Segala puji bagi Allah, Rabb
semesta alam dan berhak disembah, tidak ada ilah selain-Nya. Shalawat dan salam
kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Pembahasan
berikut akan mengupas kekeliruan dalam menafsirkan kalimat syahadat "laa
ilaha illallah".
Kalimat
‘Laa Ilaha Illallah’ merupakan harga surga: Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, "Barang
siapa yang akhir perkataannya sebelum meninggal dunia adalah ‘lailaha
illallah’, maka dia akan masuk surga.”[1]
Kalimat ‘Laa
Ilaha Illallah’ adalah kebaikan yang paling
utama: Nabi shallallahu
‘alaihi wa salla bersabda,“Kalimat itu (laa
ilaha illallah, pen) merupakan kebaikan yang paling utama. Kalimat itu dapat
menghapuskan berbagai dosa dan kesalahan.”[2]
Masih
terngiang-ngiang di telinga kita apa yang dikatakan guru agama kita di bangku
sekolah dasar ketika menerangkan mengenai makna kalimat tauhid ‘laa
ilaha illallah’. Guru kita akan mengajarkan bahwa kalimat ‘laa
ilaha illallah’ itu bermakna ‘Tiada Tuhan
selain Allah’. Namun apakah tafsiran kalimat yang mulia ini sudah benar?
Sudahkah penafsiran ini sesuai dengan yang diinginkan al-Qur’an dan Al Hadits?
Pertanyaan seperti ini seharusnya kita ajukan agar kita memiliki aqidah yang benar yang selaras dengan al-Qur’an dan As Sunnah
dengan pemahaman generasi terbaik umat ini (baca: salafush
sholih).
Mungkin
ada yang bertanya-tanya, “Mengapa sih terlalu membesar-besarkan masalah ini?”
Lha wong hanya
berkaitan dengan penafsiran saja kok dipermasalahkan!”
Apa tidak ada pembahasan yang lain?
Ingat!!
Masalah ini bukanlah masalah yang remeh karena berkaitan dengan penafsiran
kalimat yang paling mulia yang merupakan kunci
untuk masuk Islam dan perkataan
terakhir yang seharusnya diucapkan oleh setiap muslim sebelum menghembuskan nafasnya yang
terakhir! Masalah ini berkaitan dengan penafsiran kalimat
agung ‘laa ilaha illallah’.
Tafsiran
Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ =
‘Tiada Tuhan Selain Allah’
Selama
ini diketahui bahwa tafsiran kalimat ‘laa
ilaha illallah’ yang telah diajarkan sejak
bangku SD sampai perguruan tinggi adalah ‘Tiada
Tuhan selain Allah’. Yang perlu kita tanyakan, apakah tafsiran ‘laa
ilaha illallah’ seperti ini sudah sesuai
dengan al-Qur’an dan al-Hadits ?
Makna Ilah Adalah
Tuhan?
Jika
kalimat ‘laa ilaha illallah’ diartikan
dengan ‘Tiada Tuhan selain Allah’, maka ilah pada kalimat tersebut berarti
Tuhan. Namun jika kita perhatikan kata Tuhan dalam penggunaan keseharian bisa memiliki
dua makna.
Makna
pertama, kata Tuhan berarti pencipta, pengatur, pemberi rizki, yang
menghidupkan dan mematikan (yang merupakan sifat-sifat rububiyyah Allah).
Makna kedua, kata Tuhan
berarti sesembahan[3]. Mari kita tinjau dua makna ini.
Ilah
= Pencipta, Pemberi Rizki, dan Pengatur Alam Semesta
Pembahasan
pertama, bagaimana kalau ilah pada kalimat ‘laa
ilaha illallah’ bermakna Tuhan yang berarti
pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta (disebut dengan sifat
Rububiyah)?
Sebelumnya
perlu kami sebutkan di sini bahwasanya keyakinan tentang Allah sebagai
satu-satunya pencipta, satu-satunya penguasa, satu-satunya pemberi rezeki dan
satu-satunya pengatur alam semesta adalah keyakinan yang benar dan tidak ada
keraguan tentangnya. Namun, perlu diketahui bahwa keyakinan seperti ini juga
diakui oleh orang-orang musyrik sebagaimana
terdapat dalam banyak ayat/dalil. Allah ta’ala berfirman,
قُلْ
مَنْ يَرْزُقُكُمْ
مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمْ
مَنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ
يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ
الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ
فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Katakanlah:
“Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang
kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan
yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan
siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka
katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” (QS. Yunus: 31)
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Dan
sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka,
niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan
(dari menyembah Allah)?” (QS. Az-Zukhruf: 87)
Perhatikanlah!
Dalam ayat di atas terlihat bahwasanya orang-orang musyrik itu mengenal Allah,
mereka mengakui sifat-sifat rububiyyah-Nya yaitu Allah adalah pencipta, pemberi
rezeki, yang menghidupkan dan mematikan, serta penguasa alam semesta. Namun,
pengakuan ini tidak mencukupkan mereka untuk dikatakan muslim dan selamat.
Kenapa? Karena mereka mengakui dan beriman pada sifat-sifat rububiyah Allah
(yang berkaitan dengan perbuatan Allah) saja,namun mereka menyekutukan Allah
dalam masalah ibadah. Oleh karena itu, Allah berfirman terhadap mereka,
وَمَا
يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا
وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan
sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam
keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf:
106)
Ibnu
Abbas mengatakan,“Di antara keimanan orang-orang musyrik: Jika dikatakan kepada
mereka, ‘Siapa yang menciptakan langit, bumi, dan gunung?’ Mereka akan
menjawab, ‘Allah’. Sedangkan mereka dalam keadaan berbuat syirik
kepada-Nya.”[4]
Dari
sini terlihat jelas bahwa keyakinan tentang Allah sebagai pencipta, pemberi
rizki, pengatur alam semesta, yang menghidupkan dan mematikan juga merupakan
keyakinan orang-orang musyrik. Bagaimana jika kalimat ‘laa
ilaha illallah’ diartikan dengan tidak ada
Tuhan selain Allah yang bisa bermakna ‘tidak ada pencipta selain Allah’ atau
‘tidak ada penguasa selain Allah’ atau ‘tidak ada pemberi rezeki selain Allah’?
Kalau
diartikan demikian, lalu apa yang membedakan
seorang muslim dan orang-orang musyrik? Apa
yang membedakan orang-orang musyrik sebelum mereka masuk Islam dan setelah
masuk Islam? Dan perhatikanlah tafsiran semacam ini akan membuka berbagai pintu
kesyirikan di tengah-tengah kaum muslimin. Kenapa demikian?
Karena
kaum muslimin akan menyangka bahwa ketika seseorang sudah mengakui ‘tidak ada
pencipta selain Allah’ atau ‘tidak ada pemberi rezeki selain Allah’, maka
mereka sudah disebut muwahhid (orang
yang bertauhid). Walaupun mereka berdoa dengan mengambil
perantaraan selain Allah, bernazar dengan ditujukan kepada kyai fulan, itu
tidaklah mengapa. Ini sungguh kekeliruan yang sangat fatal. Berarti
keyakinan mereka sama saja dengan keyakinan orang-orang musyrik dahulu yang
mengakui sifat-sifat rububiyyah Allah, namun mereka menyekutukan Allah dalam
ibadah seperti doa dan nazar. Orang-orang musyrik tidak mengingkari sifat
rububiyyah semacam ini sebagaimana terdapat pada ayat-ayat di atas.
Jelaslah
pada pembahasan pertama ini kesalahan tafsiran ‘laa
ilaha illallah’ dengan tiada Tuhan selain
Allah yang bermakna tidak ada pencipta selain Allah atau tiada penguasa selain
Allah.
Hanya
Allah Saja Sesembahan Yang Benar
Pembahasan
kedua adalah bagaimana jika ‘laa
ilaha illallah’ ditafsirkan dengan pengertian
Tuhan yang kedua yaitu sesembahan, maka makna ‘laa
ilaha illallah’ menjadi ‘tidak ada
sesembahan selain Allah’.
Sebenarnya
pengertian ilah pada tafsiran kedua sudah benar karena kata ‘ilah‘
secara bahasa berarti sesembahan (ma’bud atau ma’luh).
Dan para ulama juga menafsirkan kata ilah juga
dengan sesembahan.[5]
Jika
kalimat ‘laa ilaha illallah’ diartikan
dengan ‘tidak ada sesembahan selain Allah’ masih ada kekeliruan karena
dapat dianggap bahwa setiap sesembahan yang ada adalah Allah.
Maka Isa putra Maryam adalah Allah karena merupakan sesembahan kaum Nashrani.
Patung-patung kaum musyrikin yaitu Lata, Uzza dan Manat adalah Allah karena merupakan
sesembahan mereka sebagai perantara kepada Allah. Para
wali yang dijadikan perantara dalam berdo’a juga Allah karena merupakan
sesembahan para penyembah kubur. Ini
berarti seluruh sesembahan yang ada adalah Allah. Maka tafsiran yang kedua ini
jelas-jelas merupakan tafsiran yang bathil dan
keliru.
Penjelasan di atas
bukan kami rekayasa. Sebagai bukti, pembaca dapat melihat apa yang dikatakan Al
Hafizh Al Hakami berikut.
“Jika
ada yang mengatakan bahwa tidak ada ilah (sesembahan)
yang ada kecuali Allah, maka hal ini mengonsekuensikan seluruh sesembahan yang
benar dan bathil (salah dan keliru) adalah Allah. Maka jadilah segala yang
disembah kaum musyrik baik matahari, rembulan, bintang, pohon, batu, malaikat,
para nabi, orang-orang sholih dan selainnya adalah Allah. Dan bisa jadi dengan
menyembahnya dikatakan telah bertauhid. Dan ini -wal’iyadzu billah(kita
berlindung kepada Allah dari keyakinan semacam ini)- adalah kekufuran yang
paling besar dan paling jelek secara mutlak. Keyakinan semacam ini berarti
telah membatalkan risalah (wahyu) yang dibawa oleh seluruh rasul, berarti telah
kufur (mengingkari) seluruh kitab dan menentang/ mendustakan seluruh syari’at.
Ini juga berarti telah merekomendasi seluruh orang kafir karena segala makhluk
yang mereka sembah adalah Allah. Maka tidak ada lagi pada embel-embel syirik
tetapi sebaliknya mereka bisa disebut muwahhid (orang yang bertauhid). Maha
Tinggi Allah atas apa yang dikatakan oleh orang-orang zholim dan orang-orang
yang menentang ini.
Jika
kita sudah memahami demikian, maka tidak boleh kita katakan ‘tidak ada
sesembahan yang ada kecuali Allah.”Kecuali kita menambahkan kalimat ‘dengan
benar’ pada tafsiran tersebut maka ini tidaklah mengapa. Jadi tafsiranlaa
ilaha illallah (yang tepat) menjadi ‘tidak
ada sesembahan yang disembah dengan
benar kecuali Allah’.” -Demikian yang
dikatakan Al Hafizh Al Hakami dengan sedikit perubahan redaksi-[6].
Di
samping itu, pemaknaan di atas adalah keliru karena tidak sesuai dengan
kenyataan. Realita menunjukkan terdapat banyak sesembahan selain Allah. Maka
bagaimana mungkin kita katakan tidak ada sesembahan melainkan Allah?! Sungguh
ini adalah kebohongan yang sangat-sangat nyata.
Sebagaimana
telah diisyaratkan oleh Al Hafizh di atas, makna laa
ilaha illallah yang tepat adalah ‘tidak ada
sesembahan yang disembah dengan benar kecuali Allah’. Kenapa perlu ditambahkan
kalimat ‘yang disembah dengan benar’?
Jawabnya, karena kenyatannya banyak
sesembahan selain Allah di muka bumi ini. Akan tetapi, sesembahan-sesembahan
itu tidak ada yang berhak untuk disembah melainkan hanya Allah semata.
Bukti
harus ditambahkan kalimat ‘yang disembah dengan benar’ dapat dilihat pada
firman Allah ta’ala,
ذَلِكَ
بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ
مَا يَدْعُونَ مِنْ
دُونِهِ الْبَاطِلُ
“Yang
demikian itu dikarenakan Allah adalah (sesembahan) yang Haq (benar), adapun
segala sesuatu yang mereka sembah selain-Nya adalah (sesembahan) yang Bathil.” (QS.
Luqman: 30).
Oleh
karenanya, tafsiran ‘laa ilaha illallah’ yang
benar adalah ‘laa ma’buda haqqun illallah’ [tidak ada sesembahan yang
berhak disembah/diibadahi kecuali Allah].
Merujuk Tafsiran Para Ulama
Jika
kita merujuk tafsiran para ulama, kita akan mendapati tafsiran laa ilaha
illallah sebagaimana yang dikemukakan di atas.
Ath Thobary tatkala
menafsirkan firman Allah ta’ala,
اتَّبِعْ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ
رَبِّكَ لَا إِلَهَ
إِلَّا هُوَ وَأَعْرِضْ عَنِ
الْمُشْرِكِينَ
“Ikutilah
apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu; tidak ada ilah selain Dia; dan
berpalinglah dari orang-orang musyrik.” (QS. Al An’am: 106).
Pada
kalimat tidak ada ilah selain
Dia beliau mengatakan, ‘Tidak ada sesembahan yang berhak bagimu untuk
mengikhlaskan ibadah kecuali Allah’.[7]
Ibnu Katsir mengatakan
tentang tafsir firman Allah,
وَهُوَ
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا
هُوَ
“Dan Dialah Allah, tidak ada
sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Dia.” (QS. Qashash: 70)
“Maksudnya adalah Allah
bersendirian dalam uluhiyyah, tidak ada sesembahan selain Dia, sebagaimana
tidak ada pencipta selain Dia.”[8]
Asy Syaukani mengatakan
tentang firman Allah pada awal ayat kursi (Al Baqarah ayat 255),
لاَ
إله إِلاَّ
هُوَ
“Laa
ilaha illa huw’ bermakna ‘laa
ma’buda bihaqqin illa huw’ [tidak
ada sesembahan yang benar kecuali Allah], beliau menafsirkan ilah adalah,
“Ma’bud (sesembahan) atau yang
berhak diibadahi.”[9]
Fakhruddin
Ar Rozi -yang merupakan
ulama Syafi’iyyah-, dalam Mafatihul
Ghoib mengatakan tentang tafsir ayat,
ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَا
إِلَهَ إِلَّا هُوَ
خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ
فَاعْبُدُوهُ
“(Yang memiliki sifat-sifat
yang) demikian itu ialah Allah Rabb kamu; tidak ada ilah selain Dia; Pencipta
segala sesuatu, maka sembahlah Dia.” (QS. Al An’am: 102),
di mana tidak ada ilah
selain Dia adalah,“Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah, sedangkan
yang dimaksudkan oleh ayat ‘maka sembahlah Dia’ adalah jangan menyembah kepada
selain-Nya.”[10]
As
Suyuthi dalam Tafsir
Al Jalalain ketika menafsirkan ayat kursi (surat Al Baqarah
ayat 255),
اللَّهُ
لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ
“Allah,
tidak ada ilah melainkan Dia.” Beliau
langsung menafsirkannya dengan berkata, “Tidak
ada sesembahan yang berhak disembah di alam semesta ini selain Allah.”
Itulah
tafsiran para ulama yang sangat mendalam ilmunya. Tafsiran mereka terhadap
kalimat yang mulia ini walaupun dengan berbagai lafadz, namun kembali pada satu
makna. Kesimpulannya, makna ‘laa
ilaha illallah’ adalah
tidak ada sesembahan yang disembah dengan benar kecuali Allah. Hanya
Allah yang memberi taufik.
Penulis: Muhammad
Abduh Tuasikal.
[1]
HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul
Mashobih no. 1621
[2]
Dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani dalam tahqiq beliau terhadap Kalimatul
Ikhlas, 55
[3]
Lihat Sucikan Iman Anda, Abu Isa ‘Abdullah bin Salam, hal.
17, Pustaka Muslim.
[4]
Lihat Al-Mukhtashor
Al-Mufid,
Abdur Rozaq bin Abdul Muhsin Al Badr, hal. 10-11, Dar Al Imam Ahmad
[5]
Lihat penjelasan Ibnul Jauziy dalam Zaadul Masir, tafsir basmalah dan Al A’raf
ayat 127, begitu pula penjelasan Syaikh Sholih Alu Syaikh dalam At Tamhid hal.
74-75.
[6]
Lihat Ma’arijul
Qobul, Asy Syaikh Hafizh bin
Ahmad Hakamiy, 1/325, Darul Hadits Al Qohiroh
[7] Tafsir
Ath Thobari (Jaami’ul Bayan fii Ta’wili Ayil
Qur’an), Ibnu Jarir Ath Thobari, 9/479, Dar Hijr.
[8] Tafsir
Al Qur’an Al ‘Azhim,
Ibnu Katsir, 10/479, Muassasah Qurthubah.
[9] Fathul
Qodir, Asy Syaukani, 1/366,
Mawqi’ At Tafasir.
[10] Mafaatihul
Ghoib, Fakhrudin Ar Rozi, 6/412,
Mawqi’ At Tafasir.