Al-Imaam Ibnu Sa’d rahimahullah berkata :
أَخْبَرَنَا
الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْنٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو إِسْرَائِيلَ، عَنِ
الْحَكَمِ، عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ، قَالَ: " إِنَّا لَنُصَلِّي خَلْفَهُمْ
فِي غَيْرِ تَقِيَّةٍ، وَأَشْهَدُ عَلَى عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ أَنَّهُ
كَانَ يُصَلِّي خَلْفَهُمْ فِي غَيْرِ تَقِيَّةٍ "
Telah
mengkhabarkan kepada kami Al-Fadhl bin Dukain, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Abu Israaiil, dari Al-Hakam, dari Abu
Ja’far, ia berkata : “Sesungguhnya kami benar-benar shalat
di belakang mereka (penguasa) tanpa taqiyyah. Dan aku bersaksi atas diri ‘Aliy bin Al-Husain bahwasannya ia juga shalat di belakang mereka tanpa taqiyyah” [Ath-Thabaqaat, 5/110].
Al-Fadhl bin Dukain, tsiqah lagi tsabat. Abu Israaiil (Ismaa’iil bin Khaliifah Al-‘Absiy);shaduuq, namun jelek hapalannya. Al-Hakam bin ‘Utaibah Al-Kindiy; tsiqah lagi tsabat, namun kadang melakukan tadlis.
Riwayat ini dikuatkan oleh :
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ، ثَنَا بَسَّامٌ، قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا جَعْفَرٍ عَنِ الصَّلَاةِ
مَعَ الْأُمَرَاءِ؟ فَقَالَ: صَلِّ مَعَهُمْ، فَإِنَّا نُصَلِّي مَعَهُمْ.
قَدْ كَانَ الْحَسَنُ، وَالْحُسَيْنُ يَبْتَدِرَانِ الصَّلَاةَ خَلْفَ
مَرْوَانَ " قَالَ: فَقُلْتُ: النَّاسُ يَزْعُمُونَ أَنَّ ذَلِكَ تُقْيَةٌ
؟ قَالَ: وَكَيْفَ ؛ إِنْ كَانَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ، يَسُبُّ
مَرْوَانَ فِي وَجْهِهِ، وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ حَتَّى يُوَلَّى "
Telah
menceritakan kami Wakii’ : Telah menceritakan kepada kami
Bassaam, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu Ja’far
tentang shalat bersama para penguasa (umaraa’), lalu ia
menjawab : “Shalatlah bersama mereka, karena sesungguhnya kami
pun shalat bersama mereka. Al-Hasan dan Al-Husain saling mendahului
shalat di belakang Marwaan”. Aku berkata : “Orang-orang
mengatakan bahwa hal itu dilakukan karena taqiyyah”.
Ia menjawab : “Bagaimana bisa, padahal Al-Hasan bin ‘Aliy
mencela/menghardik Marwaan di depannya langsung saat berada di atas
mimbar, hingga ia berpaling” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah
2/378-379 no. 7650; shahih].
Tentang
shalatnya Al-Hasan dan Al-Husain di belakang Marwaan, maka mereka
berdua tidak mengulangnya ketika sampai di rumah, sebagaimana riwayat :
حَدَّثَنَا
حَاتِمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ "
أَنَّ الْحَسَنَ، وَالْحُسَيْنَ كَانَا يُصَلِّيَانِ خَلْفَ مَرْوَانَ،
قَالَ: فَقَالَ: مَا كَانَا يُصَلِّيَانِ إِذَا رَجَعَا إِلَى
مَنَازِلِهِمَا؟ فَقَالَ: لا وَاللَّهِ، مَا كَانَا يَزِيدَانِ عَلَى
صَلاةِ الأَئِمَّةِ "
Telah
menceritakan kepada kami Haatim bin Ismaa’iil, dari Ja’far
bin Muhammad, dari ayahnya : Bahwasannya Al-Hasan dan Al-Husain shalat
di belakang Marwaan. Ada yang berkata : “Tidakkah keduanya
mengulangi shalatnya saat kembali ke tempat kediamannya ?”.
Muhammad bin ‘Aliy berkata : “Tidak demi Allah, keduanya
tidak menambah shalat yang telah mereka lakukan bersama para
pemimpin/penguasa” [Diriwayatkan oleh Asy-Syaafi’iy dalam Al-Musnad no. 298; shahih].
Inilah madzhab Ahlul-Bait. Tetap shalat di belakang penguasa tanpa taqiyyah, tanpa mengulang. Artinya, shalat mereka adalah sah karena imam mereka adalah imam muslim.
Tentu
saja kenyataan ini berbeda dengan kelakukan mengada-ada dari
Syi’ah Raafidlah. Mereka (Syi’ah Raafidlah) mengkafirkan
Bani Umayyah dan kaum muslimin pada umumnya yang tidak sehaluan dengan
agama rusak mereka.[8] [Jika memang Bani Umayyah itu kafir, bukankah menjadi kelaziman shalat yang dilakukan Al-Hasan dan Al-Husain itu tidak sah ?[9]].
Keyakinan rusak itu terwariskan hingga detik ini dimana mereka
(Syi’ah Raafidlah) mengharamkan shalat di belakang Ahlus-Sunnah,
kecuali karena alasan taqiyyah. Ada riwayat menarik yang perlu kita cermati :
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ، ثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِي حَفْصَةَ، قَالَ:
" قُلْتُ لِعَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ: إِنَّ أَبَا حَمْزَةَ الثُّمَالِيَّ،
وَكَانَ فِيهِ غُلُوٌّ، يَقُولُ: لَا نُصَلِّي خَلْفَ الْأَئِمَّةِ، وَلَا
نُنَاكِحُ إِلَّا مَنْ يَرَى مثل مَا رَأَيْنَا؟ فَقَالَ عَلِيُّ بْنُ
حُسَيْنٍ بَلْ نُصَلِّي خَلْفَهُمْ، وَنُنَاكِحُهُمْ بِالسُّنَّةِ "
Telah
menceritakan kepada kami Wakii’ : Telah menceritakan kepada kami
Sufyaan, dari Ibraahiim bin Abi Hafshah, ia berkata : Aku pernah
bertanya kepada ‘Aliy bin Al-Husain : “Sesungguhnya Abu
Hamzah Ats-Tsamaliy – ia adalah orang yang berlebih-lebihan
terhadapnya (‘Aliy bin Al-Husain) – berkata : ‘Kami
tidak shalat bersama para penguasa, dan kami tidak mengadakan
pernikahan kecuali dengan orang yang sependapat dengan kami”.
Maka ‘Aliy bin Al-Husain berkata : “Bahkan kami shalat di
belakang mereka, dan kami mengadakan pernikahan dengan mereka dengan
sunnah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/379 no. 7651;
shahih].
Ibraahiim bin Abi Hafshah adalah seorang yang tsiqah [Mishbaahul-Ariib, 1/27 no. 276].
Al-Hasan
dan Al-Husain adalah dua orang pemimpin pemuda ahli surga yang tidak
takut celaan orang yang mencela. Berkata dan berbuat sesuai dengan apa
yang ada di dalam hati mereka berupa kebenaran. Tidak berperilaku
seperti orang-orang munafik yang bertopeng kedustaan dimana perkataan
dan perbuatan mereka tidak sesuai dengan apa yang ada dalam hati
mereka. Mereka (Ahlul-Bait) tetap berani menampakkan kebenaran,
bersikap tegas, dan siap mengkritik/mengkoreksi jika melihat
kekeliruan, siapapun orangnya. Apakah ia penguasa ataupun sekedar
rakyat jelata.
Sifat Al-Hasan dan Al-Husain itulah yang diwarisi oleh anak cucu mereka dari kalangan Ahlul-Bait yang shaalih; namun tidak diwarisi oleh kaum yang mengaku-aku mencintai mereka, Syi’ah Raafidlah.
Para Pembaca dapat membandingkannya berbagai intrik taqiyyah ala Syi’ah. Bahkan, banyak kasus yang tidak dapat kita mengerti mengapa taqiyyah mesti dilakukan. Misalnya :
وعن
سماعة قال: قلت لأبي عبدالله عليه السلام في المغرب: انا ربما صلينا ونحن
نخاف ان تكون الشمس خلف الجبل أو قد سترها الجبل فقال: ليس عليك صعود الجبل
Dari Samaa’ah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaamtentang
Maghrib : “Sesungguhnya kami seringkali khawatir apabila matahari
masih di belakang gunung atau tertutup gunung (yaitu belum masuk waktu
Maghrib- Abul-Jauzaa’)”. Maka ia menjawab :
“Tidak wajib bagimu untuk memanjat/menaiki gunung (untuk melihat
matahari apakah telah tenggelam)”.
Al-Majlisiy dan Al-‘Aamiliy berkata : “Lebih patut membawa khabar tersebut padataqiyyah” [Bihaarul-Anwaar oleh Al-Majlisiy 83/85 dan Wasaailusy-Syii’ah oleh Al-Hurr Al-‘Aamiliy 4/198].
Apa perlunya taqiyyah dalam keadaan itu ?
وعن أبي العرندس انه رأي الكاظم في رمضان حين قال المؤذن: الله أكبر صب له غلامه فناوله وشرب.
Dari Abul-‘Arandas : Bahwasannya ia pernah melihat Al-Kaadhim dalam bulan Ramadlaan saat muadzdzin mengumandangkan : ‘Allaahu Akbar’, budaknya menuangkan air minum dan memberikan kepadanya, dan ia pun meminumnya”.
Al-Majlisiy berkata : “Dimungkinkan membawa khabar tersebut pada taqiyyah” [Bihaarul-Anwaar, 83/62].
Apa kepentingan taqiyyah dalam
keadaan tersebut ? Apa yang ditakuti ? Apakah hal itu dilakukan hanya
untuk ‘menutupi kekeliruan’ imam yang minum setelah adzan
berkumandang ?.
عن
الرضا أنه نهى عن قراءة المعوذتين في صلاة الفريضة، ولا بأس في النوافل،
لأنها من الرقية ليستا من القرآن ادخلوها في القرآن، قال المجلسي: النهي
عن قراءة المعوذتين في الفريضة محمول على التقية
Dari Ar-Ridlaa : “Bahwasannya ia melarang membaca surat Al-Mu’awwidzatain dalam shalat fardlu, namun tidak mengapa dalam shalat sunnah. Karena surat tersebut termasuk ruqyah yang bukan termasuk bagian dari Al-Qur’an, namun dimasukkan ke dalam Al-Qur’an”.
Al-Majlisiy berkata : “Larangan untuk membaca Al-Mu’awwidzatain dalam shalat fardlu dibawa pada taqiyyah” [Bihaarul-Anwaar, 85/42].[10]
Apa urusannya taqiyyah dalam melarang membaca surat Al-Mu’awwidzatain dalam
shalat fardlu ?. Apa yang ia takutkan dari ‘musuh mereka’
(yaitu Ahlus-Sunnah), padahal mereka (Ahlus-Sunnah) membolehkan
membacanya dalam shalat apapun ?. Ketakutan dan kekhawatiran macam apa
yang mengharuskan taqiyyah ?.
عن الصادق قال: قال الله عزوجل لموسى عليه السلام: فأخلع نعليك، لأنها كانت من جلد حمار ميت،
Dari Ash-Shaadiq, ia berkata : Allah ‘azza wa jalla berfirman kepada Musa ‘alaihis-salaam : “Lepaskan kedua sandalmu, karena ia terbuat dari (kulit) bangkai keledai”.
Al-Majlisiy berkata : “Nampak bahwa khabar dibawa pada taqiyyah”. Hal yang sama dikatakan oleh Al-‘Aamiliy [Bihaarul-Anwaar oleh Al-Majlisiy 83/237 dan Wasaailusy-Syii’ah oleh Al-Hurr Al-‘Aamiliy 4/344].
Jika Pembaca merasa bingung dalam memikirkan alasan taqiyyah dalam riwayat sebelumnya, niscaya akan lebih bingung memikirkan riwayat ini. Siapakah yang menjadi subjek yang melakukan taqiyyah ?.
Allah ? Musa ? atau Ash-Shaadiq ?. Seandainya itu dinisbatkan kepada
Ash-Shaadiq, ancaman apa kira-kira yang membuatnya bertaqiyyah sehingga
berani berdusta atas nama Allah dan Musa ?.
عن علي عليهم السلام قال : ((حرم رسول الله صلى الله عليه وآله يوم خيبر لحوم الحمر الأهلية ونكاح المتعة)).
Dari ‘Aliy ‘alaihis-salaam, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi telah mengharamkan pada hari Khaibar daging keledai kampung/jinak dan nikah mut’ah” [Tahdziibul-Ahkaam oleh Ath-Thuusiy, 7/251].
Ath-Thuusiy
berkata : “Pemahaman terhadap atas riwayat ini adalah kami
membawanya sebagai satu taqiyyah karena riwayat tersebut
berkesesuaian dengan madzhabnya orang-orang awam (baca :
Ahlus-Sunnah)” [Al-Ibtishaar 3/142 dan Tahdziibul-Ahkaam7/251].
Jadi, dalam kasus ini, klaim taqiyyah ini semata-mata hanya karena perkataan ‘Aliy itu kebetulan cocok dengan perkataan Ahlus-Sunnah.
Para Pembaca dapat lihat bagaimana praktek taqiyyah orang-orang
Syi’ah. Masih banyak lagi riwayat yang dapat disebutkan, namun
saya rasa sedikit contoh di atas cukup memberikan keterangan bagi
mereka yang masih sehat akalnya.
Semoga keterangan singkat ini ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – 1432].
NB : Kita tidak pernah menafikkan keberadaan taqiyyah, karena ia disyari’atkan dalam kondisi-kondisi tertentu. Taqiyyah menurut
legalitas syari’at bermakna menyembunyikan keimanan karena tidak
mampu menampakkannya ditengah-tengah orang kafir dalam rangka menjaga
jiwa, kehormatan dan hartanya dari kejahatan mereka.
[1] Atsar :
حَدَّثَنَا
حَاتِمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، عَنْ جَعْفَرٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: " كَانَ
الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ، وَالْحُسَيْنُ، يُصَلِّيَانِ خَلْفَ مَرْوَانَ،
قَالَ: فَقِيلَ لَهُ أَمَا كَانَ أَبُوكَ يُصَلِّي إِذَا رَجَعَ إِلَى
الْبَيْتِ؟ قَالَ: فَيَقُولُ: لَا وَاللَّهِ، مَا كَانُوا يَزِيدُونَ
عَلَى صَلَاةِ الْأَئِمَّةِ "
[2] Atsar :
أَخْبَرَنَا
الرَّبِيعُ، قَالَ: أَخْبَرَنَا الشَّافِعِيُّ، قَالَ: أَخْبَرَنَا
حَاتِمٌ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ الْحَسَنَ
وَالْحُسَيْنَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا كَانَا " يُصَلِّيَانِ
خَلْفَ مَرْوَانَ، قَالَ: فَقَالَ: أَمَا كَانَا يُصَلِّيَانِ إِذَا
رَجَعَا إِلَى مَنَازِلِهِمَا؟ فَقَالَ: لَا وَاللَّهِ، مَا كَانَا
يَزِيدَانِ عَلَى صَلَاةِ الْأَئِمَّةِ "
[3] Atsar :
عَنِ
الثَّوْرِيِّ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ: " أَنَّ حَسَنًا،
وَحُسَيْنًا، كَانَا يُسْرِعَانِ إِذَا سَمِعَا مُنَادِيَ مَرْوَانَ،
وَهُمَا يَشْتُمَانِهِ يُصَلِّيَانِ مَعَهُ "
[4] Atsar :
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّحِيمِ بْنُ عَبْدِ رَبِّهِ، قَالَ: حَدَّثَنِي شُرَحْبِيلُ أَبُو
سَعْدٍ، قَالَ: رَأَيْتُ الْحَسَنَ، وَالْحُسَيْنَ يُصَلِّيَانِ خَلْفَ
مَرْوَانَ
[5] Atsar :
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ مَعْبَدِ بْنِ نُوحٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو أحْمَد
الزُّبَيْرِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحِيمِ بْنُ عَبْدِ
الرَّحِيمِ بْنِ عَبْدِ رَبِّهِ، عَنْ شُرَحْبِيلَ أَبِي سَعْدٍ، قَالَ:
رَأَيْتُ الْحَسَنَ، وَالْحُسَيْنَ يسرعان إلى الصلاة خلف مروان "
[6] Atsar :
أَخْبَرَنَا
يَحْيَى بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى، ثنا أَبُو
الْعَبَّاسِ، أنبأ الرَّبِيعُ، أنبأ الشَّافِعِيُّ، أنبأ حَاتِمُ بْنُ
إِسْمَاعِيلَ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ
الْحَسَنَ، وَالْحُسَيْنَ رضي الله عنهما، كانا يصليان خلف مروان، قَالَ:
فَقَالَ: مَا كَانَا يُصَلِّيَانِ إِذَا رَجَعَا إِلَى مَنَازِلِهِمَا؟
فَقَالَ: " لا وَاللَّهِ، مَا كَانَا يَزِيدَانِ عَلَى صَلاةِ الأَئِمَّةِ
"
[7] Atsar :
وَأَخْبَرَنَا
أَبُو بَكْرٍ، وَأَبُو زَكَرِيَّا، وأبو سعيد، قَالُوا: حَدَّثَنَا أَبُو
الْعَبَّاسِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا الرَّبِيعُ، قال: أخبرنا الشافعي قَالَ:
أَخْبَرَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ،
عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ الْحَسَنَ، وَالْحُسَيْنَ " كَانَا يُصَلِّيَانِ
خَلْفَ مَرْوَانَ، قَالَ: فَقَالَ: مَا كَانَا يُصَلِّيَانِ إِذَا رَجَعَا
إِلَى مَنَازِلِهِمَا؟ فَقَالَ: لا وَاللَّهِ مَا كَانَا يَزِيدَانِ عَلَى
صَلاةِ الأَئِمَّةِ "
[8] Misalnya riwayat dusta mereka :
عَمِيرَةَ
عَنْ أَبِي بَكْرٍ الْحَضْرَمِيِّ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ (
عليه السلام ) أَهْلُ الشَّامِ شَرٌّ أَمْ أَهْلُ الرُّومِ فَقَالَ إِنَّ
الرُّومَ كَفَرُوا وَ لَمْ يُعَادُونَا وَ إِنَّ أَهْلَ الشَّامِ كَفَرُوا
وَ عَادَوْنَا
Muhammad
bin Yahyaa, dari Ahmad bin Muhammad bin ‘Iisaa, dari Al-Husain
bin Sa’iid, dari Fadlaalah bin Ayyuub, dari Saif bin
‘Amiirah, dari Abu Bakr Al-Hadlramiy, ia berkata : Aku bertanya
kepada Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam :
“Manakah yang lebih jelek, orang-orang Syaam ataukah orang-orang
Romawi ?”. Ia berkata : “Sesungguhnya orang-orang Romawi
itu kafir, namun tidak memusuhi kami. Adapun orang-orang Syaam itu kafir lagi memusuhi kami” [Al-Kaafiy, 2/410 – kata Al-Majlisiy dalam Mir’atul-‘Uquul 11/220 : Hasan].
Catatan : Marwan termasuk orang-orang Syaam yang berdiri di belakang barisan Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhu.
عِدَّةٌ
مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ خَالِدٍ عَنْ
عُثْمَانَ بْنِ عِيسَى عَنْ سَمَاعَةَ عَنْ أَبِي بَصِيرٍ عَنْ
أَحَدِهِمَا عليهما السلام قَالَ إِنَّ أَهْلَ مَكَّةَ
لَيَكْفُرُونَ بِاللَّهِ جَهْرَةً وَ إِنَّ أَهْلَ الْمَدِينَةِ أَخْبَثُ
مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ أَخْبَثُ مِنْهُمْ سَبْعِينَ ضِعْفاً .
Sejumlah
shahabat kami, dari Ahmad bin Muhammad bin Khaalid, dari ‘Utsmaan
bin ‘Iisaa, dari Samaa’ah, dari Abu Bashiir, dari salah
seorang dari dua imam ‘alaihimas-salaam, ia berkata : “Sesungguhnya penduduk Makkah kafir kepada Allah secara terang-terangan. Dan penduduk Madinah lebih busuk/jelek daripada penduduk Makkah 70 kali” [Al-Kaafiy, 2/410 – kata Al-Majlisiy : Muwatstsaq].
Catatan : Riwayat ini berbicara tentang kekafiran para shahabat serta ulama tabi’iin danatbaa’ut-taabi’iin dari kalangan Ahlus-Sunnah yang tidak sehalauan dengan Syi’ah Raafidlah.
Dan ini adalah perkataan orang Syi’ah yang sedang marah-marah tidak jelas :
Saya hanya meminta kejujuran kalian dalam beragama! Pikirkan, sampai kapan kalian terus membela aimmatul kufri,para
pemimpin kaum kafir/munafik seperti Abu Sufyan, Mu’awiyah, Yazid,
Hajjâj bin Yusuf, Marwan bin Hakam, Abdul Malik bin Marwan dkk.
dengan mengatas-namakan Ahlusunnah wal Jama’ah?! Dengan
mengatas-namakan Salaf Shaleh?!
Catatan kecil tentang riwayat :
حَدَّثَنَا
أَبِي، قَالَ: نا جَرِيرٌ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ مُنْذِرٍ الثَّوْرِيِّ،
عَنْ سَعْدِ بْنِ حُذَيْفَةَ، قَالَ: قَالَ عَمَّارٌ: " وَاللَّهِ مَا
أَسْلَمُوا وَلَكِنَّهُمُ اسْتَسْلَمُوا، وَأَسَرُّوا الْكُفْرَ حَتَّى
وَجَدُوا عَلَيْهِ أَعْوَانًا، فَأَظْهَرُوهُ "
Telah
menceritakan kepada kami ayahku, ia berkata : Telah mengkhabarkan
kepada kami Jariir, dari Al-A’masy, dari Mundzir Ats-Tsauriy,
dari Sa’d bin Hudzaifah, ia berkata : Telah berkata ‘Ammaar
: “Demi Allah, mereka tidaklah beragama Islam. Akan tetapi mereka
pura-pura masuk Islam dan menyembunyikan kekafiran. Hingga ketika
mereka mendapati para pembela, mereka pun menampakkannya”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Khaitsamah dalam As-Safaruts-Tsaaniy minat-Taariikhno. 3430].
Atsar ini tidak shahih. Al-A’masy, meskipun seorang yang tsiqah, namun ia seorang mudallis pada tingkatan ketiga menurut pendapat yang raajih, dan di sini ia meriwayatkan dengan ‘an’anah [lihat pembahasannya di sini].
[9]
Atau,…. menurut agama Syi’ah, shalat di belakang orang
kafir itu boleh ?. Jika memang demikian, jangan heran jika satu waktu
Pembaca menemukan orang-orang Syi’ah beribadah di belakang
orang-orang Yahudi dan Nashrani. Lihat saja gejalanya :
[10]
Pembaca sekalian akan mendapati banyak ‘keajaiban’ dalam
agama Syi’ah dimana ada beberapa surat yang dilarang dibaca dalam
shalat. Saya ajak Pembaca untuk mencermati fiqh Syi’ah dalam
penjelasan Ayatullah Muhammad Al-Ya’quubiy dalam situsnya :
Pertanyaan :
هل هناك سور قرآنية يكره قراءتها في الصلاة؟
“Apakah ada surat Al-Qur’an yang dimakruhkan membacanya dalam shalat ?”.
Jawaban :
بسمه تعالى
يحرم قراءة سور العزائم (العلق, فصلت, النجم, السجدة) والأحوط تجنب الضحى والانشراح والفيل والايلاف.
يحرم قراءة سور العزائم (العلق, فصلت, النجم, السجدة) والأحوط تجنب الضحى والانشراح والفيل والايلاف.
“Dengan menyebut nama-Nya ta’ala.
Diharamkan membaca surat Al-‘Azaaim (Al-‘Alaq,
Fushshilat, An-Najm, dan As-Sajdah). Dan yang lebih hati-hati juga
menjauhi membaca surat Adl-Dluhaa, Al-Insyiraah, Al-Fiil, dan Al-Iilaaf
(Al-Quraisy – Abul-Jauzaa’)”.
Sumber :
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2011/06/ahlul-bait-dan-taqiyyah.html