Pembicaraan tentang masalah iman merupakan salah satu
perkara penting yang mendasar. Bahkan ini merupakan dasar aqidah seorang
muslim. Salah dalam memahami keimanan bisa menyebabkan seseorang terjerumus
dalam keharaman, kebid’ahan, bahkan bisa berujung kekafiran. Semoga sekelumit
pembahasan masalah iman ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
[Definisi
Iman]
Para ulama mendefinisikan iman yaitu ucapan
dengan lisan, keyakinan hati, serta pengamalan dengan anggota badan, bisa
bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Inilah makna iman
menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mayoritas Ahlus Sunnah mengartikan
iman mencakup i’tiqad (keyakinan), perkataan, dan perbuatan.
Imam Muhammad bin Isma’il bin Muhammad bin al Fadhl at
Taimi al Asbahani mengatakan: “Iman menurut pandangan syariat adalah
pembenaran hati, dan amalan anggota badan”.
Imam Al Baghawi mengatakan : ”Para sahabat,
tabi’in, dan ulama ahlis sunnah sesudah mereka bahwa amal termasuk keimanan…
mereka mengatakan bahwa iman adalah perkataan, amalan, dan aqidah”
Al Imam Asy Syafi’i berkata dalam kitab Al Umm :
“Telah terjadi ijma’ (konsesus) di kalangan para sahabat, para
tabi’in, dan pengikut sesudah mereka dari yang kami dapatkan bahwasanya iman
adalah perkataan, amal, dan niat. Tidaklah cukup salah satu saja tanpa mencakup
ketiga unsur yang lainnya”
Al Imam Al Laalikaa-i meriwayatkan dari Imam Bukhari :
“Aku telah bertemu lebih dari seribu ulama dari berbagai negeri. Tidak
aku dapatkan satupun di antara mereka berselisih bahwasanya iman adalah ucapan
dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang “
Kesimpulannya menurut definisi syariat tentang
iman bahwasanya iman mencakup perkataan dan perbuatan. Perkataan mencakup dua
hal : perkataan hati, yaitu i’tiqad (keyakinan) dan perkataan lisan.
Perbuatan juga mencakup dua hal yati perbuatan hati, yaitu niat dan ikhlas,
serta perbuatan anggota badan. Sehingga tidak ada perbedaan makna dari ucapan
para ulama di atas, yang ada hanya sebatas perbedaan istilah saja.[1]
[Iman
Mencakup Keyakinan, Perkataan, dan Perbuatan]
Berikut dalil-dalil yang menjelaskan bahwa iman
mencakup keyakinan hati, perkataan, dan perbuatan.
Dalil tentang keyakinan hati :
Allah Ta’ala berfirman :
وَلَمَّا يَدْخُلِ اْلإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ
“karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu”
(Al Hujurat:14)
الْإِيمَانَ قُلُوبِهِمُ فِي كَتَبَ
“Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan
keimanan dalam hati mereka” (Al Mujaadilah:22)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ الإِيمَانُ قَلْبَهُ
“Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya
namun keimanannya belum masuk ke dalam hatinya”[2]
Dalil tentang perkataan lisan :
Firman Allah Ta’ala :
قُولُوا ءَامَنَّا بِاللهِ وَمَآأُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَآأُنزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَاْلأَسْبَاطِ وَمَآأُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَآأُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ لاَ نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّنْهُمْ وِنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ {136}
“Katakanlah (hai orang-orang mu’min): “Kami beriman
kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan
kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan
kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya.
Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk
patuh kepada-Nya” (Al Baqarah:136)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُولُوا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ فَمَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ فَقَدْ عَصَمَ مِنِّى مَالَهُ وَنَفْسَهُ إِلاَّ بِحَقِّهِ وَحِسَابُهُ عَلَى اللَّهِ
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga
mereka mengucapkan, ‘Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah’,
maka barangsiapa yang mengucapkan, ‘Tidak ada tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Allah’, maka sungguh dia telah menjaga harta dan jiwanya dari
(seranganku) kecuali dengan hak Islam, dan hisabnya diserahkan kepada Allah”[3]
Dalil tentang amalan anggota badan :
Allah Ta’ala berfirman :
وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ … {143}
“dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu
(shalatmu)” (Al Baqarah:143)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
لاَ يَزْنِى الزَّانِى حِينَ يَزْنِى وَهُوَ مُؤْمِنٌ
“Seorang mukmin tidak disebut mukmin saat ia
berzina”[4]
Dan masih banyak dalil-dalil lain dari al Quran dan
hadist yang menunjukkan bahwa iman mencakup keyakinan, perkataan, dan
perbuatan[5]
[Iman
Bisa Bertambah dan juga Berkurang]
Di antara keyakinan yang benar tentang iman adalah
bahwasanya iman dapat bertambah dan juga dapat berkurang. Bertambah dengan
ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala :
فَزَادَهُمْ إِيمَانًا
“maka perkataan itu menambah keimanan mereka”
(Ali Imran :173)
لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ {4}
“supaya keimanan mereka bertambah di samping
keimanan mereka (yang telah ada)” (Al Fath:4)
Nabi Shalallahu ‘alihi wa sallam bersabda
:
يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَكَانَ فِى قَلْبِهِ مِنَ الْخَيْرِ مَا يَزِنُ ذَرَّةً
“akan keluar dari neraka, orang yang mengucapkan,
‘Laa Ilaaha Illaahu (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah)‘, dan
di dalam hatinya terdapat kebaikan seberat biji sawi”[6]
Dalam hadist di atas nabi menjelaskan bahwa iman
bertingkat-tingkat. Jika sesuatu bisa mengalami penambahan, maka bisa juga
berkurang, karena konsekuensi dari penambahan adalah sesuatu yang diberi
tambahan itu lebih kurang daripada yang bartambah.[7]
Iman
dapat bertambah disebabkan karena beberapa hal :
1.
Mengenal Allah Ta’ala melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
Semakin seseorang mengenal Allah, keimanannya semakin bertambah.
2.
Memperhatikan ayat-ayat Allah baik ayat-ayat kauniyah maupun
ayat syar’iyah.
3.
Banyak melakukan ketaaatan.
4.
Meninggalkan kemaksiatan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah
Adapun
ha-hal yang dapat mengurangi keimanan di antaranya :
1.
Berpaling dari mengenal Allah dan nama-nama serta sifat-sifat-Nya
2.
Tidak mau memperhatikan ayat-ayat kauniyah dan syar’iyah
3.
Sedikitnya amal shalih
4.
Melakukan kemaksiatan kepada Allah[8]
[Iman Memiliki Banyak Cabang]
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
“Iman itu ada tujuh puluh tiga sampai tujuh puluh
sembilan, atau enam puluh tiga sampai enam puluh sembilan cabang. Yang paling
utama adalah perkataan, Laa illaaha illallah (Tidak ada tuhan yang berhak
disembah selain Allah). Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan
dari jalan. Dan malu itu adalah sebagian dari iman.”[9]
Hadist ini diantara dalil yang menunjukkan bahwa iman
mencakup keyakinan hati dan amalan hati, perkataan lisan, dan juga perbuatan
anggota badan. Selain itu, hadist ini juga menunjukkan bahwa iman itu memiliki
cabang-cabang.
Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :
“Pokok keimanan memiliki cabang yang banyak. Setiap cabang adalah bagian
dari iman. Shalat adalah cabang keimanan, begitu pula zakat, haji, puasa, dan
amalan-amalan hati seperti malu, tawakal. Di antara cabang-cabang tersebut
ada cabang yang jika hilang maka akan membatalkan keimanan seperti cabang
syahadat. Ada pula cabang yang jika hilang tidak membatalkan keimanan seperti
menyingkirkan gangguan dari jalan. Di antara dua cabang tersebut terdapat
cabang-cabang keimanan lain yang bertingkat-tingkat. Ada cabang yang
mengikuti dan lebih dekat ke cabang syahadat. Ada pula yang mengikuti dan
lebih dekat ke cabang menyingkirkan gangguan dari jalan. Demikian pula
kekafiran, memiliki pokok dan cabang-cabang. Sebagaimana cabang iman adalah
termasuk keimanan, maka cabang kekafiran juga termasuk kekafiran. Malu adalah
cabang iman, maka berkurangnya rasa malu merupakan cabang dari kekafiran. Jujur
adalah cabang iman, sedangkan dusta adalah cabang kekafiran. Maksiat seluruhnya
adalah cabang kekafiran, sebagaimana semua ketaatan adalah cabang keimanan”[10]
[Keimanan
Betingkat-Tingkat]
Syaikh Ibnu Baaz ketika mengomentari perkataan Imam at
Thahawi “Iman adalah satu kesatuan dan pemiliknya memiliki keimanan
yang sama” mengatakan : “Perkataan Imam at Thahawi ini perlu ditinjau lagi,
bahkan ini merupakan perkataan yang batil. Orang yang beriman tidaklah
sama dalam keimanannya. Justru sebaliknya, mereka memiliki keimanan yang
bertingkat-tingkat dengan perbedaan yang mencolok. Iman para rasul tidaklah
dapat disamakan dengan iman selain mereka. Demikian pula iman para al
khulafaur rasyidin beserta para sahabat yang lain, tidaklah sama
dengan yang lainnya. Iman orang-orang yang betul-betul beriman juga tidak sama
dengan iman orang yang fasik. Hal ini didasari pada perbedaan yang ada dalam
hati, berupa pengenalan terhadap Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan
segala yang disyariatkan bagi hamba-Nya. Inilah pendapat Ahlus sunnah
wal jama’ah, berbeda dengan pendapat murjiah dan yang
sepaham dengan mereka. Wallahul musta’an“[11]
Permasalahan ini sangat jelas jika kita melihat
dalil-dalil yang ada dalam al Quran dan as Sunnah serta realita yang terjadi
bahwa keimanan itu bertingkat-tingkat.
Allah melebihkan sebagian rasul dibandingkan rasul
yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman :
تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ مِّنْهُم مَّن كَلَّمَ اللهُ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجَاتٍ … {253}
“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari)
mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata
(langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. …”
(Al Baqarah:253)
Pemberian keutamaan sebagian rasul dibandingkan yang
lain disebabkan perbedaan tingkat keimanan mereka. Demikian pula di
antara para rasul ada yang termasuk ulul ‘azmi. Mereka adalah
rasul-rasul yang memiliki kedudukan yang paling agung dan derajat yang paling
tinggi. Para rasul tidak sama semua kedudukannaya di sisi Allah.
Allah Ta’ala berfirman :
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُوْلُوا الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ … {35}
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang
mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul …” (Al Ahqaf:35)
Demikian pula keimanan para sahabat. Keimanan mereka
berbeda-beda. Keimanan yang paling tingggi adalah keimanan yang dimiliki oleh
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah sahalallhu ‘alaihi
wa sallam bersabda : “Seandainya keimaanan seluruh umat ditimbang
dengan keimanan Abu bakar, maka keimanan Abu Bakar lebih berat”. Abu Bakar
Su’bah al Qaari berkata : “Tidaklah Abu Bakar mendahului kalian dengan
banyaknya sholat dan shodaqoh, namun dengan iman yang menancap di hatinya”[12]
[Pelaku
Dosa Besar Tetaplah Seorang Mukmin]
Termasuk pembahasan penting dalam masalah iman adalah
dalam menghukumi pelaku dosa besar. Pada dasarnya, seorang mukmin yang
melakukan kemaksiatan yang tidak sampai derajat kekafiran tetap dihukumi
sebagai seorang mukmin. Inilah madzab ahlus sunnah wal jama’ah. Di
antara dalilnya yaitu ayat qishos dalam firman Allah :
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءُُ فَاتِّبَاعُ بِالْمَعْرُوفِ
“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan
dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik”
(Al Baqarah:178).
Mereka (pelaku maksiat) tetap dianggap saudara seiman dengan kemksiatan yang mereka lakukan. Allah juga berfirman :
Mereka (pelaku maksiat) tetap dianggap saudara seiman dengan kemksiatan yang mereka lakukan. Allah juga berfirman :
وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى اْلأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِىءَ إِلَى أَمْرِ اللهِ فَإن فَآءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ {9} إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ … {10}
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang
beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang
satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar
perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia
telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu
berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu” (Al Hujurat:9-10).
Dalam
ayat ini Allah menyifati dua kelompok yang berperang dengan predikat mukmin
walaupun mereka saling berperang. Allah juga memberitakan bahwa mereka adalah
saudara, dan persaudaraan tidaklah terwujud kecuali antara sesama kaum
mukminin, bukan antara mukmin dan kafir.
Adapun orang-orang fasik yang berbuat kemakisatan,
keimanan mereka tidak hilang secara total. Dalil-dalil syariat terkadang
menetapkan keimanan pada mereka, seperti firman Allah :
وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ
“(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya
(budak) yang beriman” (An Nisaa’:92). Budak beriman yang dimaksud
termasuk juga budak yang fasik.
Terkadang juga dalil-dalil syariat menafikan keimanan
pada mereka, seperti dalam hadist:
لاَ يَزْنِى الزَّانِى حِينَ يَزْنِى وَهُوَ مُؤْمِنٌ
“Seorang mukmin tidak disebut mukmin saat ia
berzina”[13]
Madzab ahlussunnah dalam menyikapi
pelaku maksiat adalah tidak mengkafirkannya, namun juga tidak memutlakkan
keimanan pada diri mereka. Oleh karena itu kita katakan sebagaimana penjelasan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: “Mereka
(orang-orang fasik) adalah mukmin dengan keimanan yang kurang (tidak
sempurna), atau bisa juga dikatakan mukmin dengan keimanannya dan fasik dengan
dosa besarnya. Mereka tidak mendapat predikat iman secara mutlak, tidak pula
hilang keimanan (secara total) dengan dosa besarnya”[14] (Matan al
‘Aqidah al Washitiyah)
[Antara
Iman dan Islam]
Apa
perbedaan antara iman dan islam? Kata iman dan
islam terkadang disebutkan bersamaan dalam satu kalimat, namun terkadang
disebutkan salah satunya saja. Jika disebutkan salah satunya saja, maka
mencakup makna keduanya. Dan bila disebutkan kedua-duanya, maka iman dan
islam
memiliki makna yang berbeda. Jika disebutkan iman saja, maka tercakup di
dalamnya makna iman dan islam. Demikian pula sebaliknya. Namun, jika
disebutkan
iman dan islam, maka masing-masing memilki makna sendiri-sendiri. Iman
mencakup amalan-amalan hati, sedangkan islam mencakup amalan-amalan
lahir.
Imam Ibnu Rajab al Hambali menjelaskan : “Jika
masing-masing islam dan iman disebutkan secara sendiri-sendiri (disebutkan iman
saja atau islam saja) maka tidak ada perbedaan di antara keduanya. Namun,
apabila disebutkan secara bersamaan, di antara keduanya ada perbedaan. Iman
adalah keyakinan hati, pengakuan dan pengenalan. Sedangkan islam adalah
berserah diri kepada Allah, tunduk kepada-Nya dengan melakukan amalan ketaatan “[15]
[Kadar
Minimal Rukun Iman]
Pokok-pokok keimanan terdapat dalam rukun iman yang
enam, sebagaimana diterangkan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam
hadist Jibril :
قَالَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
“Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir, dan takdir baik dan buruk.”
[16]
Masing-masing rukun iman memiliki kadar minimal
sehingga dikatakan sah keimanan seseorang terhadap rukun tersebut. Secara umum,
kadar minimal untuk keenam rukun iman tersebut adalah sebagai berikut:
Iman kepada Allah:
–
Beriman dengan wujud Allah
–
Beriman dengan rububiyah Allah
–
Beriman dengan uluhiyah Allah
–
Beriman dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah
Iman kepada para malaikat Allah:
–
Beriman dengan keberadaan para malaikat Allah
–
Mengimani secara rinci nama-nama malaikat yang kita ketahui, dan mengimani
secara global yang tidak kita ketahui
–
Mengimani secara rinci sifat-sifat mereka yang kita ketahui, dan mengimani
secara global yang tidak kita ketahui
–
Mengimani secara rinci tugas-tugas mereka yang kita ketahui, dan
mengimani secara global yang tidak kita ketahui
Iman kepada kitab-kitab Allah :
–
Mengimanai bahwa seluruh kitab berasal dari Allah
–
Mengimani secara rinci nama-nama kitab Allah yang kita ketahui dan mengimani
secara global yang tidak kita ketahui
–
Membenarkan berita-berita yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut
–
Beramal dengan hukum-hukum yang ada di dalamnya selama belum dihapus
Iman kepada para rasul Allah :
–
Mengimani bahwa seluruh risalah para rasul berasal dari Allah
–
Mengimani secara rinci nama para nabi dan rasul Allah yang kita ketahui dan
mengimani secara global yang tidak kita ketahui
–
Membenarkan berita yang shahih yang datang dari mereka
–
Beramal dengan syariat Rasul yang diutus kepada kita (yaitu Muhammad shalallhu
‘alaihi wa sallam)
Iman kepada hari akhir :
–
Beriman dengan hari kebangkitan
–
Beriman dengan hari perhitungan dan pembalasan (al hisaab wal jazaa’)
–
Beriman dengan surga dan neraka
–
Beriman dengan segala sesuatu yang terjadi setelah kematian
Iman kepada takdir Allah :
–
Beriman bahwasanya Allah mengetahui segala sesuatu yang terjadi
–
Beriman bahwasanya Allah telah menetapkan segala sesuatu di Lauh
mahfudz
–
Beriman bahwa segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah
–
Beriman bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan makhluk Allah[17]
Barangsiapa yang tidak mengimani pokok-pokok yang ada
pada kadar minimal rukun iman, maka batal rukun iman tersebut. Dan barangsiapa
yang batal salah satu rukun iman, maka batal pula seluruh keimanannya.
[Hukum
Mengatakan “ Saya Mukmin InsyaAllah”]
Bolehkah mengucapkan perkataan “Saya mukmin
Insya Allah?”. Perkataan ini diistilahkan oleh para ulama dengan al
istisnaa’ fil iman (pengecualian dalam keimanan). Manusia terbagi
menjadi tiga kelompok dalam masalah ini. Ada yang mengharamkannya secara
mutlak, ada yang membolehkannya secara mutlak, dan ada yang merinci hukumnya.
Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah pernah
ditanya tentang hukum perkataan : Saya mukmin Insya Allah”. Beliau
menjelaskan : “Perkataan seseorang ‘Saya mukmin Insya Allah’ diistilahkan oleh
para ulama dengan al istisnaa’ fil iman (pengecualian dalam
keimanan). Masalah ini perlu perincian :
1. Jika istisna’ muncul
karena ragu dengan adanya pokok keimanan maka ini merupakan keharaman bahkan
kekafiran.. Karena iman adalah sesuatu yang pasti (yakin) sedangkan keraguan
membatalkan keimanan.
2. Jika istisna’ muncul
karena khawatir terjatuh dalam tazkiyatun nafsi (menyucikan
diri), namun tetap disertai penerapan iman secara perkataan, perbuatan, dan
keyakinan, maka hal ini sesuatu yang wajib karena adanya rasa khawatir
terhadap sesuatu yang berbahaya yang dapat merusak iman.
3. Jika maksud istisna’ adalah
bertabaruk dengan menyebut masyiah (kehendak Allah) atau untuk menjelaskan
alasan, dan iman yang ada dalam hati tetap tergantung kehendak Allah, maka hal
ini diperbolehkan. Dan penjelasan untuk penyebutan alasan (bayaani ta’lil)
tidaklah meniadakan pembenaran iman. Telah terdapat penjelasan hal ini seperti
dalam firman Allah :
َتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِن شَآءَ اللهُ ءَامِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لاَتَخَافُونَ …{27}
“… bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki
Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur
rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut…” (Al
Fath :27). Dan juga dalam do’a Nabi ketika ziarah kubur :
وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لاَحِقُونَ
“ dan kami insya Allah akan menyusul
kalian”[18]
Dengan penjelasan di atas, maka tidak boleh
memutlakkan hukum dalam masalah al istisna’ fil iman. Yang benar
adalah merinci masalah ini[19].
Demikian beberapa penjelasan mengenai permasalahan
iman. Semoga bermanfaat.
Alhamdulillahiladzi bi ni’matihi tatimus shaalihaat
___________________
Penulis: Adika Mianoki
Artikel www.muslim.or.id
Catatan kaki
[1]. Lihat Nawaaqidul Iman al I’tiqodiyyah wa
Dhowabitu Takfiir ‘inda as Salaf I/35-37
[2]. H.R Abu Dawud, Ahmad, Tirmidzi. Dishahihkan
Albani dalam Shohihul Jaami’ VI/308
[3]. H.R Muslim22
[4]. H.R. Muslim 57
[5]. Lihat dalil-dalil yang lebih lengkap dan
penjelasannya dalam Nawaaqidul Iman I/38-54
[6]. H.R Muslim 193
[7]. Syarh Lum’atil I’tiqad 57,
Syaikh Muhammad bin Sholeh al ‘Utsaimin
[8]. Diringkas dari Syarh al ‘Aqidah al
Wasithiyah 594-596, Syaikh ‘Utsaimin. Kumpulan Ulama.
[9]. H.R Muslim 58
[10]. Dinukil dari Nawaaqidul Iman I/55-56
[11]. Ta’liq Syaikh Ibnu Baaz terhadap al
‘Aqidah at Thahawiyah. Dalam Jaami’us Syuruh al ‘Aqidah ath
Thahawiyah II/488. Cet. Darul Ibnul Jauzi.
[12]. Lihat Syarh al ‘Aqidah at Thahawiyah,
Syaikh Sholeh Alu Syaikh. Dalam Jaami’us Syuruh al ‘Aqidah ath
Thahawiyah II/488
[13]. H.R. Muslim 57
[14]. Matan al ‘Aqidah al Washitiyah
[15]. Jaamiul ‘Ulum wal Hikam 63,
Ibnu Rajab Al Hambali.
[16]. H.R. Muslim 8
[17]. Silakan simak pembahasan lengkapnya dalam Syarh
Ushul Iman, Syaikh Muhammad bin Sholeh al ‘Utsaimin.
[18]. H.R Muslim 974
[19]. Alfaadz wa Mafaahim fii Mizani as Syar’i
wa ad Diin 28-29, Syaikh Muhammad bin Sholeh al ‘Utsaimin.
Sumber: https://muslim.or.id/5478-iman-dalam-pandangan-ahlus-sunnah-wal-jamaah.html