Syubhat 2: Adakah Bid’ah Hasanah?
Sebagian orang menganggap bahwa bid’ah ada dua; bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah (dholalah). Mereka berhujjah dengan pendapat sebagian salaf seperti perkataan Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu:
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
Atau perkataan Imam Syafi’i –rahimahullah– yang menyebutkan:
الْبِدْعَة بِدْعَتَانِ : مَحْمُودَة وَمَذْمُومَة ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّة فَهُوَ مَحْمُود وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوم
Bid’ah itu ada
dua: terpuji dan tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah berarti
terpuji, sedangkan yang menyelisihinya berarti tercela [2]).
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbagai khutbah beliau senantiasa mengatakan:
مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ
لَهُ, إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ
هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ… (رواه النسائي يرقم 1560, وابن ماجه في مقدمة السنن برقم 45)
“Barangsiapa
diberi hidayah oleh Allah, maka tak seorang pun bisa menyesatkannya; dan
barangsiapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka tak seorang pun yang bisa
memberinya hidayah. Sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah, dan
sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara ialah perkara yang diada-adakan (dalam agama), dan setiap
perkara yang diada-adakan (dalam agama) ialah bid’ah, sedang
setiap bid’ah itu sesat dan setiap yang sesat itu di Neraka…” (H.R. An Nasa’i dan Ibnu Majah dari Jabir bin Abdillah, dan dishahihkan oleh Al Albani, lihat Irwa’ul Ghalil 3/73)
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim dari jalur yang sama, yaitu Ja’far bin Muhammad (Ash Shadiq) dari ayahnya (Muhammad bin ‘Ali Al Baqir) [3]), dari sahabat Jabir bin Abdillah, dengan lafazh:
وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.
“Sejelek-jelek perkara ialah perkara yang diada-adakan (dalam agama), dan setiap bid’ah itu sesat” [4](
Dalam kedua hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
tegas menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, dan sabda beliau ini
berkenaan dengan bid’ah menurut syari’at. Mengapa harus begitu? Karena
dua hal; pertama: menurut
kaidah ushul fiqih, dalam menafsirkan dalil-dalil syar’i, terlebih
dahulu kita harus membawanya kepada pengertiannya secara syar’i, kalau
tidak bisa, baru kita membawanya kepada pengertian yang lain, seperti
pengertian bahasa atau adat setempat sesuai dengan qarinah (petunjuk)
yang ada[5]). Kedua:
jika ia ditafsirkan sebagai bid’ah lughawi, konsekuensinya semua
hal yang baru dianggap bid’ah dan sesat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setiap penemuan baru dalam bidang IPTEK pun dianggap sesat…dan jelas
tidak mungkin ada orang berakal yang mengatakan seperti itu, apalagi
seorang Rasul yang ma’shum.
Mendudukkan maksud ucapan Umar bin Khatthab
Jika kita telah memahami makna bid’ah secara lughawi dan syar’i, maka ucapan Umar bin Khatthab yang berbunyi: “sebaik-baik bid’ah adalah ini…”, sama sekali tidak bisa dijadikan dalil akan adanya bid’ah hasanah dalam agama, karena makna ucapan tersebut ialah bid’ah secara bahasa yang sifatnya nisbi (relatif).
Alasannya: Lihatlah konteks ucapan Umar selengkapnya berikut:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ
مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا
النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ,
وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ. فَقَالَ عُمَرُ:
وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَانِي لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ
وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ, فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ. قَالَ:
ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ
قَارِئِهِمْ, فَقَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ, وَالَّتِي تَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنْ الَّتِي تَقُومُونَ, يَعْنِي آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ
Dari Abdurrahman bin Abdil Qaary katanya; aku keluar bersama Umar bin
Khatthab t di bulan Ramadhan menuju masjid (Nabawi). Sesampainya di
sana, ternyata orang-orang sedang shalat secara terpencar; ada orang
yang shalat sendirian dan ada pula yang menjadi imam bagi sejumlah
orang. Maka Umar berkata: “Menurutku kalau mereka kukumpulkan pada satu
imam akan lebih baik…” maka ia pun mengumpulkan mereka –dalam satu
jama’ah– dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab. Kemudian aku keluar lagi
bersamanya di malam yang lain, dan ketika itu orang-orang sedang shalat
bersama imam mereka, maka Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini,
akan tetapi saat dimana mereka tidur lebih baik dari pada saat dimana
mereka shalat”, maksudnya akhir malam lebih baik untuk shalat karena
saat itu mereka shalatnya di awal malam. (H.R. Malik dalam Al Muwaththa’ bab: Ma jaa-a fi qiyami Ramadhan).
Kemudian sebagaimana kita ketahui, anjuran beliau untuk shalat tarawih
berjama’ah itu bukanlah sesuatu yang sama sekali baru, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri
pernah melakukannya beberapa kali, kemudian beliau hentikan karena
khawatir kalau shalat tarawih diwajibkan atas umatnya[6]).
Akan tetapi di masa Umar berkuasa, tidak semua warga Madinah tahu akan
hal ini, karena banyak di antara mereka yang tidak pernah berjumpa
dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
apalagi shalat dibelakang beliau. Karenanya, bagi mereka ini merupakan
hal baru (bid’ah lughawi). Jadi, jelaslah bahwa bid’ah yang dimaksudkan
Umar di sini bukanlah bid’ah syar’i maupun lughawi secara mutlak, akan
tetapi bid’ah lughawi nisbi (hal yang baru bagi sebagian kalangan).
Lebih dari itu, ingatlah bahwa Umar termasuk salah seorang Khulafa’ Ar
Rasyidin yang perbuatannya dianggap sebagai sunnah oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana sabda beliau:
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا
حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا
كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ
الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ (رواه أبو داود (4607) واللفظ له, وابن ماجه
(42), وأحمد (16521,16522), والدارمي (95) وصححه الألباني)
Kuwasiatkan
kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan menaati pemimpin
kalian meski ia seorang budak habsyi (kulit hitam). Karena siapa yang
hidup sepeninggalku nanti, pasti akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib baginya berpegang teguh dengan Sunnah (ajaran)-ku dan Sunnahnya Khulafa’ur Rasyidin sepeninggalku. Peganglah sunnah tadi erat-erat dan gigitlah dengan taringmu. Dan waspadailah setiap muhdatsaatul umuur [7]), karena itu semua adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat. (H.R
Abu Dawud (no 4607) Ibnu Majah (42), Ahmad (16521,16522) dan Ad Darimi
(95); ini adalah lafazh Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al Albani,
lihat: Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud).
Demikian juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain:
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ
(رواه الترمذي وقال: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ).
Dari Hudzaifah katanya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; “Jadikanlah dua orang sepeninggalku sebagai qudwah (panutan/teladan) kalian: Abu Bakar dan Umar” (H.R. Tirmidzi dan beliau menghasankannya) [8]).
Kalaulah
yang diperbuat oleh Umar tadi merupakan bid’ah dalam agama
(bid’ah syar’i), maka mustahil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
umatnya untuk meneladani seseorang yang mengatakan bahwa bid’ah syar’i
itu ada yang baik, sedangkan Nabi sendiri mengatakan bahwa semua bid’ah
itu sesat… Ini adalah sesuatu yang kontradiksi! Dan tidak pantas bagi
sahabat sekaliber Umar bin Khatthab yang dijuluki al faruq (pembeda
antara haq dan batil), untuk menyelisihi sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menganggap bahwa ada bid’ah yang baik dalam agama.
Karenanya, ucapan Umar bin Khatthab di atas tidak boleh diartikan
sebagai bid’ah secara syar’i, namun yang beliau maksudkan ialah bahwa
keputusannya untuk menyatukan kaum muslimin pada satu imam merupakan
suatu hal baru dan baik setelah sekian lama ditinggalkan.
Perhatian:
Sekiranya kita menganggap ucapan ‘Umar bin Khatthab tadi sebagai bentuk
pembenaran akan adanya bid’ah hasanah –meskipun ini mustahil–; maka
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
ma’shum harus didahulukan dari perkataan Umar yang tidak ma’shum.
Cobalah anda renungi kembali jawaban Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas yang
kami cantumkan di mukaddimah buku ini (hal 12).
Mendudukkan ucapan Imam Syafi’i
Kalaulah Imam Syafi’i –rahimahullah– mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang terpuji dan ada yang tercela, maka beliau jualah yang mengatakan berikut ini:
مَا مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ وَتَذْهَبُ عَلَيهِ سُنَّةٌ لِرَسُولِ اللهِ
وَتَعْزُبُ عَنْهُ فَمَهْمَا قُلْتُ مِنْ قَوْلٍ أَوْ أَصَّلْتُ مِنْ
أَصْلٍ, فِيْهِ عَنْ رَسُولِ اللهِ لِخِلاَفِ مَا قُلْتُ فَالْقَوْلُ مَا
قَالَ رَسُولُ اللهِ وَهُوَ قَوْلِي ( تاريخ دمشق لابن عساكر 15 / 389 )
Tak ada
seorang pun melainkan pasti ada sebagian sunnah Rasulullah yang luput
dari pengetahuannya. Maka perkataan apa pun yang pernah kukatakan, atau
kaidah apa pun yang kuletakkan, sedang di sana ada hadits dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
bertentangan dengan pendapatku, maka pendapat yang benar ialah apa yang
dikatakan oleh Rasulullah, dan itulah pendapatku (lihat: Tarikh Dimasyq, 15/389 oleh Ibnu Asakir)
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلىَ أَنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ
رَسُولِ اللهِ e لَمْ يَحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ
(الفلاني ص 68)
Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa pun.(lihat Muqaddimah Shifatu Shalatin Nabii, oleh Al Albani).
إِذَا وَجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ فَقُولُوا
بِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ وَدَعُوا مَا قُلْتُ -وفي رواية- فَاتَّبِعُوهَا
وَلاَ تَلْتَفِتُوا إِلىَ قَوْلِ أَحَدٍ. ( النووي في المجموع 1 / 63 )
Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka sampaikanlah sunnah tadi dan tinggalkanlah pendapatku –dan dalam
riwayat lain Imam Syafi’i mengatakan– maka ikutilah sunnah tadi dan
jangan pedulikan ucapan orang. (lihat Al Majmu’ syarh Al Muhadzdzab 1/63)
إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي وَإِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ
فَاضْرِبُوا بِقَوْلِي الْحَائِطَ ( سير أعلام النبلاء 3/3284-3285)
Kalau ada hadits shahih, maka itulah mazhabku, dan kalau ada hadits shahih maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok. (Siyar A’laamin Nubala’ 3/3284-3285).
كُلُّ مَسْأَلَةٍِ صَحَّ فِيْهَا الْخَبَرُ عَنْ رَسُولِ اللهِ e عِنْدَ
أَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا قُلْتُ فَأَناَ رَاجِعٌ عَنْهَا فِي
حَيَاتِي وَبَعْدَ مَوْتِي. ( أبو نعيم في الحلية 9 / 107 )
Setiap masalah
yang di sana ada hadits shahihnya menurut para ahli hadits, lalu hadits
tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan rujuk
(meralat) dari pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah matiku (Hilyatul Auliya’ 9/107)
إِذَا رَأَيْتُمُوْنِي أَقُوْلُ قَوْلاً وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِيِّ
خِلاَفُهُ فَاعْلَمُوا أَنَّ عَقْلِي قَدْ ذَهَبَ. (تاريخ دمشق لابن عساكر
بسند صحيح 15 / 10 / 1 )
Jika kalian
mendapatiku mengatakan suatu perkataan, padahal di sana ada hadits
shahih yang berseberangan dengan pendapatku, maka ketahuilah bahwa
akalku telah hilang!! (Tarikh Dimasyq, oleh Ibnu ‘Asakir)
كُلُّ مَا قُلْتُ فَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ خِلاَفُ قَوْلِي مِمَّا
يَصِحُّ فَحَدِيثُ النَّبِيِّ أَوْلىَ فَلاَ تُقَلِّدُونِي. (تاريخ دمشق
لابن عساكر بسند صحيح 15 / 9 / 2 )
Semua yang pernah kukatakan jika ternyata berseberangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits Nabi lebih utama untuk diikuti dan janganlah kalian taqlid kepadaku.
كُلُّ حَدِيثٍ عَنِ النَّبِيِّ فَهُوَ قَوْلِي وَإِنْ لَمْ تَسْمَعُوهُ مِنيِّ. ( تاريخ دمشق, 51/389)
Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku (Tarikh Dimasyq, 51/389).
قَالَ الرَّبِيْعُ: سَأَلَ رَجُلٌ الشَّافِعِيَّ عَنْ حَدِيْثِ النَّبِيِّ
فَقَالَ لَهُ الرَّجُلُ: فَمَا تَقُوْلُ؟ فَارْتَعَدَ وَانْتَفَضَ
وَقَالَ: أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي إِذَا
رَوَيْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَقُلْتُ بِغَيْرِهِ. (حلية الأولياء 9/107)
Ar Rabie’ (murid Imam Syafi’i) bercerita: Ada seseorang yang bertanya
kepada Asy Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian (setelah dijawab)
orang itu bertanya: “Lalu bagaimana pendapatmu?”, maka gemetar dan beranglah Imam Syafi’i. Beliau berkata kepadanya: “Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan kupijak kalau sampai kuriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku berpendapat lain…!?” (lihat: Hilyatul Auliya’ 9/107) [9]).
Setelah kita mengetahui pernyataan beliau bahwa perkataan Rasulullah
wajib didahulukan dari ucapan beliau, maka semestinya kita berbaik
sangka kepada beliau dengan mendudukkan ucapan beliau mengenai bid’ah
tadi sebagai bid’ah secara bahasa, –yaitu setiap hal baru– yang tidak ada kaitannya dengan agama. Dengan demikian, antara ucapan Imam Syafi’i; “Bid’ah mahmudah dan madzmumah” dan sabda Rasulullah; “setiap bid’ah sesat” tidak akan bertabrakan.
-bersambung insya Allah-
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
Artikel www.muslim.or.id
[1]) H.R. Malik dalam Al Muwaththa’ bab Ma Jaa-a fi Qiyaami Ramadhan.
[2]) Lihat: Fathul Baari Syarh Shahihil Bukhari, penjelasan hadits no 7277.
[3]) Ja’far
Ash Shadiq dan ayahnya: Muhammad Al Baqir (putera Ali Zainul ‘Abidin
bin Husain bin Ali bin Abi Thalib) merupakan tokoh-tokoh Ahlussunnah wal
Jama’ah dari kalangan Ahlul Bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka meriwayatkan hadits yang agung ini karena kecintaan mereka terhadap kemurnian ajaran Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam,
dan kebencian mereka terhadap bid’ah. Demikianlah profil Ahlul Bait
sejati yang mengenyam ilmu dari sumbernya yang terpelihara, yaitu para
salafus shaleh radhiyallaahu ‘anhum.
Silakan saudara bandingkan sikap mereka terhadap bid’ah dengan sikap
anak-cucu mereka (?) saat ini, yang dengan sekuat tenaga hendak
menyimpangkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam –yang ma’shum– dengan mengatakan: “Oo, bukan begitu… tidak semua bid’ah itu sesat…!! Anda telah salah menafsirkan hadits di atas… Hadits di atas memang benar, tapi kita tidak boleh tergesa-gesa dalam memutuskan bahwa semua bid’ah sesat” (yang bercetak tebal ini adalah ucapan salah seorang ‘habib’ yang
sedang produktif menulis buku-buku demi melegitimasi berbagai bid’ah,
yang kalaulah tidak karena khawatir bukunya jadi terkenal, niscaya
penulis cantumkan di sini). Subhaanallaah!! alangkah beraninya ia mengoreksi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam …!? Adakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu
orang yang tak fasih berbicara, hingga sabdanya yang seterang matahari
di siang bolong ini masih harus dipelintar-pelintir kesana kemari? Tak
cukup sampai di sini, si ‘habib’ malah
membikin kebohongan atas nama sahabat dengan mengatakan bahwa mereka
memahami sabda Nabi tadi dengan menyisipkan kata: ‘yang bertentangan dengan syari’at’ antara kata ‘bid’ah’ dan ‘dholalah’, jadi menurutnya, pemahaman para sahabat ialah bahwa setiap bid’ah yang bertentangan dengan syari’at itu sesat. Ia hendak membentuk opini bahwa jika bid’ah itu tidak bertentangan dengan syari’at maka tidak sesat… ‘Audzubillah min hadza!
[4]) Lihat: Shahih Muslim, kitab: Al Jumu’ah, bab: Takhfiefus Shalati wal Khutbah, hadits no 867.
[5]) Lihat Raudhatun Nadhir 2/15, Irsyadul Fuhul 1/113.
[6]) Lihat H.R. Bukhari dalam Shahihnya no 7290, dan Muslim no 781, dari sahabat Zaid bin Tsabit.
[7]) As Sayyid Muhammad Murtadha Az Zabidy —rahimahullah— menjelaskan:
ومُحْدَثَاتُ الأُمُورِ : مَا ابتَدَعَهُ أَهْلُ الأَهْوَاءِ مِنَ الأَشْيَاءِ الَّتِي كَانَ السَّلَفُ الصَّالِحُ عَلىَ غَيْرِهَا (انظر: تاج العروس, مادة: بدع؛ وكذا في اللسان
9/158؛ وتهذيب اللغة)
Muhdatsaatul umuur ialah
bid’ah-bid’ah yang dimunculkan oleh para pengikut hawa nafsu, yaitu
berupa hal-hal yang para salaf tidak pernah melakukannya (Lihat:Taajul ‘Aruus; demikian juga dalam Lisaanul ‘Arab 9/158, dan Tahdziebul Lughah).
[8]) Lihat Sunan At Tirmidzi, kitab Al Manaqib, bab: fie manaqib Abi Bakr wa Umar,
hadits nomor 3595. Hadits senada juga diriwayatkan oleh At Tirmidzi
dari sahabat Abdullah bin Mas’ud dalam kitab yang sama, bab: manaqib Abdillah bin Mas’ud (no 3741). Demikian pula dalam Muqaddimah Sunan Ibnu Majah, bab: Fazhlu Abi Bakr wa Umar (no 94). Dari sekian jalur ini Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menshahihkannya, lihat (Shahih wa Dha’if Sunan At Tirmidzi, hadits no 3662,3663).
[9]) Anda dapat merujuk sebagian besar dari perkataan Imam Syafi’i tadi dalam muqaddimah Shifatu Shalaatin Nabiy, tulisan Al ‘Allaamah Muhammad Nashieruddien Al Albani, rahimahullah.
Sumber: https://muslim.or.id/7269-ini-dalilnya-4-adakah-bidah-hasanah.html