada hari
itu dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa.” [1]
قَدِمَ
النَّبِيُّ صَلَّى الهُم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى
الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا
يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى الهُل بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ
عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى
مِنْكُمْ نَحْنُ نَصُوْمُهُ تَعْظِيْمًا لَهُ
“Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, kemudian beliau
melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya
:”Apa ini?”
Mereka menjawab :”Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana
Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa
pada hari itu sebagai wujud syukur. Maka beliau Rasulullah menjawab :”Aku
lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan
berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu.” [2]
Dua
hadits ini menunjukkan bahwa suku Quraisy berpuasa pada hari Asyura di
masa jahiliyah, dan sebelum hijrahpun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah melakukannya. Kemudian sewaktu tiba di Madinah, beliau
temukan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu, maka Nabi-pun
berpuasa dan mendorong umatnya untuk berpuasa.
Diriwayatkan pada hadits lain.
وَهَذَا يَوْمُ اسْتَوَتْ فِيهِ السَّفِينَةُ عَلَى الْجُودِيِّ فَصَامَهُ نُوحٌ شُكْرًا لِلَّهِ تَعَالَى
“Ia
adalah hari mendaratnya kapal Nuh di atas gunung “Judi”
lalu Nuh berpuasa pada hari itu sebagai wujud rasa syukur”[3]
عَنْ
أَبِي مُوسَى رَضِي الهُل عَنْهُ قَالَ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا
تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا فَقَالَ رَسُولُ الهِ صَلَّى
الهُه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوهُ أَنْتُمْ
“Abu
Musa berkata : “Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang
Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya, maka Rasulllah
Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Puasalah kalian pada
hari itu” [4]
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa di hari
Asyura, maka beliau menjawab : “Puasa itu bisa menghapuskan
(dosa-dosa kecil) pada tahun kemarin” [5]
CARA BERPUASA DI HARI ASYURA
1. Berpuasa selama 3 hari tanggal 9, 10, dan 11 Muharram
Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan lafadz sebagaimana telah disebutkan
oleh Ibnul Qayyim dalam al-Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyyah dalam
al-Muntaqa 2/2:
خَالِفُوا الْيَهُودَ وَصُومُوا يَوْمًا قَبْلَهُ وَ يَوْمًا بَعْدَهُ
“Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya.”
Dan pada riwayat ath-Thahawi menurut penuturan pengarang Al-Urf asy-Syadzi:
صُومُوهُ وَصُومُوا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا وَ لاَ تُشَبِّهُوَا بِالْيَهُوْدِ
“Puasalah
pada hari Asyura dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya dan
janganlah kalian menyerupai orang Yahudi.”
Namun
di dalam sanadnya ada rawi yang diperbincangkan. Ibnul Qayyim berkata
(dalam Zaadud Ma’al 2/76):”Ini adalah derajat yang paling
sempurna.” Syaikh Abdul Haq ad-Dahlawi mengatakan:”Inilah
yang Utama.”
Ibnu
Hajar di dalam Fathul Baari 4/246 juga mengisyaratkan keutamaan cara
ini. Dan termasuk yang memilih pendapat puasa tiga hari tersebut (9, 10
dan 11 Muharram) adalah Asy-Syaukani (Nailul Authar 4/245) dan Syaikh
Muhamad Yusuf Al-Banury dalam Ma’arifus Sunan 5/434
Namun
mayoritas ulama yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan untuk
lebih hati-hati. Ibnul Qudamah di dalam Al-Mughni 3/174 menukil
pendapat Imam Ahmad yang memilih cara seperti ini (selama tiga hari)
pada saat timbul kerancuan dalam menentukan awal bulan.
2. Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram
Mayoritas hadits menunjukkan cara ini:
صَامَ
رَسُولُ الهِع صَلَّى الهُت عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ
وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ الهِس إِنَّهُ يَوْمٌ
تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ الهَِ صَلَّى الهُم
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ
اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ
الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ الهَِ صَلَّى الهَُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan
memerintahkan berpuasa. Para shahabat berkata:”Ya Rasulullah,
sesungguhnya hari itu diagungkan oleh Yahudi.” Maka beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Di tahun depan
insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal 9.”, tetapi sebelum
datang tahun depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
wafat.”[6]
Dalam riwayat lain :
لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لأَصُومَنَّ التَّاسِعَ
“Jika aku masih hidup pada tahun depan, sungguh aku akan melaksanakan puasa pada hari kesembilan.”[7].
Al-Hafidz
Ibnu Hajar berkata (Fathul Baari 4/245) :”Keinginan beliau untuk
berpuasa pada tanggal sembilan mengandung kemungkinan bahwa beliau
tidak hanya berpuasa pada tanggal sembilan saja, namun juga ditambahkan
pada hari kesepuluh. Kemungkinan dimaksudkan untuk berhati-hati dan
mungkin juga untuk menyelisihi kaum Yahudi dan Nashara, kemungkinan
kedua inilah yang lebih kuat, yang itu ditunjukkan sebagian riwayat
Muslim”
عَنْ عَطَاء أَنَّهُ سَمِعَ ابْنِ عَبَاسٍ يَقُوْلُ: وَخَالِفُوا الْيَهُودَ صُومُوا التَّاسِعَ وَ الْعَاشِرَ
“Dari
‘Atha’, dia mendengar Ibnu Abbas berkata:”Selisihilan
Yahudi, berpuasalah pada tanggal 9 dan 10”.
3. Berpuasa Dua Hari yaitu tanggal 9 dan 10 atau 10 dan 11 Muharram
صُومُوا يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا
“Berpuasalah pada hari Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”
Hadits marfu’ ini tidak shahih karena ada 3 illat (cacat):
-. Ibnu Abi Laila, lemah karena hafalannya buruk.
-. Dawud bin Ali bin Abdullah bin Abbas, bukan hujjah
-. Perawi sanad hadits tersebut secara mauquf lebih tsiqah dan lebih hafal daripada perawi jalan/sanad marfu’
Jadi
hadits di atas Shahih secara mauquf sebagaimana dalam as-Sunan
al-Ma’tsurah karya As-Syafi’i no 338 dan Ibnu Jarir
ath-Thabari dalam Tahdzibul Atsar 1/218.
Ibnu
Rajab berkata (Lathaiful Ma’arif hal 49):”Dalam sebagian
riwayat disebutkan atau sesudahnya maka kata atau di sini mungkin
karena keraguan dari perawi atau memang menunjukkan
kebolehan….”
Al-Hafidz
berkata (Fathul Baari 4/245-246):”Dan ini adalahl akhir perkara
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dahulu beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam suka menyocoki ahli kitab dalam hal
yang tidak ada perintah, lebih-lebih bila hal itu menyelisihi
orang-orang musyrik. Maka setelah Fathu Makkah dan Islam menjadi
termahsyur, beliau suka menyelisihi ahli kitab sebagaimana dalam hadits
shahih. Maka ini (masalah puasa Asyura) termasuk dalam hal itu. Maka
pertama kali beliau menyocoki ahli kitab dan berkata :”Kami lebih
berhak atas Musa daripada kalian (Yahudi).”, kemudian beliau
menyukai menyelisihi ahli kitab, maka beliau menambah sehari sebelum
atau sesudahnya untuk menyelisihi ahli kitab.”
Ar-Rafi’i
berkata (at-Talhish al-Habir 2/213) :”Berdasarkan ini, seandainya
tidak berpuasa pada tanggal 9 maka dianjurkan untuk berpuasa pada
tanggal 11″
4. Berpuasa pada 10 Muharram saja
Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/246) :”Puasa
Asyura mempunyai 3 tingkatan, yang terendah berpuasa sehari saja,
tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9, dan tingkatan
diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9 dan 11. Wallahu a’lam.”
BID’AH-BID’AH DI HARI ASYURA
1. Shalat dan dzikir-dzikir khusus, sholat ini disebut dengan sholat Asyura
2. Mandi, bercelak, memakai minyak rambut, mewarnai kuku, dan menyemir rambut.
3. Membuat makanan khusus yang tidak seperti biasanya.
4. Membakar kemenyan.
5. Bersusah-susah dalam kehausan dan menampakkan kesusahannya itu.
6. Doa awal dan akhir tahun yang dibaca pada malam akhir tahun dan awal tahun (Sebagaimana termaktub dalam Majmu’ Syarif)
7. Menentukan berinfaq dan memberi makan orang-orang miskin
8. Memberi uang belanja lebih kepada keluarga.
9. As-Subki berkata (ad-Din al-Khalish 8/417):”Adapun pernyataan
sebagian orang yang menganjurkan setelah mandi hari ini (10 Muharram)
untuk ziarah kepada orang alim, menengok orang sakit, mengusap kepala
anak yatim, memotong kuku, membaca al-Fatihah seribu kali dan
bersilaturahmi maka tidak ada dalil yg menunjukkan keutamaan amal-amal
itu jika dikerjakan pada hari Asyura. Yang benar amalan-amalan ini
diperintahkan oleh syariat di setiap saat, adapun mengkhususkan di hari
ini (10 Muharram) maka hukumnya adalah bid’ah.”
Ibnu
Rajab berkata (Latha’iful Ma’arif hal. 53) : “Hadits
anjuran memberikan uang belanja lebih dari hari-hari biasa,
diriwayatkan dari banyak jalan namun tidak ada satupun yang shahih. Di
antara ulama yang mengatakan demikian adalah Muhammad bin Abdullah bin
Al-Hakam Al-Uqaili berkata :”(Hadits itu tidak dikenal)”.
Adapun mengadakan ma’tam (kumpulan orang dalam kesusahan, semacam
haul) sebagaimana dilakukan oleh Rafidhah dalam rangka mengenang
kematian Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhu maka itu adalah
perbuatan orang-orang yang tersesat di dunia sedangkan ia menyangka
telah berbuat kebaikan. Allah dan RasulNya tidak pernah memerintahkan
mengadakan ma’tam pada hari lahir atau wafat para nabi maka
bagaimanakah dengan manusia/orang selain mereka”
Pada
saat menerangkan kaidah-kaidah untuk mengenal hadits palsu, Al-Hafidz
Ibnu Qayyim (al-Manar al-Munif hal. 113 secara ringkas) berkata :
“Hadits-hadits tentang bercelak pada hari Asyura, berhias,
bersenang-senang, berpesta dan sholat di hari ini dan fadhilah-fadhilah
lain tidak ada satupun yang shahih, tidak satupun keterangan yang kuat
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain hadits puasa.
Adapun selainnya adalah bathil seperti.
مَنْ وَ سَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ
“Barangsiapa
memberi kelonggaran pada keluarganya pada hari Asyura, niscaya Allah
akan memberikan kelonggaran kepadanya sepanjang tahun”.
Imam
Ahmad berkata : “Hadits ini tidak sah/bathil”. Adapun
hadits-hadits bercelak, memakai minyak rambut dan memakai
wangi-wangian, itu dibuat-buat oleh tukang dusta. Kemudian golongan
lain membalas dengan menjadikan hari Asyura sebagai hari kesedihan dan
kesusahan. Dua goloangan ini adalah ahli bid’ah yang menyimpang
dari As-Sunnah. Sedangkan Ahlus Sunnah melaksanakan puasa pada hari itu
yang diperintahkan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
menjauhi bid’ah-bid’ah yang diperintahkan oleh
syaithan”.
Adapun
shalat Asyura maka haditsnya bathil. As-Suyuthi dalam Al-Lali 2/29
berkata : “Maudhu’ (hadits palsu)”. Ucapan beliau ini
diambil Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmu’ah hal.47. Hal
senada juga diucapkan oleh Al-Iraqi dalam Tanzihus Syari’ah 2/89
dan Ibnul Jauzi dalam Al-Maudlu’ah 2/122
Ibnu
Rajab berkata (Latha’ful Ma’arif) : “Setiap riwayat
yang menerangkan keutamaan bercelak, pacar, kutek dan mandi pada hari
Asyura adalah maudlu (palsu) tidak sah. Contohnya hadits yang dikatakan
dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu secara marfu.
غْتَسَلَ وَ تَطَهَّرَ فِي يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ لَمْ يَمْرَضْ فِي سَنَتِهِ إِلاَّ مَرَضَ الْمَوْتِ
“Barangsiapa
mandi dan bersuci pada hari Asyura maka tidak akan sakit di tahun itu
kecuali sakit yang menyebabkan kematian”.
Hadits ini adalah buatan para pembunuh Husain.
Adapun hadits,
ِمَنِ اكْتَحَلَ بِالإِثْمِدِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ لَمْ تَرْمِدْ عَيْنُهُ أَبَدًا
“Barangsiapa bercelak dengan batu ismid di hari Asyura maka matanya tidak akan pernah sakit selamanya”
Maka ulama seperti Ibnu Rajab, Az-Zakarsyi dan As-Sakhawi menilainya sebagai hadits maudlu (palsu).
Hadits
ini diriwayatkan Ibnul Jauzi dalam Maudlu’at 2/204. Baihaqi dalam
Syu’abul Iman 7/379 dan Fadhail Auqat 246 dan Al-Hakim
sebagaimana dinukil As-Suyuthi dalam Al-Lali 2/111. Al-Hakim berkata :
“Bercelak di hari Asyura tidak ada satu pun atsar/hadits dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan hal ini adalah
bid’ah yang dibuat oleh para pembunuh Husain Radhiyallahu
‘anhu.
Demikianlah sedikit pembahasan tentang hari Asyura. Semoga kita bisa meninggalkan bid’ah-bid’ahnya. Amin
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun V/1421H/2001M. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[*]. Diolah oleh Aris Munandar bin S Ahmadi, dari kitab Rad’ul Anam Min Muhdatsati Asyiril Muharram Al-Haram, karya Abu Thayib Muhammad Athaullah Hanif, tahqiq Abu Saif Ahmad Abu Ali
[1]. Hadits Shahih Riwayat Bukhari 3/454, 4/102-244, 7/147, 8/177,178, Ahmad 6/29, 30, 50, 162, Muslim 2/792, Tirmidzi 753, Abu Daud 2442, Ibnu Majah 1733, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/319,320, Al-Humaidi 200, Al-Baihaqi 4/288, Abdurrazaq 4/289, Ad-Darimy 1770, Ath-Thohawi 2/74 dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya 5/253
[2]. Hadits Shahih Riwayat Bukhari 4/244, 6/429, 7/274, Muslim 2/795, Abu Daud 2444, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/318, 319, Ahmad 1/291, 310, Abdurrazaq 4/288, Ibnu Majah 1734, Baihaqi 4/286, Al-Humaidi 515, Ath-Thoyalisi 928
[3]. Hadits Riwayat Ahmad 2/359-360 dengan jalan dari Abdusshomad bin Habib Al-Azdi dari bapaknya dari Syumail dari Abu Hurairah, Abdusshomad dan bapaknya keduanya Dha’if.
[4]. Hadits Shahih Riwayat Bukahri 4/244, 7/274, Muslim 2/796, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/322 dan Al-Baihaqi 4/289
[5]. Hadits Shahih Riwayat Muslim 2/818-819, Abu Daud 2425, Ahmad 5/297, 308, 311, Baihaqi 4.286, 300 Abdurrazaq 4/284, 285
[6]. Hadits Shahih Riwayat Muslim 2/796, Abu Daud 2445, Thabary dalam Tahdzibul Atsar 1/24, Baihaqi dalam Al-Kubra 4/287 dan As-Shugra 2/119 serta Syu’abul Iman 3506 dan Thabrabi dalam Al-Kabir 10/391
[7]. Hadits Shahih Muslim 2/798, Ibnu Majah 736, Ahmad 1/224, 236, 345, Baihaqi 4/287, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushanafnya 3/58, Thabrani dalam Al-Kabir 10/401, Thahawi 2/77 dan lain-lain
[8]. Abdurrazaq 4/287, Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar 2/78, Baihaqi dalam Sunan Kubra 4/287 dan dalam Syu’abul Iman 3509 dari jalan Ibnu Juraij, Atha telah mengabariku …. Sanadnya shahih. Ada juga muttabi dalam riwayat Qasim Al-Bhagawi dalam Al-Hadits Ali Ibnil Ja’di 2/886 dengan sanad shahih
[9]. Hadits Dhaif, riwayat Ahmad 1/241, Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 2095, Thahawi 2/78, Bazar 1052 dalam Kasyfil Atsar, Baihaqi 4/278, Thobary dalam Tahdzibul Atsar 1/215, Ibnu Adi dalam Al-Kamil 3/88
Footnote
[*]. Diolah oleh Aris Munandar bin S Ahmadi, dari kitab Rad’ul Anam Min Muhdatsati Asyiril Muharram Al-Haram, karya Abu Thayib Muhammad Athaullah Hanif, tahqiq Abu Saif Ahmad Abu Ali
[1]. Hadits Shahih Riwayat Bukhari 3/454, 4/102-244, 7/147, 8/177,178, Ahmad 6/29, 30, 50, 162, Muslim 2/792, Tirmidzi 753, Abu Daud 2442, Ibnu Majah 1733, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/319,320, Al-Humaidi 200, Al-Baihaqi 4/288, Abdurrazaq 4/289, Ad-Darimy 1770, Ath-Thohawi 2/74 dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya 5/253
[2]. Hadits Shahih Riwayat Bukhari 4/244, 6/429, 7/274, Muslim 2/795, Abu Daud 2444, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/318, 319, Ahmad 1/291, 310, Abdurrazaq 4/288, Ibnu Majah 1734, Baihaqi 4/286, Al-Humaidi 515, Ath-Thoyalisi 928
[3]. Hadits Riwayat Ahmad 2/359-360 dengan jalan dari Abdusshomad bin Habib Al-Azdi dari bapaknya dari Syumail dari Abu Hurairah, Abdusshomad dan bapaknya keduanya Dha’if.
[4]. Hadits Shahih Riwayat Bukahri 4/244, 7/274, Muslim 2/796, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/322 dan Al-Baihaqi 4/289
[5]. Hadits Shahih Riwayat Muslim 2/818-819, Abu Daud 2425, Ahmad 5/297, 308, 311, Baihaqi 4.286, 300 Abdurrazaq 4/284, 285
[6]. Hadits Shahih Riwayat Muslim 2/796, Abu Daud 2445, Thabary dalam Tahdzibul Atsar 1/24, Baihaqi dalam Al-Kubra 4/287 dan As-Shugra 2/119 serta Syu’abul Iman 3506 dan Thabrabi dalam Al-Kabir 10/391
[7]. Hadits Shahih Muslim 2/798, Ibnu Majah 736, Ahmad 1/224, 236, 345, Baihaqi 4/287, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushanafnya 3/58, Thabrani dalam Al-Kabir 10/401, Thahawi 2/77 dan lain-lain
[8]. Abdurrazaq 4/287, Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar 2/78, Baihaqi dalam Sunan Kubra 4/287 dan dalam Syu’abul Iman 3509 dari jalan Ibnu Juraij, Atha telah mengabariku …. Sanadnya shahih. Ada juga muttabi dalam riwayat Qasim Al-Bhagawi dalam Al-Hadits Ali Ibnil Ja’di 2/886 dengan sanad shahih
[9]. Hadits Dhaif, riwayat Ahmad 1/241, Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 2095, Thahawi 2/78, Bazar 1052 dalam Kasyfil Atsar, Baihaqi 4/278, Thobary dalam Tahdzibul Atsar 1/215, Ibnu Adi dalam Al-Kamil 3/88
Share Ulang:
- Jln. Pal Merah 3, Jakarta
- from= https://almanhaj.or.id/2034-hari-asyura-10-muharram-antara-sunnah-dan-bidah.html