Anjing diharamkan menurut jumhur ulama, diantaranya Hanafiyyah, Maalikiyyah, Syaafi’iyyah, dan Hanabilah.
Sebagian ulama Maalikiyyah berpendapat makruh tidak sampai pada derajat
haram. Sekelompok orang belakangan membolehkannya.
Yang raajih dalam permasalahan ini adalah pendapat yang mengharamkannya dengan dukungan dalil:
Tentang
dalil pengharaman mengkonsumsi daging anjing, maka banyak, baik
pengambilan hukumnya dilakukan secara implisit ataupun eksplisit.
Diantaranya:
1. Hadits Pertama
وحَدَّثَنِي
زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ يَعْنِي ابْنَ
مَهْدِيٍّ، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي حَكِيمٍ، عَنْ
عَبِيدَةَ بْنِ سُفْيَانَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " كُلُّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ
فَأَكْلُهُ حَرَامٌ "
Telah
menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb : Telah menceritakan kepada kami
‘Abdurrahmaan bin Mahdiy, dari Maalik, dari Ismaa’iil bin
Abi Hakiim, dari ‘Abiidah bin Sufyaan, dari Abu Hurairah, dari
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Setiap binatang buas (as-sibaa’) yang mempunyai taring, diharamkan untuk memakannya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1933].
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ،
عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ الْخَوْلَانِيِّ، عَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf : Telah
mengkhabarkan kepada kami Maalik, dari Ibnu Syihaab, dari Abu Idriis
Al-Khaulaaniy, dari Abu Tsa’labah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan semua binatang buas yang memiliki taring [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5530].
وحَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا
أَبُو عَوَانَةَ، حَدَّثَنَا الْحَكَمُ، وَأَبُو بِشْرٍ، عَنْ مَيْمُونِ
بْنِ مِهْرَانَ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ وَعَنْ
كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ ".
Dan
telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal : Telah menceritakan
kepada kami Sulaimaan bin Daawud : Telah menceritakan kepada kami Abu
‘Awaanah : Telah menceritakan kepada kami Al-Hakam dan Abu Bisyr,
dari Maimuun bin Mihraan, dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang (makan
daging) semua binatang buas yang memiliki taring dan burung yang
mempunyai cakar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1934].
Anjing termasuk binatang buas yang memiliki taring.
Al-Baghawiy rahimahullah berkata:
أراد
بذي الناب: ما يعدو بنابه على النّاس وأموالهم، مثل الذئب، والأسد، والكلب
والفهد، والنمر، والببرِ، والدب والقرد، ونحوها، فهي وأمثالُها حرامٌ
“Yang
dimaksudkan dengan binatang yang memiliki taring adalah binatang yang
menyerang manusia dan harta benda mereka dengan taringnya, diantaranya
serigala, singa, anjing, macan kumbang, macan tutul, harimau, beruang, monyet, dan yang lainnya. Binatang-binatang yang seperti ini hukumnya haram” [Syarhus-Sunnah, 11/234].
2. Hadits Kedua.
وحَدَّثَنِي
حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ، حَدَّثَنَا بِشْرٌ يَعْنِي ابْنَ الْمُفَضَّلِ،
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيل وَهُوَ ابْنُ أُمَيَّةَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِقَتْلِ الْكِلَابِ ، فَنَنْبَعِثُ فِي الْمَدِينَةِ،
وَأَطْرَافِهَا، فَلَا نَدَعُ كَلْبًا، إِلَّا قَتَلْنَاهُ، حَتَّى إِنَّا
لَنَقْتُلُ كَلْبَ الْمُرَيَّةِ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ يَتْبَعُهَا
Dan
telah menceritakan kepada kami Humaid bin Mas’adah : Telah
menceritakan kepada kami Bisyr bin Al-Mufadldlal : Telah menceritakan
kepada kami Ismaa’iil bin Umayyah, dari Naafi’, dari
‘Abdullah, ia berkata : “Dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh anjing-anjing. Lantas kami pergi ke seluruh penjuru kota sehingga kami tak meninggalkan seekor anjing pun melainkan kami membunuhnya. Sampai-sampai kami membunuh seekor anjing yang senantiasa mengikuti tuannya, yaitu anjingnya seorang wanita badui/pedalaman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1570].
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، أَخْبَرَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ عَمْرِو
بْنِ دِينَارٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ: أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِ الْكِلَابِ، إِلَّا كَلْبَ صَيْدٍ،
أَوْ كَلْبَ غَنَمٍ، أَوْ مَاشِيَةٍ
Telah
menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa : Telah mengkhabarkan kepada
kami Hammaad bin Zaid, dari ‘Amru bin Diinaar, dari Ibnu
‘Umar : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
membunuh anjing-anjing, kecuali anjing yang digunakan untuk berburu
atau anjing penjaga binatang ternak [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1571].
Sisi pendalilan:
Asal binatang yang halal boleh dipelihara dan diternakkan, serta diklasifikasikan sebagai harta bagi pemiliknya.
Seandainya
anjing halal dimakan, niscaya beliau tidak akan memerintahkan untuk
membunuhnya/membasminya, karena itu artinya menyia-nyiakan harta.
حَدَّثَنِي
زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ سُهَيْلٍ، عَنْ أَبِيهِ،
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا وَيَكْرَهُ
لَكُمْ ثَلَاثًا، فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا
بِهِ شَيْئًا، وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا، وَلَا
تَفَرَّقُوا، وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ،
وَإِضَاعَةِ الْمَالِ "
Telah
menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb : Telah menceritakan kepada
kami Jariir, dari Suhail, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, ia berkata :
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah meridlai kalian tiga hal dan membenci kalian tiga hal. Allah meridlai
kalian : (1) untuk beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya
dengan sesuatu apapun; (2) berpegang pada tali Allah; dan (3) tidak
berpecah belah. Allah membenci kalian: (1) qiila wa qaala, (2) banyak
bertanya (yang tidak bermanfaat), (3) dan menyia-nyiakan harta” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1715].
3. Hadits Ketiga.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، قَالَ: حَدَّثَنِي غُنْدَرٌ، حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ، عَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِي جُحَيْفَةَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ
اشْتَرَى غُلَامًا حَجَّامًا فَقَالَ: " إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الدَّمِ وَثَمَنِ الْكَلْبِ
وَكَسْبِ الْبَغِيِّ، وَلَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَالْوَاشِمَةَ
وَالْمُسْتَوْشِمَةَ وَالْمُصَوِّرَ "
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa, ia berkata : Telah
menceritakan kepadaku Ghundar : Telah menceritakan kepada kami
Syu’bah, dari ‘Aun bin Abi Juhaifah, dari ayahnya : Bahwasannya ia pernah membeli seorang budak tukang bekam, lalu ia berkata : "Sesungguhnya Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam melarang hasil
penjualan darah, hasil penjualan anjing, dan hasil pelacuran. Beliau
juga melaknat pemakan riba dan yang memberi makan riba, orang yang
mentato dan yang minta ditato, serta melaknat penggambar" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5962].
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، حَدَّثَنِي مَعْرُوفُ
بْنُ سُوَيْدٍ الْجُذَامِيُّ، أَنَّ عُلَيَّ بْنَ رَبَاحٍ اللَّخْمِيَّ،
حَدَّثَهُ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَا يَحِلُّ ثَمَنُ
الْكَلْبِ، وَلَا حُلْوَانُ الْكَاهِنِ، وَلَا مَهْرُ الْبَغِيِّ "
Telah
menceritakan kepada kami Ahmad bin Shaalih : Telah menceritakan kepada
kami Ibnu Wahb : Telah menceritakan kepadaku Ma’ruuf bin Suwaid
Al-Judzaamiy : Bahwasannya ‘Aliy bin Rabbaah Al-Lakhmiy
menceritakan kepadany, bahwasannya ia mendengar Abu Hurairah berkata :
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak halal hasil jual beli anjing, bayaran dukun, dan hasil melacur” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3484; shahih].
حَدَّثَنَا
إِسْحَاق بْنُ إِبْرَاهِيمَ، أَخْبَرَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنْ
الْأَوْزَاعِيِّ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، حَدَّثَنِي
إِبْرَاهِيمُ بْنُ قَارِظٍ، عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ، حَدَّثَنِي
رَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: " ثَمَنُ الْكَلْبِ خَبِيثٌ، وَمَهْرُ الْبَغِيِّ
خَبِيثٌ، وَكَسْبُ الْحَجَّامِ خَبِيثٌ "
Telah
menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim : Telah mengkhabarkan
kepada kami Al-Waliid bin Muslim, dari Al-Auzaa’iy, dari Yahyaa
bin Abi Katsiir : Telah menceritakan kepadaku Ibraahiim bin Qaaridh,
dari As-Saaib bin Yaziid : Telah menceritakan kepadaku Raafi’ bin
Khudaij, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Hasil penjualan anjing adalah khabiits (buruk/keji), upah pelacur adalah khabiits, dan hasil usaha tukang bekam adalah khabiits” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1568].
Ketika disebut harga/hasil penjualan anjing adalah khabiits, maka Allah ta’alaberfirman:
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“Allah menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk (khabaaits)” [QS. Al-A’raaf : 157].
Sisi pendalilannya :
Seandainya anjing merupakan binatang yang halal dimakan, niscaya halal pula diperjualbelikan. Akan tetapi ternyata Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamsecara tegas melarangnya dan mengharamkannya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mencela kelakuan orang Yahudi yang membuat hillah saat diharamkan kepada mereka bangkai, maka mereka mengambil lemaknya lalu menjualnya dan memakan harga/hasil penjualannya.
حَدَّثَنَا
عَبْدَانُ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا يُونُسُ، عَنِ ابْنِ
شِهَابٍ، سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: " قَاتَلَ اللَّهُ يَهُودَ، حُرِّمَتْ عَلَيْهِمُ
الشُّحُومُ، فَبَاعُوهَا وَأَكَلُوا أَثْمَانَهَا "
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdaan : Telah mengkhabarkan kepada
kami Yuunus, dari Ibnu Syihaab : Aku mendengar Sa’iid bin
Al-Musayyib, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallampernah bersabda : “Semoga Allah memerangi orang-orang Yahudi. Diharamkan kepada mereka lemak (bangkai), lalu mereka memakan hasil penjualannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2224].
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ، أَنَّ بِشْرَ بْنَ الْمُفَضَّلِ، وَخَالِدَ بْنَ عَبْدِ
اللَّهِ، حَدَّثَاهُمُ الْمَعْنَى عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ، عَنْ
بَرَكَةَ، قَالَ مُسَدَّدٌ فِي حَدِيثِ، خَالِدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ،
عَنْ بَرَكَةَ أَبِي الْوَلِيدِ ثُمَّ اتَّفَقَا، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ،
قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
جَالِسًا عِنْدَ الرُّكْنِ، قَالَ: فَرَفَعَ بَصَرَهُ إِلَى السَّمَاءِ
فَضَحِكَ، فَقَالَ: " لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ ثَلَاثًا: إِنَّ اللَّهَ
حَرَّمَ عَلَيْهِمُ الشُّحُومَ فَبَاعُوهَا، وَأَكَلُوا أَثْمَانَهَا،
وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ
عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ ".
Telah
menceritakan kepada kami Musaddad, bahwasannya Bisyr bin Al-Mufadldlal
dan Khaalid bin ‘Abdillah menceritakan kepada mereka secara
makna, dari Khaalid bin Al-Hadzdzaa’, dari Barakah. Musaddad
berkata dalam hadits : Khaalid bin ‘Abdillah, dari Barakah
Abul-Waliid - kemudian keduanya sepakat – dari Ibnu
‘Abbaas, ia berkata : Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamduduk di Rukn. Kemudian beliau mengangkat pandangannya ke langit, lalu tertawa. Beliau bersabda : “Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi – beliau mengatakannya sebanyak tiga kali - .
Sesungguhnya Allah mengharamkan lemak (bangkai) kepada mereka, namun
kemudian mereka menjualnya dan memakan harga/hasil penjualannya. Dan
sesungguhnya jika Allah mengharamkan suatu kaum untuk memakan sesuatu,
maka Allah juga mengharamkan kepada mereka harga/hasil penjualannya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3488; shahih].
4. Hadits Keempat.
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ اقْتَنَى كَلْبًا إِلَّا كَلْبَ مَاشِيَةٍ
أَوْ ضَارِيًا نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ "
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf : Telah
mengkhabarkan kepada kami Maalik, dari Naafi’, dari
‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa
memelihara anjing selain untuk menjaga ternak atau untuk berburu, akan
berkurang (pahala) amalannya, setiap harinya sebesar dua qirath” [Diriwayatkan Al-Bukhaariy no. 5482].
Sisi pendalilan :
Seandainya
anjing adalah binatang yang halal dimakan, tentu ia halal untuk
dipelihara dan diternakkan, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
Akan tetapi ternyata jika kita memeliharanya selain dua tujuan yang
disebutkan dalam hadits, pahala amalan kita berkurang sebesar dua
qirath per-hari. Ini menunjukkan anjing bukan termasuk binatang yang
asalnya boleh dipelihara, sehingga secara tidak langsung ia bukan
termasuk binatang yang halal dikonsumsi. Sama seperti alasan sebelumnya.
5. Hadits Kelima.
وحَدَّثَنَا
زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيل بْنُ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ
هِشَامِ بْنِ حَسَّانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّم: " طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ، إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ،
أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ، أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ "
Telah
menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb : Telah menceritakan kepada
kami Ismaa’iil bin Ibraahiim, dari Hisyaam bin Hassaan, dari
Muhammad bin Siiriin, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :“Sucinya bejana salah seorang di antara kalian jika dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan tanah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 279].
Sisi pendalilan:
Seandainya
anjing adalah binatang yang halal untuk dikonsumsi, niscaya seluruh
(bagian) badannya suci/tidak najis, termasuk dalam hal ini air liurnya.
Selain itu terdapat atsar dari Asy-Sya’biy rahimahullah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عَدِيٍّ، عَنْ دَاوُدَ، قَالَ: سُئِلَ الشَّعْبِيُّ
عَنْ رَجُلٍ يَتَدَاوَى بِلَحْمِ كَلْبٍ "، فَقَالَ: " إِنْ تَدَاوَى بِهِ
فَلا شَفَاهُ اللَّهُ "
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Abi ‘Adiy, dari Daawud, ia
berkata : Asy-Sya’biy pernah ditanya tentang seorang laki-laki
yang berobat dengan daging anjing. Ia berkata : “Jika ia berobat
dengannya, niscaya Allah tidak akan menyembuhkannya”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 24055; shahih].
Karena:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الدَّوَاءِ الْخَبِيثِ
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang berobat dengan sesuatu yangkhabiits/haram”
[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3870, Ibnu Maajah no. 3459,
At-Tirmidziy no. 2045, Ibnu Abi Syaibah 8/5, Ahmad 2/305 & 446
& 478, Al-Haakim 4/410, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 8/375, dan
Al-Baihaqiy 10/5; shahih].
Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu berkata:
إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيمَا حُرِّمَ عَلَيْكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan obat bagi kalian pada sesuatu yangdiharamkan kepada kalian” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 8/23 & 130, ‘Abdurrazzaaq no. 17097 & 17102, Ahmad dalam Al-Asyrabah no. 130 & 133, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/108, dan yang lainnya; shahih].
Para ulama yang hanya memakruhkan – atau bahkan membolehkan – berdalil dengan ayat:
إِنَّمَا حَرَّمَ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ
بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا
إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan
binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. Al-Baqarah : 173].
إِنَّمَا حَرَّمَ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ
لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَإِنَّ
اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi
dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi
barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak
pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang” [QS. An-Nahl : 115].
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ
يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ
رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ
غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah:
"Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena
sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama
selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. Al-An’aam : 145].
Dikatakan
bahwa makanan (dan minuman) yang diharamkan kepada kaum muslimin
hanyalah yang disebutkan oleh ayat di atas, karena ayat di atas
mengandung pembatasan (hashr) yaitu pada jenis:
a. bangkai
b. darah
c. daging babi
d. binatang yang disembelih atas nama selain Allah.
Qarinah adanya pembatasan yang disebutkan ayat pertama dan kedua adalah penggunaan kata innamaa, sedangkan ayat ketiga adalah penggunaan nafiy (peniadaan)dan istitsnaa’ (pengecualian). Konsekuensinya, tiga ayat di atas mengandung mafhumbahwa selain yang disebutkan dalam ayat dihukumi halal atau tidak sampai pada derajat haram.
Selain
itu ada beberapa riwayat dari salaf yang mengamalkan kemutlakan
pembatasan dalam ayat di atas, diantaranya : ‘Aaisyah, Ibnu
‘Abbaas, Al-Bahr bin ‘Abbaasradliyallaahu ‘anhum.
حَدَّثَنَا
أَبُو سَعِيدٍ الأَشَجُّ، ثنا أَبُو خَالِدٍ الأَحْمَرُ، عَنْ يَحْيَى
بْنِ سَعِيدٍ، عَنِ الْقَاسِمِ، قَالَ: كَانَتْ عَائِشَةُ إِذَا سُئِلَتْ
عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ، وَكُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنَ
الطَّيْرِ، قَالَتْ: "قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا
عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا
مَسْفُوحًا، ......."
Telah
menceritakan kepada kami Abu Sa’iid Al-Asyaj : Telah menceritakan
kepada kami Abu Khaalid Al-Ahmar, dari Yahyaa bin Sa’iid, dari
Al-Qaasim, ia berkata : “Dulu ‘Aaisyah apabila ditanya
tentang semua binatang buas yang mempunyai taring dan semua burung yang
mempunyai cakar, ia berkata (membacakan ayat) : ‘Katakanlah:
"Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu
yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir...’ (QS. Al-An’aam : 145)’….” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Tafsiir-nya no. 8011; sanadnya hasan,[1] semua perawinya tsiqaat kecuali Abu Khaalid Al-Ahmar, seorang yang shaduuq].
أَخْبَرَنِي
عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ دُحَيْمٍ الشَّيْبَانِيُّ بِالْكُوفَةِ،
ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَازِمٍ الْغِفَارِيُّ، ثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، ثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ شَرِيكٍ الْمَكِّيُّ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، عَنْ
أَبِي الشَّعْثَاءِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا،
قَالَ: " كَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ يَأْكُلُونَ أَشْيَاءَ،
وَيَتْرُكُونَ أَشْيَاءَ، تَقَذُّرًا، فَبَعَثَ اللَّهُ تَعَالَى
نَبِيَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآَلِهِ وَسَلَّمَ، وَأَنْزَلَ
كِتَابَهُ، وَأَحَلَّ حَلالَهُ، وَحَرَّمَ حَرَامَهُ، فَمَا أَحَلَّ
فَهُوَ حَلالٌ، وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ
عَفُوٌّ، وَتَلا هَذِهِ الآيَةَ: قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ
مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ "
Telah
mengkhabarkan kepadaku ‘Aliy bin Muhammad bin Duhaim
Asy-Syaibaaniy di Kuufah : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin
Haazim Al-Ghifaariy : Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Syariik Al-Makkiy, dari
‘Amru bin Diinaar, dari Abul-Sya’tsaa’, dari Ibnu
‘Abbaasradliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : “Dulu orang-orang Jahiliyyah memakan apa saja dan meninggalkan apa saja karena merasa jijik. Lalu Allah ta’ala mengutus Nabi-Nyashallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam dan
menurunkan kitab-Nya dengan menghalalkan yang dihalalkan-Nya dan
mengharamkan yang diharamkan-Nya. Apa saja yang dihalalkan, maka itu
halal; serta apa saja yang diharamkan, maka itu haram. Adapun yang
didiamkan darinya, maka itu dimaafkan”. Kemudian ia (Ibnu
‘Abbaas) membaca ayat : ‘Katakanlah: "Tiadalah aku
peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan
bagi orang yang hendak memakannya’ (QS. Al-An’aam :
145) [Diriwayatkan oleh Al-Haakim, 4/110, dan ia berkata :
“Hadits ini shahih sanadnya”].
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ عَمْرٌو:
قُلْتُ لِجَابِرِ بْنِ زَيْدٍ: " يَزْعُمُونَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ حُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ،
فَقَالَ: قَدْ كَانَ يَقُولُ ذَاكَ الْحَكَمُ بْنُ عَمْرٍو الْغِفَارِيُّ
عِنْدَنَا بِالْبَصْرَةِ، وَلَكِنْ أَبَى ذَاكَ الْبَحْرُ ابْنُ عَبَّاسٍ،
وَقَرَأَ: قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا
Telah
menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdillah: Telah
menceritakan kepada kami Sufyaan : Telah berkata ‘Amru kepada
Jaabir bin Zaid : “Orang-orang menyangka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang
(makan daging) keledai jinak”. Jaabir berkata : “Hal itu
memang pernah dikatakan oleh Al-Hakam bin ‘Amru Al-Ghifaariy saat
berada di sisi kami di Bashrah. Akan tetapi Al-Bahr bin ‘Abbaas
menolaknya seraya ia membaca ayat : ‘Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan...dst (QS. Al-An’aam : 145)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5529].
Dijawab :
As-Suyuthiy mendefinisikan hashr - atau sering juga disebut qashr - adalah:
تخصيص أمر بآخر بطريق مخصوص . قال أيضا : إثبات الحكم للمذكور ونفيه عما عداه.
“Pengkhususan
satu perkara dengan sesuatu yang lain dengan jalan yang khusus.
Dikatakan juga : penetapan hukum pada sesuatu yang disebutkan dan
menafikkannya dari yang lainnya” [Tahdziib wa Tartiib Al-Itqaan, hal. 393].
Hashr terbagi menjadi dua, yaitu hakiki dan idlaafiy/majaziy. Hashr hakiki adalah sebagaimana dalam kalimat:
لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
“Tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah”.
Maksudnya, Allah adalah satu-satunya tuhan yang berhak disembah. Mafhum-nya, selain dari Allah, maka itu bukan merupakan tuhan yang berhak untuk disembah.
Adapun hashr idlaafiy/majaziy adalah sebagaimana dalam ayat:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul” [QS. Aali ‘Imraan : 144].
Maksudnya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu
disifat dengan Rasul, bukan tuhan yang memiliki sifat kesempurnaan.
Perkataan ini tidaklah menafikkan adanya sifat-sifat lain yang ada pada
diri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Benar, ketika hashr itu disebutkan secara mutlak, maka maknanya adalah hakiki;kecuali jika kita temukan keterangan-keterangan kuat yang menghalangi untuk membawanya ke makna hakiki. Seperti dikatakan : “Tidak ada raja, kecuali ‘Umar”.
Pada asalnya, maknanya adalah ‘Umar adalah satu-satunya raja,
sehingga jika ada nama lain selain ‘Umar disebutkan, maka ia
bukan raja. Namun jika ternyata memang ada raja lain selain
‘Umar, maka hashr dalam kalimat tersebut maknanya idlaafiy.
Oleh karenannya, maksud dari pembicaraan tersebut kemungkinan adalah
‘Umar adalah satu-satunya raja yang ada di wilayah tertentu,
waktu tertentu; atau ‘raja’ yang dimaksudkan di situ adalah
raja yang berhasil dalam pemerintahannya.
Bagaimana dengan tiga ayat yang disebutkan di atas ?.
Hashr dalam tiga ayat di atas bukan hashr hakiki, karena ada jenis makanan/minuman lain yang diharamkan selain yang disebutkan dalam ayat-ayat tersebut, dan itu mereka akui pula. Yaitu :
1. Binatang yang mati tercekik, terpukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas.
Allah ta’ala berfirman:
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ
لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ
وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلا مَا
ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ
“Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging binatang) yang
disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang
jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat
kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk
berhala” [QS. Al-Maaidah : 3].
2. Khamr.
Allah ta’ala berfirman:
يَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ
لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا
“Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya
terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya" [QS. Al-Baqarah : 219].
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ
وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan” [QS. Al-Maaidah : 190].
Asy-Syinqithiy rahimahullah berkata:
واعلم
أولاً: أن دعوى أنه لا يحرم مطعوم غير الأربعة المذكورة في هذه الآية
باطلة. بإجماع المسلمين لإجماع جميع المسلمين، ودلالة الكتاب والسنة على
تحريم الخمر فهو دليل قاطع على تحريم غير الأربعة.
ومن زعم أن الخمر حلال لهذه الآية. فهو كافر بلا نزاع بين العلماء،
ومن زعم أن الخمر حلال لهذه الآية. فهو كافر بلا نزاع بين العلماء،
“Pertama-tama
ketahuilah bahwasannya barangsiapa yang mengatakan tidak ada makanan
yang diharamkan kecuali empat hal yang disebutkan dalam ayat ini (yaitu
QS. Al-An’aam : 145), maka itu baathil berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Yaitu berdasarkan kesepakatan seluruh kaum muslimin serta dalil
yang berasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang pengharaman
khamr. Ini adalah dalil yang pasti tentang pengharaman selain yang
empat hal tersebut. Barangsiapa yang menyangka bahwasannya khamr halal
berdasarkan ayat ini, maka ia kafir tanpa perselisihan di kalangan
ulama” [Adlwaaul-Bayaan, 1/521].
Dari sini nampak bahwa menggunakan kaedah hashr dalam tiga ayat di atas tidak tepat, karena prakteknya mereka pun memberikan tambahan.
Jika
alasan mereka adalah pengharaman (anjing dan juga yang lainnya selain
empat hal yang disebutkan) itu hanya sekedar karena bersumber pada
As-Sunnah, maka ini sangat tidak bisa dibenarkan.
Sudah
menjadi kaedah yang disepakati oleh Ahlus-Sunnah bahwa hukum dalam
syari’at tidak hanya diambil dari Al-Qur’an, akan tetapi
dari juga hadits (shahih) dan ijma’. Hadits shahih selamanya
tidak akan bertentangan dengan Al-Qur’an, karena ia keluar dari
sumber yang sama. Allah ta’ala berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى * إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan
tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya)” [QS. An-Najm : 3-4].
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
ولا تكون سنة أبدا تخالف القرآن
“As-Sunnah tidak mungkin menyelisihi Al-Qur’an selamanya” [Jimaa’ul-‘Ilm no. 530].
Selain
itu, sudah menjadi hal yang dimaklumi bahwa akal manusia terbatas,
sehingga ada kemungkinan seseorang tidak memahami nash. Maka
seharusnya, ketika kita melihat sebuah hadits shahih yang seolah-olah
bertentangan dengan Al-Qur’an, kita jangan buru-buru melempar husnudhdhan kita pada diri kita (yang lemah) dan melempar su’udhdhan kita pada hadits dengan menolaknya karena kita anggap bertentangan.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
لَا
أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يَأْتِيهِ أَمْرٌ
مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ فَيَقُولُ: لَا أَدْرِي مَا
وَجَدْنَا فِي كِتَابِ اللَّهِ اتَّبَعْنَاهُ
“Hampir
saja aku dapati salah seorang di antara kalian bersandar di atas
singgasananya, ketika datang kepadanya satu perkara yang aku
perintahkan dengannya atau aku larang darinya, maka ia berkata :
‘Aku tidak tahu. Apa yang kami dapati dari Kitabullah, maka kami mengikutinya”
[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4605, At-Tirmidziy no. 2663, Ibnu
Maajah no. 13, dan yang lainnya; At-Tirmidziy berkata : “Ini
hadits hasan shahih”].
Asy-Syaafi’iy rahimahullah kemudian mengomentarinya:
وفي هذا تثبيت الخبر عن رسول الله صلى الله عليه و سلم وإعلامهم أنه لازم لهم وإن لم يجدوا فيه نصا في كتاب الله
“Dalam hadits ini terdapat penetapan khabar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan pemberitahuan kepada mereka bahwasannya wajib bagi mereka (untuk mengambil hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam) sekalipun mereka tidak mendapati nashnya dalam Kitabullah” [Miftaahul-Jannah oleh As-Suyuuthiy, hal. 20].
Hadits-hadits
shahih (tentang pengharaman daging anjing) yang disebutkan di awal
artikel merupakan hujjah dan tambahan hukum selain yang disebutkan
dalam Al-Qur’an. Dan itu merupakan tambahan dari empat macam
keharaman yang disebutkan dalam QS. Al-Baqarah : 173, An-Nahl : 115,
dan Al-An’aam : 145.
Tentang perkataan sebagian salaf yang menyelisihi hadits yang disebutkan, apakah layak perkataan mereka disandingkan dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya
dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui” [QS. Al-Hujuraat : 1].
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا
“Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang
urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” [QS. Al-Ahzaab : 36].
Larangan
dan pengharaman binatang yang mempunyai taring adalah shahih,
diriwayatkan oleh beberapa orang shahabat, tercantum dalam kitab Shahiih Al-Bukhaariy dan Shahih Muslim. Barangsiapa yang mengatakan hadits tersebut lemah, maka ia termasuk orang bodoh yang tidak mengerti hadits dan ilmu hadits.
Ditambah
lagi dengan adanya beberapa pengharaman makanan lain yang sangat tegas
dan jelas ditunjukkan dalam hadits-hadits, di luar empat jenis
tersebut. Misalnya pengharaman daging keledai jinak.
‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu pernah berkata:
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ نِكَاحِ
الْمُتْعَةِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
melarang nikah mut’ah dan (memakan) daging keledai jinak pada
hari (peperangan) Khaibar” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.
4216 & 5115 & 5523 dan Muslim no. 1407].
Jika
kita (Ahlus-Sunnah) bersepakat bahwa nikah mut’ah adalah
terlarang (yang salah satunya) berdasarkan hadits ini, apakah kemudian
kita akan mengatakan daging keledai itu halal, padahal larangan dua hal
itu ditetapkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallampada waktu yang sama ?. Tentu tidak.
Perlu dicatat, hadits pengharaman keledai jinak diriwayatkan secara mutawatir oleh banyak shahabat radliyallaahu ‘anhu.[2]
Ini sebagai bukti kuat hashr yang disebutkan dalam tiga ayat di atas bukanlah hashrhakiki.
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 18042014 – 16:55].
[1]
Hanya saja, Ad-Daaraquthniy menta’lilnya bahwasannya yang benar
adalah dengan sanad : ‘dari Yahyaa bin Sa’iid, dari
‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim, dari ayahnya, dari
‘Aaisyah’.
Baik
dengan perantara ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim ataupun tidak, maka
sanadnya tetap hasan karena ‘Abdurrahmaan adalah seorang yang tsiqah.
[2]
Diantaranya : Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’uud, Anas bin Maalik,
Ibnu ‘Abbaas, Jaabir bin ‘Abdillah, Abu Tsa’labah,
‘Abdullah bin Abi Aufaa, ‘Abdullah bin ‘Amru bin
Al-‘Aash, Al-Barraa’ bin ‘Aazib, ‘Irbaadl
bin Saariyyah, Ghaalib bin Abhaar, Abu Sa’iid Al-Khudriy, Salamah
bin Al-Akwaa’, Al-Miqdaad bin Ma’di Kariib, Al-Hakam bin
‘Amru, dan Abu Saliithradliyallaahu ‘anhum.
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2014/04/hukum-daging-anjing-sate-jamu.html
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2014/04/hukum-daging-anjing-sate-jamu.html