Kamis, 24 Jan 08 07:18 WIB
Assalamu'alaikum wr.wb,
Sebelumnya
ana berdoa semoga forum ini menjadi semakin exist karena kita semua
umat Islam sering bingung dengan banyaknya pertentangan di antara
sesama muslim sendiri.
Akhir-akhir
ini banyak sekali ana melihat perbedaan pendapat di antara ulama kita
sudah semakin melihat khususnya mengenai hadits dhoif.
Sebetulnya
sampai sejauh mana kapasitas ulama sehingga bisa mendhoifkan hadits,
seperti syaikh albani banyak mendhoifkan hadits tirmidzi. Karena
menurut ana setiap ulama hadits sebelum menyusun kitab pasti melalui
proses yang panjang dan istikharah terlebih dahulu. Padahal kalo
menurut ana Imam yang empat, Imam Tirmidzi dan yang lainnya lebih dekat
ke zaman para Shahabat dibandingkan syaikh Al-bani sebagai ulama
mutaakhir
Abu Hafiz
Jawaban
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Syeikh
Al-Albani memang punya kapasitas sebagai muhaddits, di mana beliau
memang secara tekun dan selama bertahun-tahun melakukan penelitian dan
penelusuran di dalam perpustakaan Damaskus.
Sebuah pengakuan jujur bahwa beliau memang salah seorang Muhaddits abad ini yang susah dicari padanannya. Beliau rahimahullah telah dipuji lawan maupun kawan.
Memang
seringkali muncul keberatan dari sesama pakar hadits di masa sekarang
ini atas kesimpulan beliau. Sebab bukan hanya hadits yang dishahihkan
oleh At-Tirmizy saja yang pernah beliau dhaifkan, bahkan yang telah
dishahihkan oleh Imam Al-Bukhari pun juga ada.
Barangkali
inilah yang kemudian menimbulkan berbagai keberatan dari para pakar
hadits di masa sekarang. Siapa sih seorang Al-Albani, kok
berani-beraninya mendhaifkan hadits yang Al-Bukhari saja telah
menshahihkan? Kira-kira begitulah pertanyaannya.
Pertanyaannya
adalah : Apakah memang hanya Syaikh Al-Albani saja yang pernah
mendla’ifkan beberapa hadits dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan
Shahih Muslim). Tentu bagi orang yang mempelajari ilmu hadits
(setidaknya bagian Musthalah Hadits) akan mengetahui bahwa Al-Imam
Ad-Daruquthni adalah salah satu ulama yang terkenal dengan beberapa
kritikannya terhadap Shahih Bukhari. Dan ternyata pula, banyak ulama
hadits lain yang memebrikan kritikan serupa terhadap kedua kitab
tersebut. Namun perlu diingat bahwa hadits yang terdapat dalam Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim yang mendapatkan kritik para ulama adalah sangat sedikit.
Termasuk apa yang dikritik (baca : didla’ifkan) oleh Syaikh
Al-Albani. Akan tetapi adanya kritikan-kritikan tersebut tidaklah
menjatuhkan kedudukan kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim sebagai
dua kitab yang paling shahih setelah Al-Qur’an. Ada beberapa
contoh mengenai hal ini :
1. Hadits : { إِنَّ
أُمَّتِيْ يَدْعُوْنَ يَوْمَ الْقيَامَةِ غُرّاً مُحَجَّلِيْنَ مِنْ
آثَارِ الْوُضُوْءِ فَمَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيْلَ غرَّتَهُ
فَلْيَفْعَلْ} ”Sesungguhnya
umatku akan memohon pada hari kiamat dengan wajah, tangan, dan kaki
bersinar dari bekas wudlu’. Maka, barangsiapa yang mampu
memanjangkan penyiramannya di antara kalian, hendaklah ia lakukan” [HR. Bukhari no. 136]. Hadits ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani, yaitu pada kalimat/lafadh {فَمَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيْلَ غرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ}. Beliau menganggap bahwa kalimat/lafadh tersebut merupakan idraj (sisipan/tambahan)
dari salah seorang perawinya (diperkirakan adalah merupakan perkataan
Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu). Bukan merupakan perkataan Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam. Sehingga, hadits (atau lebih
tepatnya : lafadh dalam hadits) tersebut muerupakan bagian dari hadits
mudraj yang merupakan katagori hadits lemah dalam disiplin ilmu hadits.
Kritikan ini bukanlah hanya berasal dari Syaikh Al-Albani saja. Akan
tetapi juga dilakukan oleh para ulama sebelum beliau seperti Al-Hafidh
Al-Mundziri (At-Targhib 1/92), Al-Hafidh Ibnu Hajar (Fathul-Baari penjelasan hadits no. 136 – Maktabah Sahab), dan Ibnu Taimiyyah (sebagaimana disebutkan oleh Ibnul-Qayyim dalam I’lamul-Muwaqqi’iin 6/316).
Ibnu Hajar berkata tentang hadits tersebut :
قال
نعيم لا أدري قوله من استطاع الخ من قول النبي صلى الله عليه وسلم أو من
قول أبي هريرة ولم أر هذه الجملة في رواية أحد ممن روى هذا الحديث من
الصحابة وهم عشرة ولا ممن رواه عن أبي هريرة غير رواية نعيم هذه والله أعلم
”Telah berkata Nu’aim : ’Aku tidak tahu tentang perkataan : Barangsiapa yang mampu.....dst.
itu merupakan perkataan Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam atau
perkataan Abu Hurairah’. Dan aku (Ibnu Hajar) tidak melihat
kalimat ini dalam salah satu riwayat dari orang yang meriwayatkan
hadits ini di kalangan para shahabat yang berjumlah sepuluh orang
(terkait dengan permasalahan ini), dan tidak pula dari orang (rawi)
yang meriwayatkan dari Abu Hurairah, kecuali riwayat dari Nu’aim
ini (yang memuat sisipan tersebut). Wallaahu a’lam [selesai
perkataan Ibnu Hajar].
2. Hadits {أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُوْنَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ} ”Bahwasannya Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam menikahi Maimunah dalam keadaan ihram” [HR. Bukhari no. 1740]. Hadits ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani (dalam Irwaaul-Ghaliil 4/227-228
no. 1037). Hal itu disebabkan karena telah shahih riwayat yang datang
dari Maimunah sendiri yang menyatakan bahwa ia dinikahi oleh Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam dalam keadaan halal (bukan sedang
ihram). Riwayat Maimunah itu juga dikuatkan oleh kesaksian para
shahabat lain yang menyatakan sebagaimana dikatakan oleh Maimunah.
عن ميمونة قالت : تزوجني رسول الله صلى الله عليه وسلم ونحن حلال بعد ما رجعنا من مكة
Dari Maimunah radliyallaahu ’anhaa ia berkata : ”Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam menikahiku sedangkan kami dalam
keadaan halal (bukan sedang ihram) setelah kami kembali dari
Makkah” [HR. Ahmad no. 26858; dengan sanad shahih].
Syaikh
Al-Albani berkata dalam Mukhtashar Shahih Bukhari (juz 1 hal. 532)
ketika mengomentari hadits Ibnu ‘Abbas di atas : “Yang
benar adalah bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
menikahinya (yaitu Maimunah) dalam keadaan halal (bukan dalam keadaan
ihram). Telah tetap akan hal itu dari sejumlah shahabat Nabi,
diantaranya adalah Maimunah sendiri, sebagaimana telah aku tahqiq dalam
kitabIrwaaul-Ghaliil no. 1037” [selesai].
Dan memang itulah yang benar, yaitu bahwa Maimunah dinikahi Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan halal. Bagaimana
ada dua riwayat yang saling bertolak belakang, padahal peristiwanya
hanya satu ? Tentu saja riwayat pelaku (yaitu Maimunah) lebih
didahulukan daripada selainnya (yaitu Ibnu ’Abbas). Apalagi
riwayat Maimunah didukung oleh shahabat yang lain.
Apakah
Syaikh Al-Albani bersendirian dalam mendla’ifkan hadits ini alias
tidak ada pendahulunya dari kalangan ahli hadits ? Ternyata tidak.
Al-Hafidh Ibnu ’Abdil-Hadi berkata dalam At-Tanqiihut-Tahqiq (2/104/1) :
وقد عد هذا من الغلطات التي وقعت في ( الصحيح ) ، وميمونة أخبرت أن هذا ما وقع ، والانسان أعرف بحال نفسه
”Dan sungguh ini adalah satu kesalahan yang terdapat dalam kitab Ash-Shahih(Bukhari).
Maimunah telah mengkhabarkan bahwa hal ini tidak terjadi (yaitu beliau
shallallaahu ‘alaihi wasallam menikahi dirinya dalam keadaan
ihram). Dan tentu saja seseorang lebih mengetahui tentang keadaan
dirinya sendiri (dibandingkan orang lain)” [selesai].
3. Dan lain-lain.
Sebenarnya banyak contoh ulama terdahulu yang mendla’ifkan beberapa hadits dalam Shahihain. Ada
di antara kritikan itu diterima – sebagaimana di atas - ; ada
pula yang tidak diterima. Adapun contoh yang tidak diterima misalnya
Ibnu Hazm yang mendla’ifkan hadits musik (Shahih Bukhari no.
5268), atau As-Suyuthi yang mendla’ifkan hadits status ayah Nabi
shallallaahu ’alaihi wasallam di neraka (Shahih Muslim no. 203).
Kritikan tersebut adalah tertolak dan tidak diterima menurut jumhur
ahli hadits. Hal ini menunjukkan bahwa kritikan terhadap beberapa
hadits dalam Shahihain tidaklah hanya dilakukan dan dimulai oleh Syaikh
Al-Albani, akan tetapi juga dilakukan oleh para ulama ahli hadits
setelahnya. Tidak ada kitab yang sempurna melainkan Kitabullah.
Jika
kedudukannya seperti yang dijelaskan, maka untuk beberapa kitab yang
kedudukannya lebih rendah dari Shahihain, tentu lebih boleh untuk
diteliti dan dikoreksi sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu hadits.
Apalagi kemudian Al-Albani sering dianggap melewati batas kapasitasnya. Seorang muhaddits perannya hanya
sampai kepada kesimpulan tentang keshahihan suatu riwayat. Tidak punya
kapasitas dan otoritas dalam menyimpulkan hukum. Namun seringkali
beliau juga ikut berijtihad layaknya seorang ahli fiqih. Bahkan sering
mengeluarkan statetmen bid'ah dan sejenisnya. Dan banyak lagi
keberatan-keberatan yang diarahkan kepada beliau.
Darimana
ada kaidah bahwa tugas seorang Muhaddits hanyalah berhenti dalam
penentuan tingkat keshahihan hadits tanpa boleh beristinbath hukum
(fiqh) dengannya ? Apakah ini kaidah ciptaan Ustadz Ahmad Sarwat atau
orang yang ditaqlidi oleh Ustadz Ahmad Sarwat ? Kaidah ini justru
kaidah bid’ah yang tidak pernah dikenal para ulama Ahlus-Sunnah
mu’tabar. Lihatlah seorang Ibnu Hajar dimana beliau adalah
seorang Hafidh di masanya. Dalam kitab beliau yang masyhur
(Fathul-Bari), banyak sekali beliau mengambil istinbath hukum yang
keluar dari lisan beliau. Dan jauh sebelum beliau, yaitu Imam Ahmad,
juga demikian. Beliau lah ahli hadits paling besar di masanya. Namun,
apakah beliau hanya berhenti dengan ilmu hadits saja tanpa boleh
mengambil istinbath fiqh ? Ternyata tidak..... Beratus-ratus bahkan
beribu-ribu nukilan para ulama dari beliau yang berisi penjelasan
tentang satu permasalahan fiqhiyyah.
Bila saja Ustadz Ahmad Sarwat di hadapan kita, tentu ingin rasanya kita bertanya pada beliau : ”Apakah
seseorang bisa menjadi seorang ahli fiqh yang mumpuni jika ia tidak
mempunyai pengetahuan tentang hadits Nabi ?” Dengan
tanpa mengetahui status hadits, bukan menjadi satu hal mustahil bila
seseorang akan beristinbath pada hadits dla’if atau bahkan palsu.
Bagaimana seseorang akan mendirikan satu bangunan jika pondasinya tidak
ada ?
Kalau
memang Syaikh Al-Albani mengatakan bid’ah atau semacamnya, tentu
kewajiban seorang penuntut ilmu adalah meneliti. Karena kita bukanlah
seorang muqallid, tapimuttabi’.
Jika memang penjelasan Syaikh Al-Albani didasari oleh hujjah-hujjah
yang kuat (dan itu sudah menjadi kebiasaan beliau dalam membahas satu
permasalahan), adalah menjadi hal yang wajar jika kita sependapat dan
kemudian mengikuti penjelasan beliau tersebut. Dan bukanlah menjadi hal
yang terlarang jika kita kemudian berbeda dengan beliau lantaran ada
penjelasan dari ulama lain yang menurut kiat lebih kuat dari apa yang
beliau jelaskan. Tidak dipungkiri bahwa Syaikh Al-Albani seorang ahli
hadits dan juga ahli fiqh di jaman ini. Kita tidak perlu pengakuan
bapak Ustadz Ahmad Sarwat untuk itu. Telah masyhur pujian ulama dunia
terhadap beliau.
Ijtihad Al-Albani
Apa
yang beliau simpulkan dari penelaahan tentunya menjadi sebuah ijtihad
pribadi beliau. Kita tentu perlu menghormatinya meski boleh jadi kita
tidak pernah diwajibkan untuk selalu terpaku kepada hasil ijtihad
seseorang.
Betul
Maka
kalau misalnya suatu ketika beliau mendhaifkan sebuah hadits yang
pernah dishahihkan oleh ulama di masa lalu, kita harus ber-husnudzdzan kepada beliau.
Pertama,
kita yakin bahwa beliau tidak melakukan pendhaifan karena hawa nafsu,
riya' atau keinginan untuk sekedar menonjol-nonjolkan diri. Orang-orang
yang mengenal beliau tahu persis bahwa beliau jauh dari sikap-sikap
seperti itu.
Kedua, kita yakin bahwa beliau adalah seorang yang telah memiliki kapasitas yang cukup untuk boleh melakukan al-hukmu 'alal hadits.
Maksudnya memberi status hukum atas suatu hadits. Lepas dari masalah
level beliau yang pastinya lebih rendah dibandingkan dengan para
muhaddits di masa lalu seperti Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmizy, Ibnu
Hajar Al-Asqalani dan seterusnya.
Betul
juga. Namun dari kalimat ini sepertinya Ustadz Ahmad Sarwat ingin
membuat satu opini tertentu kepada pembaca terhadap Syaikh Al-Albani.
Saya khawatir bahwa penyusunan pola kalimat di atas hendak membawa alam
pikiran Pembaca bahwa kitab-kitab beliau Shahih wa Dla’if Sunan
Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah; Silsilah
Ash-Shahihah wa Adl-Dla’iifah; atau ikhtishar beliau terhadap
Shahihain kualitasnya ecek-ecek.
Ketiga,
kita juga percaya bahwa ijtihad yang dilakukan oleh seorang ulama
tidaklah mengugurkan hasil ijtihad ulama lainnya, apabila keduanya
tidak sama.
Ketika
kita lebih cenderung memilih salah satu hasil ijtihad, kita tidak perlu
membenci orang yang memilih hasil ijtihad yang lain. Apalagi harus
sampai memusuhi, mencaci maki, menjelek-jelekkan atau mengumbar kalimat
yang melecehkan.
Betul
Kita menghormati Syeikh Al-Albani dengan segala ilmunya, tidak sedikit hasil ijtihad beliau yang sangat membantu tsaqafah umat Islam. Tentunya
kita harus jujur mengucapkan terima kasih kepada beliau atas semua ini.
Semoga Allah SWT menerima semua amal beliau dan meninggikan derajat
beliau di sisi-Nya.
Kalau
pun suatu ketika seseorang tidak setuju dengan hasil ijtihad dan
pandangan beliau, karena barangkali sudah ada hasil ijtihad yang lebih
diyakininya, tentu tidak harus melahirkan rasa tidak suka dari para
murid dan pengikut beliau.
Betul, satu sikap yang jujur yang patut diteladani dari Ustadz Ahmad Sarwat.
Sayangnya
sebagian dari kalangan yang merasa sebagai murid beliau terkadang agak
over dalam bersikap. Seolah-olah Al-Albani adalah segalanya dan
satu-satunya tolok ukur kebenaran. Sama sekali suci dari kesalahan dan
kekhilafan. Siapa pun yang tidak sepaham dengan syeikh itu, dianggapnya
sebagai ahli bid'ah, sesat dan calon penghuni neraka. Kalau perlu
diboikot, tidak disapa dan kalau bertemu harus buang muka. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.
Paragraf
di atas mengandung kebenaran dan juga kesalahan sekaligus. Sisi
kebenarannya adalah misi Ustadz Ahmad Sarwat yang seakan-akan hendak
mengatakan bahwa Syaikh Al-Albani bukanlah seorang yang maksum yang
menjadi tolok ukur kebenaran dari segala sesuatu. Ini betul, tidak ada
yang menyangkal, hatta para murid-murid beliau.
Adapun
letak kesalahannya adalah bahwa kalimat dalam paragraf di atas Ustadz
Ahmad Sarwat seakan-akan ingin mengatakan bahwa ketika Syaikh Al-Albani
dan sebagian murid beliau (Ustadz Ahmad Sarwat tidak memberikan
penjelasan siapa yang ia maksud dengan ”murid” ini)
mengatakan bid’ah atau sesat tanpa pertimbangan yang matang.
Kalimat yang dikatakan Ustadz Ahmad Sarwat itu seperti kalimat pernah
diucapkan oleh ’Ali bin AbiThalib : Kalmatul-Haq Urida bihal-Baathil” (Kalimat
yang benar namun ditujukan untuk sebuah kebathilan). Kita tentu paham
dengan latar belakang Ustadz Ahmad Sarwat dan organisasi yang beliau
asuh/akrabi. Jikalau perkataan Ustadz Ahmad Sarwat ini hanyalah
bertujuan untuk melegalkan dan bertoleransi pada praktek hizbiyyah,
shufiyyah, bid’iyyah, atau bahkan amal-amal yang menjurus kepada
kesyirikan; tentu ini jelas bathilnya.
Dan
sangat perlu kita tanyakan kepada Ustadz Ahmad Sarwat, siapa yang
dimaksud sebagian dari murid Syaikh Al-Albani itu ? Syaikh ’Ali
kah ? Syaikh Masyhur kah ? Syaikh Muqbil kah ? Syaikh Rabi’ kah ?
atau siapa ? Juga perlu kita tanyakan kepada Ustadz Ahmad Sarwat, di
permasalahan apa yang ia maksud bahwa para murid Syaikh Al-Albani
tersebut menta’yin Ahli Bid’ah, menyesatkan orang sebagai
calon penghuni neraka, dan juga bila bertemu harus buang muka ? Di mana
bukti yang membenarkan pernyataan Ustadz Ahmad Sarwat itu ? Bila cuma
khayalan belaka dan prasangka-prasangka, tentu tidak kita anggap
perkataannya itu. Kita insyaAllah telah paham bagaimana sikap Syaikh
Al-Albani dan para muridnya tentang bid’ah dan ahli bid’ah.
Bagaimana pemberlakuan hukum yang bersifat umum dengan hukum yang
bersifat individu (mu’ayyan). Kita tahu sikap
keberhati-hatian mereka dalam permasalahan ini. Apalagi jika sudah
menjurus pada individu tertentu. Dan apalagi (lagi), jika sudah
menjurus pada ”sesat dan calon ahli neraka” (sepertinya
kalimat ini adalah kalimat umum yang sering digunakan oleh
orang/kelompok yang mendapat kritik dari para ulama salafy, sehingga
tidak ada jurus lain dalam menghadapi kritikan itu selain membuat
kalimat hiperbola bahwa salafiyyin sering dan mudah menyesatkan orang
dan menta’yin orag sebagai calon penghuni neraka).
’Alaa
kulli haal, sebagai seorang mukmin tentu kita harus pandai mengambil
ibrah dari kritikan orang lain. Tidak terkecuali kritikan Ustadz Ahmad
Sarwat ini. Pada intinya, Syaikh Al-Albani bukanlah orang yang maksum
dan haram untuk diselisihi dalam sebagian perkara (jika itu memang
perkara ijtihadiyyah). Kita tidak boleh bermudah-mudah dalam menghukumi
satu perkara tanpa dasar dan dalil yang kuat. Dan tentu saja, kita
harus menengok penjelasan ulama Ahlus-Sunnah yang mu’tabar
tentang hal ini.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
Abu Al-Jauzaa’, bukan Lc.
[tulisan
berwarna biru adalah milik Ustadz Ahmad Sarwat, sedangkan yang berwarna
biru adalah milik saya - ini tulisan lawas yang mengendap di cpu
komputer saya]
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2012/10/kapasitas-untuk-mendhoifkan-hadits.html
from=http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2012/10/kapasitas-untuk-mendhoifkan-hadits.html