Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi
Jika
tetanggamu seorang muslim, sunni dan taat, maka wajib bagimu memenuhi
seluruh hak-haknya yang telah (kita) lewati penjelasannya.
Adapun [1]
jika tetangga tersebut suka berbuat dosa besar, adakalanya dia berbuat
secara sembunyi-sembunyi dan menutup pintunya, maka berpalinglah dan
jangan pedulikan. Bila mampu menasehati dan memperingatkannya secara rahasia-rahasia, maka ini lebih baik lagi.
Tetapi jika dia terang-terangan dengan perbuatan fasiknya, seperti penarik bea (tukang pungut liar, -ed) atau pelaku riba, maka jauhilah ia dengan cara yang baik.
Begitu pula jika dia sering meninggalkan shalat, maka perintahkanlah dia dengan cara yang baik dan cegahlah dia dari perbuatan mungkar berulang-ulang. Kalau tidak mau menerima, maka jauhilah ia karena Allah. Barangkali dengan cara dijauhi, dia akan kembali dan dapat mengambil manfaat. Tetapi tanpa memutus pembicaraan, salam dan hadiahmu terhadapnya. Dan
jika engkau melihat dia melampui batas dan membangkang serta jauh dari
kebaikan, maka berpalinglah darinya dan berusahalah untuk berpindah
dari sampingnya [2] bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlindung dari tetangga yang jelek di daerah tempat tinggal.
Kalau tetangganya seorang dayyuts
(suka membiarkan keluarganya melakukan maksiat, ed) atau sedikit rasa
cemburunya, atau istrinya tidak berada di atas jalan yang lurus, maka
berpindahlah daripadanya. Atau bersungguh-sungguhlah agar mereka tidak
mengganggu istrimu. Karena dalam perkara tersebut ada kerusakan yang
besar. Dan khawatirlah kamu atas jiwamu yang perlu dikasihani. Jangan
kamu masuki rumahnya dan putuskan hubungan kasih sayang sebisa mungkin.
Kalau
kamu tidak mau menerima nasehat dariku, barangkali pada dirimu ada hawa
nafsu dan rasa tamak. Serta engkau telah terkalahkan oleh nafsumu,
anakmu, pembantumu atau saudara perempuannmu.
Dan
jika kamu berkeinginan untuk memaksa mereka pindah dari sampingmu, maka
lakukan dengan lembut, dengan bujukan dan dengan ancaman.
Kalau tetanggamu seorang Rafidhah atau pelaku kebid’ahan yang besar, jika kamu mampu untuk mendidik dan menunjukinya, maka lakukan semaksimal mungkin. Jika tidak mampu, maka menghindarlah darinya, janganlah kamu berkasih-sayang dan bersahabat dengannya, serta janganlah kamu menjadi teman dan mitra baginya.
Dan kalau tetanggamu seorang Yahudi atau Nasharani baik di rumah, di pasar atau di kebun, maka bertetanggalah dengan baik [3] dan janganlah kamu mengganggunya. Adapun orang yang kebiasaannya memenuhi undangan mereka, berteman dengan mereka dan bersikap toleransi terhadap mereka [4], maka sesungguhnya imannya sudah tipis. Karena Allah Ta’ala berfirman.
ا
تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ
مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ
أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ كَتَبَ
فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ
“Artinya : Kamu
tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah
dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak,
atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang
yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan
mereka dengan pertolongan yang datang dari pada-Nya” [Al-Mujadilah : 22]
Kalau dia disamping sebagai tetangga juga sebagai kerabatmu, atau berhubungan rahim denganmu, maka haknya lebih kuat lagi.
Demikian
pula jika salah seorang dari orang tuamu seorang dzimmi (kafir tapi
tidak memerangi Islam), maka sesungguhnya bagi kedua orang tua dan
hubungan rahim mempunyai hak yang berada di atas hak-hak tetangga. Maka
berilah setiap orang yang mempunyai hak sesuai dengan proporsinya.
Begitu pula menjawab salam. Janganlah kamu mendahului salah seorang dari mereka [5]
dengan mengucapkan salam. Tetapi jika salah seorang dari mereka
mengucapkan salam kepadamu, maka jawablah dengan ‘Wa ‘alaykum’ (Dan
untuk kamu juga) [6].
Adapun
ucapan :”Selamat pagi” dan “Selamat sore”, maka ini tidak mengapa.
Asalkan di dalam menjawab tidak berlebihan dan melampui batas.
Allah Ta’ala berfirman.
فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ
“Artinya : … maka
kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka
dan mereka pun mencintai-Nya yang bersikap lemah lembut terhadap
orang-orang yang mukmin dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir” [Al-Maidah : 54]
Maka
seorang mukmin harus bersikap tawadhu’ terhadap sesama kaum mukminin
dan merendahkan diri kepada mereka. Keras kepada orang-orang kafir dan
tidak mengaku-aku dirinya sesat kepada mereka, demi mengagungkan
kehormatan Islam dan memuliakan agama, tanpa menyakiti mereka. Serta
tidak mencintai mereka sebagaimana cintanya kepada seorang muslim.
[Disalin
dari buku Etika Bertetangga karya Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid,
alih bahasa Arif Mufid MF, bab Bagaimana (semestinya) anda bergaul
dengan tetangga yang bukan Muslim, sunni dan Taat, hal. 37 – 41,
terbitan Yayasan Al-Madinah – Surakarta]
_______
Footnote.
[1]. Dari sini dinukil secara ringkas dari buku Haqqu al-Jaar (46-49), karya Al-Imam Adz-Dzahabi.
[2]. Berlindung (kepada Allah) Dari Tetangga Yang Jelek.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a. (artinya) : Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari tetangga jelek di daerah tempat tinggal. Karena sesungguhnya tetangga orang-orang Badui selalu berpindah-pindah”. [Hadits Shahih, telah saya takhrij dalam ta’liq saya terhadap At-Tuhfah An-Nadhiyyah bi Syarh Al-Lamiyyah Al-Wardiyyah (bait : 57) karya Al-Ghazali, dan masih dicetak]
[3]. Dan diperbolehkan menjenguknya tatkala sakit. Adapun tatkala mati maka tidak boleh berbela sungkawa. berdasarkan hadits Ali radhiyallahu anhu. tatkala bapaknya -Abu Thalib- meninggal dunia, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda kepadanya : “Artinya : Pergi, dan timbunlah ia”. Maka Ali tidak berbela sungakawa. (Diriwayatkan oleh Ahmad (807) dan (759), Abu Dawud (3214) dan Nasa’i (1/110) dari dua jalan dari Ali dengan sanad yang shahih. Lihat Talkhis al-Habir (2/114).
[4]. Seperti mendatangi hari-hari raya mereka dengan mengucapkan selamat hari raya kepada mereka. Hal ini tidak diperbolehkan. Karena dalam perbuatan tersebut tersirat pengakuan atas perubahan-perubahan yang terjadi pada agama mereka. Dan tidak samar lagi bahwa hari-hari raya mereka adalah bagian dari agama mereka.
[5]. Yaitu orang Yahudi dan Nashrani
[6]. Lihat Silsilah al-Hadits ash-Shahihah (2/324-330)
Footnote.
[1]. Dari sini dinukil secara ringkas dari buku Haqqu al-Jaar (46-49), karya Al-Imam Adz-Dzahabi.
[2]. Berlindung (kepada Allah) Dari Tetangga Yang Jelek.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a. (artinya) : Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari tetangga jelek di daerah tempat tinggal. Karena sesungguhnya tetangga orang-orang Badui selalu berpindah-pindah”. [Hadits Shahih, telah saya takhrij dalam ta’liq saya terhadap At-Tuhfah An-Nadhiyyah bi Syarh Al-Lamiyyah Al-Wardiyyah (bait : 57) karya Al-Ghazali, dan masih dicetak]
[3]. Dan diperbolehkan menjenguknya tatkala sakit. Adapun tatkala mati maka tidak boleh berbela sungkawa. berdasarkan hadits Ali radhiyallahu anhu. tatkala bapaknya -Abu Thalib- meninggal dunia, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda kepadanya : “Artinya : Pergi, dan timbunlah ia”. Maka Ali tidak berbela sungakawa. (Diriwayatkan oleh Ahmad (807) dan (759), Abu Dawud (3214) dan Nasa’i (1/110) dari dua jalan dari Ali dengan sanad yang shahih. Lihat Talkhis al-Habir (2/114).
[4]. Seperti mendatangi hari-hari raya mereka dengan mengucapkan selamat hari raya kepada mereka. Hal ini tidak diperbolehkan. Karena dalam perbuatan tersebut tersirat pengakuan atas perubahan-perubahan yang terjadi pada agama mereka. Dan tidak samar lagi bahwa hari-hari raya mereka adalah bagian dari agama mereka.
[5]. Yaitu orang Yahudi dan Nashrani
[6]. Lihat Silsilah al-Hadits ash-Shahihah (2/324-330)
Sumber: https://almanhaj.or.id/1966-bagaimana-semestinya-anda-bergaul-dengan-tetangga-yang-bukan-muslim-sunni-dan-taat.html