Assalamualaikum
Warohmatuallahi wabarokatuh konsultasi syariah yg saya hormati saya
memohon penjelasan tentang apa yg pernah saya alami saat ini, saya
mempunyai rencana untuk menikah dengan seseorang, tapi ada yg menjadi
kebimbangan bagi saya, setelah kami menjalani hubungan pacaran kami
sepakat untuk saling terbuka dan saya jujur kalau saya pernah Melakukan
zina dengan seseorang perempuan dan itu saya lakukan sebelum saya
menikah, dan akhirnya saya menikah dengan perempuan tersebut, tapi
pernikahan Saya dengan istri saya hanya berlangsung selama 3 tahun dan
istri Saya minta cerai dengan alasan sudah tidak suka dengan Saya,
akhirnya saya dan istri saya cerai dan sekarang saya sudah menemukan
seseorang yg akan saya jadikan istri saya dia seorang gadis tapi dia
jujur kepada saya kalau dia juga pernah melakukan zina dengan pacar nya
dulu, yg saya pertanyakan adalah bagaimana hukumnya atas apa yg saya
perbuat sebelum saya menikah telah melakukan zina, dan bagaimana
hukumnya setelah pertemuan yg saya zinahi itu saya nikahi, apakah
hukuman bagi saya menurut syariat islam, apakah saya harus di cambuk
karena Melakukan zina tersebut apakah hanya cukup dengan taubat nasuha
saja, trus bagaimana hukumnya bagi seseorang yang akan saya nikahi
sekarang karena dia jg pernah Melakukan zina dengan pacar nya apakah
harus di rajam atau cukup dengan taubat nasuha saja dan Bagaimana
menurut syariat islam yg benar dan baik jika saya akan menikahi
perempuan yg pernah berzina, begitupun dengan saya yg pernah melakukan
zina apakah kami bisa melangsungkan pernikahan jika kami sudah
Sama-sama taubat dan bolehkah saya melangsungkan pernikahan karena kami
Sama-sama pezina, bagaimana hukumnya nya kalau kami menikah, terima
kasih sebelumnya nya besar harapan Saya untuk bisa menikah dengan dia
dan saya mohon tolong di jelaskan dengan jelas karena saya pribadi
masih belum begitu paham dan masih awam akan hal ini terima kasih
assalamualaikum Warohmatuallahi wabarokatu
Dari Seseorang
Jawaban:
Wa’alaikumus salam Warohmatuallahi wabarokatuh
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Pertama, tidak semua orang bisa menerapkan hukuman had (potong tangan, cambuk, rajam, atau pancung). Pihak yang berhak menegakkan hukuman had adalah pemerintah. Rakyat sama sekali tidak memiliki wewenang untuk itu, apapun statusnya, bahkan sekalipun dia tokoh agama di masyarakat.
Dalam Mausu’ah al-Fiqh al-Islami dinyatakan,
يتولى
إقامة الحد إمام المسلمين، أو من ينيبه، بحضرة طائفة من المؤمنين، فلا
يجوز لفرد أن يتولى إقامة الحد بنفسه، إلا السيد فيجوز له أن يقيم حد
الجلد على مملوكه
Yang
berwenang menyelenggarakan penegakan hukuman had adalah pemimpin kaum
muslimin atau orang yang mewakilinya, dengan disaksikan sekelompok kaum
muslimin. Seseorang tidak boleh menerapkan hukuman had sendiri, kecuali
seorang tuan, dia boleh menerapkan hukuman cambuk untuk budaknya. (Mausu’ah al-Fiqh al-Islami, 5/108).
Syaikhul Islam menjelaskan kaidah penting tentang hukuman had,
Allah menjelaskan tentang hukuman had dan masalah hak dengan penjelasan umum. Seperti firman Allah,
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“Pencuri laki-laki dan pencuri wanita, potonglah kedua tangannya..”
Atau firman Allah,
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
“Pezina lelaki dan pezina perempuan cambuklah masing-masing 100 kali cambukan..”
Atau firman Allah
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
”Orang yang menuduh wanita baik-baik berzina dan dia tidak bisa mendatangkan 4 saksi, pukullah dia 80 kali…”
Dan
kita tahu bahwa orang yang diperintahkan untuk melakukan suatu
perbuatan, dia orang yang mampu melakukan perbuatan itu, sementara
orang yang tidak mampu, tidak wajib melakukannya… dan perintah semacam
ini sifatnya fardu kifayah bagi yang mampu.
Bentuk kemampuan itu adalah keterlibatan sultan (penguasa). Oleh karena
itu, wajib menegakkan had bagi penguasa atau wakilnya. (Majmu’ Fatawa, 34/175).
Kedua,
di negara kita, pemerintah tidak menyelenggarakan hukuman had.
Sementara rakyat tidak boleh proaktif dengan melaksanakan hukuman had
sendiri. Sehingga mereka yang melakukan pelanggaran dengan ancaman
hukuman had, tidak bisa ditegakkan hukuman had untuknya.
Ketiga, bukan syarat diterimanya taubat zina, dia harus dihukum had, baik cambuk maupun rajam. Dan bagian paling penting bagi mereka yang melakukan maksiat semacam ini adalah bertaubat. Memohon ampunan kepada Allah Ta’ala.
Jika seseorang serius bertaubat, dan Allah mengampuninya, statusnya sebagaimana orang yang tidak memiliki dosa.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ، كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
“Orang yang bertaubat dari dosa, seperti orang yang tidak memiliki itu dosa.” (HR. Ibnu Majah 4250, baihaqi dalam al-Kubro 20561 dan dihasankan al-Albani).
Dan ketika seseorang tidak lagi dianggap memiliki dosa, tidak ada hukuman baginya.
Keempat, Jangan ceritakan hal ini kepada siapa pun,
termasuk orang yang ingin menikah dengan Anda. Bahkan termasuk kepada
lelaki yang nantinya akan menjadi suami anda. Menceritakan hal ini
kepada orang lain justru akan menimbulkan masalah baru. Simpan kejadian
ini untuk diri Anda sendiri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَصَابَ مِنْ هَذِهِ الْقَاذُورَاتِ شَيْئًا فَلْيَسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ
“Siapa
yang tertimpa musibah maksiat dengan melakukan perbuatan semacam ini
(perbuatan zina), hendaknya dia menyembunyikannya, dengan kerahasiaan
yang Allah berikan.” (HR. Malik dalam Al-Muwatha’, no. 1508)
Bahkan
jika ada seseorang yang berzina di negara yang menyelenggarakan hukuman
had, namun dia rahasiakan dosanya, dan tidak melaporkannya ke hakim,
maka tidak ada hukuman had baginya.
Dalam hadis lain dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merajam al-Aslami (seseorang dari bani Aslam), beliau bersabda,
اجْتَنِبُوا
هَذِهِ الْقَاذُورَةَ الَّتِي نَهَى اللَّهُ عَنْهَا فَمَنْ أَلَمَّ
فَلْيَسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ وَلْيُتُبْ إِلَى اللَّهِ فَإِنَّهُ مَنْ
يُبْدِلْنَا صَفْحَتَهُ نُقِمْ عَلَيْهِ كِتَابَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Jauhilah
perbuatan menjijikkan yang Allah larang ini. Siapa yang pernah
melakukannya, hendaknya dia merahasiakannya dengan tabir yang Allah
berikan kepadanya, dan bertaubat kepada Allah. Karena siapa yang
kesalahannya dilaporkan kepada kami, maka kami akan tegakkan hukuman
seperti dalam kitab Allah. (HR. Hakim 3/272, al-Baihaqi dalam as-Shughra 2719 dan dishahihkan ad-Dzahabi).
Oleh
karena itu, yang paling penting bagi orang yang pernah melakukan dosa
zina, baik setelah menikah maupun sebelum menikah, bukan ditegakkannya
hukuman had baginya. Namun yang paling penting adalah semangat dia
untuk bertaubat. Bahkan dianjurkan baginya untuk merahasiakan dosa ini,
sehingga hanya menjadi masalah antara dia dengan Allah.
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Sumber: https://konsultasisyariah.com/23990-berzina-haruskah-dihukum-rajam-atau-cambuk.html