Oleh : Al-Ustadz Abu Qatadah.
Ijma’ adalah satu hujjah syar’iyyah yang dijadikan pijakan oleh para ulama Ahlis-Sunnah dari jaman ke jaman dalam setiap masalah ‘ilmiyyah diiniyyah.
Al-Imam Asy-Syafi’iy berkata :
وجهة العلم الخبر في الكتاب أو السنة أو الاجماع أو القياس
“Sumber ilmu (ada empat), yaitu : Al-Kitaab, As-Sunnah, Ijma’, atau Qiyas” [Ar-Risaalah, hal. 39 dan I’laamul-Muwaqqi’iin, 4/105].
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
وإذا ثبت إجماع الأمة على حكم من الأحكام لم يكن لأحد أن يخرج عن إجماعهم؛
“Apabila
telah tetap ijma’ pada suatu hukum (di antara hukum-hukum
syar’i), maka tidak boleh bagi seseorang untuk keluar dari
ijma’ mereka” [Al-Fataawaa, 10/20].
Ijma’ adalah pokok yang ketiga yang menjadi pijakan ilmu dan agama. Para ulama menimbang dengan tiga ushul ini
terhadap seluruh apa yang ditempuh manusia, baik ucapan maupun
perbuatannya, yang nampak maupun yang tersembunyi yang memiliki
hubungan dengan agama [Al-Wasithiyyah].
Keempat
sumber di atas saling bersesuaian dan tidak ada pertentangan, karena
antara satu dengan lainnya saling membenarkan dan saling menguatkan.
Oleh sebab itu, kita boleh mengatakan bahwa dasar dalil-dalil syar’i adalah
Al-Qur’an, dengan tinjauan selainnya sebagai penjelas
Al-Qur’an, atau sebagai cabang dan semua bersandar kepadanya.
Boleh juga kita katakan sumber dalil adalah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam, dan As-Sunnah itu datang dari Allah subhaanahu wa ta’ala sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an. Adapun ijma’ dan qiyas, penetapannya berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
الكتاب،
والسنة،والإجماع، فمدلول الثلاثة واحد، فإن كل ما في الكتاب فالرسول موافق
له، والأمة مجمعة عليه من حيث الجملة، فليس في المؤمنين إلا من يوجب اتباع
الكتاب، وكذلك كل ما سنه الرسول صلى الله عليه وسلم فالقرآن يأمر باتباعه
فيه، والمؤمنون مجمعون على ذلك، وكذلك كل ما أجمع عليه المسلمون، فإنه لا
يكون إلا حقاً موافقاً لما في الكتاب والسنة
“Al-Qur’an,
As-Sunnah, dan Ijma’ isinya satu, karena semua yang ada di dalam
Al-Qur’an disetujui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan disepakati oleh umat. Sehingga
tidak ada dari umat ini, kecuali ada yang mewajibkan untuk mengikuti
Al-Qur’an. Demikian juga, semua yang disunnahkan oleh Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
maka Al-Qur’an telah memerintahkan untuk mengikutinya, dan umat
telah sepakat terhadap masalah itu. Demikian pula, seluruh masalah yang
kaum muslimin telah sepakat atasnya, maka itu adalah kebenaran yang
sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah” [Al-Fataawaa, 7/40].
Hujjahnya
Ijma’ ditunjukkan oleh yang lainnya (maksudnya : hujjahnya
Ijma’ ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah).
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimin berkata :
فهذه
ثلاثة أصول يعتمد عليها في العلم والدين، وهي: الكتاب، والسنة، والإجماع.
أما الكتاب والسنة، فأصلان ذاتيان، وأما الإجماع، فأصل مبني على غيره، إذ
لا إجماع إلا بكتاب أو سنة.
“Ini merupakan tiga landasan pokok yang berlandaskan kepada ilmu dan agama. Ushul yang pertama adalah Al-Qur’an, ushul yang kedua adalah As-Sunnah, dan ushul yang
ketiga adalah Ijma’. Al-Qur’an dan As-Sunnah berdiri dengan
sendirinya, sedangkan ijma’ berdiri di atas yang lainnya, karena
tidak ada ijma’ kecuali berdasarkan Al-Qur’an dan
As-Sunnah” [Syarh Al-Washithiyyah, 1/324].
Demikian, kalau kita katakan bahwa yang dimaksud hablullah adalah
Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’; karena ketiganya
menunjukkan pada satu hakekat. Apa yang terdapat dalam Al-Qur’an,
maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyetujuinya, dan sebagian besar umat bersepakat atasnya.
Ada tiga masalah penting yang berkaitan dengan Ijma’ :
Adakah Ijma’ Setelah Para Shahabat ?
Jumhur
ulama’ menetapkan adanya Ijma’ setelah para shahabat.
Sedangkan Dawud bin ’Ali Adh-Dhaahiriy, Ibnu Hazm, dan Ibnu
Hibban mengatakan bahwa Ijma’ hanya ijma’ para shahabat.
Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur ulama bahwa Ijma’ tidak
hanya Ijma’ para shahabat. Pendapat ini dikuatkan oleh
Al-Khaathib Al-Baghdadi (Al-Faqih wal-Mutafaqqih, 1/327-328), Asy-Syinqithiy (Mudzakirah fii Ushulil-Fiqh, hal. 155), Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-’Utsaimin; dan penjelasannya adalah sebagai berikut :
1. Ijma’
para shahabat mungkin terjadi dan mudah untuk mengetahui. Adapun
Ijma’ orang setelahnya, biasanya sulit terjadi dan sulit untuk
mengetahuinya. Oleh sebab itu, para ulama sangat berhati-hati dalam
menukil Ijma’. Al-Imam Asy-Syafi’iy berkata :
ولو
جاز لأحد من الناس أن يقول في علم الخاصة أحمع المسلمون قديما وحديثا على
تثبيت خبر الواحد والانتهاء إليه بأنه لم يعلم من فقهاء المسلمين أحد إلا
وقد ثبته جاز لي ولكن أقول لم أحفظ عن فقهاء المسلمين اختلفوا في تثبيت
خبر الواحد بما وصفت من أن ذلك موجودا على كلهم
”Kalau
boleh bagi seseorang untuk berkata pada ilmu tertentu : ‘Telah
Ijma’ kaum muslimin dulu dan sekarang dalam menetapkan khabar ahad (hadits ahad) (dalam hujjah)’ - dimana tidak didapatkan seorang pun dari kalangan fuqahaa’ kecuali ia menetapkan hadits ahad - ; maka itu adalah boleh bagiku. Tetapi aku mengatakan, aku tidak menghapalnya dari kalangan fuqahaa’ bahwa
mereka berselisih dalam menetapkan hadits ahad (sebagai hujjah), karena
aku telah sifatkan bahwa semua itu dikatakan oleh mereka (para
ulama)” [Ar-Risaalah, hal. 458. Lihat juga Ar-Risaalah, hal. 534].
Syaikhul-Islam dalam Majmu’atul-Fataawaa (11/341) berkata :
الإجماع،
وهو متفق عليه بين عامة المسلمين من الفقهاء والصوفية وأهل الحديث والكلام
وغيرهم في الجملة، وأنكره بعض أهل البدع من المعتزلة والشيعة، لكن المعلوم
منه هو ما كان عليه الصحابة، وأما ما بعد ذلك فتعذر العلم به غالبًا،
ولهذا اختلف أهل العلم فيما يذكر من الإجماعات الحادثة بعد الصحابة واختلف
في مسائل منه كإجماع التابعين على أحد قولي الصحابة، والإجماع الذي لم
ينقرض عصر أهله حتى خالفهم بعضهم، والإجماع السكوتي وغير ذلك
“Secara umum, Ijma’ adalah perkara yang disepakati oleh kaum muslimin, dari kalanganfuqahaa’,
kaum shufi, ahli hadits, ahli kalam, dan yang lainnya; walaupun
diingkari oleh sebagian ahli bid’ah dari kalangan
Mu’tazillah dan Syi’ah. Selanjutnya, Ijma’ yang
diakui adanya adalah Ijma’ para shahabat. Adapun setelahnya,
merupakan perkara yang biasanya sulit diketahui. Oleh karena itu, para
ulama berbeda pendapat berkaitan dengan Ijma’ yang terjadi
setelah para shahabat. Juga berbeda pendapat tentang beberapa masalah
yang masuk ke dalam bahasannya, seperti Ijma’ tabi’in
terhadap salah satu pendapat shahabat. Juga Ijma’ yang terjadi
sebelum ulama masanya habis, sehingga sebagian dari mereka
menyelisihinya. Demikian pula Ijma’ Sukuti, dan yang lainnya” [selesai].
2. Riwayat Al-Imam Ahmad yang mengatakan :
“Barangsiapa yang mengaku ada Ijma’, maka ia telah berdusta”.
Pertama.
Sebagai bentuk kehati-hatian beliau dalam menukil Ijma’, agar
tidak meudah mengatakan Ijma’ sebelum mengadakan penelitian
secara seksama terhadap seluruh perkataan ulama.
Kedua.
Bahwasannya Al-Imam Ahmad tidak meniadakan Ijma’ secara mutlak,
tetapi hanya menunjukkan sulit terjadinya dan sulit mengetahuinya.
Al-Imam Ibnul-Qayyim berkata :
ليس
مراده بهذا استبعاد وجود الإجماع، ولكن أحمد وأئمة الحديث بُلُوا بمن كان
يرد عليهم السنة الصحيحة بإجماع الناس على خلافها، فبين الشافعي وأحمد أن
هذه الدعوى كذب، وإنه لا يجوز رد السنن بمثلها.
“Ucapan
Ahmad bukan berarti menunjukkan tidak mungkin adanya Ijma’
(setelah shahabat), tetapi Ahmad dan ahli hadits membantah kepada orang
yang menolak As-Sunnah yang shahih dengan Ijma’. Oleh karena itu,
Asy-Syafi’iy dan Ahmad menjelaskan bahwa itu pernyataan dusta dan
tidak boleh menolak sunnah dengan semisalnya” [Mukhtashar Ash-Shawaaiq, hal. 506]. [1]
3. Jika Ijma’ itu terjadi dan diketahui secara pasti, maka tetap menjadi hujjah bagi orang yang setelahnya.
Jika para ulama (mujtahidiin)
Ijma’ pada satu masa setelah para shahabat dan diketahui dengan
pasti, maka Ijma’ itu tetap sebagai hujjah bagi orang setelahnya,
sebab dalil menunjukkan bahwa Ijma’ adalah sebagai hujjah, dan
tidak ada pengkhususan bahwa Ijma’ yang bisa dijadikan hujjah
hanya Ijma’ para shahabat. Sebab, tidak boleh mengkhususkan
sebuah dalil sehingga ada dalil yang mengkhususkannya. Demikian juga,
harus membedakan antara adanya perbedaan, apakah mungkin Ijma’
setelah para shahabat ataukah tidak, dengan hujjahnya Ijma’ atau
tidak. Sehingga bagi orang yang mengatakan Ijma’ adalah hujjah,
apabila ia mengetahui adanya Ijma’, maka Ijma’ adalah
hujjah baginya.
Al-Imam
Al-Ghazaliy berkata : “Dalil-dalil dari Al-Qur’an,
As-Sunnah, dan akal yang menunjukkan bahwa Ijma’ adalah hujjah
yang tidak membedakan suatu waktu dengan waktu yang lainnya. Apabila
para tabi’in bersepakat, itu adalah ijma’ seluruh umat. Dan
barangsiapa yang menyelisihinya, maka ia telah menempuh jalan selain
jalan orang-orang yang beriman”.
Apakah Ijma’ Harus Ada Dasarnya dari Al-Kitab dan As-Sunnah ?
Berdasarkan dengan point-point berikut ini, maka Ijma’ harus berlandaskan dalil syar’i :
1. Jumhur
’ulama telah sepakat bahwa umat tidak akan bersepakat kecuali di
atas dalil syar’i. Sebab umat ini tidak mungkin bersepakat di
atas hawa nafsu dan berkata kepada Allah dengan tanpa ilmu atau berkata
tanpa dalil. Umat ini telah dijaga dari kesalahan (bersepakat di atas
kebatilan). Dan apabila berkata kepada Allah dengan tanpa dalil,
berarti ini merupakan suatu kesalahan.
Al-Imam Asy-Syafi’iy berkata :
فلما
احتمل المعنيين وجب على أهل العلم أن لا يحملوها على خاص دون عام إلا
بدلالة من سنة رسول الله أو إجماع علماء المسلمين الذين لا يكن أن يجمعوا
على خلاف سنة رسول الله
”Apabila
nash mengandung dua makna, maka wajib bagi ahli ilmu untuk tidak
membawa makna nash kepada khusus, selain dari yang umum, kecuali dengan
dalil Sunnah Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam atau Ijma’ ulama muslimin, yang mereka tidak mungkin bersepakat menyelisihi Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Ar-Risaalah, hal. 323].
Beliau rahimahullah berkata :
ونعلم أن عامتهم لا تجتمع على خلاف لسنة رسول الله
”Kita mengetahui bahwa mereka (umat) tidak akan bersepakat untuk menyelisihi Sunnah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam” [Ar-Risaalah, hal. 472].
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
وذلك لأن كل ما أجمع عليه المسلمون فإنه يكون منصوصاً عن رسول، فالمخالف لهم مخالف للرسول، كما أن المخالف للرسول مخالف لله.
”Kaum muslimin tidak akan bersepakat kecuali dengan (sesuatu) yang ada nash-nya dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam,
maka yang menyelisihi mereka (Ijma’), berarti menyelisihi
Rasulullah, dan menyelisihi Rasulullah berarti menyelisihi Allah”
[Al-Fataawaa, 19/194].
Al-Imam Ibnul-Qayyim berkata :
ومحال أن تجمع الأمة على خلاف نص له إلا أن يكون له نص آخر ينسخه
”Mustahil umat bersepakat untuk menyelisihi nash (dalil), kecuali ada nash lain yang me-mansukh-nya (menghapusnya)” [I’lamul-Muwaqqi’iin, 1/367].
Asy-Syaikh
Muhammad bin Shaalih Al-’Utsaimin berkata : ”Tidak mungkin
umat bersepakat untuk menyelisihi dalil yang jelas yang tidak di-mansukh. Maksudnya, apabila umat bersepakat di atas al-haq,
maka tidak mungkin bersepakat untuk menyelisihi dalil yang jelas, sebab
itu bathil. Orang yang menyelisihi dalil yang jelas yang tidak di-mansukh, pasti ia berada di atas kebathilan, dan umat tidak mungkin bersepakat berada di atas kebathilan” [Syarh Al-Ushul min ’Ilmil-Ushul, hal. 467].
Pendapat ini didasarkan pada kaidah-kaidah berikut. Pertama, karena Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam telah menjelaskan seluruh permasalahan agama. Tidak ada perkara yang berkaitan dengan agama kecuali Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam telah menjelaskannya.Kedua,
nash syar’i telah meliputi pada setiap perkara yang dibutuhkan
manusia. Sehingga tidak ada masalah, kecuali ada dalil yang
menunjukkannya, baik dalil yang jelas maupun tersembunyi. Ketiga,
sebagian ulama terkadang tidak mendapatkan sebuah nash, sehingga ia
berdalil dengan ijtihad atau qiyas. Sedangkan sebagian yang lainnya
mengetahui nash-nya, lalu ia berdalil dengan nash itu, hingga ijtihad
seorang mujtahid itu bertepatan dengan nash yang dijadikan dalil oleh
mujtahid yang mengetahui dalilnya.
2. Penelitian membuktikan bahwa tidak didapatkan Ijma’ kecuali ada dalilnya.
3. Kadang
ada Ijma’ tidak nampak dalilnya bagi kita, tapi sesungguhnya di
sana ada dalil yang tersembunyi maknanya bagi kita, sedangkan bagi ahlil-ijma’ tidak.
4. Para ulama telah berselisih, apakah Ijma’ boleh bersandar pada ijtihad atau qiyas.
Jika ada orang yang mengklaim ada Ijma’ yang tanpa dalil, maka tidak lepas dari salah satu dari tiga kemungkinan : Pertama, penukilan Ijma’ tidak benar. Kedua, dimungkinkan adanya dalil yang me-mansukh-nya, kemudian para ulama bersepakat pada dalil yang me-mansukh-nya, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imam Ibnul-Qayyim di atas. Ketiga, dimungkinkan pada mereka ada dalil umum yang tersembunyi bagi diri kita, sedangkan mereka mengetahuinya.
Jika Para Shahabat Berselisih Menjadi Dua Pendapat, Maka Jangan Menambah Pendapat yang Ketiga
Jika
para shahabat berselisih dalam satu masalah, maka hendaklah kaum
muslimin untuk tidak keluar dari ucapan mereka, dan tidak boleh
mendatangkan ucapan atau pendapat baru yang tidak pernah dikatakan
mereka, sebab kebenaran beredar di antara mereka. Para shahabat tidak
akan bersepakat dalam kesesatan, dan Allah tidak akan membiarkan mereka
dalam kesesatan. Hal ini berdasarkan dalil di bawah ini.
Pertama : Dalil Syar’iy
عَنْ
ثَوْبَانَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ، لَا
يَظُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ، حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ
كَذَلِكَ.
Dari Tsauban ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam : “Terus-menerus
ada kelompok dari umatku, yang mereka tetap nampak di atas kebenaran,
tidak membahayakan mereka orang yang tidak menolong mereka sampai
datang ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka dalam keadaan seperti
itu” [HR. Muslim no. 1920].
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ : إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ
مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا.
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :“Sesungguhnya
Allah akan mengutus dalam setiap seratus tahun kepada umat ini seorang
(mujaddid) yang akan memperbaharui agamanya” [HR. Abu Dawud no. 4291].
Dalil
di atas menunjukkan bahwa tidak mungkin umat ini bersepakat di atas
kebathilan, dan hak dalam satu masa sirna tidak ada yang mengatakannya,
atau seluruh ulama tidak ada yang tahu, sebab semua itu bertentangan
dengan dalil di atas.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
فإنهم
أفضل ممن بعدهم كما دل عليه الكتاب والسنة، فالاقتداء بهم خير من الاقتداء
بمن بعدهم، ومعرفة إجماعهم ونزاعهم في العلم والدين خير وأنفع من معرفة ما
يذكر من إجماع غيرهم ونزاعهم.
وذلك أن إجماعهم لا يكون إلا معصوماً، وإذا تنازعوا فالحق لا يخرج عنهم، فيمكن طلب الحق في بعض أقاويلهم، ولا يحكم بخطأ قول من أقوالهم حتى يعرف دلالة الكتاب والسنة على خلافه.
وذلك أن إجماعهم لا يكون إلا معصوماً، وإذا تنازعوا فالحق لا يخرج عنهم، فيمكن طلب الحق في بعض أقاويلهم، ولا يحكم بخطأ قول من أقوالهم حتى يعرف دلالة الكتاب والسنة على خلافه.
“Sesungguhnya mereka (as-salafush-shaalih)
lebih utama daripada orang-orang setelahnya sebagaimana hal itu
ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mengikuti mereka itu
lebih baik daripada mengikuti orang-orang setelah mereka. Mengetahui
Ijma’ mereka dan perselisihan mereka dalam ilmu dan agama, (itu)
lebih baik dan lebih bermanfaat daripada mengetahui Ijma’ dan
perselisihan orang-orang selain mereka. Karena Ijma’ As-Salafush-shaalih terjaga dari kesalahan. Apabila mereka berselisih, maka kebenaran tidak keluar dari mereka. Kebenaran bisa diketahui dari
salah satu ucapan mereka. Tidak boleh menyalahkan salah satu ucapan
mereka, sehingga diketahui bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah
menyelisihinya” [Al-Fataawaa, 13/24].
Kedua : Amal Para Ulama’.
1. Al-Imam Abu Hanifah berkata : “Apabila datang berita dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam,
maka sepenuhnya kami menerimanya. Apabila datang berita dari para
shahabat Nabi, maka kami memilih salah satu ucapan mereka (apabila
mereka berselisih). Dan apabila datang ucapan dari para tabi’in,
maka kami mengikuti pendapat Al-Imam Malik bin Anas yang berkata dalam Al-Muwaththa’ :
‘Di dalamnya terdapat hadits Nabi, ucapan para shahabat, para
tabi’in, pendapat-pendapat mereka’. Kadang aku berpendapat
dengan pendapatku dalam masalah ijtihad, dan apa-apa yang aku dapatkan
dari para ahli ilmu yang berada di negara kami dan kami tidak keluar
dari ucapan mereka”.
2. Al-Imam Malik berkata tentang kitabnya Al-Muwaththa’ : “Di dalamnya ada hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
ucapan-ucapan para shahabat, tabi’in, dan pendapat-pendapat
mereka, dan aku sungguh berbicara dengan pendapatku atas ijtihad, dan
apa-apa yang aku dapatkan dari perkataan ahli ilmu yang ada di negeri
kami. Aku tidak pernah keluar daripendapat mereka (beralih) ke yang
lainnya” [Tatribul-Madaarik, 1/193].
3. Al-Imam Asy-Syafi’iy berkata : “Ilmu itu ada tingkatannya. Pertama, Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih. Kedua, Ijma’ yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.Ketiga, perkataan salah seorang di antara shahabat dan tidak diketahui ada yang menyelisihinya. Keempat, perbedaan di kalangan shahabat. Kelima,
qiyas terhadap salah satu tingkatan yang di atas. Tidak mengambil
selain Al-Qur’an dan As-Sunnah selama keduanya ada, karena ilmu
diambil dari yang di atas” [Al-Madkhal ilaa Sunanil-Kubraa, hal. 110].
4. Al-Imam
Ahmad berkata : “Apabila dalam suatu permasalahan ada hadits
Nabi, maka kami tidak mengambil ucapan salah seorang dari para
shahabat, juga orang-orang setelah mereka. Apabila dalam suatu
permasalahan ada perbedaan di antara para shahabat, maka kami memilih
salah satu ucapan mereka, dan kami tidak keluar dari ucapan mereka
kepada ucapan yang selainnya. Serta, apabila tidak didapatkan ucapan
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya, maka kami memilih ucapan para tabi’in” [Al-Musawwadah, hal. 276].
5. Syaikhul-Islam
Ibnu Taimiyyah berkata : “Barangsiapa menafsirkan Al-Qur’an
dan Hadits dengan penafsiran yang tidak dikenal dari para shahabat dan
tabi’in, maka dia telah mengada-adakan dusta terhadap Allah,
menyimpang dari ayat-ayat Allah, memalingkan kalam Allah dari yang
semestinya, dan telah membuka pintu bagi orang-orang zindiq lagi
menyimpang (untuk menyelewengkan ayat-ayat Allah dari tempatnya). Dan
hal ini adalah suatu perkara yang telah jelas kebathilannya dari agama
Islam” [Al-Fataawaa, 13/243].
6. Al-Imam
Ibnul-Qayyim berkata : “Demikianlah, kondisi firqah-firqah yang
baru dalam syari’at terhadap syari’at. Di antara mereka men-ta’wil syari’at dengan ta’wil yang bukanta’wil firqah lainnya. Dan setiap firqah menyangka bahwa yang di-ta’wil itulah
yang dimaksud oleh pemilik Syari’at, sehingga mereka
memporak-porandakan syari’at, dan menjauhkan dari keadaannya yang
pertama” [I’lamul-Muwaqqi’iin].
Amal
para ulama ini menunjukkan bahwa mereka tidak pernah keluar dari
pendapat para shahabat. Tetapi mengikuti Ijma’ mereka atau
memilih salah satu pendapat dari para shahabat jika mereka berselisih.[2]
[selesai – dengan sedikit tambahan dari Abul-Jauzaa’].
[1] Ada perkataan dari Al-Imam Asy-Syafi’iy sejenis dimana beliau mengingkari adanya ijma’. Beliau berkata :
لستُ
أقولُ ولا أحدٌ من أهل العلم : ((هذا مجتمعٌ عليه))، إلا لِما تلقى عالماً
أبداً إلا قاله لك وحكاهُ عن من قبلك، كالظهرُ أربعٌ، وكتحريم الخمر، وما
أشبه هذا، وقد أجِدُهُ يقولُ : ((المجمع عليه))، وأجدُ من المدينة من أهل
العلم كثيراً يقولون بخلافه، وأجِدُ عامَّةَ أهل البلدان على خلاف ما يقول
: ((المجتمع عليه)).
”Aku
dan juga tidak seorang ulamapun mengatakan : ’Hal ini telah
disepakati’, kecuali apa yang dikatakan oleh seorang ulama
kepadamu dan ia menceritakan dari ulama sebelummu, seperti shalat
Dhuhur itu empat raka’at, haramnya khamr, dan yang semisal
dengannya. Dan aku kadang mendapatinya seorang mengatakan :
‘Telah terjadi ijma’ atasnya’; kemudian aku mendapati
banyak ulama Madinah yang menyelisihinya, dan aku juga mendapati banyak
di antara penduduk negeri-negeri menyelisihi apa yang ia katakan : ‘Telah terjadi ijma’ atasnya” [Ar-Risaalah, hal. 534-535, tahqiq & syarh : Asy-Syaikh Ahmad Syaakir; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah].
Ini
juga bukan merupakan penafi’an adanya ijma’ dari Al-Imam
Asy-Syafi’iy. Namun apa yang dimaksudkan beliau ini adalah
penafian adanya ijma’ kecuali pada perkara yang telah diketahui
secara pasti. Beliau mengingkari orang yang bermudah-mudah untuk
mengklaim adanya ijma’. Pengingkaran itu juga beliau lakukan
terhadap sebagian orang yang mengklaim ijma’ dimana klaim
ijma’ tersebut ternyata menyelisihi pendapat shahabat yang tidak
ternukil adanya penyelisihan dari shahabat yang lainnya. Mereka ingin
membatalkan pendapat shahabat dan membenarkan pendapat mereka yang
bathil.- Abul-Jauzaa’.
[2] Hal itu ditunjukkan pula oleh firman Allah ta’ala :
وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى
وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
”Dan
barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan
ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat
kembali” [QS. An-Nisaa’ : 115].
Ayat
ini menunjukkan bahwa setiap orang yang mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang mukmin, maka ia telah menentang Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam. Tidak akan terealiasi sikap ittiba’ yang sempurna kepada Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam kecuali dengan mengikuti jalan orang-orang mukmin, yaitu para shahabat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam.
Konsekuensinya, tidak mungkin dibenarkan pendapat yang ketiga jika
hanya dua pendapat yang ternukil dari kalangan shahabat dalam satu
permasalahan. – Abul-Jauzaa’.
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2009/03/konsekuensi-adanya-ijma.html