Oleh
Syaikh Abdul Malik Bin Ahmad Ramdhani
Ketahuilah
–semoga Allah merahmatimu- bahwa jalan yang menjamin nikmat Islam
bagimu hanya satu, tidak bercabang. Allah telah menetapkan
keberuntungan hanya untuk satu golongan saja. Allah berfirman.
أُوْلاَئِكَ حِزْبُ اللهِ أَلآَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung. [Al Mujadalah:22].
Dan Dia (Allah) menetapkan kemenangan hanya untuk mereka pula. Allah berfirman.
وَمَن يَتَوَلَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْغَالِبُونَ
Dan
barangsiapa mengambil Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman
menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah
yang pasti menang [Al Maidah:56].
Bagaimanapun, jika anda mencari dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka anda tidak
akan menemukan di dalamnya (dalil, Red.) pengkotak-kotakan umat kepada
jama’ah-jama’ah, partai-partai atau golongan-golongan, kecuali
perbuatan itu dicela dan tercela. Allah berfirman.
وَلاَتَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ . مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka, dan mereka menjadi beberapa golongan.Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. [Ar Rum:31-32].
Bagaimana
mungkin Allah mengakui dan melegitimasi perpecahan ummat, setelah Dia
memelihara mereka dengan tali (agama)Nya? Lagi pula, Allah telah
melepaskan tanggung jawab NabiNya -Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam – atas umatnya, manakala mereka berpecah-belah, dan (dia)
mengancam mereka atas perpecahan tersebut. Allah berfirman.
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَىْءٍ إِنَّمَآأَمْرُهُمْ إِلَى اللهِ ثُمَّ يُنَبِئُهُم بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
Sesungguhnya
orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi
beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap
mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah,
kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka
perbuat. [Al An’am:159].
Dari
Muawiyah bin Abu Sufyan Radhiyallahu ‘anhu berkata, ketahuilah,
bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri di
tengah-tengah kami, lalu bersabda.
أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ
Ketahuilah, bahwasanya Ahlul Kitab sebelum kalian terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan bahwasanya, umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh dua di neraka, dan hanya satu yang di surga, yaitu Al Jama’ah. [1]
Mengomentari hadits ini, Amir Ash Shan’ani rahimahullah berkata, “Penyebutan
bilangan pada hadits ini, bukan untuk menjelaskan banyaknya orang yang
binasa. Akan tetapi, hanya untuk menerangkan luasnya jalan-jalan
kesesatan dan cabang-cabang kesesatan, serta untuk menjelaskan bahwa jalan kebenaran itu hanya satu. Hal ini, sama dengan yang telah disebutkan oleh ulama ahli tafsir berkaitan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
Dan
bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka
ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain),
karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. [Al An’am:153].
Pada
ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menggunakan bentuk jamak pada kata
yang menerangkan “jalan-jalan yang dilarang mengikutinya”, guna
menerangkan cabang-cabang dan banyaknya jalan-jalan kesesatan serta
keluasannya. Sedangkan pada kata “jalan petunjuk dan kebenaran“, Allah
Subhanahu wa Ta’ala menggunakan bentuk tunggal. (Ini) dikarena jalan al
haq itu hanya satu, dan tidak berbilang [2]
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata.
خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ قَالَ يَزِيدُ مُتَفَرِّقَةٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ ثُمَّ قَرَأَ إِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat sebuah garis lurus bagi kami, lalu bersabda, ”Ini adalah jalan Allah,” kemudian beliau membuat garis lain pada sisi kiri dan kanan garis tersebut, lalu bersabda, ”Ini adalah jalan-jalan (yang banyak). Pada setiap jalan ada syetan yang mengajak kepada jalan itu,” kemudian beliau membaca.
إِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
Dan
bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka
ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain),
karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. [Al An’am:153]. [3].
Redaksi hadits ini menunjukkan, bahwa jalan (kebenaran, pent.) itu hanya satu. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ”Dan
ini disebabkan, karena jalan yang mengantarkan (seseorang) kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala hanyalah satu. Yaitu sesuatu yang dengannya, Allah
mengutus para rasulNya dan menurunkan kitab-kitabNya. Tiada seorangpun
yang dapat sampai kepadaNya, kecuali melalui jalan ini. Seandainya
manusia datang dengan menempuh semua jalan, lalu mendatangi setiap
pintu dan meminta agar dibukakan, niscaya seluruh jalan tertutup dan
terkunci buat mereka; terkecuali melalui jalan yang satu ini. Karena
jalan inilah, yang berhubungan dengan Allah dan bisa mengantarkan
kepadaNya [4]
Aku
(penyusun) mengatakan: Akan tetapi, banyaknya liku-liku di jalan ini
yang cukup memberatkan, menyebabkan seseorang menjadi ragu, lalu
meninggalkannya. Dan sesungguhnya kelompok-kelompok yang menyimpang,
telah menyelisihi jalan ini. (Penyebabnya), karena merasa senang dan
tenang pada jalan yang banyak, serta merasa berat untuk menyendiri.
Ingin segera tiba (tergesa-gesa, Red.) dan takut memikul beban
perjalanan yang panjang. Ibnul Qayyim berkata, “Barangsiapa menganggap jauh satu jalan ini, maka dia tidak akan mampu menempuhnya.”
MENGENAL JALAN YANG SATU
(Menyimpulkan)
dari pendapat Ibnul Qayyim di atas, maka jelaslah jalan yang dimaksud.
Dan jelas, bahwa jalan yang dimaksud disini, ialah “rukun yang kedua”
dari rukun tauhid. (Yaitu) setelah syahadat (persaksian) bahwa tidak
ada sesembahan yang haq selain Allah, maka (yang kedua, Red.)
persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dan (kalimat) ini, juga
menjadi syarat kedua diterimanya suatu amal ibadah. Karena -sebagaimana
sudah diketahui- bahwa amal ibadah tidak akan diterima, kecuali setelah
memenuhi dua syarat; Pertama, mengikhlaskan agama (ketaatan) karena Allah semata. Kedua, dalam beribadah hanya dengan mengikuti (cara yang dicontohkan) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pada
kesempatan ini, saya tidak bermaksud menjadikan untuk kaidah yang
mashur ini sebagai dalil dalam pembahasan ini. Sebab, tujuan utama
bahasan ini untuk menjelaskan bahwa jalan yang pernah ditempuh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, itulah satu-satunya jalan yang bisa mengantarkan seorang hamba kepada Allah Azza wa Jalla (Pengenalan
terhadap jalan ini amat penting, pent); karena ketidak tahuan terhadap
jalan ini, rintangan-rintangannya, serta tidak mengerti maksud dan
tujuannya, hanya akan menghasilkan kepayahan yang sangat, tanpa bisa
mendapatkan manfaat yang berarti. [5]
Tujuan
pembahasan ini, juga untuk menjelaskan, bahwa jalan itu hanya satu.
Sehingga tidak boleh berdusta mengatas-namakan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan menda’wahkan, bahwa jalan menuju Allah Azza wa
Jalla itu (jumlahnya banyak, pent.), sejumlah bilangan nafas manusia.
Atau ungkapan-ungkapan lain, yang menurut agama Allah Azza wa
Jalla–yang datang guna menyatukan pemeluknya dan bukan untuk
memecah-belah mereka- jelas nyata kebathilannya. Allah berfirman.
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika
dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan
hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara [Ali Imran:103]
Tali
yang menjamin kaum muslimin adalah kitab Allah Azza wa Jalla,
sebagaimana penafsiran para ulama kaum muslimin. Abdullah bin Mas’ud
Radhiyallahu ‘anhu berkata.
إِنَّ هَذَا الصِّرَاطَ مُحْتَضَرٌ تَحْضُرُهُ الشَّيَاطِينُ يُنَادُونَ يَا عَبْدَ اللَّهِ هَلُمَّ هَذَا الصِّرَاطُ لِيَصُدُّوْا عَنْ سَبِيْلِ اللهِ فَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ فَإِنَّ حَبْلَ اللَّهِ الْقُرْآنُ
Sesungguhnya,
jalan ini dihadiri para syetan. Mereka berseru,”Wahai hamba-hamba
Allah, kemarilah. Ini adalah jalan (yang benar).” (Mereka melakukan
ini, pent.) untuk menghalang-halangi manusia dari jalan Allah Azza wa
Jalla. Maka, berpegang taguhlah kalian dengan hablullah. Sesungguhnya,
hablullah itu adalah Kitabullah (Al Qur’an). [6].
Ungkapan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ini, mengandung dua makna yang sangat penting.
Pertama : Jalan menuju Allah itu hanya satu. Hanya
saja, jalan itu dikelilingi oleh syetan yang ingin memisahkan manusia
dari jalan ini. Sementara itu, syetan tidak menemukan jalan terbaik
untuk mencerai-beraikan mereka dari jalan ini, kecuali dengan
menda’wakan, bahwa jalan-jalan itu banyak. Maka, barangsiapa
yang hendak memasukkan suatu anggapan kepada manusia, bahwa kebenaran
(al haq) itu tidak hanya terbatas pada satu jalan saja, berarti dia
adalah syetan. Dan sungguh Allah berfirman.
فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ
Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan [Yunus:32].
Kedua :Tafsir
hablullah (tali Allah Azza wa Jalla) yang wajib dipegang teguh oleh
kaum muslimin agar tetap bersatu, ialah kitab Allah, Al Qur’a Al Karim. Tafsir ini tidak bertentangan dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi.
الصِّرَاطُ الْمُستَقـِيْمُ الَّذِي تَرَكَنَا عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ
Jalan yang lurus, yaitu jalan yang kami lalui ketika kami ditinggal oleh Rasulullah. [7]
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewariskan dua pusaka untuk mereka,
yaitu Al Qur’an dan Sunnah, sebagaimana sabda beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدِي أَبَدًاكِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِيْ
Aku
tinggalkan untuk kalian sesuatu. Jika kalian berpegang teguh kepadanya,
kalian tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnahku.. [8]
Ditinjau
dari ekstensinya, Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu
sama dengan kitab Allah sebagai wahyu, dan Sunnah itu sebagai penjelas
bagi Kitab Allah Azza wa Jalla. Bahkan, makhluk terbaik yang
menafsirkan Al Qur’an adalah Rasulullah, sebagaimana firman Allah Azza
wa Jalla.
وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْ
Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. [An Nahl:44].
Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata.
كَانَ خُلُقُهُ القُرْآنَ
Akhlaq beliau adalah Al Qur’an [9]
Oleh
karena itu pula, jika timbul perpecahan dan perselisihan diantara
mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya
agar berpegang teguh dengan sunnahnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
Dan
sesungguhnya, barangsiapa diantara kalian yang hidup setelahku, dia
akan melihat banyak perselisihan, maka wajib atas kalian untuk
berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khalifah yang diberi
hidayah yang mereka di atas petunjuk. Berpegang teguhlah padanya, dan
gigitlah ia dengan gigi geraham kalian (peganglah sekuat-kuatnya,
Red.), serta jauhilah perkara-perkara yang baru (dalam agama); karena
sesungguhnya, setiap perkara yang baru (yang diada-adakan dalam agama)
adalah bid’ah [10]
Ketika menjelaskan sebab bersatunya salaf pada aqidah yang sama, Imam Ibnu Baththah rahimahullah mengatakan,“Generasi
pertama, semuanya masih tetap pada aqidah ini. Hati dan mazdhab mereka
menyatu. Kitab Allah sebagai jaminan yang memelihara keutuhan mereka.
Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pedoman. Mereka
tidak menuruti pendapat atau rasio mereka, (dan) tidak menyandarkan
pemahamannya kepada hawa nafsu. Kondisi umat pada saat itu terus
demikian. Hati-hati mereka terpelihara oleh penjagaan Allah Azza wa
Jalla, dan berkat ‘InayahNya jiwa-jiwa mereka terkendali dari hawa nafsu [Lihat kitab Al Ibanah atau Al Qadar, I].
Apa
yang dikatakan Ibnu Baththah rahimahullah itu benar; karena agama Allah
itu hanya satu (dan) tidak ada pertentangan. Allah berfirman.
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيرًا
Kalau sekiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya [An Nisa’:82].
Adapun
yang kami dakwahkan ini adalah jalan yang paling jelas, paling terang,
paling kaya (dengan dalil) dan paling sempurna. Dari Al Irbadh bin
Sariyah, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
لَقَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ
Sesungguhnya,
aku telah meninggalkan kalian di atas jalan, seperti jalan yang sangat
putih, malamnya sama dengan siangnya. Tiada yang menyimpang sesudahku
dari jalan itu, kecuali orang (itu) akan binasa [11]
Sehingga, jika ada seseorang yang berupaya untuk “menyempurnakan atau menghiasinya” dengan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah dan tidak pula oleh para sahabat, berarti perbuatan itu hanyalah sebuah upaya untuk menyimpangkan mereka kepada jalan-jalan kesesatan, bahkan menyimpangkan ke lembah-lembah kebinasaan. Inilah yang dinamakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
البِدْعَةُ الضَّلاَلَةُ
Bid’ah adalah kesesatan
Oleh
karena itu, para salafush shalih sangat mengingkari orang-orang yang
menambah-nambah dalam (masalah) agama, atau mengotori agama ini dengan
pendapat rasionya. Umar bin Khathab Radhiyallahu ‘anhu menuturkan.
إِيَّاكُمْ وَ مُجَالَسَةَ أَصْحَابِ الرَّأْيِ فَإِنَّهُمْ أَعْدَاءُ السُّنَّةِ أُعِيَتْهُمُ السُّنَّةُ أَنْ يَحْفَظُوْهَا وَنَسَوْا (وفي رواية) وَتَفَلَّتَتْ عَلَيْهِمُ الأَحَادِيْثُ أَنْ يَعُوْدَهَا وَسُئِلُوْا عَمَّا لاَ يَعْلَمُوْنَ فَاسْتَحْيَوْا أَنْ يَقُوْلُوْا لاَ نَعْلَمُ فَأَفْتَوْا بِرَأْيِهِمْ فَضَلُّوْا فَأَضَلُّوْا كَثِيْرًا وَ ضَلُّوْا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيْلِ . إِنَّ نَبِيَّكُمْ لَمْ يَقْبِضْهُ اللهُ حَتَّى أَغْنَاهُ بِالْوَحْيِ عَنِ الرَّأْيِ وَلَوْكَانَ الرَّأْيُ أَوْلَى مِنَ السُّنَّةِ لَكَانَ بَاطِنُ الْخُفَّيْنِ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ ظَاهِرِهِمَا
Janganlah
kalian duduk dengan orang-orang yang berpegang dengan rasio mereka;
karena sesungguhnya, mereka itu musuh Sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Mereka tidak mampu memelihara Sunnah. Mereka lupa
(dalam sebuah riwayat, mereka diserang) hadits-hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga mereka tidak mampu memahaminya. Mereka
ditanya tentang masalah yang tidak mereka ketahui, akan tetapi mereka
malu untuk mengatakan “Kami tidak mengetahui,” lalu mereka berfatwa
dengan rasionya, sehingga mereka tersesat dan menyesatkan orang banyak. Mereka tersesat dari jalan yang lurus. Sesungguhnya Nabi kalian tidaklah diwafatkan Allah, kecuali setelah Allah mencukupkannya dengan wahyu dari rasio.
Dan seandainya rasio itu lebih utama daripada Sunnah, niscaya mengusap
bagian bawah kedua sepatu (khuf), itu lebih utama daripada mengusap
bagian atasnya. [12]
Yang
demikian itu, karena agama ini dibangun diatas dasar ittiba’ (mengikuti
wahyu), bukan dengan ikhtira’ (mengada-ada). Sedangkan rasio, biasanya
tercela; karena banyak urusan agama yang tidak bisa dijangkau oleh akal
semata. Apalagi akal manusia memiliki perbedaan dalam menjangkau
pemahaman dan faktor-faktor yang mempengaruhinya; meskipun terkadang
pendapat itu patut mendapatkan pujian. [13] Abdullah bin Mas’ud berkata.
اِتَّبِعُوْا وَلاَ تَبْتَدِعُوْا فَقَدْ كُفِيْتُمْ عَلَيْكُمْ بِالْعَتِيْقِ
Ikutilah
dan jangan mengada-ada, karena sesungguhnya (ajaran syari’at Islam ini)
telah mencukupi kalian, hendaklah kalian berpegang dengan tuntunan
agama yang sediakala [14]
Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu berkata.
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٍ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
Semua bid’ah itu adalah sesat, meskipun manusia memandangnya baik [15]
Dan
selama pembahasan kami tentang “pengaruh perbuatan bid’ah” yang
menghalangi seseorang dalam mencari jalan yang lurus, maka saya akan
menyebutkan sebuah ucapan Abdullah bin Abbas perihal masalah ini, yang
menunjukkan luasnya ilmu para sahabat.
Dari Utsman bin Hadhir, ia berkata: Aku datang menjumpai Abdullah bin Abbas. Lalu aku berkata kepadanya, أوصيني (berilah wasiat kepadaku); diapun berkata.
نَعَمْ عَلَيْكَ بِتَقْوَى اللهِ وَ الإِسْتِِقَامَةِ وَ الأَثَرِ وَ لاَ تَبْتَدِعْ
“Ya,
bertaqwalah engkau kepada Allah, istiqamahlah dan (berpeganglah pada)
atsar (jejak para salaf, pent). Ikutilah, dan jangan mengada-ada dalam
urusan agama. [16]
Cobalah anda perhatikan ucapan ini. Dia memadukan dua hal. Pertama, taqwa kepada Allah, yang maknanya sama dengan keikhlasan. Sebab ia dipadukan dengan perintah untuk berittiba’ (perintah untuk mengikuti tuntunan Nabi, pent.). Kedua, al ittiba’, yang maknanya mengikuti jalan yang lurus, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Selanjutnya,
beliau mengingatkan agar waspada terhadap yang bertolak belakang dengan
kedua hal di atas, yaitu bid’ah. Demikianlah mayoritas ucapan para
salaf, meskipun singkat, namun selalu mencakup dan membentengi
(seseorang).
Merupakan perangai Salafush Shalih, mereka selalu bersikap tegas dan keras terhadap orang yang mencari-cari ucapan manusia (para tokoh) untuk menandingi hukum Rasulullah, setinggi apapun kedudukan dan martabat tokoh-tokoh tersebut.
Tidak
diragukan, bahwasanya beradab dan memelihara kesopanan terhadap para
ulama’, mencintai dan mendahulukan mereka atas lainnya, serta tudingan
seseorang terhadap rasionya jika disejajarkan dengan pendapat-pendapat
para ulama; semua itu perkara yang amat penting. Namun demikian, hal tersebut merupakan persoalan lain. Sedangkan mendahulukan wahyu (Al Qur’an dan As Sunnah) setelah jelas permasalahannya, juga merupakan perkara lain.
Urwah
berkata kepada Ibnu Abbas, “Celaka engkau. Engkau telah menyesatkan
manusia, karena memerintahkan untuk melakukan ibadah umrah pada sepuluh
hari (pertama bulan Dzul Hijjah), padahal tiada umrah pada hari-hari
itu.” Maka Ibnu Abbas berkata, “Wahai Uray [17]. Tanyakanlah kepada
ibumu.” Urwah berkata, “Bahwasanya Abu Bakar dan Umar tidak pernah
berkata (berpendapat) seperti itu, padahal mereka benar-benar lebih
mengetahui dan lebih mengikuti Rasulullah daripada engkau.” Maka
dijawab oleh Ibnu Abbas.
مِنْ هَهُنَا تُؤْتَوْنَ نَجِيْئُكُمْ بِرَسُوْلِ اللهِ وَتَجِيْئُوْنَ بِأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ
Dari
sinilah kalian didatangi. Kami membawakan kepadamu (perkataan)
Rasulullah, dan kamu membawakan (perkataan) Abu Bakar dan Umar.
Dalam riwayat lain, Ibnu Abbas berkata kepadanya.
أَهُمَا –وَيْحَكَ- آثَرٌ عِنْدَكَ أَمْ مَا فِي كِِتَابِ اللهِ وَمَاسَنَّ رَسُوْلُ اللهِ فِي أَصْحَابِهِ وَأُمَّتِهِ
Celaka engkau. Apakah
mereka berdua (Abu Bakar dan Umar, pent), lebih engkau dahulukan
ataukah yang tertulis dalam Kitab Allah dan disunahkan oleh Rasulullah
bagi sahabat dan umatnya?
Dalam riwayat lain, ia bertutur.
أُرَاهُمْ سَيُهْلَكُوْنَ أَقُوْلُ قَالَ النَّبِي وَيَقُوْلُ نَهَى أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ
Kelihatannya mereka akan dibinasakan, aku katakan “Nabi berkata” sedang mereka berkata “Abu Bakar dan Umar telah melarangnya”. [18]
Setelah membawakan ucapan Ibnu Abbas di atas, Syaikh Abdurrahman bin Hasan mengatakan, “Dalam
ucapan Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu terdapat isyarat yang menunjukkan,
bahwa seseorang yang telah sampai padanya dalil, lalu tidak
mengambilnya (tidak mengamalkannya) karena bertaklid kepada imamnya,
maka orang itu wajib diingkari dengan keras karena sikapnya yang
menyelisihi dalil” [19]
Beliau juga mengatakan, ”Kemungkaran
ini, [20] telah merebak luas terutama dari mereka yang menisbatkan diri
kepada ilmu. Mereka telah menancapkan jerat-jerat dalam menghalangi
(manusia) dari mengambil Al Qur’an dan As Sunnah; menghalangi mereka
dari mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjunjung
tinggi perintah serta larangannya.”
Diantara ucapan mereka, “tidak boleh berdalil dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah, kecuali seorang mujtahid, sedangkan ijtihad telah terputus” Ada juga yang mengatakan, “orang yang aku taklidi (ikuti) padanya, lebih mengetahui daripada kamu tentang hadits, nasikh dan mansukhnya” serta ucapan-ucapan serupa dengan tujuan akhirnya untuk meninggalkan ittiba’ (mengikuti) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang (beliau) tidak pernah berbicara karena terdorong hawa nafsu, lalu (mereka) bersandar kepada ucapan orang-orang yang bisa saja berbuat kesalahan. Ada juga diantara imam yang menyelisihi dan mencegah dari perkataan Rasulullah dengan berdalih “tiada seorang ulama pun, kecuali yang dimilikinya hanyalah sebagian ilmu, dan tidak semua (dikuasainya)”.
Maka
wajib bagi setiap mukallaf (orang yang telah terkena beban syari’at),
jika telah sampai kepadanya dalil Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah dan
telah dipahaminya, untuk berhenti padanya dan mengamalkannya, meskipun
ada yang menyelisihinya, sebagaimana firman Allah.
اتَّبِعُوا مَآأُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَتَتَّبِعُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَ قَلِيلاً مَاتَذَكَّرُونَ
Ikutilah
apa yang diturunkan kepada kamu sekalian dari Rabb-mu dan janganlah
kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu
mengambil pelajaran (daripadanya) [Al A’raf:3]
FirmanNya
أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّآأَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَى لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Dan
apakah tidak cukup bagi mereka, bahwasannya Kami telah menurunkan
kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) sedang dia dibacakan kepada mereka.
Sesungguhnya di dalam (Al Qur’an) itu terdapat rahmat yang besar dan
pelajaran bagi orang-orang yang beriman [Al Ankabut:51].
Dan
di depan telah disampaikan perihal ijma’ (kesepakatan) para ulama’
terhadap yang kami sampaikan ini, serta keterangan, bahwa muqallid
(orang yang taklid) tidak termasuk orang-orang yang berilmu. Demikian
pula Abu Umar bin Abdil Barr dan ulama’ lainnya, telah menceritakan
ijma’ atas masalah ini. [21].
Pengagungan
kaum salaf terhadap Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
telah sampai pada tingkatan menghunuskan pedang kepada orang yang
menolak hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana
dilakukan oleh Imam Syafi’i. Beliau rahimahullah telah mengadu kepada
Al Qadhi (pemimpin mahkamah syari’at) Abul Bakhturi perihal Bisyir Al
Marisi. [22] Beliau berkata, ”Aku
berdialog dengan Al Marisi tentang mengundi, [23]. Dia berkata, “Wahai
Abu Abdillah, Al Qur’an (mengundi) itu judi,” maka kudatangi Abul
Bakhturi, lalu kukatakan kepadanya, ”Aku mendengar Al Marisi berkata,
mengundi itu judi,” Abul Bakhturi menjawab, ”Wahai Abu Abdillah, ajukan
seorang saksi lagi. Aku akan membunuhnya.” Dalam riwayat lain ia
berkata, ”Ajukan seorang saksi lagi, niscaya akan kuangkatnya pada
sebatang kayu, lalu kusalibnya.” [24]
(Diterjemahkan
Oleh : Ustadz Mubarak Bamualim, dari Sittu Durar Min Ushuli Ahlil
Atsar, karya Syaikh Abdul Malik Bin Ahmad Ramdhani)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun VII/1424H/2003M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1].
Diriwayatkan oleh Ahmad 4/102; Abu Dawud no. 4597; Darimi 2/241;
Thabrani 19/367, 88-885; Hakim 1/128; dan yang lainnya. Hadits ini
shahih.
Juga
dikeluarkan oleh Ahmad 2/332; Abu Dawud no. 4596; Tirmidzi no. 2642;
Ibnu Majah no. 3990; Abu Ya’la no. 5910, 5978, 6117; Ibnu Hibban
14/6247 dan 15/6731; Hakim 1/6, 128, dan lainnya dari hadits Abu
Hurairah, dan Hakim mempunyai beberapa riwayat lain dalam jumlah banyak
dari hadits Anas bin Malik, Abdullah bin Amr bin Al Ash, dan yang
selainnya. Hadits ini dishahihkan oleh Tirmidzi; Hakim; Adz Dzahabi,
dan Al Jazajani dalam kitab Al Abathil 1/302; Al Baghawi dalam Syarh
Sunnah 1/213; Asy Syathibi dalam Al I’tisham 2/698, tahqiq Salim Al
Hilali; Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 3/345; Ibnu Hibban dalam
Shahih-nya 4/48; Ibnu Katsir dalam tafsirnya 1/390; Ibnu Hajr dalam
Tarikh Al Kasysyaf, halaman 63; Al Iraqi dalam Al Mughni ‘An Hamlil
Asfar, no. 3240; Al Bushairi dalam Mishbahuz Zujajah, halaman 4/180; Al
Albani dalam Silsilah Shahihah, no. 203, dan yang lainnya. Sangat
banyak. Sengaja saya
sebutkan ini semua, untuk membuat ahli bid’ah yang berupaya melemahkan
hadits yang agung ini, menjadi sia-sia –aku ingin menjadikan mereka
bisu. Al Hakim rahimahullah berkata tentang hadits ini, ”Hadits yang
agung atau banyak, sebagaimana sebagian ulama telah menempatkannya
dalam hadits-hadits yang pokok.
[2]. Lihat hadits Iftiraqul Ummah Ila Nayyif Sab’ina Firqah, halaman 67-68.
[3]. Hadits shahih diriwayatkan oleh Ahmad I/435, dan yang lainnya
[4]. At Tafsir Al Qayyim, halaman 14-15
[5]. Lihat Al Fawa’id, karya Ibnu Qayyim, halaman 223
[6].
Diriwayatkan Abu Ubaid dalam Fadhailul Qur’an, halaman 75; Ad Darimi
2/433; Ibnu Nashr dalam As Sunnah, no 22; Ibnu Dhurais dalam Fadhailul
Qur’an, 74; Ibnu Jarir dalam tafsirnya no. 7566 (tahqiq Ahmad Asakir);
Ath Thabari 9/9031; Al Ajuri dalam Asy Syari’ah, 16; dan Ibnu Baththah
dalam Al Ibanah, no. 135; dan riwayat ini shahih.
[7].
Atsar shahih, dikeluarkan Ath Thabari, 10 no. 10454; Al Baihaqi dalam
Asy Syu’ab 4/88-89; Ibnu Wadhdhah dalam Al Bida’, no. 76.
[8]. Diriwayatkan
Imam Malik dalam Al Muwaththa’ 2/899; Ibnu Nashr dalam As Sunnah, no.
68; Al Hakim 1/93; dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam komentar
beliau tentang kitab Misykatul Mashabih, no. 186.
[9]. Riwayat Ahmad 6/91, 163; dan Muslim 746.
[10]. Hadits shahih diriwayatkan Abu Daud, no. 4607; At Tirmidzi, no. 2676; dan yang lainnya
[11].
Riwayat Ahmad 4/126; Ibnu Majah, no. 5 dan 43; Ibnu Abi Ashim dalam
kitabnya As Sunnah, no. 48-49; Al Hakim 1/96; dan dishahihkan oleh Al
Albani dalam kitab Fi Dhalalil Jannah Fi Takhrij Sunnah.
[12].
Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Zuamanain dalam Ushulus Sunnah, no 8; Al
Lalika’i dalam Syarh Ushulul I’tiqad, no. 201; Al Khatib Al Bagdadi
dalam Faqih wal Mutafaqqih, no. 476-480; Ibnu Abdil Baar dalam Jami’
Bayanul Ilmi Wa Fadluhu, no. 2001, 2003, 2005; Ibnu Hazm dalam Al
Ihkam, 4/42-43; Al Baihaqi dalam Al Madkhal, 312; Qiwamus Sunnah dalam
Al Hujjah, 1/205, pada sebagian sanadnya ada yang lemah dan ada pula
yang putus. Namun demikian, sebagian sanad dapat menguatkan sebagian
yang lain. Oleh karena itu, Ibnu Qayyim mengatakan,“Sanad-sanad ucapan
Ibnu Umar ini sangat shahih.” Lihat I’lamul Muwaqi’ien, 1/44
[13]. Lihat perinciannya dalam I’lamul Muwaqi’ien, 1/63 karya Ibnu Qayyim
[14].
Diriwayatkan oleh Waki’ dalam Az Zuhd, no. 315; Abdur Razaq, no. 20465;
Abu Khaitsamah dalam Al Ilmu, no. 45; Ahmad dalam Az Zuhd, halaman 62;
Ad Darimi 1/69; Ibnu Wadhdhah dalam Al Bida’, no. 60; Ibnu Nashr dalam
As Sunnah, no. 78 dan 85; Thabrani 9/8770 dan 8845; Ibnu Baththah dalam
Al Ibanah/Al Iman 168-169, 174-175 dan Al Madkhal, no. 387-388; Al
Khatib dalam Al Faqih Wal Mutafaqih, 1/43; dan dishahihkan oleh Al
Albani dalam ta’liqnya atas kitab Al Ilmu, karya Abu Khaitsamah
[15].
Ibnu Nashr dalam As Sunnah, 82; Al Lalika’i dalam Syarh Ushulul
I’tiqad, no. 126; Al Baihaqi dalam Al Madkhal, no. 191, dan sanadnya
shahih.
[16].
Diriwayatkan Ad Darimi, I/53; Ibnu Wadhdah dal Al Bida’, no. 61; Ibnu
Nashr, no. 83; Ibnu Baththah dalam Al Ibanah, no. 200 dan 206; Al
Khatib dalam Al Faqih Wal Mutafaqqih, I/173, dari dua jalan yang saling
menguatkan.
[17]. Nama tasghir ( kecil ) Urwah bin Zubair. Wallahu a’lam, (pent).
[18].
Diriwayatkan Ishaq bin Rahawi (Rahwiyah), sebagaimana dalam kitab Al
Muthallibul ‘Aliyah, no. 1306; Ibnu Abi Syaibah, 4/103, dan dari
jalurnya dikeluarkan oleh Thabrani; Al Khatib dalam Al Faqih Wal
Mutafaqqi, 379 – 380 ), Ibnu Abdil Baar dalam Jami’ihi, no. 2378 dan
2381; dan dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Al Muthalib; dan dihasankan
oleh Al Haitsami dalam Al Mujma’, 3/234; juga oleh Ibnu Muflih dalam Al
Adab Asy Syar’iyyah,2/66
[19]. Lihat pada Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid, halaman 338.
[20].
Yang beliau maksud dengan “kemungkaran”, yaitu mengesampingkan dalil
hanya dikarenakan taqlid kepada imam (madzab)nya, Pent.
[21]. Lihat Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid, halaman 339- 340.
[22]. Bisyir
bin Ghiyats Al Marisi, seorang ahli kalam yang keluar dari ketaqwaan
dan sikap wara’. Dia berakidah Jahmiyah (golongan yang mengingkari dan
menafi’kan sifat-sifat Allah). Dia menyatakan, bahwa Al Qur’an adalah
makhluk ciptaan Allah. Oleh sebab itu, dikafirkan oleh sejumlah ulama’, seperti: Qutaibah bin Sa’id dan yang lainnya, meninggal tahun 218 H. Lihat Siyar A’lamin Nubala’, 10 / 199, (Pent)
[23]. Hal ini mengacu kepada hadits Imran bin Husain.
أَنَّ رَجُلًا أَعْتَقَ سِتَّةَ مَمْلُوكِينَ لَهُ عِنْدَ مَوْتِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ مَالٌ غَيْرَهُمْ فَدَعَا بِهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَزَّأَهُمْ أَثْلَاثًا ثُمَّ أَقْرَعَ بَيْنَهُمْ فَأَعْتَقَ اثْنَيْنِ وَأَرَقَّ أَرْبَعَةً وَقَالَ لَهُ قَوْلًا شَدِيدًا
Bahwasanya
seorang lelaki membebaskan enam budaknya ketika ia dihampiri kematian,
ia tidak memiliki harta selain mereka, maka Rasulullah memanggil mereka
dan membagi menjadi tiga bagian, lalu beliau mengundi diantara mereka,
kemudian beliau memerdekakan dua orang dan yang empat tetap sebagai
budak dan beliau mengeluarkan kata-kata yang keras terhadap orang. [HR Muslim, 1668].
[24]. Diriwayatkan Al Khalal dalam As Sunnah, 1735; Al Khatib dalam Tarikh Al Baghdad, 7/60, dan sanadnya shahih. Orang yang mengambil suatu perkara atau mengerjakan suatu amalan tanpa mengetahui sumber dalilnya.
from <https://almanhaj.or.id/2997-hanya-satu-jalan-menuju-allah-azza-wa-jalla.html>