Definisi Fanatik
Fanatik atau dalam bahasa arabnya disebut dengan “Ta’ashub” adalah anggapan yang diiringi sikap yang paling benar dan membelanya dengan membabi buta. Benar dan salahnya, wala’ dan bara’nya diukur dan didasarkan keberpihakan pada golongan. Fanatik ini bisa terjadi antar madzhab, kelompok, organisasi, suku atau negara. (Lihat kembali Majalah Al-Furqon hal. 13 edisi 5 Th. 11) -majalah yang dikelola Ustadz Abu Ubaidah (editor)-
Adapun madzhab ialah pendapat seseorang mujtahid tentang hukum sesuatu, yaitu pendapat yang digali dari Al-Qur’an dan hadits dengan kekuatan ijtihadnya.
Madzhab yang masyhur ada empat: Madzhab Hanafi (Abu Hanifah rahimahullah), madzhab Maliki (imam Malik rahimahullah), madzhab Syafi’i (imam Syafi’i rahimahullah), madzhab Hanbali (imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah). Sekalipun sebenarnya ada beberapa madzhab lainnya seperti madzhab Dhahiriyyah, Zaidiyyah, Sufyaniyyah dan sebagainya.
Semua madzhab dapat diambil pendapatnya jika benar dan dapat pula ditinggalkan jika salah, karena memang tidak ada yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) kecuali Al-Qur’an dan sunnah Nabi. (Lihat Syarh Lum’ah Al-I’tiqad hal. 166-167 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah).
Fenomena Fanatik Mazdhab
Fenomena fanatik madzhab sangat nyata terpampang tak terelakkan,
baik dalam lembaran kitab madzhab klasik dan kontemporer maupun dalam
fakta kehidupan. Muatannya sesak dengan saling tuding-menuding,
menghujat, dan mencela satu sama lain sehingga memantapkan kita semua
bahwa klaim mereka selama ini “semua madzhab adalah benar” hanyalah
omong kosong belaka yang tidak ada buktinya.
Sejarah
menjadi saksi bahwa fanatik buta terhadap madzhab hingga detik ini
telah menelan korban yang tak sedikit jumlahnya. Berikut saya akan
turunkan beberapa ucapan para ahli fanatisme madzhab yang masing-masing
mengkalim bahwa kebenaran pada pihaknya sendiri sedangkan kebatilan
pada pihak madzhab lainnya.
Dari mazdhab Hanafiyyah, Muhammad ‘Alauddin, seorang tokoh yang cukup populer dalam madzhab Hanafi pernah berkata:
فَلَعْنَةُ رَبِّنَا أَعْدَادَ رَمْلٍ عَلَى مَنْ رَدَّ قَوْلَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ
La’nat Rabb kami sejumlah bilangan pasir, terhadap orang yang menolak perkataan Abu Hanifah. (Ad-Durrul Mukhtar 1/48-49).
Abul Hasan Al-Karkhiy Al-Hanafi juga mengatakan: “Setiap
ayat dan hadits yang menyelisihi penganut madzhab kami (Hanafiyyah),
maka dia harus dita’wil (diselewengkan artinya) atau mansukh (dihapus
hukumnya)”. (Lihat Ma Laa Yajuzu Al-Khilaf Bainal Muslimin hal. 95).
Dalam madzhab Malikiyyah, mayoritas para penganutnya mempunyai sebuah peribahasa lucu:
لَوْ لَمْ يَكُنْ مَالِكاً لَكَانَ الدِّيْنُ هَالِكًا
Seandainya bukan karena Malik, maka agama ini akan hancur.
Dalam madzhab Syafi’iyyah, Imam Al-Juwaini As-Syafi’i rahimahullah berkata: “Menurut
kami, setiap orang berakal dan seluruh kaum muslimin, baik di timur
maupun barat, jarak dekat maupun jauh wajib mengikuti madzhab Syafi’i.
Bagi orang yang masih awam dan jahil, mereka harus mengikuti madzhab
Syafi’i dan tidak mencari pengganti lainnya”. (Lihat Mughitsul Al-Khalq hal. 15-16)
Dalam madzhab Hanabilah, seorang diantara mereka pernah mengungkapkan:
أَنَا حَنْبَلِيٌّ مَا حَيَيْتُ وَإِنْ أَمُتْ فَوَصِيَّتِيْ لِلنَّاسِ أَنْ يَتَحَنْبَلُوْا
Saya seorang (bermazdhab) hanbali selama hidup dan matiku. Wasiat saya kepada manusia agar mereka bermadzhab Hanbali. (LihatIrwa’ul Ghalil 1/22-23 karya Al-Albani)
Ucapan-ucapan serupa seringkali kita jumpai dari kalangan ahli fanatik madzhab, bahkan diantara mereka sangat keterlaluan dalam menjunjung tinggi imamnya,
memperjuangkan madzhabnya, berkoar agar manusia hanya mengikutinya,
mencoreng habis madzhab selainnya serta berusaha sekuat tenaga
menjatuhkan kedudukan lawannya.
Tragisnya,
sebagian mereka mengangkat kedudukan imam madzhabnya pada derajat yang
belum pernah dijangkau oleh seorang pun dari sahabat Nabi.
Perhatikanlah ungkapan ‘Alauddin Al-Haskafiy Al-Hanafiy ketika memuji imam Abu Hanifah rahimahullah:
“Kesimpulanya,
imam Abu Hanifah merupakan mu’jizat Nabi yang paling besar setelah
Al-Qur’an. Cukuplah sebagai keutamaan beliau adalah tersohornya madzhab
beliau. Tidak pernah dia mengeluarkan suatu pendapat melainkan ada dari
imam kaum muslimin yang mengambilnya. Sejak zaman beliau hingga hari
ini, Allah selalu menguatkan madzhabnya bagi para penganutnya hingga
Isa bin Maryam kelak akan berhukum dengan madzhabnya…”.
(Lihat Ad-Durrul
Mukhtar 1/55-58 diringkas dari Zawabi’ fi Wajhi Sunnah hal. 223 oleh
Syaikh Sholah Maqbul Ahmad dan Kutub Hadzara Minha Ulama’(1/158-167)
oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman).
Wajibkah Bermadzhab dengan salah satu empat madzhab?
Banyak kaum muslimin berkeyakinan, baik yang masih awam maupun kyainya bahwa seorang muslim wajib mengikuti salah satu madzhab dari empat madzhab.
Sungguh ini merupakan anggapan yang salah fatal dan kejahilan yang
mendalam. (Lihat Halil Muslim Mulzam bi Ittib’ Madzhab Mu’ayyan hal. 5
oleh Syaikh Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi rahimahullah).
Apa yang disindir oleh Syaikh Al-Ma’shumi rahimahullah di
atas bukan hanya omong kosong tetapi fakta dan nyata. Banyak para
penulis dan penceramah memprogandakan wajibnya bermadzhab. Simaklah apa
yang dikatakan Ahmad As-Shawi rahimahullah,
salah seorang shufi bermadzhab Maliki dan beraqidah Asya’irah (wafat
th. 1241 H) dalam Hasyiyah Al-Jalalain (3/10): “Tidak
boleh taklid selain kepada empat madzhab walaupun sesuai dengan
perkataan sahabat, hadits maupun ayat. Orang yang diluar empat madzhab
adalah sesat dan menyesatkan, bahkan dapat menjebloskannya ke lubang
kekufuran, sebab mengambil tekstual Al-Qur’an dan hadits termasuk
sumber kekufuran !!!”.
Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah mengomentari ucapan ini: “Ucapan
As-Shawi di atas merupakan ucapan yang paling kotor. Seandainya
seseorang mencari ucapan yang lebih kotor darinya, mungkin dia tak
menemukannya. Hal itu mempengaruhi dirinya dalam menafsirkan Al-Qur’an
berdasarkan akal dan fanatik madzhab. Kita memohon kepada Allah
keselamatan”. (Ar-Radd Ala Rifa’i wal Buthi hal.47)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam Minhaj Sunnah(3/412): “Tidak ada seorangpun dari kalangan ahli sunnah yang mengatakan: “Kesepakatan imam empat adalah hujjah yang ma’shum”, “Kebenaran hanya pada imam empat saja” atau “Siapa yang tidak mengikutinya berarti salah”. Bahkan, apabila ada seorang yang di luar penganut madzhab empat -seperti Sufyan Tsauri rahimahullah, Al-Auza’i rahimahullah, Laits bin Sa’ad rahimahullah dan ulama’ lainnya- suatu perkataan yang bertentangan dengan pendapat madzhab empat, maka harus ditimbang dengan Al-Qur’an dan sunnah. Pendapat yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah, itulah yang lebih kuat”.
Dalil-Dalil Tercelanya Fanatik
Dalil Pertama:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. An-Nur: 63).
Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Saya heran dengan suatu kaum yang telah mengenal sanad hadits dan keabsahannya kemudian mereka berpegang dengan pendapat Sufyan (Ats-Tsauri) padahal
Allah berfirman (beliau membawakan ayat di atas) lalu berkata: Tahukah
engkau apa itu fitnah? Fitnah adalah syirik. Bisa jadi jikalau dia menolak sebagian sunnah Nabi, maka akan bercokol dalam hatinya suatu penyimpangan hingga dia hancur binasa”.
Semoga Allah merahmati Imam Ahmad. Kalau demikian kecaman keras beliau terhadap orang yang menentang sunnah Nabi dengan pendapat imam Sufyan Tsauri rahimahullah padahal beliau adalah salah satu ulama besar, lantas bagaimana kalau seandainya beliau melihat manusia zaman sekarang yang bukan hanya menolak sunnah dengan perkataan alim ulama, tetapi
mereka menentang sunnah dengan pendapat para tokoh agama (kyai) yang
juhala’ (bodoh), rasionalis, politikus bahkan para artis dan pelawak
yang miskin ilmu. Hanya kepada Allah-lah kita mengadu semua ini.
Dalil Kedua:
إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ اْلأَسْبَابُ
(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. (QS. Al-Baqarah: 166).
Syaikh Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi rahimahullah berkata dalam risalahnya “Halil Muslim Mulzam…” hal. 31: “Ketahuilah bahwa ayat ini adalah halilintar keras bagi para para ahli taklid karena sikap membeonya mereka terhadap ucapan dan pendapat manusia dalam masalah agama,
baik mereka masih hidup atau sudah meninggal dunia! Taklid dalam
masalah aqidah dan ibadah! Masalah halal dan haram! Karena semua masalah ini harus bersumber dari Allah dan rasul-Nya, bukan diambil dari pendapat dan pemikiran seorang, lebih-lebih dari para tokoh penyesat agama”.
Dalil Ketiga:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ
النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ
لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras,
sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain,
supaya tidak hapus amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari (QS. Al-Hujurat: 2).
Imam Ibnu Qoyyim rahimahullah dalam I’lamul Muwaqqiin (1/60) berkomentar: “Apabila mengeraskan suara mereka di atas suara rasul saja dapat menyebabkan gugurnya amalan mereka, lantas
bagaimana kiranya dengan mendahulukan dan mengedepankan pendapat, akal,
perasaan, politik dan pengetahuan di atas ajaran rasul? Bukankah ini lebih layak sebagai faktor penggugur amalan mereka?”
Dalil Keempat:
Rasulullah bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa hadir di tengah kalian lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku, maka sungguh kalian telah tersesat dari jalan yang lurus. Kiranya Musa hidup dan menjumpai kenabianku, dia pasti mengikutiku” (Hasan. riwayat Ad-Darimi dalam Sunannya (441) dan Ahmad (3/471, 4/466) Lihat Al-Misykah (177) oleh Al-Albani).
Maksudnya apabila kita meninggalkan sunnah Nabi dan mengikuti Musa, seorang nabi mulia yang pernah diajak bicara oleh Allah, maka kita akan tersesat dari jalan yang lurus. Lantas
bagaimana pendapatmu apabila kita meninggalakan sunnah Nabi dan
mengikuti para kyai, tokoh agama, ustadz, mubaligh, cendekiawan dan sebagainya yang sangat jauh bila dibandingkan dengan Nabi Musa? Pikirkanlah! (Lihat Muqaddimah Bidayatus Suul hal. 6 oleh Syaikh Al-Albani).
Dalil Kelima:
Ibnu Abbas berkata: “Hampir saja kalian akan dihujani batu dari langit. Aku katakan: Rasulullah bersabda demikian, lantas kalian membantahnya: Tapi Abu Bakar dan Umar berkata demikian?!” (Shahih. Riwayat Ahmad 1/337 dan Al-Khatib dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih 1/145).
Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alu Syaikh rahimahullah berkata dalam kitabnyaTaisir Aziz Al-Hamid hal. 483:
“Jikalau perkataan yang muncul dari Ibnu Abbas ini diperuntukkan pada orang yang menentang sunnah dengan pendapat Abu Bakar dan Umar yang
telah diketahui bersama kedudukan mereka berdua, lantas bagaimana
kiranya apa yang akan beliau katakan terhadap orang yang menetang
sunnah nabi dengan dengan tokoh dan imam madzhab yang dianutnya? Lalu
menjadikan pendapat orang tersebut sebagai tolok ukur Al-Qur’an dan sunnah,
bila keduanya sesuai dengan pendapat tokohnya maka diterima dan bila
bertentangan dengan pendapat tokohnya maka ditolak atau ditakwil.
Kepada Allah kita memohon pertolongan”. (Lihat pula Al-Qaulul Mufid (2/152) oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah cet. Dar Ibnu Jauzi).
Dampak Negatif Fanatik
Fanatisme memunculkan berbagai dampak negatif yang sangat berbahaya bagi pribadi secara khusus dan masyarakat secara umum. Demi kewaspadaan kita semua agar tidak terjerat dalam belenggunya, akan kami paparkan beberapa dampak tersebut:
1. Memejamkan mata dari argumen yang kuat dan berpegang dengan argumen yang rapuh.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menandaskan: “Mayoritas orang-orang fanatik mazdhab tidak mendalami Al-Qur’an dan sunnah kecuali segelintir orang saja. Sandaran mereka hanyalah hadits-hadits lemah, pendapat-pendapat rapuh atau hikayat-hikayat dari para tokoh ulama’ yang bisa jadi benar dan bisa jadi bohong”. (Majmu’ Fatawa 22/254).
2. Mementahkan dalil shahih karena bertentangan dengan madzhab.
Bahkan seringkali mereka mementahkan dalil shahih dengan uslub yang kasar. Sebagai contoh, KH. Sirajuddin Abbas dalam bukunya “40 Masalah Agama” Juz 1 hal. 186 -cet. Kedua puluh sembilan- tatkala mengomentari hadits Abu Malik Al-Asyja’iy tentang bid’ahnya qunut shubuh terus-menerus sebagaimana dilakukan mayoritas kaum muslimin di Indonesia: “Nampaknya Thariq ini tidak dapat dipercayai omongannya dan mungkin ini bukan perkataan Thariq, tetapi disebut-sebut oleh orang lain dan dikatakan ucapan Tahriq!!!”.
3. Menyulut api perselisihan dan permusuhan
Persatuan dan kedamaian terasa mustahil terwujudkan bila penyakit fanatik madzhab masih bercokol di dada kaum muslimin. Bahkan api kebencian, percekcokan dan perpecahan bertambah menyala-nyala dalam kehidupan. Imam Dzahabi rahimahullah menceritakan dalam Mizanul I’tidal (4/51) bahwa Muhammad bin Musa Al-Balasaghuniy rahimahullah pernah berkata: “Seandainya aku menjadi pemimpin, niscaya aku akan mengambil pajak dari penganut madzhab Syafi’i”.
Dalam muqaddimah buku “Halil Muslim Mulzam bi Ittiba’ Madzhabin Mu’ayyan” oleh Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi rahimahullah diceritakan begini:
“Rombongan
Jepang pernah berkeinginan masuk agama Islam. Untuk melaporkan
keperluannya, mereka pergi ke sebuah lembaga Islam di kota Tokyo.
Ternyata para pengurusnya dari berbagai madzhab. Orang India mengatakan: “Rombongan ini wajib mengikuti madzhab Abu Hanifah karena beliau adalah pelita umat", sedangkan orang Indonesia “Jawa” menyahut: “Madzhab Syafi’i lebih utama untuk dianut”. Mendengar keributan para pengurus tersebut, rombongan Jepang terheran-heran dan merasa kebingungan sehingga akhirnya mereka tidak jadi masuk Islam”.
Nyarisnya, sumber permusuhan itu biasanya berinduk pada masalah fiqih belaka. Imam Dzahabi rahimahullah menceritakan dalam Siyar A’lam Nubala’ (17/477) bahwa Abu Abdillah Muhammad bin Fadhl Al-Farra’ pernah
menjadi imam shalat di masjid Abdullah selama enam puluh tahun lamanya,
beliau bermadzhab Syafi’i dan melakukan qunut (shubuh). Setelah itu,
imam shalat diambil alih oleh seorang yang bermadzhab Maliki, beliau
tidak qunut (shubuh). Karena hal ini menyelisihi tradisi masyarakat,
akhirnya mereka bubar meninggalkannya seraya berkomentar: “Shalatnya gak becus!!!”.
4. Menolak kebenaran sekalipun sudah jelas hujjahnya
Imam Ibnul Jauzy rahimahullah mengatakan: “Termasuk
tipu daya Iblis terhadap para fuqaha’ yaitu tatkala jelas kebenaran
berada di tangan lawannya, dia akan tetap bersikukuh mempertahankan
pendapatnya dan merasa sesak dada untuk menerima kebenaran dari lawannya, bahkan dia akan berusaha menggulingkan lawan padahal sudah jelas dia yang benar. Hal seperti ini sangat nista sekali, karena fungsi dialog adalah mencari kebenaran sebagaimana dikatakan oleh Syafi’i: “Tidak
pernah saya berdialog dengan seseorang yang menolak kebenaran kecuali
dia hina di hadapanku dan tidak pernah saya berdialog dengan seseorang
yang menerima kebenaran kecuali dia berwibawa dalam pandanganku. Tidak
pernah saya berdialog dengan seseorang kecuali saya akan mengikuti kebenaran, bila kebenaran memang bersamanya saya akan mengikutinya dan bila kebenaran bersamaku dia mengikutiku” (Talbis Iblis hal.120).
5. Mempermainkan dalil demi membela madzhabnya.
Contohnya banyak sekali, saya akan tampilkan satu contoh saja:
Ahmad As-Shawi rahimahullah berkata dalam Hasyiyah Jalalain (3/307-308) ketika menafsirkan surat Fathir:
أَفَمَن زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَءَاهُ حَسَنًا
Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik. (QS. Fathir: 8).
Katanya:
“Ayat
ini turun kepada kelompok Khawarij yang merubah makna Al-Qur’an hadits
dan menghalalkan darah dan harta kaum muslimin sebagaimana dapat kita
saksikan sekarang pada cikal bakalnya yang berada di Hijaz yaitu Wahhabiyyah!
Mereka menyangka bahwa kelompoknya di atas hujjah padahal tidak sama
sekali. Ketahuilah mereka adalah manusia pendusta. Syetan telah
menjangkiti mereka sehingga membuat mereka lupa dari mengingat Allah.
Merekalah bala tentara Syetan. Ketahuilah bahwa bala tentara Syetan
pasti merugi. Kita memohon kepada Allah agar meluluhlantahkan kekuatan
mereka”.
Lihatlah
wahai saudaraku, bagaimana fanatik madzhab membuat buta para pemeluknya
sehingga mengeluarkan kata yang tak terkontrol oleh akal warasnya. Saya
di sini bukan untuk membantah kedustaan ini sebab sebagaimana kata
seorang penyair:
ئِمَّةُ حَقٍّ كَالشُّمُوْشِ اشْتِهَارُهُمْ فَمَاانْطَمَسُوْا إِلاَّ مَنْ بِهِ عُمَى
Para Imam Kebenaran, Popularitas mereka seperti matahari
Tidak ada yang mencela mereka kecuali orang yang buta.
6. Merubah nash demi kepentingan madzhab.
Contohnya banyak sekali, saya akan tampilkan satu contoh saja:
Atsar tentang qunut shubuh yang diriwayatkan oleh imam Ahmad (3/472), Ibnu Majah (1241), Tirmidzi (2/252) dan beliau menshahihkannya:
Dari Malik Asyja’iy berkata: “Saya
pernah bertanya kepada ayahku: “Wahai ayahku! Engkau pernah shalat di
belakang Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali di Kufah sini
selama lima tahun lamanya, apakah mereka melakukan qunut shubuh? Jawab
beliau: ‘Wahai anakku, itu merupakan perkara baru”!!
Dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Muhadzab (3/484) karya imam Nawawi, cetakan yang ditahqiq oleh Syaikh Muhammad Najib Al-Muti’iy, seorang tokoh mazdhab Syafi’i di Mesir sekarang tertulis begini:
أَيْ بُنَيَّ فَحَدِّثْ
Wahai anakku, ceritakanlah!!
Hal ini tidak lain kecuali karena dampak fanatik madzhab yang mengakar kuat pada dirinya. Dalam kitabnya An-Nafilah fil Ahaditsil Bathilah (1/47), Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini rahimahullah, salah seorang ulama’ ahli hadits Mesir murid Syaikh Al-Albani menceritakan bahwa beliau pernah mendengar Syaikh Muhammad Najib Al-Muti’iy rahimahullah mengatakan: “Shalatnya orang yang meninggalkan qunut shubuh secara sengaja hukumnya batal tidak sah”!
Sungguh alangkah indahnya apa yang pernah saya baca dalam Silsilah Ahadits Dha’ifah (3/388) karya Al-Muhaddits Al-Albani rahimahullah, kata beliau:
“Dalam biografi Abul Hasan Al-Kurjiy As-Syafi’i rahimahullah (wafat th. 532 H) diceritakan bahwa beliau tidak melakukan qunut shubuh seraya berkata: “Tidak ada hadits shahih tentang hal itu”. Syaikh Al-Albani rahimahullah mengomentari:
“Ini menunjukkan akan kedalaman ilmu dan inshafnya (keadilan), semoga Allah merahmatinya. Beliau termasuk orang yang diselamatkan Allah dari belenggu fanatik madzhab. Kita memohon kepada Allah agar termasuk mereka”.
7. Memalsukan hadits demi menjunjung madzhab.
Fanatik
madzhab mempunyai andil yang cukup besar dalam pemalsuan hadits demi
membela madzhab. Contohnya, hadits palsu bikinan orang-orang fanatik
madzhab Abu Hanifah rahimahullah sebagai berikut:
Akan
datang setelahku seorang yang bernama Nu’man bin Tsabit dan kunyah-nya
Abu Hanifah, sungguh dia akan menghidupkan agama Allah dan sunnahku. (Lihat Tanzih Syari’ah 2/30 karya Ibnu ‘Arraq dan Tarikh Baghdad2/289 karya Al-Khatib Al-Bahgdadi).
Lebih ngeri lagi pernah dikatakan kepada Ma’mun bin Ahmad Al-Harawi rahimahullah: “Bagaimana pendapatmu tentang Syafi’i dan para pengikutnya di Khurasan?” Dia menjawab: “Menceritakanku Ahmad bin Abdillah bin Mi’dan rahimahullah dari Anas secara marfu’:
يَكُوْنًُ
فِيْ أُمَّتِيْ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ مُحَمَّدَ بْنَ إِدْرِيْسَ أَضَّّرَ
عَلَى أُمَّتِيْ مِنْ إِبْلِيْسَ وَيَكُوْنُ فِيْ أُمَّتِيْ رَجُلٌ
يُقَالُ لَهُ أَبَا حَنِيْفَةَ هُوَ سِرَاجُ أُمَّتِيْ
Akan
datang pada umatku seorang yang bernama Muhammad bin Idris (nama imam
Syafi’i), dia lebih berbahaya bagi umatku daripada Iblis. Dan akan
datang pada umatku seorang bernama Abu Hanifah, dia adalah pelita
umatku. (Lihat Lisanul Mizan(5/7-8) karya Ibnu Hajar dan Tadrib Rawi (1/277) karya As-Suyuthi).
Hadits ini disamping maudhu’ (palsu), juga bertentangan dengan ketegasan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa pelita umat adalah Nabi Muhammad sebagaimana dalam surat Al-Ahzab: 46.
8. Mewajibkan taklid kepada seorang imam madzhab.
Para fanatisme madzhab akan menyerukan kepada kaumnya tentang kewajiban taklid yaitu mengambil pendapat seorang tanpa mengetahui dalilnya. Bahkan, untuk mencapai tujuan ini, mereka membuat hadits dusta yaitu:
مَنْ قَلَّدَ عَالِمًا لَقِيَ اللهَ سَالِمًا
Barangsiapa yang taklid kepada seorang alim, maka dia akan berjumpa Allah dengan selamat.
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah pernah ditanya tentang hadits ini dalam Majalah Al-Manar (34/759) lalu beliau menjawab : “Itu bukan hadits”. Hal ini disetujui oleh Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani rahimahullah dalam Silislah Ahadits Ad-Dha’ifah (551).
Berikut ucapan para propagandis taklid beserta sedikit sanggahannya:
a. Al-Baijury dalam “Jauharah Tauhidnya” pernah mengungkapkan:
Sewajibnya untuk taklid kepada seorang alim diantara mereka. Demikianlah diceritakan oleh suatu kaum dengan lafadz yang mudah difahami.
Syaikh Muhammad Ahmad Al-Adawi rahimahullah berkata dalam Al-Jadid ‘ala Jauharah Tauhid hal. 111 mengomentari bait di atas: “Kami belum mendapati pendahulu bagi penulis yang mewajibkan taklid”.
b. KH. Ahmad Masduqi,
wakil Ro’is PWNU Jatim berkata dalam bukunya “Konsep Dasar Pengertian
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah” hal. 60 cet. Pelita Dunia Surabaya: “Apabila sejak ratusan tahun yang lalu sampai sekarang
sebagian besar umat Islam di seluruh dunia yang termasuk dalam golongan
Ahlus sunnah wal Jam’ah (ala mereka -pent-) membenarkan adanya kewajiban taklid bagi orang yang tidak mencukupi syarat-syarat untuk berijtihad…”.
Ini
adalah ucapan batil dari akarnya dan kebohongan nyata!. Tidak pernah
ada kewajiban seperti ini dari Allah, Rasulullah hatta imam madzhab
sekalipun, karena pendapat mereka itu kadang benar dan kadang juga
salah. Seringkali para imam-imam madzhab berpendapat suatu pendapat
lalu setelah jelas baginya dalil, dia ruju’ (kembali) kepada dalil. Para imam sendiri telah mengucapkan perkataan-perkataan berharga tentang haramnya taklid kepada mereka. Imam Syafi’i sendiri pernah berkata:
كُلُّ مَا قُلْتُ وَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ خِلاَفُ قَوْلِيْ مِمَّا يَصِحُّ فَحَدِيْثُ النَّبِيِّ أَوْلَى وَلاَ تُقَلِّدُوْنِيْ
Setiap ucapan saya yang bertentangan dengan hadits shahih, maka hadits Nabi lebih utama dan janganlah kalian taklid kepadaku. (Adab Syafi’i wa Manaqibuhu (1/66) oleh Ibnu Abi Hatim).
Tentang haramnya taklid dan bahayanya, para ulama sudah membahas secara tuntas seperti imam:
a. Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah dalam I’lam Muwaqqi’in,
b. Syaikh Shalih Al-Fulani dalam Iqhadhul Himami Ulil Abshar,
c. Syaikh Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi Al-Hujandi dalam Halil Muslim Mulzam bi Ittiba’i Madzhabin Mu’ayyanin,
d. Syaikh Muhammad ‘Ied Al-Abbasi dalam Bid’ah Ta’ashub Madzhabi,
e. Muhammad Nasiruddin Al-Albani dalam muqaddimah Sifat Shalat Nabi dan masih banyak lainnya lagi.
9. Menutup pintu ijtihad.
KH. Ahmad Masduqi berkata dalam bukunya yang berjudul Konsep Dasar Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hal. 60: “Atau
dengan lain perkataan, belum pernah ada orang yang mampu memasuki
“Pintu Ijthad Yang Mutlaq” semenjak dahulu sampai sekarang, meskipun
pintu tersebut tidak pernah ditutup. Dan apabila di sana-sini banyak
kita jumpai orang-orang yang berlagak pilon mengaku sebagai mujtahid,
artinya menggali sendiri dari Al-Qur’an dan Al-hadits dalam menjalankan
syari’at Islam dan tidak mau mengikuti pendapat imam madzhab, maka
sebenarnya mereka tidak lebih dari orang-orang yang membebek kepada
guru-guru mereka yang masih belum memahami benar-benar arti ijtihad,
apalagi memenuhi syarat-syarat untuk berijtihad”.
Ucapan di atas salah fatal, tipu daya tak samar, kesesatan nyata dan ajaran baru yang
diusung oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab sehingga
berdampak negatif yaitu sikap kolot terhadap pendapat madzhab.