Islam Pedoman Hidup: Hukum Menyolati Orang Yang Bunuh Diri

Senin, 21 September 2015

Hukum Menyolati Orang Yang Bunuh Diri

بسم الله الرحمن الرحيم Sebagaimana telah dijelaskan tentang diharamkannya perbuatan bunuh diri, karena perbuatan tersebut merupakan tanda-tanda lemahnya keimanan seseorang yang lebih memilih jalan pintas dari mengakhiri kesulitan hidupnya dalam kehidupan di dunia yang fana ini. Biasanya kesulitan itu berupa faktor ekonomi, urusan asmara, sakit yang berkepanjangan dan menyakitkan, kena fitnah yang luar biasa, berat menanggung rasa malu dan sebagainya. Lalu ia berfikir bahwa dengan bunuh diri maka kesulitan dan kesusahannya dalam mengarungi hidup tersebut akan berakhir dan ia selamat darinya. Padahal jika ia tahu, ia akan mengalami sesuatu yang lebih berat lagi di alam barzakh dan pada hari kiamat, berupa fitnah dan siksaan di dalamnya. Perbuatan membunuh diri tersebut merupakan dosa besar karena pelakunya diancam dengan siksa dan neraka Jahannam. Apakah perbuatan tersebut dengan cara minum racun, menusuk dirinya dengan pedang atau pisau tajam, mengantung dirinya di poson tinggi atau atap rumah, menjatuhkan diri dari tempat tinggi semisal jurang, apartemen dan semisalnya, menabrakkan dirinya kepada kendaraan mobil atau kereta yang melaju kencang dan lain sebagainya. Kelak ia akan mendapatkan siksaan seperti yang ia perbuat dengannya di dunia. Na’udzu billah min dzalik. Adapun berkenaan dengan menyolatkan jenazah orang yang bunuh diri terdapat beberapa penjelasan. Untuk itulah disini akan sedikit dibahas tentang hal tersebut, dengan dalil-dalil berikut ini, Dari Jabir bin Samurah berkata, “Ada seorang lelaki sedang sakit, lalu ia berteriak. Lalu tetangganya datang kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, dan berkata, ‘Sesungguhnya ia telah meninggal dunia’. Beliau bertanya kepadanya (yaitu tetangganya), “Apakah engkau mengetahuinya?”. Ia menjawab, “Aku melihatnya”. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ia belum meninggal dunia”. Berkata (Jabir), “Lalu ia kembali dan orang yang sakit itu menjerit kembali”. Lalu ia kembali mendatangi Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, lalu berkata, “Sesungguhnya ia telah meninggal dunia”. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ia belum meninggal dunia”. Lalu ia kembali dan orang itu kembali pula menjerit. Istrinya berkata, “Datangilah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan kabarkan kepadanya!”. Lalu orang itu berkata, “Ya Allah, kutuklah dia”. Berkata (Jabir), “Lalu lelaki itu pergi dan melihat keadaannya (yaitu orang yang sakit itu) lalu ia melihatnya telah memotong dirinya dengan anak panah (bermata lebar) yang ada bersamanya, lalu pergi menemui Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk mengabarkannya bahwasanya orang itu telah meninggal dunia”. Nabi bertanya, “Apakah engkau mengetahuinya?”. Ia menjawab, “Aku melihatnya telah memotong dirinya dengan anak panah yang ada bersamanya”. Beliau bertanya kembali, “Engkau melihatnya?”. Ia menjawab, “Ya”. Maka beliau bersabda, إِذًا لَا أُصَلِّي عَلَيْهِ “Kalau begitu, saya tidak akan menyolatinya.” [HR Abu Dawud: 3185, Muslim: 978, Ahmad: V/ 87, 91, 92, 94, 96-97, 102, 107, Tirmidziy: 1068, an-Nasa’iy: I/ 279, Ibnu Majah: 1526, al-Hakim: 1387, Ibnu Hibban: 3092 dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [1] عن جابر بن عبد الله رضي الله عنه قَالَ: مَاتَ رَجُلٌ فَغَسَّلْنَاهُ وَ كَفَّنَّاهُ وَ حَنَّطْنَاهُ وَ وَضَعْنَاهُ لِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم حَيْثُ تُوْضَعُ اْلجَناَئِزُ عَنْدَ مَقَامِ جَبْرِيْلَ ثُمَّ آذَنَّا رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم بِالصَّلاَةِ عَلَيْهِ فَجَاءَ مَعَنَا [فَتَخَطَّى] خُطًى ثُمَّ قَالَ: لَعَلَّ عَلَى صَاحِبِكُمْ دَيْنًا؟ قَالُوْا: نَعَمْ دِيْنَارَانِ فَتَخَلَّفَ [قَالَ: صَلُّوْا عَلىَ صَاحِبِكُمْ] فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ مِنَّا يُقَالُ لَهُ أَبُوْ قَتَادَةَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ هُمَا عَلَيَّ فَجَعَلَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم ِ يَقُوْلُ: هُمَا عَلَيْكَ وَ فىِ مَالِكَ وَ اْلمـَيِّتُ مِنْهُمَا بَرِيْءٌ ؟ فَقَالَ: نَعَمْ فَصَلَّى عَلَيْهِ فَجَعَلَ رَسُوْلُ اللهِصلى الله عليه و سلم إِذَا لَقِيَ أَبَا قَتَادَةَ يَقُوْلُ [وفى رواية: ثُمَ لَقِيَهُ مِنَ اْلغَدِ فَقَالَ]: مَا صَنَعَتِ الدِّيْنَارَانِ؟ [قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّمَا مَاتَ أَمْسِ] حَتىَّ كَانَ آخِرَ ذَلِكَ [و فى الرواية الأخرى: ثُمَّ لَقِيَهُ مِنَ اْلغَدِ فَقاَلَ: مَا فَعَل الدِّيْنَارَانِ؟] قَالَ: قَدْ قَضَيْتُهُمَا يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: اْلآنَ حِيْنَ بَرَدَتْ عَلَيْهِ جِلْدُهُ Dari Jabir bin Abdullah Radliyallahu anhu berkata, “Ada seorang laki-laki meninggal dunia, lalu kami memandikan, mengkafani dan memberinya wewangian. Kemudian kami letakkan jenazahnya untuk Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di tempat dimana jenazah biasa diletakkan yaitu di makam Jibril. Selanjutnya kamipun memberitahu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk menyolatkannya”. Lalu Beliau datang bersama kami kemudian melangkah satu langkah dan bersabda, “Barangkali kawan kalian ini mempunyai hutang?”. Mereka menjawab, “Ya, yaitu sebanyak dua dinar”. Maka Beliaupun mundur (tidak jadi menyolatkannya). Beliau berkata, “Sholatkanlah teman kalian ini!”. Lalu ada seseorang di antara kami yang bernama Abu Qotadah berkata, “Wahai Rosulullah!, hutangnya yang dua dinar itu menjadi tanggunganku”. Kemudian Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Hutang dua dinar itu sekarang menjadi tanggunganmu dan dibayar dari hartamu dan mayit itu telah terlepas dari dua dinar tersebut”. Abu Qotadah menjawab, “Ya”. Lalu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam pun menyolatkannya. Kemudian Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila setiap kali bertemu dengan Abu Qotadah, beliau bertanya (dalam sebuah riwayat, kemudian beliau menemuinya pada keesokan harinya seraya bertanya), “Apa yang dilakukan oleh uang dua dinar itu?”. (Ia berkata, “Wahai Rosulullah, sesungguhnya ia baru saja meninggal dunia kemarin)”, sehingga ia menjadi akhir dari itu. (Di dalam riwayat yang lain disebutkan, Kemudian Beliau menemuinya pada keesokan harinya seraya bertanya, “Apa yang telah dilakukan oleh uang dua dinar itu?)”. Dia menjawab, “Aku telah melunasi hutangnya yang dua dinar itu, wahai Rosulullah!”. Lalu beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sekarang, kulitnya telah menjadi dingin (dari adzab)”. [HR al-Hakim, al-Baihaqiy, ath-Thoyalisiy dan Ahmad: III/ 330. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [2] Dari Abu Qotadah berkata, كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم إِذَا دُعِيَ لِجِنَازَةٍ سَأَلَ عَنْهَا فَإِنْ أُثْنِيَ عَلَيْهَا خَيْرٌ قَامَ فَصَلَّى عَلَيْهَا وَ إِنْ أُثْنِيَ عَلَيْهَا غَيْرُ ذَلِكَ قَالَ لِأَهْلِهَا: شَأْنَكُمْ بِهَا وَ لَمْ يُصَلِّ عَلَيْهَا Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila diajak (untuk menyolati) jenazah maka Beliau bertanya (terlebih dahulu) tentangnya. Jika ia dipuji dengan kebaikan maka iapun berdiri untuk menyolatkannya. Namun jika jenazah itu dikomentari selain itu maka ia Beliau akan berkata kepada keluarganya, “Terserah kalian!”. Dan Beliau tidak menyolatkannya. [HR Ahmad: V/ 299, 300, 301, Ibnu Hibban: 3057 dan al-Hakim: 1388. Berkata al-Hakim: Ini adalah hadits shahih atas syarat al-Imam al-Bukhoriy dan Muslim, dan al-Imam adz-Dzahabiy menyepakatinya. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Dan keadaan hadits ini sebagaimana dikatakan keduanya]. [3] Berdasarkan dalil-dalil di atas maka, berkata asy-Syaikh al-Albaniy rahimahullah, اْلفَاجِرُ اْلمـُنْبَعِثُ فِى اْلمـَعَاصِى وَ اْلمـَحَارِمِ مِثْلُ تَارِكُ الصَّلَاةِ وَ الزَّكَاةِ مَعَ اعْتِرَافِهِ بِوُجُوْبِهِمَا وَ الزَّانِى وَ مُدْمِنِ اْلخَمْرِ وَ نَحْوِهَمْ مِنَ اْلفُسَّاقِ فَإِنَّهُ يُصَلَّى عَلَيْهِمْ إِلَّا أَنَّهُ يَنْبَغِى لِأَهْلِ اْلعِلْمِ وَ الدِّيْنِ أَنْ يَدَعُوْا الصَّلَاةَ عَلَيْهِمْ عُقُوْبَةً وَ تَأْدِيْبًا لِأَمْثَالِهِمْ “Orang yang gemar berbuat dosa lagi cepat dalam mengerjakan perbuatan maksiat dan hal-hal yang diharamkan. Seperti meninggalkan kewajiban sholat, membayar zakat yang disertai pengetahuannya akan kewajiban keduanya, berzina, pecandu khomer dan semisal mereka dari kalangan orang-orang fasik. Maka sesungguhnya mereka tetap disholatkan (jenazah), hanya saja bagi ahli ilmu dan agama sepatutnya tidak ikut menyolatkan mereka sebagai bentuk hukuman dan pendidikan untuk orang-orang yang semisal mereka”. [4] Berkata al-Imam Abu Isa at-Turmudziy rahimahullah (mengomentari hadits 1068), “Hadits ini adalah hadit hasan. Para Ahli ilmu berselisih tentang masalah ini. Berkata sebahagian mereka, ‘Semua orang yang sholat ke arah kiblat hendaknya disholatkan (jenazahnya) begitu pula orang diqishas karena membunuh orang. Ini adalah pendapat Sufyan ats-Tsauriy dan Ishaq’. Namun al-Imam Ahmad berpendapat ‘Imam tidak boleh menyolatkan atas orang yang membunuh sedangkan selain imam dibolehkan menyolatkannya”. [5] Al-Imam Abu Dawud memberikan bab yang merupakan fiqih beliau terhadap hadits ini dengan judul bab, “Imam (penguasa) tidak menyolatkan orang yang mati bunuh diri.“ [6] Al-Imam an-Nawawiy rahimahullah mengatakan, وَ عَنْ مَالِكٍ وَغَيْرِهِ أَنَّ اْلإِمَامَ يَجْتَنِبُ الصَّلَاةَ عَلَى مَقْتُوْلٍ فِي حَدٍّ وَ أَنَّ أَهْلَ اْلفَضْلِ لَا يُصَلُّوْنَ عَلَى اْلفُسَّاقِ زَجْرًا لَهُمْ وَ عَنِ الزُّهْرِيِّ لَا يُصَلَّى عَلَى مَرْجُوْمٍ وَ يُصَلَّى عَلَى اْلمـَقْتُوْلِ فِي قِصَاصٍ “Al-Imam Malik dan selainnya berpendapat bahwa hendaknya imam tidak menyolati orang yang mati karena kena had (dihukum). Dan bahwa para pemuka agama sepatutnya tidak menyolati orang-orang fasik, sebagai bentuk teguran (peringatan) bagi mereka. Sementara Az-Zuhriy berpendapat, ‘Sebaiknya pemuka masyarakat tidak menyolati orang yang mati sebab dirajam, namun boleh menyolati orang yang mati karena qishas”. [7] Katanya lagi, “Di dalam hadits ini terdapat dalil bagi orang yang mengatakan, ‘Orang yang mati membunuh dirinya tidak disholatkan disebabkan kemaksiatannya’. Inilah yang menjadi madzhabnya Umar bin Abdul Aziz dan al-Auza’iy. Sedangkan al-Hasan, an-Nakho’iy, Qotadah, Malik, Abu Hanifah, Syafi’iy dan jumhur Ulama mengatakan, ‘disholatkan’. Mereka menjawab tentang hadits ini, bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sendiri tidak menyolatinya sebagai peringatan bagi manusia akan perbuatan yang seperti itu. Sedangkan para shahabat menyolatinya.” [8] Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, وَمَنِ امْتَنَعَ مِنَ الصَّلَاةِ عَلَى أَحَدِهِمْ (يعنى اْلقَاتِلَ وَاْلغَالَّ وَاْلمـَدِيْنَ الَّذِى لَيْسَ لَهُ وَفَاءٌ) زَجْراً لِأَمْثَالِهِ عَنْ مِثْلِ فِعْلِهِ كَانَ حَسَنًا وَلَوِ امْتَنَعَ فِي الظَّاهِرِ وَ دَعَا لَهُ فِي اْلبَاطِنِ لِيَجْمَعَ بَيْنَ اْلمـَصْلَحَتَيْنِ كَانَ أَوْلَى مِنْ تَفْوِيْتِ إِحْدَاهُمَا “Orang yang tidak mau menyolati jenazah yang mati karena qishas (membunuh), korupsi, dan punya utang (yang tidak punya kemampuan untuk melunasi) sebagai bentuk peringatan bagi yang lain agar tidak melakukan semacam itu adalah termasuk sikap yang baik. Dan andaikan dia tidak mau menyolati secara terang-terangan, namun tetap mendoakan secara diam-diam, sehingga bisa menggabungkan dua sikap paling maslahat, tentu itu pilihan terbaik dari pada meninggalkan salah satunya”. [9] Di dalam kitab lainnya, Syaikh al-Islam rahimahullah mengatakan, “Jika diperbolehkan meninggalkan sholat (jenazah) bagi orang yang berhutang dan tidak melunasinya, maka bagi orang yang melakukan dosa-dosa besar itu tentu lebih utama lagi. Masuk ke dalam hal ini, orang yang membunuh dirinya dan orang yang khianat terhadap harta (korupsi), keduanya tidak disholatkan. Berdalil dengan ini pula, bahwa boleh bagi para pemuka masyarakat untuk tidak menyolatkan para pelaku dosa besar yang nampak dan juga tidak menyolatkan para penyeru kepada bid’ah. Namun jika menyolatkan mereka juga diperbolehkan”. [10] Katanya lagi, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak menyolati orang yang telah membunuh dirinya, namun Beliau bersabda kepada para shahabatnya, ‘Sholatilah ia’. Maka diperbolehkan kepada umumnya manusia untuk menyolatinya. Adapun para imam (pemimpin) agama yang menjadi panutannya lalu tidak menyolatkannya sebagai bentuk peringatan kepada selainnya dalam rangka menteladani Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Maka hal ini adalah hak/ benar. Wallahu a’lam”. [11] Dalam hal ini madzhab jumhur lebih kuat. Karena semata-mata Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak menyolatinya tidak berarti haram atau tidak boleh menyolatinya. Bahkan hadits ini di atas menunjukkan, bahwa beliau sendiri memang tidak menyolatinya, tetapi para Shahabat tetap menyolatinya. Perhatikanlah sabda beliau, “Kalau begitu, saya tidak akan menyolatinya.” Yang menunjukkan bahwa para shahabat tetap menyolatkannya. Maka setiap kaum muslimin apabila mati wajib disholatkan dengan wajib kifayah, baik dia seorang muslim yang shalih maupun muslim yang durhaka, seperti orang yang mati bunuh diri, pembunuh, perampok dan lain-lain. Oleh karena itu Rosulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah menyolati wanita yang dihukum rajam karena zina, dimana wanita itu telah menyerahkan dirinya untuk dihukum rajam dan dia telah bertaubat dengan taubat yang sungguh-sungguh. Akan tetapi dari hadits ini juga keluarlah hukum yang berkaitan dengan pelajaran dan peringatan, bahwa penguasa dan termasuk juga para Ulama atau pemuka agama disukai untuk tidak menyolatkan orang-orang yang mati bunuh diri dan yang selainnya dari orang-orang yang durhaka sebagai pelajaran bagi manusia akan perbuatan tersebut. Al-Imam asy-Syaukaniy rahimahullah berkata,”Sholat jenazah atas orang fasik telah ditunjukkan oleh hadits ‘sholluu ‘ala man qoola laa ilaaha illallah’ [12]sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya pada bab Maa Jaa`a fi Imaamah al-Faasiq sebagai salah satu bab mengenai shalat jama’ah”. [13] Jadi jenazah orang fasik (pelaku dosa besar) semisal bunuh diri, peminum khomer, koruptor dan sejenisnya, maka para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyolati jenazahnya. Ada tiga versi pendapat ulama mengenai hukum menyolati jenazah mereka, yaitu; 1). Jenazah orang fasik semisal bunuh diri, maka ia tidak disholati. Ini adalah pendapat sebagian ulama seperti Umar bin Abdul Aziz dan al-Imam al-Auza’iy rahimahumullah. [14] 2). Yang tidak sholat hanya Imam, pemuka agama atau pemimpin kaum saja, sedangkan selain mereka diperbolehkan untuk menyolatkan. Ini adalah pendapat Madzhab Hanbaliy, dan dipilih oleh asy-Syaikh Nashiruddin al-Albaniy rahimahullah dan selainnya.[15] 3). Jenazah Orang fasik tetap wajib disholati. Ini adalah madzhab al-Imam Malik, asy-Syafi’iy, Abu Hanifah, dan jumhur (mayoritas ) ulama . [16] Demikian beberapa dalil dan penjelasannya tentang hukum menyolatkan orang yang melakukan bunuh diri serta perbuatan yang semisalnya seperti pecandu khomer, korupsi dan salainnya. Oleh karena itu diharapkan kepada semua lapisan masyarakat untuk memahaminya dengan benar agar dapat mendudukkan posisi mereka dengan tepat. 1). Bagi orang yang lekas berputus asa sehingga memiliki keinginan mengakhiri hidup dengan bunuh diri, hendaknya mereka segera menghentikan keinginan mereka untuk bunuh diri, hendaklah ia bersabar dengan berbagai cobaan yang menghampirinya. Atau bagi orang yang masih bergelimang dengan berbagai kemaksiatan dan dosa hendaknya segera meninggalkan dan menanggalkan berbagai kemaksiatan dan dosa tersebut sesegera mungkin. Atau malas untuk melakukan kewajiban-kewajibannya semisal sholat, shaum/puasa, membayar zakat dan semisalnya hendaknya segera mengerjakan semua yang telah diperintahkan oleh Allah ta’ala dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Karena selain semua perilaku tersebut akan mendatangkan kesengsaraan di alam kubur dan akhirat dengan adzab yang menyakitkan, juga ia tidak akan disholati jenazahnya oleh para ahli ilmu dan agama, maka ini jelas akan merugikannya. عن عائشةرضي الله عنهاعَنِ النِّبِيُّ صلى الله عليه و سلمقَالَ: مَا مِنْ مِيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ اْلمـُسْلِمِيْنَ يَبْلُغُوْنَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُوْنَ لَهُ إِلاَّ شُفِّعُوْا فِيْهِ Dari Aisyah radliyallahu anha dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang mayit yang disholatkan oleh sekelompok orang dari kaum muslimin yang mencapai seratus orang dan semuanya memberikan syafaat kepadanya, melainkan mereka diperkenankan memberikan syafaat kepadanya”. [HR Muslim: 947, an-Nasa’iy: IV/ 75, 76, at-Turmudziy: 1029, dan Ahmad: VI/ 32, 40, 97, 231. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [17] عن ابن عباسرضي الله عنهما قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ فَيَقُوْمُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُوْنَ رَجُلاً لاَ يُشْرِكُوْنَ بِاللهِ شَيْئًا إِلاَّ شَفَّعَهُمُ اللهُ فَيْهِ Dari Ibnu Abbas radliyallahu anhuma berkata, Aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ada seorang muslim meninggal dunia lalu ada empat puluh orang yang tidak mempersekutukan sesuatu dengan Allah [18] menyolatkan jenazahnya melainkan Allah akan memberikan syafaat kepadanya melalui mereka”. [HR Muslim: 948, Abu Dawud: 3170, Ahmad: I/ 277-278 dan al-Baihaqiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [19] Berkata asy-Syaikh Salim bin Ied al-Hilaliy hafizhohullah, “Orang yang diterima syafaat dan dikabulkannya doa mereka adalah orang-orang yang bertauhid dengan benar yang tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Allah (tidak berbuat syirik)”. [20] 2). Bagi ahli ilmu dan agama yakni para ulama, masyayikh, ustadz, tokoh dan pemuka agama dan selain mereka dari orang-orang memiliki kelebihan dalam ilmu agama dan kemasyarakatan, hendaknya mereka meneladani Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam masalah ini. Yakni tidak menyolatkan orang-orang yang mati bunuh diri, mati dalam keadaan berbuat maksiat semisal minum khomer, berzina, korupsi dan semisalnya atau mati dalam keadaan tidak melaksanakan salah satu dari kewajiban Islam. Meskipun perbuatan tersebut tidak menjatuhkan pelakunya dalam kekafiran yang mengeluarkannya dari Islam karena ia masih mengakui dan mengitikadkan keislamannya, namun hendaknya para pemuka agama dan masyarakat itu tidak menyolatkan orang-orang tersebut dalam rangka menghukum, mendidik dan memperingatkan orang-orang selain mereka agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang telah dilarang oleh agama mereka. Hendaknya mereka menyerahkan urusan tersebut kepada keluarganya atau orang selain mereka untuk diurus jenazahnya. 3). Bagi para keluarga atau family dari orang-orang yang tidak disholatkan oleh para pemuka agama dan masyarakat hendaknya mereka memaklumi bahwa para pemuka agama dan masyarakat itu hanya menjalankan sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dengan tidak menyolatkan salah satu anggota keluarga mereka yang telah melakukan pelanggaran agama. Janganlah mereka kesal, marah dan dendam kepada orang yang tidak menyolatkan keluarganya yang telah meninggal dunia dengan dalih yang syar’iy, apalagi sholat jenazah itu hanyalah fardlu kifayah. Namun mereka tidak marah ketika ada pada di antara keluarga mereka yang tidak mengerjakan sholat jum’at atau tidak sholat berjamaah di masjid, padahal sholat jum’at dan sholat berjamaah itu fardlu ain. Demikian penjelasan ringkas dalam masalah ini, semoga bermanfaat bagiku, keluargaku, para kerabatku, shahabatku dan kaum muslimin seluruhnya. Semoga Allah menjaga dan memelihara kita dari berbagai kemaksiatan, membimbing kita kepada berbagai ketaatan dan mewafatkan kita di atas akidah salafush shalih dalam keadaan husnul khatimah. Wallahu a’lam bish showab. ________________________________________ [1] Shahih Sunan Abu Dawud: 2727, Shahih Sunan at-Turmudziy: 853, Shahih Sunan Ibnu Majah: 1237, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1855 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 109. [2] Ahkam al-Jana’iz halaman 27, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 2753 dan Adzab al-Qobri: 153. [3] Ahkam al-Jana’iz halaman 109. [4] Ahkam al-Jana’iz halaman 108-109. [5] Shahih Sunan at-Turmudziy: I/ 310 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 109-110. [6] Shahih Sunan Abu Dawud: II/ 613 dalam kitab al-Fara’idl pasal ke 51. [7] Syar-h Muslim oleh al-Imam an-Nawawiy: VII/ 47-48. [8] Syar-h Muslim: VII/ 47 dan Nail al-Awthar: IV/ 58. [9] Al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyah halaman 78 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 110. [10] Majmu’ Fatawa: XXIV/ 289. [11] Majmu’ Fatawa: XXIV/ 290. [12] Adapun hadits yang berbunyi, صَلُّوْا عَلَى مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ صَلُّوْا وَرَاءَ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ “Sholatilah orang yang mengucapkan kalimat Laa ilaaha Illallah dan sholatlah kalian dibelakang orang yang mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah”. [HR ath-Thabraniy dan ad-Daruquthniy: 184 dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Dla’if, lihat Dla’if al-Jami’ ash-Shaghir: 3483 dan Irwa’ al-Ghalil: 527]. [13] Nail al-Awthar: IV/ 58. [14] Subul as-Salam Syar-h Bulugh al-Maram: II/ 291, oleh al-Imam ash-Shin’aniy dengan ta’liq asy-Syaikh al-Albaniy, Maktabah al-Ma’arif dan Nail al-Awthar: IV/ 58. [15] Taudlih al-Ahkam: III/202 oleh asy-Syaikh al-Bassam dan Ahkam al-Jana’iz halaman 108-109. [16] Nail al-Awthar: IV/ 58. [17]Mukhtasor Shahih Muslim 482, Shahih Sunan at-Turmudziy: 821, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 1881, 1882, Shahih al-Jami’ ash-Shagiir: 5786 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 126. [18]Yakni tidak berbuat syirik. [19]Mukhtashor Shahih Muslim: 483, Shahih Sunan Abi Dawud: 2714, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 5708, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 2267 dan Ahkam al-Jana’iz halaman 127. [20] Bahjah an-Nazhiriin: II/ 182. Sumber = https://cintakajiansunnah.wordpress.com/tag/hukum-menyolati-orang-yang-mati-karena-bunuh-diri/