PENYUSUN
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar bin Munthohir as-Sidawi
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar bin Munthohir as-Sidawi
MUQODDIMAH
الْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَالصَّلاَةُ
وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ
بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ :
Membaca kisah, memang asyik dan
menyenangkan, penuh dengan ibrah dan pelajaran, apalagi kisah para nabi dan
orang-orang shalih, tentulah sarat dengan mutiara-mutiara hikmah yang sangat
berharga. Tentang kisah para nabi, Alloh berfirman:
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لأُوْلِي
اْلأَلْبَاب
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu
terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal. (QS. Yusuf : 111)
Adapun kisah orang-orang shalih, Imam
Sufyan bin ‘Uyainah berkata: “Ketika membicarakan kisah mereka, turunlah rahmat
( Alloh )”.
Sungguh alangkah indahnya ucapan seorang penyair:
Sungguh alangkah indahnya ucapan seorang penyair:
كَرِّرْ عَلَيَّ حَدِيْثَهُمْ يَاحَادِيْ
فَحَدِيْثُهُمْ يُجْلِىْ الْفُؤَادَ الصَّاوِيْ
Ceritakanlah kepadaku tentang kisah
mereka wahai shahabatku
Sungguh kisah mereka dapat mencairkan hati yang membeku.
Sungguh kisah mereka dapat mencairkan hati yang membeku.
Pengetahuan tentang kisah memang asyik
lagi menarik. Tetapi sayang, pengetahuan yang mulia ini telah ternodai oleh
goresan tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, dengan memutarbalikkan
fakta sejarah yang sebenarnya, lalu menebarkan kisah-kisah yang tidak shahih.
Ironisnya, justru kisah-kisah itulah yang banyak beredar, laris manis, dan banyak
dikomsumsi masyarakat, padahal kebanyakan kisah-kisah tersebut banyak yang
mengandung kerusakan aqidah, celaan kepada para Nabi dan ulama serta dampak
negatif lainnya.
Maka hendaknya bagi kita untuk
berhati-hati dan mengoreksi terlebih dahulu tentang keshohihan kisah sebelum
kita menyampaikannya. Alangkah bagusnya apa yang dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu
Hajar: “Diharuskan bagi seorang yang ingin menilai suatu ucapan, perbuatan atau
golongan untuk berhati-hati dalam menukil dan tidak memastikan kecuali benar-benar
terbukti, tidak boleh mencukupkan diri hanya pada issu yang beredar, apalagi
jika hal itu menjurus kepada celaan kepada seorang ulama”.
Bila ada yang berkata: Kisah-kisah ini
sudah kadung masyhur di masyarakat, bagaimana mungkin enggak shohih?! Kami
katakan: Kemasyhuran di masyarakat bukanlah jaminan bahwa itu mesti shahih.
Betapa banyak hadits dan kisah yang masyhur di masyarakat, tetapi para ulama
ahli hadits menghukuminya sebagai hadits lemah, palsu bahkan tidak ada asalnya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Hadits masyhur bisa juga diartikan dengan suatu
hadits yang banyak beredar di lidah masyarakat umum, maka hal ini mencakup
hadits yang memiliki satu sanad atau lebih, bahkan hadits yang tidak memiliki
sanad sama sekali”.
Syaikhul Islam juga berkata: “Seandainya
sebagian masyarakat umum yang mendengar hadits dari tukang cerita dan aktivis
dakwah, atau dia membaca hadits, yang baginya adalah populer, maka bukanlah hal
itu menjadi patokan sama sekali. Betapa banyak hadits-hadits yang populer di
masyarakat umum, bahkan di kalangan para ahli fiqih, kaum sufi, ahli filsafat
dan sebagainya, lalu menurut pandangan ahli hadits ternyata hadits tersebut
adalah tidak ada asalnya, dan mereka menegaskan hadits tersebut palsu”.
Di sinilah, letak pentingnya kehadiran
buku seperti ini yang berusaha memaparkan sebagian kisah-kisah yang tidak
shahih sebagai peringatan bagi kita semua agar tidak terjerumus dalam
penyimpangan dan kedustaan.
Buku ini memuat 20 kisah yang kami pilih sebagai kisah-kisah yang masyhur namun tidak nyata adanya . Kami berusaha untuk menyampaikannya secara ringkas dan praktis. Namun kami menyadari bahwa buku ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan masukan pembaca sangat kami harapkan.
Buku ini memuat 20 kisah yang kami pilih sebagai kisah-kisah yang masyhur namun tidak nyata adanya . Kami berusaha untuk menyampaikannya secara ringkas dan praktis. Namun kami menyadari bahwa buku ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan masukan pembaca sangat kami harapkan.
Kita memohon kepada Allah ilmu yang
bermanfaat dan amal sholih. Sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan bagi
Nabi kita Muhammad.
Gresik, 10 Muharram 1429 H
DAFTAR ISI
Muqaddimah
Kemaksiatan Harut dan Marut
Nabi Adam p\ dan Hawa’ Berbuat Syirik?
Nabi Dawud dan Fitnah Wanita
Masyithoh Anak Fir’aun
Abu Bakar Tersengat Kalajengking
Burung Merpati dan Laba-Laba
Sambutan Kedatangan Nabi
Tsa’labah bin Hathib Yang Lalai Dari
Allah
Alqomah, Anak Yang Durhaka
Demonstrasi Umar dan Hamzah
Tahkim Abu Musa dan Amr bin Ash
Wisata Bilal Ke Kuburan Nabi
Umar Ditegur Wanita Soal Mahar
Ali bin Abi Thalib Duel Dengan Jin
Harun Rosyid dan Abu Nuwwas
Al-Utby Dan Kuburan Nabi
Syaikh Rifa’I Mencium Tangan Nabi
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Mimbar
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Mencela
Nabi?
Wasiat Syaikh Ahmad Penjaga Hujroh Nabi
Khotimah
KEMAKSIATAN HARUT DAN MARUT
Kisahnya
Ketika Allah menurunkan Adam ke bumi
maka para malaikat berkata: “Wahai Rabb Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang
tidak kamu ketahui”. Para malaikat berkata: “Wahai Rabb kami kami lebih taat
kepadaMu dibandingkan dengan anak Adam”. Allah berfirman kepada para malaikat:
“Pilihlah dua malaikat yang akan Aku turunkan ke muka bumi dan kita lihat apa
yang diperbuat keduanya”. Para malaikat berkata: “Harut dan Marut”. Maka
Harut dan Marut diturunkan ke bumi dan dinampakkan bagi keduanya Zuhroh sebagai
wanita yang cantik, maka datanglah keduanya kepada Zuhroh dan meminta Zuhroh
(agar berzina dengan keduanya), maka Zuhroh berkata: “ Tidak, demi Allah sampai
kalian berdua mengucapkan kalimat kesyirikan”, maka keduanya mengatakan:
“Tidak, demi Allah kami tidak akan berbuat kesyirikan terhadap Allah
selama-lamanya”, maka pergilah Zuhroh dari keduanya, kemudian dia kembali
sambil membawa seorang bayi, maka kembalilah keduanya minta kepada Zuhrah agar
menyerahkan dirinya kepada keduanya, maka Zuhroh berkata: “Tidak, demi Allah
sampai kalian berdua membunuh bayi ini”, maka keduanya berkata:“Tidak, kami
tidak akan membunuhnya selama-lamanya”, maka pergilah Zuhroh dan kembali lagi sambil
membawa segelas khomr, maka kembalilah keduanya minta diri Zuhroh yang dijawab
dengan perkataannya: “Tidak, demi Allah sampai kalian berdua meminum khomr
ini”, maka keduanya meminum khomr tersebut sampai mabuk dan berzina dengan
Zuhroh serta membunuh bayi tersebut, ketika keduanya siuman maka berkata
Zuhroh: “Demi Allah tidak ada satupun dari perbuatan yang sebelumnya kalian
enggan melakukan padaku melainkan telah kalian lakukan ketika kalian berdua
dalam keadaan mabuk”. Maka keduanya disuruh memilih antara adzab dunia dan
akhirat, maka keduanya memilih adzab dunia.
Benarkah kisah ini, padahal di dalamnya
mengandung cerita yang menunjukkan kedurhakaan dua malaikat kepada Allah U ?! Berikut
akan kita bahas kedudukan kisah ini dari segi riwayat dan dirayah:
Derajat Kisah
BATHIL. Ada tiga riwayat yang marfu’
(sampai kepada Nabi) tentang kisah ini, kesimpulannya seperti dikatakan oleh
Al-Hafidz Ibnu Katsir: “ Kisah Harut dan Marut ini diriwayatkan dari beberapa
tabi’in seperti Mujahid, Suddi, Hasan Al-Bashri, Qotadah, Abul Aliyah, Zuhri,
Rabi’ bin Anas, Muqotil bin Hayyan dan lain-lain, dan dibawakan oleh banyak
penulis tafsir dari kalangan terdahulu dan belakangan. Kesimpulannya, perincian
mendetail dari kisah ini kembali kepada berita Israailiyyat (bani Israil),
karena riwayat ini tidak ada sama sekali dalam hadits marfu’ yang bersambung
sanadnya dari Rasulullah e Ash-Shodiqul Mashduq yang tidak pernah berucap dari hawa nafsunya. Dan
dhohir konteks Al-Qur’an adalah menyebutkan kisah ini dengan global dan tanpa
berpanjang lebar, maka kita beriman kepada apa yang datang dalam Al-Qur’an
sesuai yang dikehendaki Alloh Ta’ala. Allah yang lebih tahu tentang
hakekatnya”.
Syaikh Abdurrahman bin Yahya
Al-Mu’alllimy berkata: “Asal kisah ini -Wallahu A’lam- dari berita Israailiyyaat
yang dibawakan sebagian shohabat dari Ahli Kitab, tetapi sebagian perawi
berbuat kesalahan dengan menjadikannya dari Nabi e. Maka riwayat-riwayat yang kuat dari kisah ini tidak keluar dari dua
kemungkinan: Bisa jadi dari perkataan sahabat atau tabi’in, dan bisa jadi dari
kesalahan perawinya”.
Tinjauan Dari Segi Matan
Matan kisah inipun munkar sebagaimana
ditegaskan oleh para ulama’. Abu Hatim berkata: “Hadits ini munkar”. Imam Ahmad
juga berkata: “Kisah ini munkar, hanya diriwayatkan dari Ka’ab”.
Al-Imam Al-Qurthubi berkata: “Ini semua lemah dan jauh sekali kalau muncul dari Ibnu Umar dan yang lainnya dan tidak ada yang shahih satupun. Hal ini juga bertentangan dengan pokok-pokok syari’at tentang keadaan para malaikat yang merupakan kepercayaan Allah atas wahyu-Nya dan duta-duta-Nya kepada para rasul, yang malaikat ini tidak pernah durhaka atas perintah Allah kepada mereka dan selalu mengerjakan apa saja yang diperintahkan kepada mereka sebagaimana dalam firman Allah:
Al-Imam Al-Qurthubi berkata: “Ini semua lemah dan jauh sekali kalau muncul dari Ibnu Umar dan yang lainnya dan tidak ada yang shahih satupun. Hal ini juga bertentangan dengan pokok-pokok syari’at tentang keadaan para malaikat yang merupakan kepercayaan Allah atas wahyu-Nya dan duta-duta-Nya kepada para rasul, yang malaikat ini tidak pernah durhaka atas perintah Allah kepada mereka dan selalu mengerjakan apa saja yang diperintahkan kepada mereka sebagaimana dalam firman Allah:
لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ
مَا يُؤْمَرُونَ
Yang tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan. (QS. At-Tahrim: 6).
Al-Hafizh Ibnu Hazm berkata: “Di antara
bukti-bukti yang menunjukkan kebathilan kisah Harut dan Marut ini adalah firman
Allah Ta’ala:
مَا نُنَزِّلُ الْمَلاَئِكَةَ إِلاَّ بِالْحَقِّ
وَمَا كَانُوا إِذًا مُنْظَرِينَ
Kami tidak menurunkan malaikat melainkan
dengan benar dan tiadalah mereka ketika itu diberi tangguh. (QS. Al-Hijr: 8).
Dalam ayat ini Allah memastikan bahwa
tidak pernah menurunkan malaikat melainkan dengan Al-Haqq (kebenaran),
sedangkan minum khomr, berzina, membunuh jiwa yang diharamkan, dan mengajarkan
sihir (yang dilakukan oleh dua malaikat dalam kisah ini) semuanya itu bukanlah
termasuk Al-Haqq, bahkan merupakan kebatilan. Dan kita bersaksi bahwa para
malaikat tidak pernah turun sama sekali dengan semua perkara yang keji dan
kebatilan ini”.
Kesimpulan, kisah Harut dan Marut ini
adalah kisah yang bathil dari segi riwayat dan dirayah, sehingga tidak boleh
memakai kisah ini sebagai tafsir ayat, sabab nuzul, ataupun i’tiqad, Dan kisah
ini merupakan salah satu hal yang harus dibersihkan dari kitab-kitab tafsir
sesuai dengan tugas setiap muslim untuk membersihkan syari’at Islam dari
hal-hal yang mengotorinya. Wallahuu A’lam.
NABI ADAM DAN HAWA
BERBUAT SYIRIK?
BERBUAT SYIRIK?
Kisahnya
Setelah Nabi Adam menggauli istrinya
Hawa’, maka diapun mengandung. Setelah itu Iblis mendatangi keduanya seraya
berkata: “Saya adalah sahabat kalian berdua yang telah mengeluarkan kalian
berdua dari surga. Demi Allah, kalian hendaknya taat padaku. Bila tidak,
niscaya akan kujadikan anakmu bertanduk dua seperti rusa, sehingga akan keluar
dari perut istrimu dan merobeknya. Demi Allah, hal itu pasti akan kulakukan”.
Demikianlah Iblis menakuti keduanya lalu kata Iblis memerintah kepada keduanya:
“Namailah anak kalian Abdul Harits”, namun keduanya menolak untuk mentaatinya.
Tatkala bayi mereka lahir, ternyata benar lahir dalam keadaan mati. Lalu Hawa’
mengandung lagi, dan Iblis-pun kembali mendatangi keduanya seraya mengatakan
seperti yang pernah dikatakan dulu, namun mereka berdua tetap menolak untuk
mematuhinya, dan bayi merekapun lahir lagi dalam keadaan mati. Selanjutnya,
Hawa’ mengandung lagi, Iblis kembali datang dan mengingatkan dengan apa yang
pernah dia katakan dulu. Karena Adam dan Hawa’ lebih menginginkan keselamatan
anaknya, akhirnya mereka mematuhi Iblis dengan memberi nama anak mereka dengan
Abdul Harits. Itulah tafsir firman Allah:
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ
وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا ۖ فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ
حَمْلًا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ ۖ فَلَمَّا أَثْقَلَت دَّعَوَا اللَّـهَ رَبَّهُمَا
لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَّنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ ١٨٩
Tatkala Allah memberi kepada keduanya
seorang anak yang sempurna, Maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap
anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu. Maka Maha Tinggi Allah
dari apa yang mereka persekutukan. (QS. Al-A’raf: 189)
Takhrij Kisah
Kisah sangat masyhur sekali dan banyak
dimuat dalam kitab-kitab tafsir, terkadang disandarkan kepada Nabi, kadang
kepada sahabat dan kadang lagi kepada tabi’in.
Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnad
5/11, at-Tirmidzi 3077, ar-Ruyani 816, Ibnu Abi Hatim dalam Tafsir 1462, 1466,
Ibnu Jarir dalam Tarikh 1/148, ath-Thobarani dalam al-Kabir 8695, Ibnu Adi
dalam al-Kamil 5/43, al-Hakim dalam al-Mustadrok 2/545, seluruhnya dari jalur Umar
bin Ibrahim dari Qotadah dari Hasan dari Samurah dari Nabi.
Derajat Kisah
MUNKAR. Kisah ini memiliki tiga
kecacatan sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Katsir:
Pertama: Riwayat Umar bin Ibrahim dari Qotadah tidak bisa dijadikan hujjah
Kedua: Kisah ini diriwayatkan dari Samurah juga tetapi tidak marfu’ kepada Nabi
Ketiga: Hasan al-Bashri sendiri menafsirkan ayat ini bukan dengan kisah ini, kata al-Hasan: “Ayat ini berkenaan tentang sebagian ahli agama, bukan Adam”. Katanya juga: “Maksud ayat ini adalah anak keturunan Adam, yaitu mereka yang berbuat syirik setelah beliau”. Katanya lagi: “Mereka adalah Yahudi dan Nashoro, Allah memberi mereka anak, lalu mereka membuatnya menjadi Yahudi dan Nashoro”. Seandainya saja kisah ini shohih menurut beliau (Hasan), niscaya beliau menafsirkan dengannya. Hal ini menunjukkan bahwa kisah ini hanya sampai kepada sahabat dan nampaknya diambil dari ahli kitab atau yang beriman dari mereka semisal Ka’ab atau Wahb bin Munabbih dan selainnya”.
Pertama: Riwayat Umar bin Ibrahim dari Qotadah tidak bisa dijadikan hujjah
Kedua: Kisah ini diriwayatkan dari Samurah juga tetapi tidak marfu’ kepada Nabi
Ketiga: Hasan al-Bashri sendiri menafsirkan ayat ini bukan dengan kisah ini, kata al-Hasan: “Ayat ini berkenaan tentang sebagian ahli agama, bukan Adam”. Katanya juga: “Maksud ayat ini adalah anak keturunan Adam, yaitu mereka yang berbuat syirik setelah beliau”. Katanya lagi: “Mereka adalah Yahudi dan Nashoro, Allah memberi mereka anak, lalu mereka membuatnya menjadi Yahudi dan Nashoro”. Seandainya saja kisah ini shohih menurut beliau (Hasan), niscaya beliau menafsirkan dengannya. Hal ini menunjukkan bahwa kisah ini hanya sampai kepada sahabat dan nampaknya diambil dari ahli kitab atau yang beriman dari mereka semisal Ka’ab atau Wahb bin Munabbih dan selainnya”.
Setelah itu, Ibnu Katsir mengatakan:
“Adapun kami, maka kami sependapat dnegan Hasan al-Bashri dalam masalah ini
bahwa maksud ayat ini bukanlah Adam dan Hawa’, namun orang-orang yang berbuat
syirik dari anak keturunanya”.
Kesimpulannya, kisah ini tidak shohih
dari Nabi, maka otomatis tidak bisa dijadikan hujjah.
Tinjauan Matan
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
menjelaskan beberapa point yang menunjukkan bathilnya kisah ini, kata beliau:
“Kisah ini adalah bathil dari beberapa segi:
Kisah ini tidak terdapat dalam hadits
yang shohih dari Nabi padahal kisah seperti ini tidak bisa diterima kecuali
berdasarkan wahyu. Ibnu Hazm mengatakan tentang kisah ini: “Riwayat khurafat,
dusta dan palsu”.
Kalau kisah ini benar-benar mengenai
Adam dan Hawa’ maka ada dua kemungkinan: Pertama: Keduanya mati dalam
kesyirikan dan tidak bertaubat, maka sungguh ini adalah tuduhan dusta, sebab
para Nabi terjaga dari perbuatan syirik. Kedua: Keduanya telah bertaubat
dari syirik, sungguh tidak sesuai dengan keadilan Allah bila menyebut dosa
mereka namun tidak menyebutkan taubat keduanya, padahal Allah apabila
menyebutkan kesalahan sebagian Nabi maka Dia juga menyebutkan taubat mereka.
Para Nabi terjaga dari perbuatan syirik
dengan kesepakatan ulama.
Dalam hadits syafa’at disebutkan bahwa
manusia saat itu datang kepada Adam untuk meminta syafaat, lalu beliau
menyampaikan udzur karena telah bermaksiat kepada Allah dengan memakan dari
pohon yang terlarang. Seandainya beliau terjatuh dalam kesyirikan, tentu hal
itu lebih utama untuk diutarakan saat itu.
Dalam kisah ini Syetan berkata: “Saya
adalah teman kalian yang mengeluarkan kalian dari surga”. Ucapan ini bukanlah
ucapan orang yang ingin menggoda dan menyesatkan, bahkan ucapan ini malah
membikin tertolaknya rayuannya.
Ucapan Iblis “Bila tidak, niscaya akan
kujadikan anakmu bertanduk dua seperti rusa”. Ada dua
kemungkinan: Pertama: Adam dan Hawa’ mempercayainya dan ini perbuatan
syirik dalam rububiyyah karena tidak ada pencipta kecuali hanya Allah
saja. Kedua: Keduanya tidak percaya, tidak mungkin keduanya percaya karena
keduanya tahu bahwa hal itu tidak mungkin dalam haknya.
Firman Allah: a
سُبْحَانَ اللَّـهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ٤٣
“Maha tinggi Allah atas apa yang mereka
persekutukan” dengan dhomir jama’ (mereka), seandaianya kembali kepada Adam dan
Hawa’ maka akan menggunakan dhomir mutsana (keduanya).
Beberapa point ini menguatkan bathilnya
kisah ini, maka tidak boleh seorang berkeyakinan bahwa Adam dan Hawa’ terjatuh
dalam kubang kesyirikan, karena para Nabi tidak mungkin melakukannya dengan
kesepakatan ulama. Dengan demikian maka tafsir yang benar tentang ayat ini
adalah kembali kepada anak Adam yang berbuat syirik, karena diantara anak Adam
ada yang berbuat syirik dan ada yang ahli tauhid”.
NABI DAWUD DAN FITNAH WANITA
Kisahnya
Nabi Dawud pernah melihat seorang wanita
bernama Areya, akhirnya dia-pun jatuh hati karena keelokannya. Namun sayangnya,
wanita tersebut telah bersuami, maka sebagai panglima perang Nabi Dawud
memerintahkan kepada suami wanita tersebut untuk ikut perang sehingga dia
terbunuh. Setelah suaminya terbunuh, maka Nabi Dawud-pun menikahi wanita
tersebut.
Takhrij Kisah
Kisah ini sangat masyhur sekali dalam
kitab-kitab kisah Nabi dan tafsir. Diriwayatkan oleh al-Hakiim at-Tirmidzi
dalam Nawadirul Ushul sebagaimana dalam Tafsir al-Qurthubi 15/167 dan Ibnu Abi
Hatim dari jalur Yazid ar-Roqqosyi dari Anas bin Malik.
Derajat Kisah
BATHIL. As-Suyuthi berkata: “Kisah ini
diriwayatkan Ibnu Abi Hatim dari hadits Anas secara marfu’. Namun dalam
sanadnya terdapat Ibnu Lahi’ah yang keadaanya telah dimaklumi bersama, dan juga
Yazid ar-Roqosyi, dia seorang yang lemah.
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata: “Para
ahli tafsir menyebutkan tentang ayat ini sebuah kisah yang kebanyakannya
diambil dari israiliyyat, tidak shohih dari Nabi tentangnya suatu hadits yang
bisa diikuti. Namun Ibnu Abi Hatim meriwayatkan di sini suatu hadits yang tidak
shohih sanadnya, karena diriwayatkan dari Yazid ar-Roqosyi dari Anas, sedangkan
Yazid sekalipun dia termasuk orang shalih tetapi dia adalah lemah menurut para
imam ahli hadits”.
Tinjauan Matan Kisah
Matan kisah ini juga bathil sebegaimana
nampak jelas bagi orang yang berakal.
Ibnul Arobi berkata tentang kisah ini:
“Kisah ini jelas sekali bathil, karena Dawud tidak mungkin menumpahkan darah
orang lain untuk kepuasan hawa nafsunya”.
Abu Hayyan berkata: “Allah menjadikan
Nabi Dawud sebagai kholifah di muka bumi, hal ini menunjukkan tentang tingginya
kedudukan beliau dan terpilihnya beliau, sekaligus membantah orang yang
menisbatkan kepada beliau kisah yang tidak pantas dengan kenabian”.
Imam Ibnu Hazm membongkar kisah ini
secara tajam dalam kitabnya Al-Fishol, bahkan beliau mensifati para pembuat
kisah ini sebagai “pendusta yang berpedoman dengan khurafat Yahudi”, beliau
berkata: “Demi Allah, semua orang pasti tidak ingin untuk mencintai istri
tetangganya dan berencana untuk membunuh suaminya agar bisa menikahi istrinya
tersebut dan meninggalakn sholat karena melihat burung. Semua ini adalah
perbuatan orang-orang bodoh, bukan orang yang baik. Lantas bagaimana dengan
Rasululullah yang mendapatkan wahyu kitab?! Allah membersihkan beliau untuk
terlintas dalam benaknya hasrat keji ini, apalagi melakukannya!!”.
Syaikh al-Albani berkata: “Kisah tentang
terfitnahnya Nabi Dawud karena dia melihat istri prajuritnya (Areya) sangat
masyhur dan tersebar dalam kisah para Nabi dan sebagian kitab tafsir. Seorang
muslim yang berakal tidak akan meragukan tentang bathilnya kisah ini, karena
dalam kisah tersebut terdapat hal-hal yang tidak pantas dengan kedudukan para
Nabi, seperti beliau berusaha untuk membunuh suaminya agar dia menikahi
istrinya setelah kematiannya. Kisah ini juga diriwayatkan secara ringkas dari
Nabi, maka harus disebutkan di sini dan diperingatkan”. Setelah menyebutkan
hadits, beliau berkata: “Nampaknya, kisah ini adalah israiliyyat yang dinukil
oleh ahli kitab yang tidak meyakini kema’shuman para Nabi”.
Alangkah bagusnya ucapan al-Biqo’i dalam
Tafsirnya 5/434: “Kisah tersebut dan yang semisalnya adalah kedustaan
orang-orang Yahudi”. Lanjutnya: “Sebagian orang Yahudi yang telah masuk Islam
pernah bercerita padaku bahwa mereka sengaja membuat cerita tersebut karena Isa
termasuk keturunan beliau (Dawud) agar mereka mendapatkan celah untuk
mencelanya”.
Para ulama telah ramai-ramai menjelaskan
kebathilan kisah ini. Lihatlah dalam Tafsir al-Alusi 19/159, Faidhul Bari ‘ala
Shohih Bukhori 4/38-39, al-Israiliyyat wal Maudhu’at Abu Syuhbah hlm. 369,
al-Israiliyyat fi Tafsir wal Hadits Muhammad Husain adz-Dzahabi 130, 139, 148
dan lain-lain.
MASYITOH ANAK FIRA’UN
Kisahnya
Pada malam saat Nabi melakukan
perjalanan isra’ ditemani oleh Jibril, beliau mencium aroma yang wangi, lalu
bertanya: “Wahai Jibril, aroma wangi apa ini?” Jibril menjawab: “Ini adalah
aroma Masyithah putri Fir’aun beserta anak-anaknya”. Nabi bertanya: “Bagaimana
ceritanya?” Jibril menjawab: “Pada suatu hari, tatkala dia tengah menyisir
rambut putri Fir’aun, tiba-tiba sisirnya jatuh dari tangannya lantas dengan
reflek dia berkata: ‘Bismillah (dengan nama Allah)’. Sang Putri bertanya:
‘Ayahanda?’. ‘Tidak’, jawabnya, ‘tetapi Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah’.
Putri berkata: ‘Saya akan laporkan kepada ayahanda’. Dia menyahut, ‘Silakan’.
Fir’aun lantas memanggilnya seraya bertanya: ‘Wahai fulanah, apakah ada Tuhan
selain diriku?’ Jawabnya: ‘Ya, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah’.
Mendengar jawabannya, Fir’aun berang dan
memerintahkan kepada anak buahnya agar memanaskan patung sapi hingga meleleh
lalu menyuruh agar tukang sisir beserta anak-anaknya dilemparkan ke dalamnya?
Masyithah berkata: ‘Sebelum saya meninggal, saya memohon kepadamu satu
permohonan’. ‘Apa permohonanmu?’, tanya Fir’aun. Dia menjawab: ‘Saya mohon agar
tuan nanti mengumpulkan tulangku dan tulang anak-anakku dalam satu kafan lalu
tuan kuburkan kami’. Fir’aun berkata: ‘Itu adalah hal yang sangat mudah’.
Akhirnya, anak-anaknya dilemparkan satu
persatu di hadapannya sehingga tiba giliran bocah bayinya yang masih
disusuinya, seakan-akan sang ibu terlambat disebabkan rasa iba terhadap
bayinya. Ketika itu, bayinya dapat berbicara: ‘Wahai ibu, masuklah!
Sesungguhnya siksaan di dunia lebih ringan daripada siksa Akherat’.
Ibnu Abbas mengatakan: Ada empat bayi
yang dapat berbicara, Isa bin Maryam, shahib Juraij, saksi Yusuf dan anak
Masyithah (tukang sisir) Fir’aun.
Takhrij Kisah
Kisah ini juga sangat masyhur sekali.
Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya (1/309) At-Thobaroni dalam Al-Mu’jamul
Kabir (11/450) dan Al-Bazzar sebagaimana dalam Kasyful Astar (1/37) seluruhnya
dari jalan Hammad bin Salamah dari Atho’ bin Saib dari Said bin Jubair dari
Ibnu Abbas.
Derajat Kisah
DHO’IF. Disebabkan Atho’ bin Saib,
beliau mengalami perubahan hafalan di akhir hidupnya. Hal ini dalam bidang ilmu
mustholah hadits disebut Mukhtalith .
Dari penjelasan para pakar ahli hadits
dapat disimpulkan bahwa Hammad bin Salamah meriwayatkan dari Atho’ sebelum
berubah hafalan dan juga setelah berubah hafalannya. Oleh karena itu, maka
riwayatnya tertolak disebabkan tidak bisa dibedakan.
Syaikh Al-Albani mengatakan: “Atho’ bin
Saib telah berubah hafalannya. Hammad bin Salamah meriwayatkan darinya sebelum
hafalannya berubah dan sesudahnya juga berbeda dengan dugaan sebagian
orang-orang masa kini”. Beliau juga berkata: “Sebagian rowi meriwayatkan hadits
dari mukhtalith (berubah hafalannya) sebelum dan sesudahnya. Diantara mereka
adalah Hammad bin Salamah, beliau mendengar dari Atho’ sebelum dan sesudah
perubahan hafalan Atho’ sebagaimana dijelaskan Al-Hafidz dalam At-Tahdzib.
Dengan demikian, maka tidak boleh berhujjah dengan haditsnya berbeda dengan
sebagaian ulama ahli hadits masa kini. Semoga Allah mengampuni kita dan
mengampuninya”.
Kesimpulannya, kisah ini adalah dha’if
sehingga kita temukan penguatnya. Kisah ini dilemahkan oleh Syaikh al-Albani
dalam banyak kitabnya.
ABU BAKAR TERSENGAT KALAJENGKING
Kisahnya
Syaikh Shafiyurr Rohman Al-Mubarokfury
berkata dalam kitabnya “Ar-Rahiqul Mahtum” (hal.168). “Sesampai di mulut gua,
Abu Bakar berkata: “Demi Allah, janganlah engkau masuk ke dalamnya sebelum aku
masuk terlebih dahulu. Jika di dalam ada sesuatu yang tidak beres, biarlah aku
yang terkena, asal tidak mengenai engkau” Lalu Abu Bakar memasuki gua dengan
menyisihkan kotoran yang menghalangi. Di sebelahnya dia mendapatkan lubang. Dia
merobek mantelnya menjadi dua bagian dan mengikatnya ke lubang itu. Robekan
satunya lagi dia balutkan ke kakinya. Setelah itu Abu Bakar berkata kepada
beliau: “Masuklah!” Maka beliaupun masuk ke dalam gua. Setelah mengambil tempat
di dalam gua, beliau merebahkan kepala di atas pangkuan Abu Bakar dan tertidur.
Tiba-tiba Abu Bakar disengat hewan dari lubangnya. Namun dia tidak berani
bergerak, karena takut mengganggu tidur Rasulullah. Dengan menahan rasa sakit,
air matanya menetes ke wajah beliau.”Apa yang terjadi denganmu wahai Abu Bakar?
“tanya beliau. Abu Bakar menjawab, “Demi ayah dan ibuku menjadi jaminanmu, aku
digigit binatang.”Rasulullah meludahi bagian yang digigit sehingga hilang rasa
sakitnya”.
Takhrij Kisah
Kisah ini sangat masyhur sekali dalam
buku-buku siroh. Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah (2/476-477)
dari jalan Abu Husain Ali bin Muhammad bin Abdullah bin Bisyron dari Ahmad bin
Salman An-Najjar dari Yahya bin Ja’far dari Abdur Rohman bin Ibrohim Ar-Rosiby
dari Furot bin Saib dari Maimun bin Mihron dari Dhobbah bin Mihshan Al-‘Anazy
dari Umar bin Khottob. Kisah ini juga dicantumkan oleh At-Tibrizy dalam Misykah
Mashabih (3/1700) tahqiq Syaikh Al-Albani.
Derajat Kisah
MAUDHU’. Disebabkan:
Abdur Roman bin Ibrohim Ar-Rosib.Imam
adz-Dzahabi berkata: “Abdur Rohman bin Ibrohim Ar-Rosiby dari Malik. Dia
tertuduh dalam kasus meriwayatkan khabar batil yang panjang. Dia juga
meriwayatkan dari Furot bin Saib dari Maimun bin Mihron dari Dhobbah bin Mihshan
dari Abu Musa tentang kisah di gua. Kisahnya persis seperti buatan orang-orang
thoriqot”. Al-Hafizh Ibnu Hajar menyetujui perkataan adz-Dzahabi tentang kisah
gua di atas yaitu persis seperti buatan orang-orang thoriqot .
Furot bin Saib.Imam Dzahabi berkata:
“Furot bin Saib dari Maimun bin Mihron: Bukhori berkata: Munkarul hadits. Ibnu
Ma’in berkata: Lemah. Daruqutni berkata: Matruk (ditinggalkan)”. Al-Hafizh Ibnu
Hajar menyetujui perkataan Dzahabi di atas lalu menambahkan: Abu Hatim berkata:
Lemah haditsnya, munkarul hadits. As-Saji berkata: Para ulama meninggalkannya.
Nasa’i berkata: Matrukul Hadits”.
Setelah kita mengetahui keadaan Furot
bin Saib di atas maka semakin gamblang bagi kita perkataan Imam Ibnu Hibban:
“Furot bin Saib Al-Jazary meriwayatkan dari Maimun bin Mihron, dia meriwayatkan
hadits-hadits maudhu’ (palsu) dari orang-orang tsiqoh (terpercaya), tidak boleh
berhujjah dengannya, meriwayatkan darinya dan menulis haditsnya melainkan hanya
untuk mengetes saja”.
BURUNG MERPATI DAN LABA-LABA
Kisahnya
Dalam buku-buku siroh sering kita
mendapati cerita bahwasanya ketika Nabi dan Abu Bakar berhijroh menuju kota
Madinah, maka keduanya dibuntuti serta dikejar oleh bala tentara kafir Quraisy
untuk dibunuh. Saat itu keduanya berada di sebuah goa, lalu Allah memerintahkan
pohon agar melindungi Nabi, dan dua burung merpati agar berkicau serta
laba-laba agar menenun pintu goa. Ketika para pemuda Quraisy akan memeriksa
goa, mereka yakin bahwa Nabi tidak ada di goa tersebut dengan alasan ada dua
burung yang berkicau serta laba-laba yang menenun di pintu goa.
Derajat Kisah
KISAH INI DHO’IF/LEMAH. Ada tiga riwayat
yang menjelaskan tentang hal ini, seluruhnya lemah. Syaikh Al-Albani
menjelaskannya dengan bagus dalam kitabnya Silsilah Ahadits Dho’ifah (no.1128,
1129, dan 1189). Kemudian beliau menyimpulkan pada sumber tersebut juz 3
hal.339: “Ketahuilah bahwasanya tidak ada satu haditspun yang shahih tentang
laba-laba dan dua burung merpati di goa sekalipun sering dimunculkan dalam
buku-buku maupun pengajian-pengajian yang berkaitan tentang hijrah Nabi ke kota
Madinah. Maka jadikanlah hal ini sebagai ilmu bagimu”.
Tinjauan Matan
Syaikh Al-Faqih, Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin melemahkan kisah ini ditinjau dari sudut pandang matan kisah.
Beliau berkata: “Kisah tentang laba-laba menenun di pintu goa tidaklah shahih
sebagaimana dijumpai dalam buku-buku sejarah…sebab hal yang menghalangi
pandangan orang-orang musyrikin bukanlah perkara-perkara hissiyyah (yang
nampak) akan tetapi hal itu merupakan tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah”.
SAMBUTAN KEDATANGAN NABI
Kisahnya
Al-Mubarokfury mengatakan dalam
Ar-Rohiqul Makhtum (hal.177): “Hari itu merupakan hari monumental. Semua rumah
dan jalan ramai dengan suara tahmid dan taqdis. Sementara anak-anak gadis
mereka mendendangkan bait-bait sya’ir karena senang dan gembira:
طَلَـعَ الْبَدْرُ عَلَـيْنَا مِنْ ثَنِيَّـاتِ
الْوَدَاعْ
وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا مَا دَعَا لِلَّــهِ دَاعْ
أَيُّـهَا الْمَبْعُوْثُ فِيْنَا جِئْتَ بِالأَمْرِ الْمُطَاعْ
وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا مَا دَعَا لِلَّــهِ دَاعْ
أَيُّـهَا الْمَبْعُوْثُ فِيْنَا جِئْتَ بِالأَمْرِ الْمُطَاعْ
Purnama telah terbit di atas kami
Dari arah Tsaniyyatul Wada’
Kita wajib mengucap syukur
Atas apa yang dia dakwahkan karena Allah
Wahai orang yang diutus kepada kami
Engkau datang membawa urusan yang ditaati.
Dari arah Tsaniyyatul Wada’
Kita wajib mengucap syukur
Atas apa yang dia dakwahkan karena Allah
Wahai orang yang diutus kepada kami
Engkau datang membawa urusan yang ditaati.
Takhrij Kisah
Kisah ini sangat masyhur di kalangan
kita semua bahkan dibuat lagu dan nyanyian. Parahnya, kisah ini dijadikan dalil
bolehnya membentuk group qashidah, orkes dangdut dan lain sebagainya.
Diriwayatkan oleh Abu Hasan Al-Khol’iy dalam Al-Fawaid (2/59) dan Al-Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah (2/506) dari jalan Fadhl bin Hubab (Abu Kholifah) berkata: Saya mendengar Ubaidullah bin Muhammad bin Aisyah mengatakan…(lalu menyebutkan kisah di atas).
Diriwayatkan oleh Abu Hasan Al-Khol’iy dalam Al-Fawaid (2/59) dan Al-Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah (2/506) dari jalan Fadhl bin Hubab (Abu Kholifah) berkata: Saya mendengar Ubaidullah bin Muhammad bin Aisyah mengatakan…(lalu menyebutkan kisah di atas).
Derajat Kisah
DHO’IF. Disebabkan kecolongan beberapa
rowi dalam sanadnya. Karena Ibnu Aisyah, sang pencerita kejadian di atas
(kedatangan Nabi ke kota Madinah) bukan termasuk sahabat, bukan pula termasuk
tabi’in (murid sahabat), bahkan bukan pula termasuk tabi’ tabi’in (murid
tabi’in). Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam At-Taqrib (1/538): “Termasuk
tingkatan kesepuluh”. Maksud tingkatan ini dijelaskan dalam Muqoddimah kitabnya
yaitu orang-orang yang belajar kepada tabi’ tabi’in dan tidak berjumpa dengan
tabi’in.
Dengan demikian maka dalam sanad ini
kecolongan tiga tabaqah (tingkatan) utama yaitu tabaqah sahabat, tabaqah
tabi’in dan tabaqah tabi’ tabi’in. Berarti, sanad kisah ini minimal kecalongan
tiga rowi secara berurutan. Dalam Ilmu Mustholah hadits, keadaan seperti ini
disebut dengan “Mu’dhol”. Imam As-Sakhowi mengatakan : “Mu’dhol secara istilah
yaitu suatu hadits yang kecolongan dalam sanadnya dua tabaqah atau lebih secara
berurutan”.
Komentar Ulama
Imam Al-Hafizh Al-‘Iroqi berkata:
“Hadits tentang nasyid para wanita menyambut kedatangan Nabi diriwayatkan
Al-Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah secara Mu’dhol tanpa ada lafadz rebana dan
alunan melodi”.
Muridnya, Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata :
“Dikeluarkan oleh Abu Said dalam “Syaroful Musthofa” dan diriwayatakan dalam
“Fawaid Khol’iy” dari jalan Ubaidullah bin Aisyah secara terputus…(lalu beliau
membawakan kisah ini) kemudian beliau berkata: “Sanad ini mu’dhol, barangkali
kejadian ini adalah ketika pulangnya Nabi dari perang Tabuk” .
Syeikh Al-Albani juga berkata :
“Perhatian, Al-Ghozali membawakan kisah ini dengan tambahan: “dengan rebana dan
alunan melodi”. Tambahan ini tidak ada asalnya sebagaimana diisyaratkan
Al-Hafidh Al-‘Iroqi tadi dengan perkataannya: “tanpa ada lafadz rebana dan
alunan melodi”. Sebagian orang tertipu dengan tambahan ini sehingga menampilkan
kisah di atas beserta tambahannya sebagai dalil bolehnya nasyid-nasyid
Nabawiyyah yang populer di zaman ini!
Maka kita katakan kepadanya: “Pastikan
dahulu, baru berdalil” ! seandainya toh memang shahih, tetap saja tak ada
hujjah bagi mereka sebagaimana dijelaskan tadi ketika membahas hadits (579)”.
Kejanggalan Matan
Ada sisi kejanggalan dalam kisah ini,
karena posisi Tsaniyyatul Wada’ (jalan-jalan yang diapit bukit-bukit al-Wada’)
berada di sbelah utara kota Madinah. Seandainya riwayat penyambutan Nabi dengan
qoshidah ini shohih, tentulah hal itu terjadi ketika Nabi pulang dari Tabuk,
sebab Tabuk berada di utara Madinah, bukan ketika Nabi datang dari Mekkah.
Apalagi terdapat beberapa riwayat yang dibawakan al-Hafizh Ibnu Hajar bahwa
sambutan mereka saat itu adalah berupa ucapan takbir: “Muhammad Rasulullah
telah datang, Allahu Akbar”. maka hal ini semakin memperkuat lemahnya kisah
ini. Wallahu A’lam.
TSA’LABAH BIN HATHIB z/
YANG LALAI DARI AGAMA
YANG LALAI DARI AGAMA
Kisahnya
Tsa`labah z/ adalah seorang sahabat yang
fakir tetapi rajin beribadah. Suatu saat ia memohon kepada Nabi n/ agar mendo’akannya
supaya dikaruniai rizki. Nabi n/ pun mendo’akannya. Walhasil, dia bekerja
sebagai penggembala kambing. Waktu demi waktu berlalu, akhirnya ternaknya
berkembang dengan pesat sekali. Lambat laun hal itu melalaikannya dari shalat…
dan seterusnya sampai akhir kisah.” Sehingga akhirnya, Nabi bersabda:
وَيْحَكَ يَا ثَعْلَبَةُ ! قَلِيْلٌ تُؤَدِّيْ
شُكْرَهُ خَيْرٌ مِنْ كَثِيْرٍ لاَ تُطِيْقُهُ
Celaka dirimu wahai Tsa’labah, sedikit
tapi kamu syukuri itu lebih baik daripada banyak tapi engkau tidak sanggup
untuk mengembannya.
Takhrij Kisah
Kisah ini sangat masyhur, diriwayatkan
oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam Tafsirnya (14/370), Ath-Thabarani dalam
Mu‘jamul Kabir (8/260) no. 7873 dan Al-Wahidi dalam Asbabul Nuzul hal 252.
Semuanya dari jalan Mu’an bin Rifa’ah dari Ali bin Yazid Al-Alhani dari Qasim
bin Abdur Rahman dari Abu Umamah Al-Bahili z/.”
Derajat Kisah
LEMAH SEKALI. Sanad ini lemah sekali,
sebab Mu’an bin Rifa’ah seorang rawi yang lemah sekali. Demikian juga Ali bin
Yazid Al-Alhani, dia seorang rawi yang lemah juga.
Al-Iraqi berkata: “Sanadnya lemah.”
Al-Haitsami berkata: “Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani tetapi dalam sanadnya
terdapat rawi yang bernama Ali bin Yazid Al-Alhani, dia matruk (ditinggalkan
haditsnya).” Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini lemah, tidak dapat dijadikan
hujjah.”
Kesimpulannya, hadits ini munkar dan
lemah sekali, sekalipun sangat masyhur”.
Komentar Ulama
Ibnu Hazm berkata: “Tidak ragu lagi
bahwa kisah ini adalah batil”.
Al-Baihaqi berkata, “Sanad hadits ini
perlu dikaji ulang lagi, sekalipun masyhur di kalangan ahli tafsir.”
Al-Qurthubi berkata: “Tsa‘labah z/
termasuk sahabat yang mengikuti perang Badar, termasuk golongan Anshar dan
orang-orang yang mendapatkan pujian dari Alloh dan RasulNya n/. Adapun hadits
ini tidak shahih.”
Adz-Dzahabi berkata: “Munkar sekali.” .
As-Suyuthi berkata “Diriwayatkan oleh
Thabrani, Ibnu Mardawih, Ibnu Abi Hatim, dan Baihaqi dalam Dala’il dengan sanad
yang lemah.”
Al-Albani berkata “Hadits ini
mungkar, sekalipun sangat masyhur. Kecacatannya terletak pada Ali bin Yazid
Al-Alhani, dia seorang yang matruk. Dan Mu’an juga seorang yang lemah.”
Tinjaun Matan Kisah
Kisah ini juga bathil ditinjau dari segi
matan, karena bertentangan dengan kaidah-kaidah umum syari’at, diantaranya:
Tidak adanya kesesuaian antara kisah
dengan ayat, karena ayat ini bicara tentang orang munafiq, sedangkan Tsa’labah
termasuk sahabat mulia, bahkan pengikut perang Badar dan ahli ibadah sehingga
dijuluki dengan Hamamah Masjid karena seringnya di masjid.
Mu’amalah Nabi dengan Tsa’labah dalam
kisah ini berbeda sekali dengan kebiasaan beliau dengan orang-orang munafiq
yaitu menerima udzur mereka.
Kisah ini menyelisihi kaidah umum bahwa
orang yang bertaubat dari suatu dosa, apapun dosa tersebut maka taubatnya
diterima, lantas mengapa Nabi tidak menerima taubat Tsa’labah?!
Zakat adalah hak harta bagi
orang-orang yang berhak menerimanya dari kalangan faqir miskin dan sebagainya,
diambil dari pemilik harta, seandainya mereka tidak mengeluarkannya maka akan
diambil secara paksa.
Ternyata Dia Ikut Perang Badr
Ada satu hal lagi yang memperkuat
mungkarnya kisah ini, bahwasanya shahibul kisah, Tsa’labah bin Hatib, termasuk
pengikut perang Badar sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Mandah, Abu Nu’aim, Ibnu
Abdil Barr, dan Ibnu Atsir dalam Usdul Ghabah 1/237.
Kalau sudah terbukti bahwa Tsa’labah
termasuk pengikut perang Badar, apakah seperti ini sifat seorang sahabat yang
mengikuti perang Badar? Oleh karena itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam
Al-Ishabah 1/198: “Telah shahih bahwa Nabi n/ bersabda:
لاَيَدْخُلُ النَّارَ أَحَدٌ شَهِدَ بَدْرًا
وَالْحُدَيْبِيَّةَ
Tidak masuk neraka orang yang mengikuti
perang Badar dan Hudaibiyah.
Dan beliau juga menceritakan bahwa Rabbnya berfirman:
Dan beliau juga menceritakan bahwa Rabbnya berfirman:
اعْمَلُوْا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ
Berbuatlah sekehendak kalian. Sungguh
Aku telah mengampuni kalian.
Apakah seorang yang dijamin dengan
pahala seperti ini lalu menjadi munafik? Dan turun kepadanya ayat tersebut?!
Wallahu A’lam.
ALQOMAH, ANAK YANG DURHAKA
Kisahnya
Alqomah adalah seorang ahli ibadah.
Tatkala dia dalam sakaratul maut, lidahnya tidak dapat mengucapkan kalimat La
Ilaha illalloh. Rasul n/ pun mendatanginya seraya bertanya kepada para
sahabatnya, “Apakah ibunya masih hidup?” Jawab mereka, “Masih.” Sang ibu pun
dihadirkan, lantas menjelaskan bahwa dirinya telah mengutuk si anak (Al-Qomah)
disebabkan dia lebih mengutamakan istrinya daripada dirinya. Nabi n/ meminta kepada
sang ibu untuk mencabut kutukannya. Namun dia tidak bersedia, lantaran sudah
kadung (terlanjur–red) sakit hati. Akhirnya Nabi r pun menyuruh para sahabatnya agar mengumpulkan kayu bakar untuk membakar
Al-Qamah, supaya lekas mati. Bagaimanapun juga, sebagai seorang ibu, dia tak
tega putranya mengalami nasib seperti itu, lalu mencabut kutukannya. Sedetik
kemudian Al-Qamah mampu mengucapkan Laa Ilaaha Illallah. Lalu wafatlah dia.”
Kisah ini sangat masyhur dan laris,
dipasarkan oleh para khatib di mimbar-mimbar, dan masyhur disampaikan di
sekolah-sekolah terutama dalam buku-buku kurikulum atau dalam acara yang biasa
disebut sebagai “Hari Ibu” yaitu pada tanggal 22 Desember Masehi.
Takhrij Kisah
Kisah ini diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi
dalam Al-Maudhu’at (3/37). Al-Uqaili dalam Adh-Dhu’afa Al-Kabir (3/461),
Al-Khara’iti dalam Masawi’ Al-Ahlaq 120, al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 6/197
dari jalan Faid Abu Warqa’ dari Abdullah bin Abi Aufa.
Derajat Kisah
MAUDHU’. Letak kecacatan kisah ini
karena pada sandanya terdapat rowi yang bernama Faid Abul Warqo’. Oleh
karenanya, Al-Haitsami berkata “Hadits riwayat Ath-Thabaroni dan Ahmad secara
ringkas sekali, tetapi dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang bernama Faid
Abu Warqa’, dia seorang yang matruk (ditinggalkan).”
Imam Ahmad berkata, “Matruk.” Ibnu Ma’in
berkata, “Lemah dan tidak dipercaya.” Abu Hatim berkata: “Hadits-haditsnya dari
Abdullah bin Abi Aufa adalah batil (termasuk hadits ini–pent). Seandainya ada
orang yang bersumpah bahwa seluruh haditsnya (Faid bin Abu Warqa’) palsu,
tidaklah dia disebut seorang pengecut.” Imam Bukhari berkata, “Munkarul
Hadits.” Al-Hakim berkata, “Dia meriwayatkan dari Abdullah bin Abi Aufa
hadits-hadits maudhu’ (palsu).”
Komentar Ulama
Ibnul Jauzi juga berkata: “Hadits ini
tidak shahih dari Rasulullah r.”
Imam Adz-Dzahabi menyebutkan kisah ini
secara ringkas dan berkata: “Termasuk musibah Dawud bin Ibrahim adalah
perkataannya: “Menceritakan kami Ja’far bin Sulaiman, menceritakan kami Faid
dari Ibnu Abi Aufa.” kemudian beliau (Adz-Dzahabi) menyebutkan kisah ini lalu
berkata, “Faid adalah seorang yang hancur.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar juga mengatakan hal
serupa dalam Lisanul Mizan (3/8).
Al-Hafizh Al-Haitsami berkata dalam
kitabnya Majma’uz Zawaid (8/271), “Hadits riwayat Ath-Thabaroni dan Ahmad
secara ringkas sekali, tetapi dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang bernama
Faid Abu Warqa’, dia seorang yang matruk.”
Kisah ini juga dilemahkan oleh para
ulama lainnya seperti al-Uqaili , al-Baihaqi , al-Mundziri , adz-Dzahabi , Ibnu
Arraq , asy-Syaukani dan sebagainya .
Kesimpulanya, hadits ini adalah maudhu’, tidak shahih.
Kesimpulanya, hadits ini adalah maudhu’, tidak shahih.
Siapakah Alqomah Sebenarnya?!
Nama Alqomah dalam kisah ini tidak jelas
dan tersembunyi. Nampaknya, nama Alqomah hanyalah dibuat-buat oleh para pemalsu
hadits. Sebab, sahabat Nabi yang bernama Al-Qamah sangat jauh dari kisah batil
ini. Hal tersebut sangat jelas bagi mereka yang membaca sejarah sahabat yang
bernama Al-Qamah seperti dalam kitab Al-Ishobah (4/262) no. 5654-5474 oleh Ibnu
Hajar dan Usdul Ghabah (4/81) oleh Ibnu Atsir. Oleh karena itu, dalam kisah ini
kita tidak mendapati secara jelas namanya, baik ayah, kakek, nama qabilah,
kunyahnya dan lain sebagainya.
DEMONSTRASI UMAR DAN HAMZAH
Kisahnya
Tatkala Umar telah memeluk agama Islam
dan disambut takbir oleh kaum Muslimin saat itu, dia lalu berkata kepada Nabi:
Wahai Rasulullah, bukankah kita di atas kebenaran? Jawab Nabi: Ya. Umar
mengatakan: Kalau begitu, lantas mengapa kita bersembunyi? Demi Dzat Yang mengutusmu
dengan kebenaran, kami akan keluar. Akhirnya merekapun keluar beramai-ramai
menjadi dua barisan, barisan pertama bersama Umar dan barisan lainnya bersama
Hamzah hingga mendatangi masjid. Quraisy melihat Umar dan Hamzah dan mereka
merasa mendapatkan pukulan berat saat itu.
Takhrij Kisah
Kisah ini cukup masyhur sekali dan
dijadikan dalil untuk melegalkan aksi demonstrasi yang sekarang marak digelar
oleh hampir semua lapisan di mana-mana.
Diriwayatkan Abu Nuaim dalam al-Hilyah
1/40 dan ad-Dalail 194 dari Muhammad bin Ahmad bin Hasan, dari Muhammad bin
Utsman bin Abi Syaibah, dari Abdul Hamid bin Sholih, dari Muhammad bin Aban
dari Ishaq bin Abdullah dari Aban bin Sholih dari Mujahid dari Ibnu Abbas dari
Umar bin Khoththob.
Derajat Kisah
MAUDHU’. Kisah ini lemah sekali, sebab
kecacatannya karena dalam sanadnya terdapat perowi bernama Ishaq bin Abdullah
bin Abu Farwah, sedangkan dia matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya)
sebagaimana dikatakan Imam Nasa’i, al-Bukhori, ad-Daraquthni, Ibnu Abi Hatim
dan lain sebagainya.
Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz
menjelaskan bahwa kisah ini lemah karena bersumber dari Ishaq bin Abi Farwah,
sedangkan dia adalah rowi yang lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah.
Seandainya kisah ini shohih, maka kejadian ini di awal Islam yakni sebelum
sempurnanya syari’at.
Demonstrasi Bukan Solusi Problematika
Umat
Demonstrasi yaitu pengungkapan kemauan
secara beramai-ramai baik setuju atau tidak setuju akan sesuatu, sambil
berarak-arakan dengan membawa spanduk/panji-panji, poster dan lain sebagainya
yang berisikan tulisan yang menggambarkan tujuan demonstrasi tersebut .
Tidak diragukan lagi bagi seorang yang mau menimbang suatu hukum berdasarkan cahaya Al-Qur’an dan Sunnah bahwa demonstrasi hukumnya tidak boleh, berdasarkan beberapa argumen sebagai berikut:
Tidak diragukan lagi bagi seorang yang mau menimbang suatu hukum berdasarkan cahaya Al-Qur’an dan Sunnah bahwa demonstrasi hukumnya tidak boleh, berdasarkan beberapa argumen sebagai berikut:
Demonstrasi merupakan perkara
bid’ah. Sebab cara dan metode dakwah ilallah itu telah dicontohkan dan
dipraktekkan oleh Nabi e yang mulia. Tidak pernah Rosulullah e beserta para sahabatnya berdemonstrasi dengan memasang sepanduk,
meneriakkan yel-yel dan sebagainya ke rumah Abu Jahal atau lainnya. Apalagi
bersama para wanita yang dianjurkan agar tetap melazimi istana kerajaan
(rumah)-nya. Kalaulah memang ada manfaatnya, maka hal itu lebih kecil
dibandingkan dengan kerusakan yang ditimbulkannya.
Demonstrasi termasuk tasyabbuh terhadap
orang-orang kafir. Tidak diperselisihkan lagi oleh siapapun juga bahwa
demonstrasi adalah hasil produk orang-orang kafir, maka sunguh mengherankan
sikap kaum muslimin yang langsung menelan produk barat ini. Mengapa kaum
muslimin menelan produk impor barat ini?!! Bukankah mereka selalu mendengungkan
ayat Allah :
وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى
حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
Orang-orang Yahudi dan Nasrhoni tidak
akan ridho kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka. (Al-Baqoroh : 120)
3. Kerusakan yang ditimbulkan
demonstrasi lebih banyak.
Al-Hafizh Ibnul Qoyyim berkata: “Apabila
seorang merasa kesulitan tentang hukum suatu masalah, apakah mubah ataukah
haram, maka hendaklah dia melihat kepada mafsadah (kerusakan) dan hasil yang
ditimbulkan olehnya. Apabila tenyata sesuatu tersebut mengandung kerusakan yang
lebih besar, maka sangatlah mustahil bila syari’at Islam memerintahkan atau
memperbolehkannya bahkan keharamannya merupakan sesuatu yang pasti. Lebih-lebih
apabila hal tersebut menjurus kepada kemurkaan Allah dan Rasul-Nya baik dari
jarak dekat maupun dari jarak jauh, seoarang yang cerdik tidak akan ragu akan
keharamannya.”
Dengan bercermin kepada kaidah yang
berharga ini marilah kita bersama-sama melihat hukum demonstrasi secara adil,
apakah yang kita dapati bersama?!! Lihatlah betapa banyak nyawa yang terbang
karena fitnah ini?! Betapa banyak gedung-gedung hancur akibat fitnah ini?!
Sehingga kemananan dan ketentraman kini terasa mahal harganya dan histeris
serta ketakutan selalu membayangi kehidupan manusia…Mengapa mereka tidak
berfikir bila seorang polisi atau aparat terbunuh dalam aksi demo tersebut,
bukankah yang merugi juga kita semua?! Dan apabila gedung atau pembangunan
pemerintah dirusak, bukankah juga akan lebih merugikan kita semua?!! Mana yang
lebih disenangi Allah, terpeliharanya darah, harta dan kehormatan -meskipun
barang melambung tinggi- ataukah terkoyaknya kehormatan dan tertumpahnya nyawa
orang yang belum tentu membuat harga barang turun?!! Ingatlah sabda Nabi
Muhammad r :
لَزَوَالُ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا أَهْوَنُ
عِنْدَ اللهِ مِنْ قَتْلِ الْمُسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ
Hilangnya dunia beserta isinya sungguh
lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim dengan tidak
benar. (Hadits shohih, diriwayatkan Ibnu Majah (2668), Tirmidzi (1395), Nasa’i
(3998) dengan sanad shohih)
Wahai saudaraku, Ingatlah bahwa bencana
yang menimpa bangsa saat ini adalah disebabkan perbuatan dosa mereka sendiri
agar mereka segera menyadari dan kembali kepada ajaran agama yang suci,
bukankah Allah telah berfirman :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ
بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ
يَرْجِعُونَ
Telah nampak kerusakan di daratan dan
lauatan disebabkan ulah perbuatan manusia. (Ar-Ruum : 41)
Jadi cara terbaik mengatasi segala
krisis dan bencana yang menyelimuti bangsa ini adalah dengan bertaubat kepada
Allah dan memperbaiki diri kita serta keluarga kita dengan aqidah shohihah dan
membersihkan diri kita dari segala noda kesyirikan dan kebid’ahan. Adapun
cara-cara seperti kudeta, demonstrasi dan sejenisnya sekalipun dimaksudkan
untuk kebaikan, maka sebagaimana kata penyair:
رَامَ نَفْعًا فَضَرَّ مِنْ غَيْرِ قَصْدٍ
وَمِنَ الْبِرِّ مَا يَكُوْنُ عُقُوْقًا
Maksud hati ingin raih kebaikan, namun
tanpa sengaja justru menimbulkan kerusakan.
Sesungguhnya diantara kebaikan ada yang menjadi kedurhakaan.
Sesungguhnya diantara kebaikan ada yang menjadi kedurhakaan.
TAHKIM ABU MUSA DAN ‘AMR BIN ‘ASH
Kisahnya
Tatkala Abu Musa z/ dan Amr bin Ash z/
berkumpul di Daumatul Jandal, keduanya bersepakat untuk menurunkan Ali bin Abu
Thalib z/ dan Muawiyah z/ dari kekhalifahan. Amr berkata kepada Abu Musa,
“Silakan Anda berbicara dulu!” Abu Musa pun berdiri seraya berkata, “Aku telah
pikirkan matang-matang ternyata sebaiknya aku turunkan Ali dari kekhalifahan
sebagaimana aku turunkan pedangku ini dari pundakku.” (Lalu dia melepaskan
pedangnya dari pundaknya). Tibalah giliran Amr bin Ash untuk berbicara. Dia pun
berdiri seraya berkata, “Aku telah berpikir matang-matang ternyata sebaiknya
aku mengangkat Muawiyah sebagai khalifah sebagaimana aku mengangkat pedangku
ini dari tanah.” (Lalu dia mengambil pedangnya dan meletakkannya dia atas
pundaknya). Mendengar hal tersebut Abu Musa pun tak tinggal diam, dia bergegas
mengingkari dengan keras, namun jawab Amr bin Ash dengan mudah, “Demikianlah
kesepakatan kita.”
Kisah Ini Populer
Kisah ini juga masyhur dalam sejarah,
khususnya di buku-buku kurikulum anak-anak kita untuk menodai nama baik sahabat
Muawiyah bin Abu Sufyan z/ dan Amr bin Ash z/ serta menggambarkan mereka
sebagai orang yang sangat licik, musuh bebuyutan Ali bin Abi Thalib z/,
politikus yang menghalalkan darah kaum muslimin, dan tuduhan-tuduhan keji
lainnya.
Mengkritisi Kisah
Semua kisah di atas hanyalah kedustaan
belaka, hasil buatan tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab:
a. Kisah ini TIDAK SHAHIH, bahkan
pemutarbalikan sejarah. Al-Qadhi Abu Bakar berkata: “Kisah ini seluruhnya dusta
belaka, tidak pernah terjadi satu huruf pun. Ini hanyalah karangan ahli bid`ah
yang diwarisi oleh orang-orang yang tidak mengerti.”
b. Kisah yang shahih adalah bahwa keduanya berkumpul dan membuahkan sebuah kesimpulan yaitu: “Menyerahkan keputusan terbaik kepada kaum muslimin, dan keduanya saling menghormati.”
c. Kalaulah memang shahih, maka sikap yang benar menghadapi fitnah di antara sahabat Rasulullah r adalah menahan lidah kita dari mencela mereka dan mendo’akan ampun untuk mereka. Dalam hadits disebutkan:
b. Kisah yang shahih adalah bahwa keduanya berkumpul dan membuahkan sebuah kesimpulan yaitu: “Menyerahkan keputusan terbaik kepada kaum muslimin, dan keduanya saling menghormati.”
c. Kalaulah memang shahih, maka sikap yang benar menghadapi fitnah di antara sahabat Rasulullah r adalah menahan lidah kita dari mencela mereka dan mendo’akan ampun untuk mereka. Dalam hadits disebutkan:
إِذَا ذُكِرَ أَصْحَابِي فَأَمْسِكُوْا
Apabila disebut sahabatku, maka
tahanlah. (lihat Ash-Shahihah no. 34)
Al-Munawi berkata: “Sabda beliau r: Apabila
disebut sahabatku, yaitu apa yang terjadi di antara mereka, berupa perselisihan
dan peperangan. Adapun sabdanya n/: Tahanlah, yakni janganlah mencela mereka
atau menyebut mereka dengan kata-kata yang tidak pantas karena mereka adalah sebaik-baik
umat.”
Apalagi seorang sahabat seperti ‘Amr bin
‘Ash atau Mu’awiyah yang memiliki keutamaan khusus, maka tidak boleh sama
sekali kita mencelanya. Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya tentang seorang
yang mencela Muawiyah dan Amr bin Ash, apakah dia Rofidhoh? Beliau menjawab:
“Tak seorangpun berani mencela keduanya kecuali dia memiliki tujuan yang
jelek’.
WISATA BILAL KE KUBURAN NABI
Kisahnya
Tatkala sahabat Bilal berada di Syam,
dia pernah bermimpi melihat Nabi dalam tidurnya. Dalam mimpinya, Nabi bersabda
padanya: “Kekasaran apakah ini hai Bilal? Bukankah telah tiba saatnya engkau
mengunjungiku?”. Setelah itu Bilal bangun dari tidurnya dengan penuh kesedihan
lalu berangkat menuju kota Madinah dengan menaiki kendaraannya. Setibanya di
sana, dia mendatangi kuburan Nabi serta menangis dan menempelkan wajahnya pada
kuburan. Hasan dan Husain menemui Bilal dan memeluknya seraya berkata: “Hai
Bilal, kami sangat merindukan suara adzanmu”. Bilalpun memenuhi permintaan
keduanya lalu dia naik dan berdiri di loteng. Tatkala dia berucap “Allahu
Akbar, Allahu Akbar” kota Madinah goncang. Dan ketika berucap “Asyhadu “an Laa
Ilaha Illa Allah” goncangannya semakin dahsyat. Dan ketika sampai “Asyhadu
‘anna Muhammad Rasulullah” gadis-gadis pingitan keluar dari rumah sambil
mengatakan: “Rasulullah diutus kembali”. Tidak ada tangisan di kota Madinah
setelah wafatnya Rasulullah yang lebih seru dibandingkan hari itu”.
Takhrij Kisah
Kisah ini cukup kondang dan populer di
kalangan pengagum berat kuburan, bahkan dijadikan dalil oleh sebagian mereka
tentang disyariatkannya wisata ziarah kubur Nabi seperti As-Subki dalam Syifa
As-Siqam fi Ziyarati Khairil Anam hal. 52, Ibnu Hajar Al-Haitsami dalam
Tuhfatuz Zuwar ila Qabri Nabi Mukhtar hal. 67 dan Syaikh Aidh Al-Qarni dalam
kitabnya Al-Misku wal ‘anbar fi Khutabi Minbar 1/74-75.
Diriwayatkan Abu Ahmad Al-Hakim dalam Fawaid-nya juz 5 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya pada biografi Bilal dari jalan Muhammad bin Al-Faidh dari Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Sulaiman bin Bilal bin Abu Darda’ dari ayahnya dari kakekanya dari Ummu Darda’ dari Abu Darda…
Diriwayatkan Abu Ahmad Al-Hakim dalam Fawaid-nya juz 5 dan Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya pada biografi Bilal dari jalan Muhammad bin Al-Faidh dari Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Sulaiman bin Bilal bin Abu Darda’ dari ayahnya dari kakekanya dari Ummu Darda’ dari Abu Darda…
Derajat Kisah
MUNKAR, karena disebabkan:
Ibrahim bin Muhammad bin Sulaiman bin
Bilal. Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi berkata: “Syaikh ini tidak dikenal dengan
kepercayaan, amanah, hafalan dan keadilan, bahkan dia adalah seorang yang
majhul, tak dikenal dengan riwayat hadits. Tidak ada yang meriwayatkan darinya
kecuali Muhammad bin Al-Faidh yang meriwayatkan kisah munkar
ini”. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Asakir menulis biografi
tentangnya dan membawakan riwayatnya dari ayahnya dari kakeknya dari Ummu
Darda’ dari Abu Darda’ tentang kisah “Perjalanan Bilal ke Syam” dan
kedatangannya ke kota Madinah dan adzannya di Madinah serta goncangnya Madinah
dengan tangisan karena adzannya. Kisah ini sangat nyata dustanya”.
Sulaiman bin Bilal bin Abu Darda’.
Al-Hafizh Ibnu Abdil Hadi berkata: “Dia tidak dikenal, majhul hal, sedikit
riwayatnya dan tidak ada satu imampun sepanjang pengetahuan saya yang
menganggapnya tsiqah (terpercaya). Imam Bukhari juga tidak mencantumkannya
dalam kitab beliau, tidak pula Ibnu Abi Hatim, ditambah lagi dia tidak
diketahui bahwa dia mendengar dari Ummu Darda””.
Komentar Ulama Ahli Hadits
Imam Adz-Dzahabi berkata: “Sanadnya
layyin yaitu munkar”.
Imam Ibnu Abdil Hadi berkata : “Atsar
gharib munkar, sanadnya majhul dan terputus”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Kisah ini
sangat jelas palsunya”.
Imam Ibnu Arraq menyetujui ucapan
Al-Hafizh di atas .
Al-Allamah As-Syaukani berkata: “Tidak
ada asalnya”. Dan disetujui oleh Al-Allamah Syaikh Yahya Al-Muallimi.
Al-Allamah Ali Al-Qari menghukumi kisah
ini dengan Maudhu’ (palsu) dalam kitabnya Al-Mashnu” fi Ma’rifatil Hadits
Maudhu’.
Lajnah Daimah (Anggota Komisi Fatwa
Saudi Arabia) yang diketuai oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh
menetapkan: “Para pakar ulama telah menegaskan bahwa hadits ini tidak shahih”.
Kemudian mereka menukilkan sebagian komentar ulama diatas.
Tinjauan Matan Kisah
Matan kisah inipun perlu dikritisi
karena beberapa hal berikut:
Seluruh ahli sejarah yang terpercaya
telah bersepakat bahwa Bilal tidak pernah adzan setelah wafatnya Nabi Muhammad
kecuali hanya sekali saja yaitu ketika Umar datang ke Syam. Sehingga manusia teringat
pada Nabi dan tidak pernah diketahui orang yang menangis lebih banyak daripada
hari itu. Demikianlah ditegaskan oleh Ibnu Asakir dalam Tarikhnya 3/316, Ibnu
Katsir dalam Al-Bidayah wa Nihayah 7/102, Al-Bukhari dalam Tarikh As-Shaghir
1/53, Ibnu Hibban dalam Masyahir Ulama Amshar hal. 50 dan As-Suyuthi dalam
Is’af Mubtha’ bi Rijal Al-Muwatha’ 3/185 -Tanwir Hawalik-.
Seluruh ahli hadits dan sejarah
menegaskan bahwa Bilal wafat di kota Syam pada zaman pemerintahan Umar bin
Khaththab, sedangkan kuburan Nabi pada zaman Umar berada di kamar rumah Aisyah
yang tidak diperbolehkan seorangpun untuk masuk kecuali dengan izinnya. Dan
telah shahih dalam sejarah bahwa tatkala Umar bin Khaththab ditusuk, beliau
memerintahkan anaknya Abdullah supaya pergi kepada Aisyah seraya mengatakan
padanya: “Sesungguhnya Umar berpesan: “Bila tidak memberatkan dirimu, maka saya
senang untuk dikubur bersama kedua sahabatku (Nabi dan Abu Bakar)”. Aisyah
menjawab: “Saya tidak keberatan” Maka Umar berkata: “Bila demikian, maka kuburkanlah
saya bersama keduanya”. (HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak 3/93).
Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin
al-Albani menegaskan: “Riwayat ini adalah bathil dan maudhu’ (palsu).
Tanda-tanda kepalsuannya sangat nampak sekali ditinjau dari beberapa segi. Saya
akan sebutkan point-point penting saja:
Pertama: Ucapannya “Dia mendatangi
kuburan Nabi dan menangis di sisinya” hal ini menggambarkan kepada kita bahwa
kubur Nabi seperti kuburan lainnya yang bisa didatangi oleh semua orang!! Ini
adalah pendapat yang bathil sekali sebagaimana diketahui oleh semua orang yang
mengetahui sejarah penguburan Nabi di kamar dan rumah Aisyah yang tidak boleh
bagi seorang untuk memasukinya kecuali dengan izinnya Aisyah dan hal ini terus
berlangsung hingga masa Umar, sebagaimana dalam riwayat al-Hakim 3/93.
Kedua: “Perkataannya “Dan dia
menempelkan wajahnya ke kuburan”. Saya (Al-Albani) berkata: “Ini juga termasuk
satu tanda lainnya akan palsunya kisah ini serta jahilnya si pemalsu kisah,
karena dia menggambarkan pada kita bahwa sahabat Bilal seperti orang-orang
jahil yang menerjang aturan-aturan syari’at tatkala melihat kuburan sehingga
mengerjakan hal-hal yang tidak diperbolehkan berupa kesyirikan-kesyirikan
seperti mengusap kubur dan menciumnya…”. Wallahu A’lam.
UMAR DITEGUR WANITA SOAL MAHAR
Kisahnya
Suatu kali Umar pernah melarang manusia
untuk mempermahal mahar wanita, lalu ada seorang wanita yang memprotesnya
seraya membawakan ayat:
وَإِنْ أَرَدتُّمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَّكَانَ
زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا ۚ أَتَأْخُذُونَهُ
بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا ٢٠
Dan jika kamu ingin mengganti isterimu
dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di
antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari
padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan
tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ? (QS. An-Nisa’: 20)
Mendengarnya, Umar tidak segan-segan
untuk menerima kritikan wanita tersebut, beliau lantas berkata: “Semua orang
lebih pintar daripada Umar”. Ucapan itu diulanginya sebanyak dua atau tiga
kali, kemudian beliau kembali naik mimbar lalu berceramah: “Dulu aku melarang
kalian mempermahal mahar, sekarang silahkan seorang menggunakan hartanya sesuka
dia”.
Takhrij Kisah
Kisah ini sangat masyhur sekali, bahkan
dijadikan oleh sebagian kalangan pengekor hawa nafsu sebagai senjata untuk
mencela sosok pribadi sahabat Umar bin Khothtob dengan menjulukinya sebagai
orang yang tolol dan bodoh!! Wallahul Musta’an.
Kisah ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi
dalam Sunan Kubro 7/233 dan Abdur Rozzaq dalam Al-Mushonnaf 10420.
Derajat Kisah
LEMAH/MUNKAR. Dalam riwayat al-Baihaqi
ada beberapa kecacatan:
Sanadnya terputus sebagaimana dikatakan
oleh al-Baihaqi sendiri, karena Sya’bi tidak berjumpa dengan Umar.
Dalam sanadnya terdapat Mujalid bin
Sa’id, dan dia adalah seorang rawi yang lemah.
Demikian juga dalam riwayat Abdur
Rozzaq, ada kecacatan karena:
Terputus sanadnya, sebab Abu Abdir
Rohman tidak berjumpa dengan Umar sebagaimana dikatakan Ibnu Ma’in.
Qois bin Robi’ adalah seorang rawi yang
jelek hafalannya.
Bertentangan Dengan Yang Shohih
Di samping sanad kisah ini yang lemah,
kisah ini juga bertentangan dengan riwayat yang lebih shohih, dimana Umar
pernah berkhutbah: “Ketahuilah, janganlah kalian mempermahal mahar wanita,
sebab seandainya hal itu merupakan suatu kehormatan di dunia atau ketaqwaan di
sisi Allah, niscaya orang yang paling pertama melakukannya adalah Rasululullah,
namun beliau tidak pernah memberikan mahar kepada seorang istrinya dan tidak juga
seorang putrinya diberi mahar lebih dari dua belas uqiyyah”.
Kisah ini shohih, diriwayatkan Abu Dawud
2106, Nasai 2/87, Timidzi 1/208, Ibnu Hibban 1259, ad-Darimi 2/141, al-Hakim
2/175, al-Baihaqi 7/234, Ahmad 1/40-48, al-Humaidi 23 dari jalur Muhammad bin
Sirin dari Abu ‘Ajfa’ dari Umar. Hadits ini dishohihkan oleh Tirmidzi, al-Hakim
dan disetujui adz-Dzahabi.
Jadi, larangan Umar dari mempermahal
mahar sesuai dengan sunnah Nabi. Adapun kisah ini, kalaulah memang shohih maka
hal itu tidak bertentangan dengan ayat karena ditinjau dari dua hal:
Pertama: Bisa dijawab bahwa larangan Umar tersebut bukan bermakna haram tetapi hanya makruh saja.
Pertama: Bisa dijawab bahwa larangan Umar tersebut bukan bermakna haram tetapi hanya makruh saja.
Kedua: Ayat tersebut berkaitan tentang
seorang wanita yang ingin agar suaminya menceraikannya, sedangkan dia telah
memberikan kepada sang istri mahar yang banyak. Maka tidak boleh baginya untuk
mengambil kembali tanpa kerelaan istri.
ALI BIN ABI THOLIB DUEL DENGAN JIN
Kisahnya
Kisahnya begitu panjang, intinya bahwa
pada masa Hudaibiyyah, Rasulullah dan para sahabat tertimpa kehausan yang
sangat, sehingga beliau menyuruh sebagian sahabat untuk mencari air di sumur.
Namun sumur tersebut sangat anker sekali, banyak para sahabat yang takut. Namun
Ali bin Tholib dengan ditemani beberapa sahabat berani maju tak gentar
menghadapi suara-suara aneh, api-api yang menjilat, angin yang kencang, dan
kepala-kepala yang bergelantungan. Para sahabat di belakang Ali merinding
ketakutan tetapi Ali gagah melangkah menebas kepala-kepala itu, dan akhirnya
diapun mengambil air dari sumur anker tersebut.
Takhrij Kisah
Kisah ini sangat masyhur sekali di
kalangan Rofidhoh, dan juga sebagian awam dari Ahli Sunnah, dimana mereka
beranggapan bahwa Miqot Dzul Hulaifah disebut Bir Ali (sumur Ali) karena Ali
berduel dengan Jin di sana.
Kisah ini dikeluarkan oleh al-Khoro’ithi dalam Hawatiful Jinan hlm. 167-172 dari jalur ‘Umaroh bin Zaid, dari Ibrahim bin Sa’ad, dari Muhammad bin Ishaq dari Yahya bin Abdillah bin Harits dari ayahnya dari Ibnu Abbas.
Kisah ini dikeluarkan oleh al-Khoro’ithi dalam Hawatiful Jinan hlm. 167-172 dari jalur ‘Umaroh bin Zaid, dari Ibrahim bin Sa’ad, dari Muhammad bin Ishaq dari Yahya bin Abdillah bin Harits dari ayahnya dari Ibnu Abbas.
Derajat Kisah
MAUDHU’. Para ulama ahli hadits telah
bersepakat menegaskan akan bathilnya cerita ini sebagaimana dikatakan oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah . Sebab kecacatannya karena ‘Umaroh bin Zaid
adalah pemalsu hadits, demikian juga Yahya bin Abdillah bin Harits, dia seorang
yang lemah.
Ibnu Katsir berkata: “Kisah panjang yang
munkar sekali”. Ibnu Hajar berkata: “Dalam kisah ini ada kelemahan”.
Dzul Hulaifah atau Bir Ali?
Miqat penduduk Madinah atau jama’ah haji
yang lewat Madinah adalah Dzul Hulaifah sebagaimana disebutkan dalam banyak
hadits. Adapun penamaannya dengan “Bir Ali” sebagaimana yang populer di
masyarakat maka hendaknya diganti. Sebab bagaimanapun lafadz yang tertera dalam
hadits itu lebih utama, apalagi kalau kita telusuri ternyata sumber penamaan
Bir Ali (Sumur Ali) adalah cerita yang laris manis di kalangan Rafidhah bahwa
Ali bin Abi Thalib pernah berduel dengan Jin di sumur tersebut, sehingga karena
itulah disebut Bir Ali.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Orang-orang wam yang jahil menamainya (dzul Hulaifah) dengan Bi’r Ali (Sumur
Ali) karena prasangka mereka bahwa Ali pernah berduel dengan Jin di sana,
padahal ini adalah suatu kedustaan, sebab tidak seorangpun diantara sahabat
yang membunuh Jin, Ali lebih tinggi derajatnya untuk duel melawan jin”.
Syaikh Mula Ali al-Qori juga berkata:
“Dzul Hulaifah. Di tempat ini dahulu ada sumur yang disebut oleh orang-orang
awam dengn bi’r Ali, konon ceritanya karena beliau duel dengan Jin di sumur
tersebut, namun ini hanyalah cerita dusta, sebagaimana disebutkan Ibnu Amiril
Haj”.
KESETIAAN ISTERI TERHADAP SUAMINYA
Kisahnya
Suatu kali pernah ada seorang lelaki
keluar rumah dan berpesan pada isterinya agar tidak keluar dari rumah. ٍSelang
beberapa waktu, ternyata ayahnya yang tinggal berdekatan dengan rumahnya jatuh
sakit. Akhirnya, wanita itu mengutus seorang meminta fatwa kepada Nabi, tapi
jawab beliau: “Taatilah pesan suamimu”. Tak lama kemudian, sang ayah akhirnya melepaskan
nafas terakhirnya dan meninggal dunia. Wanita itu mengutus orang lagi untuk
meminta fatwa kepada Nabi. Namun jawaban beliau tetap, tidak berubah: “Taatilah
suamimu”. Kemudian beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengampuni
ayahnya karena ketaatan putrinya terhadap suaminya”.
Takhrij Kisah
Kisah ini cukup masyhur dikalangan kita.
Diriwayatkan Ibnu Bathtah dalam Ahkam Nisa’ 2/219 dan Ath-Thabarani dalam
Al-Ausath 1/169/2 dari jalan ‘Ishmah bin Mutawakkil: Menceritakan kami Zaafir
dari Sulaiman dari Tsabit Al-Bunani dari Anas bin Malik dari Nabi…
Derajat Kisah
DHO’IF, disebabkan:
‘Ishmah bin Mutawakkil adalah seorang
rawi yang lemah. Al-Uqaili berkata: “Lemah kekuatan hafalan haditsnya, dia
sering salah”. Dan berkata Abu Abdillah (imam Al-Bukhari) tentangnya: “Saya
tidak mengenalnya”.
Zaafir. Nama lengkapanya Zaafir bin
Sulaiman Al-Qahsatani seorang rawi yang lemah juga. Al-Hafizh Ibnu Hajar
berkata tentangnya: “Shaduq, banyak salahnya”.
Komentar Ulama
Imam Ath-Thabarani berkata setelah
meriwayatkannya: “Tidak diriwayatkan dari Zaafir kecuali ‘Ishmah”.
Imam Al-Haitsami berkata : “Diriwayatkan
At-Thabarani dalam Al-Ausath tetapi pada sanadnya terdapat ‘Ishmah bin
Mutawakkil, sedangkan dia seorang yang dhaif (lemah)”.
Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani
mengatakan tentang kisah ini: “Dhaif (lemah)”.
Kesimpulan, kisah ini adalah lemah
sehingga tidak dapat dijadikan hujjah.
HARUN AR-RASYID DAN ABU NUWWAS
Dalam buku-buku sejarah dan kisah sering
diceritakan bahwa khalifah Harun Rasyid sangat senang berhura-hura, minum khamr
dan berjoget bersama para penari dan penyanyi. Seperti dalam kitab Alfu
Lailatin Lailatan (1000 Cerita Dalam Semalam).
Semua ini tidak benar sama sekali!!
Syaikh Shalih bin Fauzan berkata: “Ini
merupakan kedustaan, tuduhan dalam sejarah Islam. Adapun kitab Alfu Lailatin
Lailatan merupakan kitab yang tidak dapat dijadikan sandaran , tidak
sepantasnya seorang muslim -lebih-lebih penuntut ilmu- menghabiskan waktu untuk
membacanya. Khalifah Harun Rasyid, beliau dikenal sebagai khalifah yang baik,
istiqamah, dan adil dalam mengurusi rakyatnya. Maka tuduhan semacam itu
hendaknya tidak dilirik sedikitpun….”
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin
juga berkata, “Ini merupakan kedustaan yang jelas dan kezhaliman yang nyata….”
Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali berkata:
“Kita harus membersihkan sejarah Islam dari hal-hal yang digoreskan oleh para
pemalsu dan pendusta beserta cucu-cucu mereka dari kalangan orientalis. Mereka
menggambarkan bahwa sejarah Islam merupakan panggung anak kecil, musik, dan
nyanyian. Para khalifah kaum muslimin tenggelam dalam syahwat dan kelezatan
dunia, kurang memperhatikan kepentingan kaum muslimin, sebagaimana yang dilakukan
oleh para perusak tersebut dalam menodai sejarah khalifah Harun Rasyid dan yang
lain.”
Adapun tentang kisah-kisah dan dongeng
Abu Nuwwas (yang terkenal di khalayak sebagai Abu Nawwas), maka Ibnu Manzhur,
penulis kitab Lisanul ‘Arab, telah mengarang sebuah kitab berjudul Akhbar Abu
Nuwwas. Dalam mukadimahnya, dengan hujjah yang terang dan kuat, dijelaskan
bahwa kebanyakan dari dongeng-dongeng dan lelucon yang dinisbatkan kepada Abu
Nuwwas adalah dusta belaka.
AL-’UTBY DAN KUBURAN NABI
Al-’Utbi berkata: “Suatu saat, aku
pernah duduk di samping makam Rasulullah r, kemudian datang seorang a’rabi (arab badui) dan berkata: “Salam sejahtera
atasmu ya Rasulullah. Aku mendengar Allah berfirman:
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ
جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ
تَوَّابًا رَحِيمًا
“Sesungguhnya jikalau mereka ketika
menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan
rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha
Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. An-Nisa’: 64).
Aku datang kepadamu memohon ampun karena
dosaku dan memohon pertolonganmu kepada Tuhanku”. Kemudian dia mengucapkan
syair:
يَا خَيْرَ مَنْ دُفِنَتْ بِالْقَاعِ أَعْظُمُهُ
فَطَابَ مِنْ طِيبِهِنَّ القَاعُ وَالأََكَمُ
نَفْسي الفِدَاءُ لِقَبْرٍ أَنْتَ سَاكِنُهُ فِيهِ العَفَافُ وَفِيهِ الجُودُ وَالكَرَمُ
نَفْسي الفِدَاءُ لِقَبْرٍ أَنْتَ سَاكِنُهُ فِيهِ العَفَافُ وَفِيهِ الجُودُ وَالكَرَمُ
Wahai sebaik-baik orang yang jasadnya
disemayamkan di tanah ini
Sehingga semerbaklah tanah dan bukit karena jasadmu
Jiwaku sebagai penebus bagi tanah tempat persemayamanmu
Di sana terdapat kesucian, kemurahan dan kemuliaan
Orang badui itu lalu pergi. Kemudian aku tertidur dan bermimpi bertemu Rasulullah r dan beliau berkata: “Wahai Utbi, kejarlah si a’rabi tadi, sampaikan kabar gembira kepadanya, bahwa Allah telah mengampuni dosanya”.
Sehingga semerbaklah tanah dan bukit karena jasadmu
Jiwaku sebagai penebus bagi tanah tempat persemayamanmu
Di sana terdapat kesucian, kemurahan dan kemuliaan
Orang badui itu lalu pergi. Kemudian aku tertidur dan bermimpi bertemu Rasulullah r dan beliau berkata: “Wahai Utbi, kejarlah si a’rabi tadi, sampaikan kabar gembira kepadanya, bahwa Allah telah mengampuni dosanya”.
Kisah Populer
Kisah ini sangat popular sekali, banyak
dimuat dalam kitab-kitab dan sering disebut-sebut oleh ahli bid’ah untuk
mengusung paham sesat mereka yaitu boleh bahkan dianjurkan meminta pertolongan
dan berdoa kepada orang yang sudah meninggal dunia!!
Takhrij Kisah
Kisah ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi
dalam Syu’abul Iman 3880, Ibnu Najjar dalam ad-Durroh Ats-Tsaminah fi Tarikh
Madinah hlm. 147 dan lain-lain dengan sanadnya kepada Muhammad bin Rouh dari
Muhammad bin Harb al-Hilali…
“Kisah ini diriwayatkan oleh sebagian penulis dengan beberapa jalur:
“Kisah ini diriwayatkan oleh sebagian penulis dengan beberapa jalur:
Ada yang meriwayatkan dari al-’Utby
tanpa sanad.
Ada yang meriwayatkan dari Muhammad bin
Harb al-Hilali.
Ada yang meriwayatkan dari Muhammad bin
Harb dari Abul Hasan az-Za’faroni dari al-A’robi.
Sebagian pendusta juga membuat-buat
sanad kisah ini dengan menyandarkannya kepada Ali bin Abi Thalib”.
Derajat Kisah
BATHIL. Kisah ini bathil dan tidak
shohih sama sekali, disebabkan:
Sanad kisah ini gelap dan lemah
Perinciannya sebagai berikut:
Jalur yang tanpa sanad jelas sekali
tidak bisa dijadikan landasan.
Jalur Ibnu Najjar dikatakan oleh Syaikh
Hammad al-Anshori, ahli hadits Madinah: “Para perawinya tidak dikenal, mulai
dari gurunya hingga Muhammad bin Harb al-Hilali.
Jalur al-Baihaqi dikatakan oleh
al-Albani: “Sanad ini lemah dan gelap, saya tidak mengenal Abu Ayyub al-Hilali
dan ke bawahnya”. Lanjutnya: “Kisah ini sangat nyata munkar. Cukuplah kiranya
karena kisah ini bermuara kepada seorang badui yang tak dikenal”.
Jalur dari Ali bin Abi Thalib dikatakan
oleh Imam Ibnu Abdil Hadi: “Khobar ini munkar, palsu, hanya dibuat-buat, tidak
bisa dijadikan sandaran, sanadnya gelap di atas kegelapan”.
Imam Ibnu Abdil Hadi berkata:
“Kesimpulannya, kisah A’robi ini tidak bisa dijadikan landasan, karena sanadnya
gelap, lafadznya penuh perbedaan, tidak bisa dijadikan pedoman dan hujjah
menurut ahli ilmu”.
Beliau juga mengatakan: “Adapun kisah al-’Utbi, disebutkan oleh sebagian ahli fiqih dan ahli hadits tetapi kisah ini tidak shohih kepada al-’Utbi, diriwayatkan dari jalur lain dengan sanad yang gelap. Kesimpulannya, kisah ini tidak bisa dijadikan landasan hukum syar’I, lebih-lebih dalam masalah ini yang seandainya disyari’atkan tentu para sahabaat dan tabi’in lebih tahu dan lebih semangat untuk melakukannya daripada selain mereka”.
Beliau juga mengatakan: “Adapun kisah al-’Utbi, disebutkan oleh sebagian ahli fiqih dan ahli hadits tetapi kisah ini tidak shohih kepada al-’Utbi, diriwayatkan dari jalur lain dengan sanad yang gelap. Kesimpulannya, kisah ini tidak bisa dijadikan landasan hukum syar’I, lebih-lebih dalam masalah ini yang seandainya disyari’atkan tentu para sahabaat dan tabi’in lebih tahu dan lebih semangat untuk melakukannya daripada selain mereka”.
2. Matan-nya mudhthorib (goncang)
Kisah ini juga mudhthorib, karena
diriwayatkan dari jalur yang saling berbeda dan tidak bisa digabungkan, dan
jalur-jalurnya lemah sekali sehingga tidak bisa ditarjih (dikuatkan) salah satu
di antaranya. Ada yang meriwayatkan dari al-’Utby tanpa sanad, ada yang
meriwayatkan dari Muhammad bin Harb al-Hilali, ada yang meriwayatkan dari
az-Za’faroni, ada yang meriwayatkan dari Abu Harb al-Hilali, ada yang
meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib. Jadi sanad kisah ini, di samping para
perawinya yang tak dikenal bahkan ada yang tanpa sanad, juga matan-nya goncang
sehingga lafadznya-pun berbeda-beda.
Mengkritisi Matan Kisah
Kisah ini adalah munkar dan bathil
karena menyelisihi Al-Qur’an dan hadits. Oleh karena itu, para ahli bid’ah
sering menukilnya untuk membolehkan istighosah (meminta pertolongan) kepada
Nabi dan meminta syafa’at kepada beliau setelah wafat. Sungguh, hal ini
meupakan kebatilan yang amat nyata sebagaimana dimaklumi bersama.
Sesungguhnya meminta syafa’at, doa dan
istighfar setelah kematian Nabi dan di sisi kuburan beliau bukanlah hal yang
disyari’atkan menurut satupun dari imam kaum muslimin, dan tidak disebutkan
oleh salah satu imam dari imam empat dan kawan-kawan mereka yang pendahulu. Hal
ini hanya diceritakan oleh orang-orang belakangan, mereka menceritakan kisah
al-’Utbi bahwa dia melihat orang Arab badui mendatangi kubur Nabi dan membaca
ayat (QS. An-Nisa’: 64) dan bahwasanya dia melihat dalam mimpi bahwa Allah
mengampuninya. Kisah ini tidak disebutkan oleh salah seorang mujtahid-pun
dari penganut madzhab yang diikuti oleh manusia fatwa mereka. Dan telah
dimaklumi bersama kalau seandainya meminta doa, syafa’at dan istighfar kepada
Nabi di kuburnya hukumnya disyariatkan, niscaya para sahabat, tabi’in dan para
imam lebih tahu dan lebih mendahului selain mereka. Alangkah indahnya
ucapan Imam Malik: “Tidak baik umat ini kecuali dengan apa yang membuat
generasi pertama menjadi baik”. Dan tidak sampai kepadaku dari generasi pertama
bahwa mereka melakukan hal itu. Lantas bagaimana orang seperti imam ini –yakni
al-’Utbi- mensyari’atkan suatu agama yang tidak dinukil dari seorangpun dari
salaf shalih, dan memerintahkan kepada umat untuk meminta doa, syafa’at dan
istighfar setelah matinya para Nabi dan orang-orang shalih di sisi kuburan
mereka, sedangkan hal itu tidak pernah dilakukan oleh seorangpun dari salaf
shalih?!!
Kisah ini adalah bathil dan tidak
shohih, karena pelaku kisah adalah orang yang majhul (tidak dikenal), demikian
juga para perowinya adalah orang-orang yang tak dikenal. Dan tidak mungkin
kisah seperti ini shahih, sebab Allah berfirman:
(وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوْا)
Allah tidak mengatakan: “
إِذَا ظَلَمُوْا Dalam bahasa arab إِذْ
untuk berfungsi menerangkan waktu lampau saja (bukan menunjukkan waktu yang
akan datang), berbeda dengan إِذَا . Oleh karena itu para sahabat tatkala
kemarau panjang pada zaman Umar, mereka tidak meminta kepada Nabi untuk
istisqo’ (minta hujan), tetapi meminta kepada Abbas bin Abdul Muthollib dengan
doanya dan beliau hadir bersama para sahabat.
4. Ini hanyalah mimpi yang tidak bisa
dijadikan sebagai landasan hukum syar’I. Sungguh sangat mengherankan para ahli
bid’ah, mereka berpegang kepada kisah seorang arab badui dan meninggalkan para
ulama salaf. Apakah mereka berkeyakinan bahwa orang arab badui ini lebih
berilmu tentang agama daripada Abu Bakar, Umar dan seluruh para sahabat yang
tidak melakukan perbuatan ini? Kalau demikian, kenapa orang yang berdalil
dengan kisah ini tidak kencing saja di masjid Nabawi, karena telah shahih dalam
Bukhari Muslim bahwa ada seorang arab badui pernah kencing di masjid?!! .
Memahami Tawassul
Cukuplah bagi kita tawassul yang disyari’atkan, seperti tawassul dengan nama dan sifat Allah, amal shalih, taat dan mengikuti ajaran Nabi. Inilah tawassul yang disyari’atkan.
Cukuplah bagi kita tawassul yang disyari’atkan, seperti tawassul dengan nama dan sifat Allah, amal shalih, taat dan mengikuti ajaran Nabi. Inilah tawassul yang disyari’atkan.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا
اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya,
dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.(QS.
Al-Maidah: 35)
Para sahabat dan tabi’in telah bersepakat bahwa tawassul dalam ayat ini maksudnya adalah dengan taat kepada Allah sesuai syari’atNya.
Adapun tawassul-tawassul yang tidak disyari’atkan maka ada dua macam:
1. Tawassul syirik, seperti berdoa atau meminta tolong kepada orang yang telah mati, karena seorang mukmin tidak boleh memalingkan ibadah kepada selain Allah.
Para sahabat dan tabi’in telah bersepakat bahwa tawassul dalam ayat ini maksudnya adalah dengan taat kepada Allah sesuai syari’atNya.
Adapun tawassul-tawassul yang tidak disyari’atkan maka ada dua macam:
1. Tawassul syirik, seperti berdoa atau meminta tolong kepada orang yang telah mati, karena seorang mukmin tidak boleh memalingkan ibadah kepada selain Allah.
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ
وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلًا
مَا تَذَكَّرُونَ
Atau siapakah yang memperkenankan (do`a)
orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo`a kepada-Nya, dan yang
menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di
bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu
mengingati (Nya). (QS. An-Naml: 62)
2. Tawassul bid’ah, seperti tawassul
dengan jah (tuah) Nabi, hal ini tidak dinukil dari Nabi dalam hadits yang
shahih. Dalil-dalil tentang masalah ini bermuara pada dua hal: mungkin hadits
palsu, lemah sekali, tidak bisa dijadikan hujjah, atau derajatnya shahih tapi
tidak mengena sasaran masalah ini.
Ibnu Taimiyyah tidak melarang Ziarah
kubur Nabi
Banyak orang menyangka bahwa Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyyah dan orang-orang yang sejalan dengannya di kalangan
salafiyin melarang ziarah kubur nabi . ini merupakan kedustaan dan tuduhan
palsu. Tuduhan seperti ini bukanlah perkara yang baru. Orang yang mau menelaah
kitab-kitab Ibnu Taimiyyah akan mengetahui bahwa beliau mengatakan disyariatkanya
ziarah kubur nabi r dengan syarat tidak diiringi kemungkaran-kemungkaran dan
kebid’ahan-kebid’ahan seperti bepergian /safar kesana berdasarkan hadits nabi r “Janganlah
mangadakan perjalanan kecuali ke tiga masjid”
Benar, barangsiapa yang mau membaca
kitab-kitab Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan adil dan jujur, niscaya ia
akan mengetahui bahwa beliau sama sekali tidak mengharamkan ziarah kubur
sebagaimana tuduhan penulis ini. Perhatikanlah perkataan beliau berikut ini
baik-baik: “Telah aku jelaskan dalam kitabku tentang manasik haji, bahwa
bepergian ke masjid Nabawi dan menziarahi kubur beliau–sebagaimana diterangkan
imam kaum muslimin dalam manasik- merupakan amal shaleh yang dianjurkan…”Beliau
juga berkata: “Barang siapa yang bepergian ke Masjidil Haram, Masjid Aqsha atau
Masjid Nabawi, kemudian shalat di masjidnya, lalu menziarahi kubur beliau
sebagaimana Sunnah Rasul r maka ini merupakan amal saleh. Barangsiapa mengingkari safar seperti ini,
maka dia kafir diminta taubat, jika bertaubat itulah yang diharapkan. Jika
tidak maka dibunuh.
Adapun seseorang yang melakukan perjalanan hanya untuk ziarah kubur semata, sehingga apabila sampai di Madinah, ia tidak shalat di masjidnya, tetapi hanya untuk ziarah kubur nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam lalu pulang, maka orang ini mubtadi’ (ahli bid’ah) yang sesat, dan menyasatkan karena menyelisihi Sunnah Rasulullah, ijma’ salaf dan para ulama’ umat ini” )
Adapun seseorang yang melakukan perjalanan hanya untuk ziarah kubur semata, sehingga apabila sampai di Madinah, ia tidak shalat di masjidnya, tetapi hanya untuk ziarah kubur nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam lalu pulang, maka orang ini mubtadi’ (ahli bid’ah) yang sesat, dan menyasatkan karena menyelisihi Sunnah Rasulullah, ijma’ salaf dan para ulama’ umat ini” )
Barangsiapa yang membaca kitab “Ar Raddu
‘ala Al-Akhna’i” dan “Al-Jawabul Al-Baahir Liman Sa’ala ‘an Ziayaratil Kubur”
karya Ibnu Taimiyyah, ia akan yakin dengan apa yang kami uraikan. Hal ini
dikuatkan oleh murid -murid beliau.
Al-Hafidz Ibnu Abdil Hadi berkata:
“Hendaklah diketahui, sebelum membantah orang ini (as-Subkiy) bahwasanya
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah tidaklah mengharamkan ziarah kubur yang syari’
dalam kitab-kitabnya. Bahkan beliau sangat menganjurkannya. Karangan-karangannya
serta manasik hajinya adalah bukti atas apa yang saya katakan”.
Demikian juga Al-Hafidz Ibnu katsir,
beliau berkata: “Dan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah tidaklah melarang ziarah
kubur yang bersih dari kebid’ahan, seperti bepergian/safar untuk ziarah kubur,
Bahkan beliau mengatakan sunnahnya ziarah kubur, kitab-kitabnya dan
manasik-manasik hajinya adalah bukti hal itu,. Beliau juga tidak pernah
mengatakan haramnya ziarah kubur dalam fatwa-fatwanya, beliau juga tidak jahil
dengan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Ziarahlah karena hal itu dapat
mengingatkan kalian dengan akhirat”. Tetapi yang beliau larang adalah
bepergian/safar untuk ziarah. Jadi ziarah kubur itu suatu masalah dan bepergian
dalam rangka ziarah kubur itu masalah lain lagi”.
SYAIKH RIFA’I MENCIUM TANGAN NABI
Kisahnya
Dalam dunia Shufi, ada kisah yang cukup
populer di kalangan mereka tentang sosok tokoh Shufi yang bernama Syaikh Ahmad
Ar-Rifa’i. Konon ceritanya, tatkala dia berangkat pergi haji dan berdiri di
depan kuburan Nabi seraya mengucapkan salam: “As-Salamu “alaika Ya Jaddii”
(Semoga keselamatan bagimu wahai kakekku”. Tiba-tiba, Nabi menjawab salamnya:
“As-Salamu ‘alaika Ya Waladii” (Semoga keselamatan bagimu juga hai anakku)”.
Melihat kejadian menakjubkan itu, maka Syaikh Rifa”i merasa kegirangan gembira
lalu bersenandung:
Dari kejauhan, kulepaskan ruhku
Bumipun menerima diriku
Kini bayangan telah hadir saatnya
Maka ulurkanlah tanganmu agar aku menciumnya
Lalu Nabi mengulurkan tangannya dan dicium oleh Syaikh Rifa’i. Semua kejadian itu disaksikan oleh ribuan manusia.
Bumipun menerima diriku
Kini bayangan telah hadir saatnya
Maka ulurkanlah tanganmu agar aku menciumnya
Lalu Nabi mengulurkan tangannya dan dicium oleh Syaikh Rifa’i. Semua kejadian itu disaksikan oleh ribuan manusia.
Kisah Ini Populer
Kisah ini sangat laris manis sekali
dalam kitab-kitab Sufi, bahkan ada diantara mereka yang menulis kitab pembelaan
khusus terhadap kisah ini seperti Muhammad Abu Huda ar-Rifa’i ash-Shoyyadi dalam
bukunya yang telah tercetak “Al-Fakhru Al-Mukhollad fii Manqobati Yad”. Lebih
dari itu mereka menegaskan bahwa kisah ini adalah berderajat mutawatir, orang
yang mendustakannya adalah orang munafiq, sesat dan kafir!! Demikian kata
as-Shoyyadi dalam Qiladatul Jauhar hlm. 104!!
Kisah Bathil dan Bohong
Ahli bathil berupaya ingin melariskan
kisah bohong ini pada masyarakat luas untuk memperkuat aqidah bejat mereka
bahwa Nabi dapat keluar dari kuburnya serta mengucapkan salam pada beberapa
tokoh Shufi tertentu. Kisah ini sangat laris dibuat dongeng padahal sangat
nampak jelas sekali tanda-tanda kedustaannya. Hal itu ditinjau dari beberapa
segi:
Pertama: Kitab-kitab para ulama yang
masyhur di kalangan para ulama timur dan barat tidak pernah menyebutkan kisah
ini atau cerita semisalnya. Tidak pernah kejadian tersebut terjadi pada para
khalifah empat, sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, pengikut perang Badr,
pengikut baiat ridhwan dan seluruh sahabat. Lantas apakah syaikh Rifa’i jauh
lebih mulia dibanding mereka?! Alangkah bodohnya kalian mengambil hukum!!
Al-Allamah Mahmud Syukri Al-Alusi
berkata: “Berbagai ahli sejarah dari berbagai madzhab banyak yang mencatat
tentang biografi Syaikh Ahmad Ar-Rifa’i. Namun tak satupun diantara mereka yang
menceritakan kejadian ini padahal tragedi seperti ini yang sangat mengundang
hati untuk menukilnya karena merupakan sebuah kejadian yang luar biasa. Tetapi
anehnya, tak satupun dari kalangan ahli sejarah terpercaya yang menceritakan
kisah di atas tetapi hanya para Dajjal (pendusta) yang sesat dan menyesatkan
saja. Tidak ragu lagi bahwa kisah ini hanyalah kebohongan yang diwahyukan oleh
syetan”.
Kedua: Kisah ini hanyalah dinukil oleh
kaum Rifa’iyyah yang dikenal dengan pembohong dan pendusta seperti makan ular,
anti api dan sejenisnya dari perkara-perkara yang bathil. Bahkan ar-Rifai
sendiri menyebutkan bahwa kaum Sufi adalah para pendusta, katanya: “Maka
waspadalah dirimu dari kelompok yang biasanya suka dongeng para pembesar,
karena dongeng-dongeng tersebut kebanyakannya didustakan pada mereka”. Katanya
juga: “Wahai anakku, apabila engkau memperhatikan kaum yang mengaku tasawwuf,
niscaya engkau akan mengetahui bahwa mayoritas mereka adalah kaum zindiq dan
ahli bid’ah”. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pernah berdiolog secara terang-terangan
bersama para Rifa’iyyah sehingga terbongkarlah kedustaan mereka.
Ketiga: Dalam kisah tersebut dinyatakan
bahwa syaikh Rifa”i dapat melihat Nabi dalam keadaan bangun (bukan mimpi)
padahal hal ini adalah mustahil dan tidak mungkin, sebab Nabi sendiri bersabda:
أَنَا أَوَّلُ مَنْ تُنْشَقُّ عَنْهُ الأَرْضُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Saya adalah orang yang pertama kali
dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat”.
Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi tidak
mungkin bangkit dari kuburnya sebelum hari kiamat tiba. Hal ini dikuatkan
dengan ayat:
ثُمَّ إِنَّكُم بَعْدَ ذَلِكَ لَمَيِّتُونَ
. ثُمَّ إِنَّكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تُبْعَثُونَ
Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu
sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan
dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat. (QS. Al-Mukminun: 15-16).
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa
tidak ada kebangkitan dari alam kubur sebelum hari kiamat tiba.
Dalam Fatawa Lajnah Daimah (3/171/no.
6911) dinyatakan: “Asal hukum orang yang telah wafat baik dia seorang Nabi
maupun bukan adalah tidak dapat bergerak di kuburnya dengan mengulurkan tangan
atau selainnya. Adapun cerita bahwa Nabi pernah mengulurkan tangannya terhadap
orang yang mengucapkan salam pada beliau, maka cerita itu tidak shahih, bohong
dan hanya dongeng yang tidak ada sumbernya”.
Keempat : Dalam cerita tersebut
dinyatakan: “Lalu Nabi mengulurkan tangannya dan dicium oleh syaikh Rifa’i.
Semua kejadian itu disaksikan oleh ribuan manusia”. Subhanallah, adakah
kedustaan yang lebih nyata daripada ini?! Bagaimana mungkin tempatnya bisa
mencukupi jumlah orang yang begitu banyak?! Bukankah kuburan Nabi telah
dikelilingi oleh tembok? Lantas dari jendela manakah Nabi mengulurkan
tangannya?!
Kemudian sebagaimana dimaklumi bersama
bahwa bila ada suatu kejadian yang luar biasa, maka manusia akan
berdesak-desakan untuk melihatnya sehingga yang dapat melihat dan mendengar
jawaban salamnya hanyalah orang-orang yang berada di bagian depan saja, tidak
mungkin semuanya”.
Kelima: Dua bait yang dilantunkan Syaikh
Rifa’i di atas juga merupakan kedustaan dan kebohongan. Al-Alusi berkata :
“Mayoritas ahli ilmu dan syair menisbatkan dua bait di atas kepada selain Ahmad
Rifa’i. Syaikh Shalahuddin Ash-Shafadi menisbatkan dua bait tersebut pada Ibnu
Faridh. Dengan demikian, maka nampaklah kedustaan ahli bid’ah Rifa’iyyah”.
Keenam: Syaikh ar-Rifai sendiri melarang
untuk menampakkan karomah dan menilainya sebagi suatu fitnah, katanya: “Wahai
saudaraku, aku khawatir padamu dari gembira dengan karomah dan menampakkannya,
sesungguhnya para wali mereka menyembunyikan karomah sebagaimana wanita
menyembunyikan darah haidnya”.
Kesimpulan, kisah ini hanyalah dongeng
bualan kaum Shufi yang penuh dengan kedustaan dan kebohongan yang bertujuan
untuk menjaring orang-orang bodoh.
SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYYAH DAN MIMBAR
Kisahnya
Seorang pelancong yang bernama Ibnu
Bathutah pernah bercerita dalam Rihlahnya hal. 112-113: “Dahulu di Damaskus ada
seorang tokoh ulama besar dari kalangan Hanabilah, dia pandai berbicara dalam
setiap bidang. Namun pada otaknya ada sesuatu yang tidak beres. Penduduk
Damaskus sangat mengagungkannya… hingga ceritanya: “Saya pernah menghadiri
ceramahnya pada hari jum’at ketika dia sedang memberi pelajaran di hadapan umum
di atas mimbar Jami’. Banyak pelajaran yang disampaikannya saat itu,
diantaranya dia berkata: “Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia serupa
dengan turun saya ini”. Lalu dia turun satu tingkat di jenjang mimbar. Melihat
hal itu, seorang ulama ahli fiqh madzhab Maliki bernama Ibnu Zahra’ membantah
dan mengingkarinya. Tetapi orang-orang langsung bangkit pada orang tersebut
(Ibnu Zahra) dan memukulinya dengan tangan dan sandal dengan pukulan yang
bertubi-tubi hingga sorbannya jatuh”.
Kisah Dusta
Kisah ini banyak dibawakan oleh para
pencela Ibnu Taimiyyah seperti KH. Sirajuddin Abbas dalam buku I’tiqod Ahlu
Sunnah wal Jamaah hal. 268 dan bukunya 40 Masalah Agama 2/215-217.
Kedustaan kisah ini sangat nyata sekali bagi orang yang dilapangkan dadanya oleh Allah untuk menerima kebenaran. Hal itu ditinjau dari beberapa segi:
Kedustaan kisah ini sangat nyata sekali bagi orang yang dilapangkan dadanya oleh Allah untuk menerima kebenaran. Hal itu ditinjau dari beberapa segi:
Pertama: Kisah ini hanya dinukil oleh
Ibnu Bathuthah saja. Sungguh suatu hal yang sangat aneh. Bukankah yang hadir di
majlis saat itu adalah orang banyak? Lantas mengapa para murid beliau tidak
menukilnya?! Bahkan, mengapa para musuh beliau juga tidak ada yang menukilnya?!
Kedua: Madzhab Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah tentang masalah nuzul (turunnya Allah ke langit dunia) sangat jelas
dan gamblang, beliau berkata: “Demikian juga apabila ada seseorang yang
menyerupakan sifat-sifat Allah serupa dengan sifat makhluk-Nya, seperti mengatakan:
Istiwa” Allah serupa dengan istiwa” makhluk-Nya atau turunnya Allah serupa
dengan turunnya makhluk, maka orang ini mubtadi” (ahli bid”ah), sesat dan
menyesatkan. Karena Al-Qur”an dan As-Sunnah serta akal menunjukkan bahwa Allah
tidak serupa dengan makhlukNya dalam segala segi”.
Beliau juga berkata setelah membawakan
hadits turunnya Allah ke langit dunia: “Para salaf, para imam, dan para ahlu
ilmu dan hadits telah bersepakat membenarkan dan menerima hadits ini.
Barangsiapa yang berkata seperti perkataan rasul, maka dia benar, tetapi
barangsiapa yang memahami hadits ini atau hadits-hadits yang sejenisnya dengan
pemahaman yang Allah suci darinya, seperti menyerupakanNya dengan sifat
makhluk, dan menyifatinya dengan kekurangan, maka dia telah salah. Oleh karena
itu madzhab salaf meyakini dalam sifat ini dengan menetapkan sifat-sifat bagi
Allah dan tidak menyerupakannya dengan makhluk. Karena Allah disifati dengan
sifat-sifat terpuji dan suci dari penyerupaan dengan makhlukNya”.
Ketiga: Ibnu Bathutah secara jelas
menceritakan dalam Rihlahnya 1/102 bahwa dia memasuki kota Damaskus pada
tanggal 9 Ramadhan 728 H, padahal Syaikhul Islam pada waktu itu berada dalam
penjara, karena beliau masuk penjara pada tanggal 6 Sya’ban 728 H dan beliau
tidak pernah keluar penjara hingga hari wafatnya yaitu pada tanggal 20 Dzul
Qo’dah 728 H.
Lantas, bagaimana mungkin Ibnu Bathutah
melihatnya sedangkan saat itu Ibnu Taimiyyah sudah 33 hari berada di penjara?!
Apakah mimbarnya bisa pindah di penjara saat itu?! Sungguh ini merupakan kedustaan
atas Ibnu Taimiyyah dan masih banyak lagi kebohongan-kebohongan terhadap beliau
sehingga benarlah apa yang beliau katakan: “Saya tahu bahwa ada suatu kaum yang
berdusta atas nama saya sebagaimana seringkali mereka berdusta kepadaku” .
SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB
MENCELA NABI?!
Kisahnya
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab sering
mendapatkan tuduhan-tuduhan dan kisah-kisah dusta, semua itu dengan tujuan
untuk melarikan manusia dari dakwahnya. Diantara kisah yang paling mencuat
adalah bahwa merendahkan Nabi SAW dan membiarkan para pengikutnya melecehkan
Nabi di hadapannya, sampai-sampai seorang pengikutnya berkata: “Tongkatku ini
masih lebih baik dari Muhammad, karena tongkatku masih bisa digunakan membunuh
ular, sedangkan Muhammad telah mati dan tidak tersisa manfaatnya sama sekali”.
Sekadar Bualan
Tuduhan merendahkan Nabi Muhammad
bukanlah hal yang baru. Semenjak masa hidup Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
sudah ada orang yang menuduh beliau seperti itu , lalu beliau menjawab tuduhan
tersebut: “Maha Suci Engkau Ya Allah, ini adalah kedustaan yang nyata. Namun
hal itu tak aneh, karena memang sejak dahulupun sudah ada orang yang menuduh
Nabi Muhammad bahwa beliau mencela Isa bin Maryam dan mencela orang-orang
shalih, hati mereka serupa, mereka juga menuduh Nabi Muhammad bahwa beliau
mengatakan kalau Malaikat, Isa dan Uzair tempatnya di Neraka, maka Allah
menurunkan ayat tentang hal itu:
إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُمْ مِنَّا الحُسْنَى
أُولَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ
Bahwasanya orang-orang yang telah ada
untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari neraka.
(QS. Al-Anbiya’: 101)
Beliau juga berkata: “Aduhai, bagaimana
hal ini bisa diterima oleh orang yang berakal. Adakah seorang muslim, kafir,
sadar bahkan orang gila yang mengatakan ucapan seperti itu?!!”.
Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abdil
Wahhab juga membantah tuduhan ini: “Adapun tuduhan yang didustakan kepada kami
-dengan tujuan untuk menutupi kebenaran dan menipu manusia- bahwa kami
merendahkan kedudukan Nabi kita Muhammad dengan ucapan kami: “Nabi tidak
berguna sama sekali di kuburnya, dan tongkat seorang diantara kami lebih
bermanfaat baginya daripada nabi, dan beliau tidak memiliki syafa’at, dan
ziarah ke kuburnya tidaklah disunnahkan, kami melarang shalawat kepada
Nabi…Semua ini hanyalah khurafat yang jawaban kami seperti biasanya: “Maha Suci
Engkau Ya Allah, ini adalah kebohongan yang nyata. Barangsiapa yang
menceritakan hal itu dari kami atau menisbatkannya kepada kami, maka dia telah
berdusta dan berbohong kepada kami.
Barangsiapa yang menyaksikan keadaan
kami dan menghadiri majlis ilmu kami serta bergaul dengan kami, niscaya dia
akan mengetahui secara pasti bahwa semua itu adalah tuduhan palsu yang
dicetuskan oleh musuh-musuh agama dan saudara-saudara Syetan untuk melarikan
manusia dari tunduk dan pemurnian tauhid hanya kepada Allah saja serta
peringatan keras dari beragam jenis kesyirikan.
Keyakinan kami bahwa kedudukan Nabi kita
Muhammad adalah kedudukan makhluk yang paling tertinggi secara mutlak, dan
beliau hidup di kuburnya dengan kehidupan barzakhiyyah (di alam barzakh, antara
dunia dan akherat -pent-) yang melebihi kehidupan para syuhada’ yang ditegaskan
dalam Al-Qur’an, sebab tidak diragukan lagi bahwa beliau lebih utama daripada
mereka, beliau juga dapat mendengar salamnya orang yang menyampaikan salam
kepadanya, disunnahkan ziarah ke kuburnya, dan barangsiapa yang menyibukkan
diri dan mengisi waktunya dengan shalawat kepada Nabi berupa shalawat yang
dicontohkan, maka dia mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat”.
Salah seorang ulama Nejed menulis
risalah bantahan terhadap tulisan yang dimuat dalam koran Al-Qiblat, dimana
penulisnya menuduh bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya
mengatakan bahwa tongkat itu lebih bermanfaat daripada Nabi: “Allah Akbar!
Allah Maha Besar dari perilaku para penyesat yang ingin melarikan manusia dari
agama Allah dan mengahalangi manusia dari jalan Allah, mereka menginginkan
kerusakan di muka bumi. Barangsiapa yang menuduh kami seperti ini maka baginya
laknat Allah, malaikat dan seluruh manusia, Allah tidak menerima tebusan
darinya, dan Allah membongkar kedoknya di khayalak ramai pada suatu hari dimana
tidak bermanfaat lagi alasan manusia.
Subhanallah, bagaimanakah hal ini
terbetik dalam benak seorang yang berakal, jahil atau gila? Ucapan seperti ini
tidak mungkin diucapkan oleh seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
dan mengetahui bahwa dia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Sungguh tidak ada yang mengucapkannya kecuali seorang yang lebih sesat daripada
keledai miliknya. Kita memohon kepada Allah dari kegersangan hati, tidak
mungkin kita mengucakan ucapan seperti ini, Maha suci Engkau Ya Allah, ini
kedustaan yang nyata”.
Syaikh Abdullah bin Ali al-Qashimi
berkata: “Adapun apa yang disebutkan dalam kitab Khulashatul Kalam karya
pembohong besar Dahlan bahwa Syaikh (Muhammad bin Abdil Wahhab) mengatakan
bahwa tongkat lebih baik daripada Rasul, dimana ucapan itu dilontarkan di
hadapannya dan beliau mendengar serta menyetujuinya, maka semua ini hanyalah
kebohongan yang sangat murah harganya. Kita menantang orang rafidhah ini dan
seluruh kawan-kawannya agar mereka membuktikan ucapan ini dari salah seorang
Wahabi, tak usah terlalu jauh-jauh kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab atau
seorang ulama dari pengikutnya, cukuplah kita meminta kepada mereka dari
seorang yang bodoh di kalangan mereka (Wahabi). Kalau sekedar berbohong, semua
orang juga bisa, hatta yang paling bodohpun! Apabila seorang mendebat lawannya
dengan kebohongan, hal itu berarti dia berpegang kepada pegangan yang sangat
kropos dan menjadi orang yang merugi dalam perniagaan”.
Seorang dari Negeri Cina pernah
melontarkan sebuah pertanyaan ini: Banyak beredar sebuah issu bahwa Wahhabiyun
mengatakan: Tongkatku ini lebih baik daripada Muhammad!! Karena tongkatku masih
sering saya butuhkan, berbeda dengan Muhammad Rasulullah, dia telah meninggal
dunia!! Apakah issu ini benar ataukah hanya sekedar tuduhan?!
Pertanyaan ini dijawab oleh Syaikh
Muhammad Sulthan al-Ma’shumi: “Ucapan ini hanyalah tuduhan sangat nyata,
dicetuskan oleh orang-orang yang memiliki tujuan-tujuan kotor. Ucapan ini
hanyalah kebohongan yang disebarkan oleh para pendusta dan penyebar kesesatan,
sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab Wahabi, diantaranya seorang ulama
Nejed, Syaikh Sulaiman bin Sahman dalam beberapa karya tulisnya. Semoga Allah
menghancurkan para penyebar kerusakan dan para fanatis golongan, mereka telah
membuang sifat malu dari wajah-wajah mereka.
Kenyataan yang sebenarnya: Wahabi adalah
golongan Ahli Sunnah wal Jama’ah yang konsisten di atas jalan yang lurus. Ya
Allah, Tunjukilah kami kebenaran dan berilah kami kekuatan untuk mengikutinya.
Tunjukilah kami kebatilan dan berilah kami kekuatan untuk menjauhinya dengan
karuniMu wahai Dzat Yang Maha penyayang”.
Dan bukti-bukti kecintaan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab banyak sekali, bukan di sini uraiannya.
Dan bukti-bukti kecintaan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab banyak sekali, bukan di sini uraiannya.
WASIAT SYAIKH AHMAD
PENJAGA HUJROH NABI
PENJAGA HUJROH NABI
Selebaran Laris Manis
Sering kita temukan selebaran wasiat
dusta yang dinisbatkan kepada Syaikh Ahmad, penjaga hujrah Nabi. Sebuah
selebaran yang sangat laris manis, banyak beredar di berbagai negara semenjak
puluhan tahun yang lalu. Dalam wasiat tersebut terdapat janji kebaikan bagi
orang yang menulisnya tiga puluh kali dan membagikan kepada kenalannya,
sebaliknya petaka akan menimpa bagi seorang yang mengabaikannya dan tidak
berpartisipasi dan menulis dan mengedarkannya. Dalam selebaran tersebut
dikatakan bahwa Syaikh Ahmad, sang penjaga hujroh Nabi bertemu dengan Nabi dan
mendapatkan wasiat-wasiat dari beliau untuk disebarkan.
Ulama Ramai Membantah
Telah banyak para ulama yang
memperingatkan dari wasiat bohong ini, diantaranya adalah Syaikh Muhammad
Rasyid Ridha dalam Fatawa-nya 1/240-242, Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam
risalahnya At-Tahdzir Minal Bida’, Syaikh DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan dalam
Al-Bayan li Akhta’ Ba’dhi Kuttab hal. 221-227 dan lain sebagainya.
Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz
mengatakan: “Saya tidak menyangka sebelumnya kalau wasiat batil ini laris di
kalangan orang yang sedikit memiliki pengetahuan dan fithrah yang sehat, tetapi
banyak diantara saudaraku memberikan informasi kepadaku bahwa wasiat ini laris
manis di tengah-tengah mayoritas manusia, bahkan sebagian diantara mereka
membenarkannya. Oleh karenanya, saya memandang bahwa kewajiban orang sepertiku
untuk menulis penjelasan tentang kebatilan isi wasiat ini dan kebohongan
terhadap Rasulullah agar manusia tidak tertipu dengannya. Setiap orang yang
memiliki ilmu dan keimanan serta fithrah sehat apabila mau merenunginya,
niscaya dia kan mengetahui bahwa wasiat ini bohong belaka ditinjau dari berbagai
sudut pandangannya.
Saya telah bertanya kepada sebagian
kerabat Syaikh Ahmad yang dinisbatkan kedustaan wasiat ini kepadanya, lalu dia
memberikan jawaban kepadaku bahwa ini hanyalah kedustaan yang dinisbatkan
kepada Syaikh Ahmad, beliau tidak pernah mengatakannya sedikitpun, Syaikh Ahmad
tersebut telah lama meninggal dunia. Anggaplah memang benar kalau Syaikh Ahmad
atau bahkan orang yang lebih tinggi darinya mengaku bahwa dia melihat Nabi
dalam keadaan mimpi atau sadar lalu Nabi memberikan wasiat ini kepadanya,
niscaya kita akan mendustakannya secara pasti, dan sebenarnya yang
mengatakannya adalah Syetan, bukan Nabi…”.
Lembaga riset fatwa dan dakwah Saudi
Arabia telah mengeluarkan penjelasan yang mengingatkan manusia agar berwaspada
dari wasiat bohong ini. Berikut teks fatwa mereka:
Segala puji bagi Allah semata. Shalawat dan salam bagi rasulnya, keluarga dan para sahabatnya. Amma Ba’du:
Memang mungkin saja secara akal dan syari’at seorang muslim bisa bermimpi melihat Nabi dalam bentuk aslinya, sehingga mimpinya itu benar, karena Syetan tidak mungkin menyerupai beliau. Hal ini berdasarkan sabdanya:
Segala puji bagi Allah semata. Shalawat dan salam bagi rasulnya, keluarga dan para sahabatnya. Amma Ba’du:
Memang mungkin saja secara akal dan syari’at seorang muslim bisa bermimpi melihat Nabi dalam bentuk aslinya, sehingga mimpinya itu benar, karena Syetan tidak mungkin menyerupai beliau. Hal ini berdasarkan sabdanya:
مَنْ رَآنِيْ فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِيْ,
فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَتَمَثَّلُ بِيْ
Barangsiapa melihatku dalam mimpi, maka
sesungguhnya dia benar-benar melihatku, karena Syetan tidak mungkin bisa
menyerupaiku. (HR. Ahmad dan Bukhari dari Anas)
Namun seorang bisa jadi berdusta mengaku
mimpi melihat Nabi tetapi dia mensifatkannya kepada kita ciri-ciri Nabi dengan
benar, atau bisa jadi juga dia mimipi melihat seorang yang tidak sesuai dengan
sifat Nabi, tetapi syetan membisikan kepadanya bahwa itu adalah Nabi padahal
sebenarnya bukan.
Mimpi yang dinisbatkan kepada Syaikh
Ahmad, penjaga hujrah Nabi tidak benar adanya, cerita ini hanya dibuat-buat
belaka. Hal ini sangat nampak jelas sekali, betapa sering seorang tak dikenal
mengaku bernama Syaikh Ahmad dan mengaku mimpi melihat Nabi. Syaikh Ahmad,
penjaga hujrah Nabi telah lama meninggal dunia sebagaimana informasi para
kerabatnya ketika diklarifikasikan masalah ini, dan mereka mengingkari adanya
mimpi ini, padahal mereka adalah orang yang paling dekat dan paling mengerti
tentang keadaannya. Seandainya penisbatan ini benar, maka hanya ada dua
kemingkinan; mungkin ini adalah dusta kepada Nabi, atau ini hanyalah impian dan
khayalan belaka yang didesuskan oleh Syetan kepada orang yang bermimpi, bukan
mimpi sebenarnya. Hal yang menunjukkan batilnya mimpi ini adalah banyaknya hal
yang sangat bertentangan dengan fakta dan syari’at Rasulullah. Adapun
bertentangan dengan fakta, karena selebaran ini tetap disebarkan padahal
kerabat dekatnya sendiri mengingkarinya. Sedangkan pertentangannya dengan
syari’at maka banyak sekali, diantaranya:
Pertama: Informasi tentang jumlah umat
ini yang mati tidak di atas Islam setiap jum’atnya. Hal ini merupakan perkara
ghaib yang tidak diketahui oleh manusia, ini hanya diketahui oleh Allah dan
para rasul yang diberi wahyu pada saat mereka masih hidup, sedangkan wahyu
kerasulan sekarang telah terputus dengan wafatnya Nabi Muhammad.
قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
الْغَيْبَ إِلَّا اللَّـهُ ۚ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ ٦٥
“Katakanlah: Tidak ada seorangpun di
langit dan di bumi yang mengetahui perkara ghaib kecuali Allah”. (QS. An-Naml:
65)
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَىٰ غَيْبِهِ
أَحَدًا ﴿٢٦﴾ إِلَّا
مَنِ ارْتَضَىٰ مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ
رَصَدًا٢٧
“Dialah (Allah) Yang Mengetahui perkara
ghaib, maka Dia tidak memperlihatkannya kepada seorangpun tentang yang ghaib
itu. Kecuali kepada rasul yang diridhainya, sesungguhnya Dia mengadakan
penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya”. (QS. Al-Jinn: 26-27)
مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ
وَلَـٰكِن رَّسُولَ اللَّـهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ ۗوَكَانَ اللَّـهُ بِكُلِّ
شَيْءٍ عَلِيمًا ٤٠
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak
dari seorang laki-laki diantara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup
para nabi”. (QS. Al-Ahzab: 40)
Kedua: Dia mengkhabarkan bahwa Nabi
mengatakan: “Saya sangat malu dengan perbuatan manusia yang penuh dosa, saya
tidak bisa menghadap Rabbku dan Malaikat”. Ini termasuk kebohongan dan
kedustaan, sebab Nabi Muhammad tidak mengetahui keadaan umatnya setelah
meningal dunia, bahkan ketika masih hidup-pun beliau tidak tahu kecuali yang
beliau lihat sendiri atau informasi dari orang yang menyaksikannya, atau
mendapatkan wahyu dari Allah. Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah pernah
berkhutbah: Wahai sekalian manusia, kalian akan dikumpulkan di hadapan Allah
dengan tidak beralas kaki, telanjang dan tidak khitan, beliau lalu membacakan
firman Allah:
يَوْمَ نَطْوِي السَّمَاءَ كَطَيِّ السِّجِلِّ
لِلْكُتُبِ ۚ كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُّعِيدُهُ ۚ وَعْدًا
عَلَيْنَا ۚ إِنَّا كُنَّا فَاعِلِينَ ١٠٤
“Sebagaimana kami telah memulai
penciptaan pertama begitulah Kami mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti
kami tepati”. (Al-Anbiya’: 104)
Kemudian beliau melanjutkan: “Ketahuilah
bahwa nanti akan didatangkan beberapa orang umatku dari arah kiri, lalu saya
berkata: Wahai Rabbku! Mereka sahabatku!!, kemudian dikatakan: Engkau tidak
tahu apa yang mereka perbuat setelah kematianmu. Maka saya mengatakan seperti
ucapan hamba shalih:
مَا قُلْتُ لَهُمْ إِلَّا مَا أَمَرْتَنِي
بِهِ أَنِ اعْبُدُوا اللَّـهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ ۚ وَكُنتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا
مَّا دُمْتُ فِيهِمْ ۖ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنتَ أَنتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ ۚ وَأَنتَ
عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ ١١٧
“Aku menjadi saksi atas mereka selama
aku berada diantara mereka. Maka setelah engkau wafatkan (angkat) aku,
Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkau Maha Menyaksikan segala sesuatu”.
(QS. Al-Maidah: 117)
Lalu dikatakan: Sesungguhnya mereka
tetap dalam kemurtadan mereka semenjak engkau meninggalkan mereka”. (HR.
Bukhari)
Anggaplah bahwa beliau mengetahui
keadaan umatnya setelah wafat, namun tumpukan dosa umatnya tidaklah membuat
beliau harus malu dan keberatan diri. Telah shahih dalam hadits syafa’at bahwa
karena dahsyatnya hari itu, maka manusia baik yang kafir maupun mukmin meminta
syafa’at kepada Nabi mereka masing-masing, lalu seluruh para nabi mengemukakan
alasan tidak bisa memberikan syafa’at, sehingga sampailah mereka kepada Nabi
Muhammad dan memintanya agar memberikan syafa’at kepada Allah, kemudian Nabipun
memenuhi permintaan mereka dan tidak menolak permohonan mereka atau marasa malu
karena banyaknya dosa mereka, beliau kemudian sujud di bawah Arsy dan memuji
Allah sehingga diperintahkan untuk mengangkat kepalanya dan memberikan syafa’at
keada mereka. Setelah itu mereka pergi untuk berurusan denga hisab
(pembalasan). Semua itu beliau lakukan tanpa terhalangi oleh rasa malu untuk
bertemu dengan Rabbnya dan para Malaikat.
Ketiga: Dalam wasiat itu diberitakan
tentang pahala menulis wasiat ini dan menyebarkannya dari tempat ke tempat
lainnya, padahal penentuan pahala perbuatan merupakan perkara ghaib yang tidak
diketahui kecuali hanya Allah semata, sedangkan wahyu telah terputus dengan
wafatnya penutup para Nabi. Dengan demikian, maka pengakuan mengetahui hal
tersebut merupakan kebatilan nyata. Hal ini telah diakui oleh syaikh Ahmad
dalam wasiat bohongnya: “Barangsiapa menulisnya sedangkan dia miskin papa,
niscaya Allah menjadikannya kaya raya, kalau dia berhutang niscaya Allah akan
melunasinya, kalau dia berdosa niscaya Allah akan mengampuninya dan juga kedua
orang tuanya”. Semua ini hanyalah kebohongan semata.
Demikian pula ancaman kerasnya terhadap
orang yang tidak menulisnya dan menyebarkannya bahkan dia menvonis orang
tersebut bakal tidak mendapatkan syafa’at Nabi Muhammad dan wajahnya akan
menjadi hitam di dunia dan akherat. Ini juga termasuk perkara ghaib yang tidak
diketahui kecuali oleh Allah, maka menginformasikannya sedangkan wahyu telah
terputus merupakan kedustaan. Demikian pula ucapannya: “Barangsiapa
mempercayainya, niscaya akan selamat dari siksa Neraka dan barangsiapa yang
mendustakannya maka dia telah kafir, keluar dari agama”. Hal ini juga kedustaan
dan kebohongan, sebab tidak memercayai mimpi selain Nabi tidak termasuk
kekufuran dengan kesepakatan kaum muslimin.
Keempat: Semua yang dia khabarkan berupa
janji dan ancaman tersebut mengandung sebuah unsur syari’at untuk menganjurkan
penulisan wasiat ini dan menyebarkannya di tengah-tengah manusia agar supaya
diamalkan dan diyakini pahala yang tertera di dalamnya. Demikian pula
mengandung syari’at haramnya menyembunyikannya, tidak menyebarkannya, atau
memperingatkan manusia darinya, karena khawatir tertimpa ancaman keras berupa
haramnya Syafa’at Nabi baginya serta hitamnya wajah di dunia dan akherat kelak.
Kelima: Tidak ada kesesuaian antara
amalan dan ganjarannya. Hal ini membuktikan kedustaan wasiat ini. Dan masih
banyak lagi hal-hal lain yang merupakan kedustaan nyata. Oleh karenanya maka
kewajiban bagi setiap muslim untuk waspada dari wasiat ini dan berusaha untuk
melenyapkannya.
Hanya kepada Allah kita memohon taufiq.
Shalawat dan salam bagi Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya”.
KHOTIMAH
Al-Hamdulillah, itulah sebuah kata yang
senantiasa hendaknya kita ucapkan seiring dengan selesainya tulisan ini. Semoga
Allah menjadikan tulisan ini ikhlas hanya mengharapkan ridho-Nya serta
bermanfaat bagi para hamba-Nya.
Saudaraku, demikianlah beberapa kisah
yang tidak shohih. Kami menyodorkannya kepada anda agar kita mewasapadainya
semua. Sengaja kami cukupkan sampai 20 kisah saja agar tidak terlalu
memperpanjang jumlah halaman. Hal ini sama sekali bukan berarti sebagai
pembatasan namun hanya sekedar contoh saja.
Sebenarnya, masih banyak lagi
kisah-kisah tak nyata lainnya yang perlu dikritisi dan dicatat dalam buku ini,
tetapi semoga apa yang kami sampaikan di atas cukup mewakili agar kita lebih
kritis lagi. Apalagi, yang kami fokuskan dalam buku ini adalah kisah-kisah yang
populer di masyarakat atau penuntut ilmu, khususnya apabila kisah-kisah
tersebut memiliki dampak negatif seperti penyimpangan aqidah, celaan kepada
para Nabi dan Ulama, tuduhan dusta dan lain sebagainya. Adapun kisah-kisah
lainnya yang tidak mengandung dampak negatif dan bathilnya matan kisah, maka
hal itu lebih ringan perkaranya. Fahamilah!
Akhirnya, inilah yang dapat kami
utarakan, kami menyadari bahwa tulisan ini masih memiliki banyak kekurangan,
oleh karenanya besar harapan kami saran, kritik dan tambahan dari saudara
pembaca sehingga bisa menjadi perbaikan di kemudian hari.
Kita berdoa kepada Allah agar
menambahkan kepada kita semua ilmu yang bermanfaat, keimanan yang kuat dan amal
sholeh.
Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf
As-Sidawi
Artikel: http://abiubaidah.com/
DAFTAR PUSTAKA
40 Masalah Agama, KH. Sirojuddin
Abbas
Adh-Dhuafa Al-Kabir, al-Uqaili
Adhwaul Bayan, as-Sinqithi
Ad-Durar ats-Tsaminah Fi Tarikhil
Madinah, Ibnu Najjar
Ahkam Nazhor Ila Muharromat, Abu
Bakar al-‘Amiri
Ajwibah Al-Masail Ats-Tsaman,
Muhammad bin Sulthon al-Ma’shumi
Al-Aqwal Syadzah fi Tafsir, Abdur
Rahman ad-Dahsy
Al-Asror al-Marfu’ah, Mula Ali
al-Qori
Al-Awashim Minal Qowashim, Ibnul
Arabi
Al-Bayan li Akhto’ Ba’dhi Kuttab,
Shalih bin Fauzan al-Fauzan
Al-Bidayah wa Nihayah, Ibnu Katsir
Al-Fawaid al-Majmu’ah,
Asy-Syaukani
Al-Haj Al-Mabrur, Abu Bakar
al-Jazairi
Al-Ishobah, Ibnu Hajar
Al-Isro’ wal Mi’roj, al-Albani
Al-Jama’at Islamiyyah, Salim bin
Ied al-Hilali
Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an,
al-Qurthubi
Al-Majruhin, Ibnu Hibban
Al-Maqosidhul Hasanah, as-Sakhowi
Al-Maudhu’at, Ibnul Jauzi
Al-Muhalla, Ibnu Hazm
Al-Musnad, Imam Ahmad bin Hanbal
Al-Qoulul Mufid ‘ala Kitab Tauhid,
Ibnu Utsaimin
Al-Uqud Ad-Durriyyah, Ibnu Abdil
Hadi
Ar-Rohiqul Makhtum, Syafiyyur
Rahman al-Mubarokfuri
Ash-Shiro’ul Bainal Islam wal
Watsaniyyah, Abdullah bin Ali al-Qoshimi
Ash-Shorimul Munki, Ibnu Abdil
Hadi
As-Syihab Ats-Tsaqib fi Dzabbi ‘an
Tsa’lbah bin Hathib, Salim bin I’ed al-Hilali
At-Tahdzir Minal Bida’, Abdul Aziz
bin Baz
At-Tashfiyah wa Tarbiyah, Ali bin
Hasan al-Halabi
At-Tawassul wal Wasilah, Ibnu
Taimiyyah
At-Tawassul, ‘Anwauhu wa Ahkamuhu,
al-Albani
At-Tawashul ‘Ila Haqiqati
Tawassul, Muhammad Nasib ar-Rifa’i
Dalail Nubuwwah, al-Baihaqi
Dho’if Jami’ Shoghir, al-Albani
Difa’ Anil Hadits Nabawi was
sirah, al-Albani
Faidhul Qodir, al-Munawi
Fatawa Islamiyyah, kumpulan Abdul
Aziz al-Musnid
Fatawa Lajnah Daimah
Fatawa Muhammad Rosyid Ridho
Fathul Bari, Ibnu Hajar
Fathul Mughits, as-Sakhowi
Ghoyatul Amani Fi Roddi Ala Nabhani,
Mahmud Syukri al-Alusi
Hadzihi Mafaahimuna, Shalih bin Abdul
Aziz Alu Syaikh
Hilyatul Auliya’, Abu Nuaim
Hasyiyah Ala Syarhil Idzah Fi Manasikil
Hajji Li Imam Nawawi, Ibnu Hajar al-Haitami
I’tiqod Ahli Sunnah wal Jama’ah, KH.
Sirojuddin Abbas
Iqtidho’ Shiratil Mustaqim, Ibnu
Taimiyyah
Irwaul Gholil, al-Albani
Kamus Istilah Populer
Kutub Hadzaro Minha Ulama, Masyhur bin
Hasan Salman
Lisanul Mizan, Ibnu Hajar
Lubab Nuqul fi Asbab Nuzul, as-Suyuthi
Madarij Salikin, Ibnu Qoyyim
Majalah Al Furqon, Gresik
Majalah al-Buhuts Islamiyyah, Saudi
Arabia
Majalah At-Tauhid, Mesir
Majma’ Zawaid, al-Haitsami
Majmu Fatawa wa Maqolat, Ibnu Baz
Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah
Majmu’ah Muallafat Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab
Maqolat Al-Albani, kumpulan Nuruddin
Tholib
Masawi’ul Akhlaq, al-Khoroithi
Meluruskan Sejarah Wahhabi, Abu Ubaidah
Yusuf bin Mukhtar
Membongkar Kebohongan Buku Kiai Nu
Menggugat.., Tim Bahtsul Masail PC NU Jember
Minhaj Sunnah, Ibnu Taimiyyah
Mizanul I’tidal, adz-Dzahabi
Mu’jam al-Buldan, al-Hamawi
Mu’jam Al-Kabir, Ath–Thobaroni
Nur Ala Darb, Shalih bin Fauzan
al-Fauzan
Nuzhatun Nazhor Fi Taudhih Nukhbatil
Fikar, Ibnu Hajar al-Asqolani
Qishotu Harut wa Marut Fi Mizanil Manqul
wa Ma’qul, Dr. Iyadah bin Ayyub al- Kubaisy
Qoshoshun Laa Tatsbutu, Masyhur bin
Hasan Salman dan Yusuf al-‘Atiq
Shohih Bukhori
Shohih Muslim
Silsilah Ahadits Adh-Dho’ifah, al-Albani
Siyar A’lam Nubala’, Adz-Dzahabi
Sunan Abu Dawud
Sunan Tirmidzi
Sunan Nasa’i
Sunan Ibnu Majah
Syarh Hadits Nuzul, Ibnu Taimiyyah
Syarh Riyadh Sholihin, Ibnu Utsaimin
Syifa’ Shudur fi Roddi Ala Jawabil
Masykur, Muhammad bin Ibrohim dkk
Syu’abul Iman, al-Baihaqi
Tafsir Al-Qur’anil Azhim, Ibnu Katsir
Tahdzib Tahdzib, Ibnu Hajar
Taisir Aliyyil Qodir, Muhammad Nasib
ar-Rifa’i
Taisirul Karimir Rohman, Abdur Rahman
as-Sa’di
Tajrid Asma Shohabah, adz-Dzahabi
Takhrij Ihya’, al-‘Iroqi
Tanzih Syari’ah, Ibnul ‘Arroq
Tarikh Baghdad, al-Khothib al-Baghdadi
Tarikh Nejed, Ibnu Ghonnam
Tsa’labah bin Hathib As-Shohabi
Al-Muftaro Alaihi, Addab Mahmud al-Himsy
Tuhfatul Qori fir Raddi ‘ala al-Ghumari,
Hammad al-Anshori
Usdul Ghobah, IbnulAtsir
Ushulun fi Tafsir, Syaikh Muhammad bin
Sholih al-Utsaimin
Wafayat A’yan, Ibnu Khollikan
Zadul Ma’ad, Ibnu Qoyyim