Syubhat 1: Tidak Semua Yang Baru Berarti Bid’ah
Banyak orang yang salah faham akan makna bid’ah yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mengatakan bahwa semua bid’ah adalah kesesatan. Mereka menganggap bahwa dengan memahami hadits ‘kullu bid’atin dholalah, wa kullu dholalatin finnaar’ [1] secara
tekstual, maka semua orang akan masuk neraka, sebab kehidupan kita
dipenuhi dengan bid’ah. Cara berpakaian, berbagai jenis perabotan rumah
tangga, sarana transportasi, pengeras suara, permadani yang terhampar di
masjid-masjid, lantai masjid yang terbuat dari batu marmer, penggunaan
sendok dan garpu, hingga berbagai kemajuan teknologi lainnya, semua itu
merupakan hal baru yang tidak pernah ada di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Semuanya adalah bid’ah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat dan semua yang sesat tempatnya di neraka.[2]
Pemahaman yang rancu semacam ini muncul dari ketidaktahuan mereka akan uslub (gaya
bahasa) Al Qur’an, Hadits, atau ucapan para ulama yang senantiasa
membedakan pengertian suatu kata dari segi etimologis (bahasa) dan
terminologis (istilah/syar’i). Kerancuan tadi juga disebabkan oleh
ketidak fahaman orang tersebut akan konteks suatu nash (ayat/hadits),
atau karena pemahaman parsial — yang memegangi satu nash dan
mengabaikan nash-nash lainnya–, atau akibat mencomot nash tersebut
dari konteks selengkapnya. Dan yang terakhir ini cukup fatal akibatnya,
sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti.
Pentingnya membedakan antara definisi lughawi (bahasa) dan syar’i
Sebagai contoh, kata ‘ash-shalah’ (الصَّلاَة) merupakan mashdar (bentukan/noun) dari kata صَلَّى- يُصَلِّي, yang dalam bahasa Arab memiliki tak kurang dari lima makna. Al Fairuzabadi[3]) mengatakan:
وَالصَّلاَةُ: الدُّعَاءُ, وَالرَّحْمَةُ, وَالاِسْتِغْفَارُ, وَحُسْنُ
الثَّنَاءِ مِنَ اللهِ عَلىَ رَسُولِهِ, وَعِبَادَةٌ فِيْهَا رُكُوعٌ
وَسُجُودٌ.
‘ash shalaah’ artinya: (1)doa, (2)rahmat,
(3)istighfar, (4) pujian yang baik dari Allah terhadap Rasul-Nya,
dan (5)ibadah yang mengandung ruku’ dan sujud [4]).
Ketika menemukan definisi (الصلاة) semacam ini, seseorang harus menentukan terlebih dahulu mana yang merupakan definisi lughawi dan mana yang syar’i.
Lalu ketika hendak mengartikan suatu hadits atau ayat tertentu, ia
harus memperhatikan konteks ayat/hadits di mana istilah ini berada,
kemudian menentukan apakah shalat di sini yang dimaksud ialah shalat secara lughawi ataukah syar’i. Kalau secara bahasa ia memiliki lebih dari satu makna, maka ia harus meneliti makna apa yang diinginkan dalam konteks ini.
Bagaimana jika ia hanya memahami satu makna saja dari kata shalat tadi,
lantas menerapkannya dalam seluruh konteks kalimat….? Jelas, cara
seperti ini pasti mengacaukan pemahaman yang sebenarnya. Cobalah Anda
simak jika shalat dalam ayat berikut diartikan secara lughawi sebagai
doa umpamanya:
“Dirikanlah doa dari sejak matahari tergelincir hingga malam gelap…” (Al Isra’: 78). Tentu aneh kedengarannya, karena (الصلاة) disini maksudnya ialah shalat secara syar’i yang
pakai ruku’ dan sujud, bukannya sekedar doa. Demikian pula kalau
ia hanya mengartikannya dengan pengertian syar’i tanpa mengindahkan makna lughawinya. Maka ketika mendapati ayat berikut pemahamannya akan kacau:
“Ambillah sebagian harta mereka sebagai zakat yang membersihkan dan menyucikan mereka; dan ‘shalatlah(?)’ kepada mereka, karena shalatmu menimbulkan ketenangan bagi mereka…(?)” (QS. 9:103). Dengan pola pikir semacam ini, tak menutup kemungkinan kalau suatu saat akan ada yang mengatakan bahwa menyolatkan orang yang masih hidup hukumnya sunnah!! Padahal yang dimaksud dengan (وَصَلِّ عَلَيْهِمْ) di sini artinya: “doakanlah mereka”, karena doa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menimbulkan ketenangan bagi mereka.
Bagaimana pula ia hendak mengartikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ (رواه مسلم 1431).
Apakah akan diartikan: “Kalau salah seorang dari kalian diundang makan hendaklah ia memenuhinya. Jika ia sedang berpuasa maka shalatlah (?), namun jika sedang tidak berpuasa silakan menyantap makanannya” (H.R. Muslim no 1431). Padahal maksudnya agar ia mendoakan orang yang mengundangnya kalau ia sedang berpuasa.
Sama persis dengan masalah bid’ah yang sedang kita bahas. Berangkat dari salah pengertian tentang makna bid’ah yang dianggap sesat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sebagian orang langsung membid’ahkan setiap hal baru yang terjadi pada
diri kita, tanpa memilah-milah antara bid’ah dalam agama dengan bid’ah
dalam urusan duniawi. Karenanya, kita harus mendudukkan pengertian
bid’ah yang sebenarnya.
Akan tetapi sebelum kita mendefinisikan bid’ah, kita harus mengenal
Sunnah terlebih dahulu. Karena sunnah identik dengan apa-apa yang harus
dilakukan, sedangkan bid’ah identik dengan apa-apa yang harus
ditinggalkan. Dan apa-apa yang harus dilakukan lazimnya dibahas lebih
dahulu dari pada apa-apa yang harus ditinggalkan. Insya Allah dengan
memahami Sunnah, kita akan memahami bid’ah [5]).
Apa itu Sunnah?
Sunnah menurut bahasa, artinya: cara yang diikuti. Sedang menurut syar’i ialah semua yang disyari’atkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi
umatnya atas izin dari Allah Ta’ala; yang berupa jalan-jalan kebaikan,
atau adab-adab dan keutamaan yang beliau anjurkan, demi menyempurnakan
umat ini dan membahagiakannya. Kalau yang beliau syari’atkan itu berupa
perintah untuk melakukan sesuatu dan menekuninya, maka itulah Sunnah waajibah (yang diwajibkan), yang tak boleh ditinggalkan oleh seorang muslim pun. Namun jika bukan seperti itu, berarti itu Sunnah mustahabbah (yang disukai), yang bila dilakukan akan mendapat pahala, namun jika ditinggalkan pelakunya tidak akan disiksa.
Pembaca yang budiman, perlu kita ketahui bahwa sebagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan
sunnah tadi lewat sabdanya; beliau juga mengajarkannya lewat perbuatan
dan persetujuannya. Maka ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan
sesuatu secara berulang-ulang hingga jadi kebiasaan, jadilah hal itu
sunnah bagi umatnya sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut
termasuk khususiyyah (kekhususan) beliau, seperti puasa secara bersambung umpamanya (puasa wishal).
Demikian pula ketika beliau mendengar atau melihat sesuatu yang terjadi
pada para sahabatnya, kemudian hal itu berulang sekian kali tanpa
diingkari oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, jadilah itu sunnah taqririyyah (sunnah karena persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Akan tetapi jika apa yang beliau lakukan, atau yang beliau lihat dan
dengarkan tadi tidak terjadi berulang kali, maka tidak termasuk sunnah.
Mengapa? Karena kata sunnah (سَنَّ – يَسُنُّ – سُنَّةً) berasal dari
sesuatu yang berulang kali. Seperti kata (سَنَّ السِّكِّيْنَ) yang
artinya mengasah pisau, yaitu menggosoknya berulang kali pada asahan
sampai tajam [6]).
Contoh apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekali saja dan tak diulangi lagi –hingga tidak dianggap sebagai sunnah– ialah ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak
antara shalat dhuhur dan asar, dan antara maghrib dan isya’ tanpa udzur
seperti safar, sakit, ataupun hujan (H.R. Muslim dan Tirmidzi) [7]). Karenanya, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi
tak menjadi sunnah yang dipraktekkan oleh kaum muslimin. Sebagaimana
yang dijelaskan oleh Imam At Tirmidzi setelah meriwayatkan hadits ini,
beliau berkata:
جَمِيعُ مَا فِي هَذَا الْكِتَابِ مِنْ الْحَدِيثِ فَهُوَ مَعْمُولٌ بِهِ
وَبِهِ أَخَذَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مَا خَلَا حَدِيثَيْنِ: حَدِيثَ
ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ
بِالْمَدِينَةِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا
مَطَرٍ وَحَدِيثَ النَّبِيِّ أَنَّهُ قَالَ إِذَا شَرِبَ الْخَمْرَ
فَاجْلِدُوهُ فَإِنْ عَادَ فِي الرَّابِعَةِ فَاقْتُلُوهُ.
Semua hadits yang ada dalam kitab ini (Sunan Tirmidzi) ialah untuk
diamalkan, dan menjadi dalil bagi sebagian ulama; kecuali dua hadits:
Hadits Ibnu Abbas yang berbunyi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak
antara dhuhur, asar, maghrib, dan isya’ di Madinah tanpa alasan
takut maupun hujan. Dan hadits Nabi yang mengatakan: “Kalau
seseorang ketahuan minum khamer, maka cambuklah. Kalau ia minum lagi
keempat kalinya, maka bunuh saja…” (lihat Kitabul ‘Ilal dari Sunan At Tirmidzi).
Sedangkan contoh dari apa yang pernah beliau diamkan dan beliau setujui
sekali saja –hingga tidak bisa dianggap sunnah bagi kaum muslimin,–
ialah hadits yang mengatakan tentang nadzar seorang wanita yang bila
Allah Ta’ala memulangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
safarnya dalam keadaan selamat, ia akan menabuh rebana di hadapan
beliau sebagai luapan rasa bahagia atas keselamatannya[8]).
Maka wanita tersebut melangsungkan nadzarnya, dan beliau menyetujuinya
kali itu saja. Karenanya, hal ini tidak bisa dianggap sebagai sunnah
bagi umatnya.
Adapun contoh dari sunnah fi’liyyah ialah kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
selepas shalat berputar ke arah makmum. Hal ini terjadi ratusan kali,
karenanya ini merupakan sunnah bagi setiap imam selepas shalat, meskipun
beliau tak pernah memerintahkannya. Sedangkan contoh dari sunnah taqririyyah ialah
ketika beliau mendiamkan apa yang dilakukan para sahabatnya saat
mengiring jenazah. Beliau melihat ada yang berjalan di depan jenazah,
ada yang disamping kanan, di kiri, dan ada yang di belakang, akan tetapi
beliau mendiamkan mereka; dan hal terjadi berulang kali setiap mereka
mengiring jenazah. Maka hal ini dianggap sebagai sunnah taqririyyah.
Demikianlah pengertian sunnah, maka hadirkanlah selalu makna ini dalam
benak anda… dan jangan lupa untuk menyertakan pula sunnah-sunnah
Khulafa’ur Rasyidin sepeninggal beliau.
Pengertian bid’ah
Adapun bid’ah,
maka itulah lawan dari Sunnah. Mengapa? Karena bid’ah hakekatnya
ialah segala sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah Ta’ala dalam
kitab-Nya, maupun melalui lisan Nabi-Nya; baik berupa keyakinan,
ucapan, maupun perbuatan. Atau dengan kata lain, bid’ah ialah: semua
yang di zaman Rasulullah dan para sahabatnya tidak dianggap sebagai
agama yang dijadikan ritual ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah. Baik berupa keyakinan, ucapan, maupun perbuatan, meski ia
dianggap memiliki nilai sakral luar biasa, atau dijadikan syi’ar agama[9]). Ini definisi bid’ah menurut syar’i secara global, sedang perinciannya sebagai berikut:
Definisi bid’ah secara lughawi
Kata ‘bid’ah’ berasal dari bada‘a – yabda’u – bad’un atau bid’atun, yang secara lughawi artinya sesuatu yang baru. Mengenai hal ini, Imam Al Azhari[10]) menukil ucapan Ibnu Sikkiet yang mengatakan:
اَلْبِدْعَةُ: كُلُّ مُحْدَثَةٍ.
Definisi senada juga dinyatakan oleh Al Khalil bin Ahmad Al Farahidy[12]), yang mengatakan:
البَدْعُ: إِحْدَاثُ شَئْ ٍلَمْ يَكُنْ لَهُ مِنْ قَبْلُ خَلْقٌ وَلاَ ذِكْرٌ وَلاَ مَعْرِفَةٌ
“Al
bad’u (bid’ah) ialah mengadakan sesuatu yang tidak pernah
diciptakan, atau disebut, atau dikenal sebelumnya” [13]).
Isim fa’il (nama pelaku) dari kata bada’a tadi ialah badie’ (بَدِيْعٌ) atau mubdi’ (مُبْدِعٌ), artinya: pencipta sesuatu tanpa ada contoh terlebih dahulu. Hal ini seperti firman Allah:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرضِ “Dialah pencipta langit dan bumi” (Al Baqarah :117), yaitu tanpa ada contoh (prototip) sebelumnya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Az Zajjaj[14]).
Korelasi antara definisi bid’ah secara lughawi dan syar’i
Dari nukilan-nukilan di atas, dapat kita fahami bahwa bid’ah secara
bahasa ialah segala sesuatu yang baru, entah itu baik atau buruk;
berkaitan dengan agama atau tidak. Karenanya Az Zajjaj mengatakan:
وَكُلُّ مَنْ أَنْشَأَ مَالَمْ يُسْبَقْ إِلَيْهِ قِيْلَ لَهُ: أَبْدَعْتَ.
وَلِهَذَا قِيْلَ لِمَنْ خَالَفَ السُّـنَّةَ: مُبْتَدِعٌ. لأَِنَّهُ
أَحْدَثَ فِي الإِسْلاَمِ مَالَمْ يَسْبِقْهُ إِلَيْهِ السَّلَفُ.
“Setiap orang yang melakukan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya, kita katakan kepadanya: “abda’ta” (anda telah melakukan bid’ah (terobosan baru)). Karenanya, orang yang menyelisihi ajaran (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut sebagai mubtadi’ (pelaku bid’ah), sebab ia mengada-adakan sesuatu dalam Islam yang tidak pernah dikerjakan oleh para salaf sebelumnya” [15]).
Jadi,
korelasi antara kedua definisi tadi ialah bahwa bid’ah itu
intinya sesuatu yang baru dan diada-adakan. Namun bedanya, bid’ah secara syar’i khusus berkaitan dengan agama, sebagaimana yang disebutkan oleh Az Zajjaj di atas. Untuk lebih jelasnya perhatikan definisi bid’ah secara syar’i menurut Al Jurjani berikut:
البِدْعَةُ هِيَ الْفِعْلَةُ الْمُخَالِفَةُ لِلسُّـنَّةِ، سُمِّيَتْ:
اَلْبِدْعَةَ، لأَِنَّ قَائِلَهَا ابْتَدَعَهَا مِنْ غَيْرِ مَقَالِ
إِمَامٍ، وَهِيَ الأَمْرُ الْمُحْدَثُ الَّذِي لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ
الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُوْنَ، وَلَمْ يَكُنْ مِمَّا اقْتَضَاهُ
الدَّلِيْلُ الشَّرْعِيُّ.
“Bid’ah ialah perbuatan yang menyelisihi As Sunnah (ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Dinamakan bid’ah karena pelakunya mengada-adakannya tanpa berlandaskan
pendapat seorang Imam. Bid’ah juga berarti perkara baru yang tidak
pernah dilakukan oleh para sahabat dan tabi’in, dan tidak merupakan sesuatu yang selaras dengan dalil syar’i” [16].
Kata-kata yang bercetak tebal di atas amat penting untuk kita fahami
maknanya. Sehingga kita tidak mencampuradukkan antara bid’ah dengan maslahat mursalah [17]).
Atau antara bid’ah secara bahasa dengan bid’ah secara syar’i. Berangkat
dari pemahaman ini, Imam Asy Syathiby mendefinisikan bid’ah secara
syar’i dengan definisi paling universal sebagai berikut:
الْبِدْعَةُ عِبَارَةٌ عَنْ: طَرِيْقَةٍ فيِ الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ,
تُضَاهِي الشَّرِيْعَةَ, يُقْصَدُ بِالسُّلُوكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ
فيِ التَّعَبُّدِ للهِ سُبْحَانَهُ (الاعتصام 1/50).
Bid’ah
adalah sebuah metode baru dalam agama yang bersifat menyaingi syari’at,
dan dilakukan dengan tujuan beribadah secara lebih giat kepada Allah
Ta’ala.
Kaidah dalam mendefinisikan bid’ah
Dari definisi-definisi di atas, bisa kita simpulkan bahwa bid’ah menurut syar’i harus memiliki kriteria berikut:
- Berkaitan dengan agama, bukan dengan urusan duniawi.
- Bersifat baru dan belum pernah terjadi di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Bersifat menyaingi syari’at Allah dan Rasul-Nya.
- Tidak selaras dengan dalil-dalil syar’i.
- Dilakukan dalam rangka ibadah kepada Allah.
Bertolak dari kaidah ini, jelaslah bahwa cara berpakaian, cara makan,
sarana transportasi, komunikasi dan hasil kemajuan teknologi lainnya
tidak bisa disebut bid’ah secara syar’i, karena kesemuanya tidak
memenuhi kriteria di atas.
-bersambung insya Allah-
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
Artikel www.muslim.or.id
[1]) Yang artinya: Semua bid’ah adalah kesesatan, dan semua kesesatan berada di Neraka.
[2]) Seperti yang dinyatakan oleh Novel Alaydrus dalam buku: Mana Dalilnya 1, hal 17.
[3])
Beliau ialah Al Imam Al Lughawy Abu Thahir Majduddien Muhammad bin
Ya’qub bin Muhammad bin Ibrahim bin ‘Umar Asy Syirazi Al Fairuzabadi.
Lahir di Karazin-Persia, pada tahun 720H. Sejak kecil beliau telah
menunjukkan kecerdasan yang luar biasa. Beliau hafal Al Qur’an dan
pandai menulis sejak umur tujuh tahun, dan ini merupakan sesuatu yang
langka untuk bocah seusia itu. Kehausannya dalam mencari ilmu
mengharuskannya untuk mengembara ke Irak, Syam, Mesir, Hijaz, Romawi,
India dan akhirnya menetap di desa Zabid, Yaman. Diantara gurunya ialah
Ibnul Qayyim, Ibnu Hisyam, dan Taqiyyuddin As Subky. Karyanya cukup
banyak dalam berbagai disiplin ilmu, seperti bahasa Arab, tafsir,
tarikh, biografi, hadits, dan fiqih. Beliau wafat di Zabid, malam Selasa
bulan Syawal tahun 817 H, dalam usia mendekati 90 tahun tapi
penglihatan dan pendengarannya masih prima. (Muqaddimah Al Qomus Al Muhith, hal 9-15 cet. Muassasah Ar Risalah, Beirut-Libanon )
[4]) Al Qomus Al Muhith, hal 1303-1304. cet. Muassasah Ar Risalah.
[5]) Paragraf ini dan yang setelahnya kami sadur dari kitab: Al Inshaf fiima Qiila fi Maulidin Nabiyyi minal Ghuluwwi wal Ijhaaf, (تتمة نافعة) tulisan syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairy.
[6]) Lihat Al Qomus Al Fiqhy, 1/183.
[7]) Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya, no 705; juga oleh At Tirmidzi dalam Sunan-nya, no 172.
[8]) H.R.
Abu Dawud dan Tirmidzi, dan katanya: hadits ini hasan shahih gharib.
Disini hanya kami cuplikkan sebagian dari hadits seutuhnya yang cukup
panjang.
[9]) Al Inshaf Fiima Qiila fil Maulid Minal Ghuluwwi wal Ijhaaf, oleh Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairy.
[10]) Beliau
ialah Al ‘Allamah Al Lughawy Abu Manshur, Muhammad bin Ahmad ibnul
Azhar Al Azhary Al Harawy Asy Syafi’iy. Lahir sekitar tahun 282 H.
Beliau adalah Imam dalam bahasa Arab dan fiqih. Seorang ulama yang
tsiqah dan taat beragama. Diantara karya ilmiahnya ialah: Tahdzibul
Lughah, Kitab At Tafsir, Tafsir Alfaazhul Muzany, ‘Ilalul Qira’ah, Ar
Ruh, Al Asma’ul Husna dan lainnya. Beliau wafat pada Rabi’ul Akhir tahun
370 H, pada usia 88 tahun (As Siyar, 3/3212-3213)
[11]) Lihat Tahdziebul Lughah, pada kata (بدع).
[12]) Beliau ialah Al Imam Shahibul ‘Arabiyyah,
Al Khalil bin Ahmad bin ‘Amru Al Azdy Al Farahidy Al Bashry. Beliau
adalah peletak dasar-dasar ilmu ‘Arudh, orang terdepan dalam hal bahasa
Arab, taat beragama, wara’, penuh qana’ah, tawadhu’ dan amat disegani.
Beliau berguru kepada Ayyub As Sikhtiyani, ‘Ashim Al Ahwal dan lainnya.
Darinyalah Imam Sibawaih menimba ilmu nahwu, demikian pula An Nadhar bin
Syumeil, Al Ashma’iy dan yang lainnya. Beliau adalah orang yang super
cerdas. Lahir tahun 100H. Diantara karyanya ialah Kitabul ‘Ain (ع),
namun belum selesai. Beliau wafat tahun 169 atau 170 H -rahimahullah- (As Siyar, 2/1636).
[13]) Lihat Kitaabul ‘Ain, 2/54.
[14]) Tahdziebul Lughah, pada kata (بدع).
[15]) Ibid.
Perhatikan bagaimana Az Zajjaj membedakan antara definisi bid’ah
lughawi dengan syar’i. Ia tak sekedar mengatakan bahwa bid’ah adalah
melakukan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya. Namun ungkapan
selanjutnya menegaskan siapakah pelaku bid’ah itu, yaitu orang-orang
yang berbuat menyelisihi sunnah (ajaran) Rasulullah =. Jadi jelaslah
bahwa yang dimaksud bid’ah secara syar’i khusus berkaitan dengan agama
yang diajarkan Rasulullah =. Sehingga apabila beliau menyatakan bahwa
bid’ah itu sesat, maka bid’ah di sini ialah bid’ah secara syar’i.
[16]) At Ta’riefaat 1/13. Oleh Al Jurjani.
[17]) Mengenai maslahat mursalah akan kami bahas secara terpisah pada bab: Antara bid’ah dan Maslahat Mursalah hal 44.
Sumber: https://muslim.or.id/7263-ini-dalilnya-3-tidak-semua-yang-baru-berarti-bidah.html