Allah ta’ala berfirman:
فَمَنْ ثَقُلَتْ
مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ * وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ
فَأُولَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ
“Barangsiapa yang berat timbangan (kebaikan)
nya, maka mereka itulah orang-orang yang dapat keberuntungan. Dan barangsiapa
yang ringan timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya
sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahanam” [QS.
Al-Mukminuun : 102-103].
وَالْوَزْنُ
يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ * وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا
أَنْفُسَهُمْ
“Timbangan pada hari itu ialah kebenaran
(keadilan), maka barang siapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah
orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka
itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri” [QS.
Al-A’raaf : 8-9].




فَأَمَّا مَنْ
ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ * فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ * وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ
مَوَازِينُهُ * فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ
“Dan adapun
orang-orang yang berat timbangan (kebaikan) nya, maka dia berada dalam
kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan
(kebaikan) nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah” [QS. Al-Qaari’ah : 6-9].
Melalui
ayat-ayat di atas Allah ta’ala memberikan penjelasan kepada
kita bahwa orang-orang yang selamat, bahagia, dan memperoleh keberuntungan
adalah orang-orang yang kebaikan mereka melebihi kesalahan mereka.
Ibnu
Katsiir rahimahullah berkata:
وقوله: { فَمَنْ
ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ } أي: من رجحت حسناته على
سيئاته ولو بواحدة، قاله ابن عباس.
{ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ } أي: الذين فازوا فنجوا من النار وأدخلوا الجنة.
“Dan firman-Nya
: ‘Barangsiapa yang berat timbangan (kebaikan) nya,
maka mereka itulah orang-orang yang dapat keberuntungan’ (QS. Al-Mukminuun : 102); yaitu
: barangsiapa yang kebaikan-kebaikannya melebihi keburukan-keburukannya meskipun
hanya satu. Hal itu dikatakan oleh Ibnu ‘Abbaas. Firman-Nya : ‘maka mereka
itulah orang-orang yang dapat keberuntungan’; yaitu : orang-orang yang memperoleh kemenangan
sehingga selamat dari neraka dan masuk ke dalam surga” [Tafsiir Ibni Katsiir,
5/496].
Allah tidak
mensyaratkan golongan yang mendapatkan keberuntungan harus terbebas dari
kekeliruan, karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda:
كُلُّ بَنِي
آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak Adam
pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah
orang-orang yang bertaubat” [Diriwayatkan oleh Ahmad
3/198, At-Tirmidziy no. 2499, Ibnu Maajah no. 4251, dan lain-lain; dihasankan
oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 2/604].
Sebaliknya,
Allah ta’ala tidak mengatakan bahwa seorang yang celaka tidak
mempunyai kebaikan. Akan tetapi orang yang celaka adalah orang yang keburukan
dan kesalahan mereka melebihi kebaikan.
Dulu, ketika
Haathib bin Abi Baltha’ah kedapatan membocorkan rencana Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam dalam menyerang Makkah karena kasih sayang dan rasa
khawatir atas keselamatan keluarganya di Makkah, para shahabat mencelanya.
Bahkan saking geramnya, ‘Umar sampai meminta izin kepada beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam untuk membunuhnya. Namun respon yang diberikan oleh
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah:
إِنَّهُ قَدْ
شَهِدَ بَدْرًا وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكُونَ قَدِ اطَّلَعَ عَلَى
أَهْلِ بَدْرٍ، فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ "
“Sesungguhnya ia (Haathib)
adalah orang yang turut serta dalam perang Badr. Tahukah engkau bahwa
barangkali Allah telah melihat ahlul-Badr dan berfirman : ‘Berbuatlah
sekehendak kalian, karena Aku telah mengampuni kalian[1]”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3007].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkomentar:
وارتكب مثل ذلك
الذنب العظيم فأخبر صلى الله عليه و سلم انه شهد بدرا فدل على ان مقتضى عقوبته
قائم لكن منع من ترتب اثره عليه ماله من المشهد العظيم فوقعت تلك السقطة العظيمة
مغتفرة في جنب ماله من الحسنات
“Dan Haathib sebenarnya telah berbuat dosa besar,
lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengkhabarkan bahwasannya
ia ikut hadir dalam perang Badr. Hal itu menunjukkan bahwa sebab yang menuntut
adanya hukumannya sudah ada, akan tetapi pelaksanaannya terhalang oleh adanya
amal yang sangat besar berupa keikutsertaannya hadir dalam perang Badr,
sehingga kesalahan besarnya diampuni di sisi keberadaan kebaikan-kebaikannya
tersebut” [Miftaah Daaris-Sa’aadah, 1/176].
Oleh
karena itu, kita mesti memahami hal ini dalam proses interaksi kepada sesama
manusia sehingga kita bisa mendudukkan mana orang yang layak diberikan
penghormatan dan mana pula orang yang layak untuk dicela dan diberikan
peringatan.
Dulu, Ibnu
Rajab rahimahullah pernah berkata:
والمنصف من اغتفر
قليل خطأ المرء في كثير صوابه
“Orang
yang adil adalah orang yang dapat memaafkan sedikit kesalahan orang lain yang
memiliki banyak kebenaran” [Al-Qawaa’id, hal. 3].
Terkait dengan
hal itu, mari kita simak kisah menarik antara Al-Imaam Ahmad bin Hanbal dan
Al-Imaam Al-Humaidiy (guru Al-Bukhaariy) rahimahumullah.
Al-Humaidiy berkata:
كَانَ أَحْمَدُ
بْنُ حَنْبَلٍ قَدْ أَقَامَ عِنْدَنَا بِمَكَّةَ، فَقَالَ لِي ذَاتَ يَوْمٍ، أَوْ
ذَاتَ لَيْلَةٍ: هَاهُنَا رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ، لَهُ بَيَانٌ وَمَعْرِفَةٌ،
فَقُلْتُ لَهُ: فَمَنْ هُوَ؟ قَالَ: مُحَمَّدُ بْنُ إِدْرِيسَ الشَّافِعِيُّ،
وَكَانَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ قَدْ جَالَسَهُ بِالْعِرَاقِ، فَلَمْ يَزَلْ بِي
حَتَّى اجْتَرَّنِي إِلَيْهِ. وَدَارَتْ مَسَائِلُ، فَلَمَّا قُمْنَا، قَالَ لِي
أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: كَيْفَ رَأَيْتَ؟ فَجَعَلْتُ أَتَتَبَّعُ مَا كَانَ
أَخْطَأَ فِيهِ، وَكَانَ ذَلِكَ مِنِّي بِالْقُرَشِيَّةِ يَعْنِي: مِنَ الْحَسَدِ،
فَقَالَ لِي أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: فَأَنْتَ لا تَرْضَى أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ
مِنْ قُرَيْشٍ يَكُونُ لَهُ هَذِهِ الْمَعْرِفَةُ، وَهَذَا الْبَيَانُ ! ! أَوْ:
نَحْوُ هَذَا مِنَ الْقَوْلِ، تَمُرُّ مِائَةُ مَسْأَلَةٍ يُخْطِئُ خَمْسًا أَوْ
عَشْرًا، اتْرُكُ مَا أَخْطَأَ، وَخُذْ مَا أَصَابَ
“Dulu Ahmad bin
Hanbal pernah tinggal di sisi kami di Makkah. Pada suatau hari atau suatu
malam, ia berkata kepadaku : ‘Di sini ada seorang laki-laki keturunan Quraisy
yang mempunyai kefasihan retorika dan keluasan ilmu pengetahuan’. Aku berkata
kepadanya : ‘Siapakah ia ?’. Ahmad berkata : ‘Muhammad bin Idriis
Asy-Syaafi’iy’. Ahmad bin Hanbal memang biasa bermajelis dengannya di ‘Iraaq.
Ia (Ahmad) senantiasa mengajakku untuk bermajelis dengannya (Asy-Syaafi’iy),
yang kemudian terjadi diskusi banyak permasalahan. Ketika kami berdiri, Ahmad
bin Hanbal berkata kepadaku : ‘Bagaimana pendapatmu (tentangnya) ?’. Maka aku
pun mencari-cari kekeliruannya yang ia terjatuh padanya. Hal itu aku lakukan
karena rasa hasadku dengan sebab faktor Quraisy-nya. Ahmad bin Hanbal berkata
kepadaku : ‘Engkau tidak ridla ada seorang laki-laki yang mempunyai keluasan
ilmu dan kefasihan retorika ini ?. – atau ia mengatakan sesuatu yang semisal
dengannya - . Engkau melewati seratus permasalahan lalu ia keliru dalam lima
atau sepuluh masalah saja. Tinggalkan kekeliruannya, dan ambil apa yang benar
darinya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim Ar-Raaziy dalam Aadaabusy-Syaafi’iy hal.
43-44 dengan peringkasan. Diriwayatkan juga olehnya dalam Al-Jarh wat-Ta’diil 7/202-203,
dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’9/96; sanadnya hasan].
Contoh yang baik
juga ditunjukkan oleh Adz-Dzahabiy rahimahullah saat
memberikan penilaian terhadap beberapa tokoh terkemuka yang terjatuh dalam
kekeliruan. Saat menyebutkan biografi Qataadah bin Di’aamah[2],
ia berkata:
ولعل الله يعذر
أمثاله ممن تلبس ببدعة يريد بها تعظيم الباري وتنزيهه، وبذل وسعه، والله حكم عدل
لطيف بعباده، ولا يسأل عما يفعل.
ثم إن الكبير من
أئمة العلم إذا كثر صوابه، وعلم تحريه للحق، واتسع علمه، وظهر ذكاؤه، وعرف صلاحه
وورعه واتباعه، يغفر له الله، ولا نضلله ونطرحه، وننسى محاسنه نعم ولا نقتدي به في
بدعته وخطئه، ونرجو له التوبة من ذلك
“Mungkin Allah memberikan ‘udzur orang
semisal dirinya yang mengenakan pakaian bid’ah yang menginginkan dengannya
untuk mengagungkan Al-Baariy (Allah) dan menyucikan-Nya, dengan mencurahkan
segala kemampuannya (untuk itu). Dan Allah Maha Bijaksana, ‘Adil, dan Lembut
terhadap hamba-hamba-Nya, yang tidak akan ditanya tentang apa yang
dilakukan-Nya. Sesungguhnya orang-orang besar dari kalangan ahli ilmu apabila
banyak kebenarannya, diketahui kesungguhannya dalam mencari kebenaran, luas
ilmunya, nampak kecerdasannya, serta diketahui kebaikan, wara’, dan
sikap ittibaa’-nya; maka Allah akan mengampuninya (kesalahannya).
Kita tidak boleh menyesatkannya, menggugurkannya, dan melupakan segala
kebaikannya. Benar, kita tidak boleh mengikuti kebid’ahan dan kesalahannya, dan
kita memohon agar ia bertaubat darinya…” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’,
5/271].
Begitu pula saat
menyebutkan biografi Abu Bakr Muhammad bin ‘Aliy Al-Qaffaa lrahimahullah:
قال أبو الحسن
الصفار: سمعت أبا سهل الصعلوكي، وسئل عن تفسير أبي بكر القفال، فقال: قدسه من وجه،
ودنسه من وجه، أي: دنسه من جهة نصره للاعتزال.
قلت: قد مر موته،
والكمال عزيز، وإنما يمدح العالم بكثرة ماله من الفضائل، فلا تدفن المحاسن لورطة،
ولعله رجع عنها.
وقد يغفر له
باستفراغه الوسع في طلب الحق ولا قوة إلا بالله.
“Abul-Hasan Ash-Shaffaar berkata : Aku mendengar
Abu Sahl Ash-Sha’luukiy ditanya tentang tafsir Abu Bakr Al-Qaffaal, lalu ia
menjawab : ‘Ia (Abu Bakr Al-Qaffaal) menyucikannya di satu sisi dan
mengotorinya di sisi yang lain’. Maksudnya, mengotorinya dari sisi pembelaannya
terhadap paham Mu’tazilah.
Aku
(Adz-Dzahabiy) berkata : Sungguh ia telah meninggal, dan satu kesempurnaan
merupakan kemuliaan. Seorang ulama hanyalah dipuji karena banyaknya harta
berupa keutamaan-keutamaan (yang dimilikinya). Maka, kebaikan-kebaikannya
tidaklah ikut dikubur dengan sebab satu keburukan. Barangkali ia telah rujuk
dari kesalahannya itu sehingga Allah mengampuninya karena ia mencurahkan segala
kemampuannya untuk mencari kebenaran. Tidak ada kekuatan melainkan milik
Allah…” [idem, 16/285].
Ibnu Katsiir saat
menyebutkan perihal gurunya, Ibnu Taimiyyah rahimahumallah,
berkata:
وبالجملة فقد كان
رحمه الله من كبار العلماء وممن يخطئ ويصيب ، ولكن خطأه بالنسبة إلى صوابه كنقطة
في بحر لجي ، وخطؤه مغفور له
“Dan secara
umum, beliau rahimahullah termasuk diantara ulama besar, dan
bisa salah maupun benar. Akan tetapi kesalahannya dibandingkan dengan
kebenarannya seperti titik di tengah lautan luas. Dan kesalahannya tersebut
diampuni (oleh Allah)” [Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 14/160].
Sungguh,
diantara keajaiban orang-orang yang berperilaku dhalim terhadap sesama dari
generasi belakangan adalah hobi mereka yang senang sekali mencari-cari
kesalahan orang. Berjam-jam mereka membaca kitab, mendengarkan rekaman, dan
membolak-balik halaman website hanya untuk mengumpulkan kesalahan seseorang.
Mereka mencela dan membatalkan kebaikan seseorang hanya karena sedikit
kesalahan - bahkan diantara kesalahan itu hanyalah sebuah pengambilan pendapat
yang dianggap lemah dalam masalah ijtihadiyyah. Muamalah mereka itu
mirip dengan Khawaarij dalam masalah iman. Khawaarij menganggap iman itu pejal
tak bercabang yang jika hilang satu bagian, maka hilang semuanya. Begitu juga
dengan orang-orang yang ghulluw itu. Ketika mereka melihat
kekeliruan seseorang dalam satu atau dua hal, maka bara'-lah mereka
100%. Mereka gugurkan semua kebaikan orang itu dan kemudian mengeluarkannya
dari lingkup sunnah tanpa melihat jenis, banyak-sedikit, dan besar-kecilnya
kesalahan.
Apalagi, banyak
diantara orang yang mereka cela itu adalah para ulama. Seperti dikatakan : “Apabila
air telah mencapai dua qullah, maka air itu tidak menanggung najis".
Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا حَكَمَ
الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ
فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ.
“Jika seorang
hakim memutuskan (satu perkara) yang kemudian dia berijtihad lalu benar, maka
baginya dua pahala; dan jika dia memutuskan (satu perkara) kemudian dia
berijtihad lalu salah, maka baginya satu pahala” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 7352].
Wallaahul-musta'aan.
[abul-jauzaa' –
senayan, Jakarta – 10062014 – 15:10].
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ سَمِعْتُهُ
مِنْهُ مَرَّتَيْنِ، قَالَ: أَخْبَرَنِي حَسَنُ بْنُ مُحَمَّدٍ، قَالَ:
أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي رَافِعٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيًّا
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنَا والزُّبَيْرَ والْمِقْدَادَ بْنَ الْأَسْوَدِ، قَالَ: "
انْطَلِقُوا حَتَّى تَأْتُوا رَوْضَةَ خَاخٍ فَإِنَّ بِهَا ظَعِينَةً وَمَعَهَا
كِتَابٌ فَخُذُوهُ مِنْهَا فَانْطَلَقْنَا تَعَادَى بِنَا خَيْلُنَا حَتَّى
انْتَهَيْنَا إِلَى الرَّوْضَةِ، فَإِذَا نَحْنُ بِالظَّعِينَةِ، فَقُلْنَا:
أَخْرِجِي الْكِتَابَ، فَقَالَتْ: مَا مَعِي مِنْ كِتَابٍ، فَقُلْنَا:
لَتُخْرِجِنَّ الْكِتَابَ أَوْ لَنُلْقِيَنَّ الثِّيَابَ فَأَخْرَجَتْهُ مِنْ
عِقَاصِهَا، فَأَتَيْنَا بِهِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَإِذَا فِيهِ مِنْ حَاطِبِ بْنِ أَبِي بَلْتَعَةَ إِلَى أُنَاسٍ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ يُخْبِرُهُمْ بِبَعْضِ أَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: يَا حَاطِبُ مَا هَذَا، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ لَا تَعْجَلْ
عَلَيَّ إِنِّي كُنْتُ امْرَأً مُلْصَقًا فِي قُرَيْشٍ وَلَمْ أَكُنْ مِنْ
أَنْفُسِهَا وَكَانَ مَنْ مَعَكَ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ لَهُمْ قَرَابَاتٌ
بِمَكَّةَ يَحْمُونَ بِهَا أَهْلِيهِمْ وَأَمْوَالَهُمْ، فَأَحْبَبْتُ إِذْ
فَاتَنِي ذَلِكَ مِنَ النَّسَبِ فِيهِمْ أَنْ أَتَّخِذَ عِنْدَهُمْ يَدًا
يَحْمُونَ بِهَا قَرَابَتِي وَمَا فَعَلْتُ كُفْرًا، وَلَا ارْتِدَادًا، وَلَا
رِضًا بِالْكُفْرِ بَعْدَ الْإِسْلَامِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَقَدْ صَدَقَكُمْ، قَالَ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ
دَعْنِي أَضْرِبْ عُنُقَ هَذَا الْمُنَافِقِ، قَالَ: إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا
وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكُونَ قَدِ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ،
فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ "
Telah
menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdillah : Telah menceritakan kepada kami
Sufyaan : Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Diinaar yang aku mendengar
darinya dua kali, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Hasan bin Muhammad,
ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Ubaidullah bin Abi Raafi’, ia
berkata : Aku mendengar ‘Aliyradliyallaahu ‘anhu berkata :
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutusku,
Az-Zubair, dan Al-Miqdaad. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Berangkatlah kalian hingga mendatangi kebun Khaakh, karena di sana ada
seorang wanita yang membawa surat. Ambillah surat itu darinya”. Maka kami
pun pergi dalam keadaan kuda-kuda kami berlari cepat hingga kami tiba di kebun
tersebut. Ternyata benar kami dapati seorang wanita sedang dalam perjalanan.
Kami berkata : “Keluarkan surat yang engkau bawa”. Wanita itu berkata : “Aku
tidak membawa surat apapun”. Kami berkata : “Sungguh, engkau harus mengeluarkan
surat itu atau kami buka pakaianmu”. Lalu ia pun mengeluarkan surat itu dari gelungan
rambutnya. Lalu kami bawa surat itu kepada Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, yang ternyata berasal dari Haathib bin Abi Balta’ah
kepada orang-orang musyrikin penduduk Makkah untuk mengkhabarkan sebagian
urusan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai Haathib, apa maksudnya ini ?”.
Ia berkata : “Wahai Rasulullah, janganlah engkau terburu-buru kepadaku.
Sesungguhnya aku adalah seorang anak angkat di tengah suku Quraisy, dan aku bukanlah
termasuk dari kalangan mereka. Adapun kaum Muhaajirin yang bersama engkau,
mereka mempunyai kerabat di Makkah yang akan melindungi keluarga dan harta
mereka. Dikarenakan aku tidak punya hubungan nasab dengan mereka, aku ingin
menolong mereka agar mereka pun menjaga kerabatku. Aku melakukan ini
bukan karena kekafiran, murtad, ataupun ridlaa dengan kekufuran setelah Islam”.
Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sungguh,
dia telah jujur kepada kalian”. ‘Umar berkata : “Wahai Rasulullah,
biarkanlah aku tebas leher orang munafik ini”. Beliau bersabda : “Sesungguhnya
ia (Haathib) adalah orang yang turut serta dalam perang Badr. Tahukah engkau
bahwa barangkali Allah telah melihat ahlul-Badr dan berfirman : ‘Berbuatlah
sekehendak kalian, karena Aku telah mengampuni kalian” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 3007].
Kisah Haathib
di atas merupakan sebab turunnya QS. Al-Mumtahanah ayat 1 di atas sebagaimana
riwayat berikut :
أَخْبَرَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ
بْنُ الْحَسَنِ الْقَاضِي بَهَمْدَانَ، ثنا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْحُسَيْنِ، ثنا
آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ، ثنا وَرْقَاءُ، عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ، عَنْ
مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، فِي قَوْلِهِ عَزَّ
وَجَلَّ: يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ
أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ إِلَى قَوْلِهِ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ " نَزَلَ فِي مُكَاتَبَةِ حَاطِبِ بْنِ أَبِي بَلْتَعَةَ
وَمَنْ مَعَهُ إِلَى كُفَّارِ قُرَيْشٍ يُحَذِّرُونَهُمْ ......... هَذَا حَدِيثٌ
صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ
Telah
menceritakan kepadaku ‘Abdurrahmaan bin Al-Hasan Al-Qaadliy Bahamdaan : Telah
menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Al-Husain : Telah menceritakan kepada
kami Aadam bin Abi Iyaas : Telah menceritakan kepada kami Warqaa’, dari Ibnu
Abi Najiih, dari Mujaahid, dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa tentang
firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia
yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih
sayang’.... hingga firman-Nya : ‘Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan’ (QS. Al-Mumtahanah : 1-3), ayat tersebut turun mengenai
surat-menyurat Haathib bin Abi Balta’ah dan orang-orang yang bersamanya dengan
orang-orang kafir Quraisy untuk memperingatkan mereka (tentang rencana serangan
kaum muslimin)....” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim, 2/485; dan ia berkata : “Ini
adalah hadits shahih sesuai dengan persyaratan Syaikhain, namun
keduanya tidak meriwayatkannya”. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalamAsh-Shahiihul-Musnad
min Asbaabin-Nuzuul, hal. 241].
[2] Qataadah bin
Di’aamah bin Qataadah As-Saduusiy, Abul-Khaththaab Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat,
namun banyak melakukan tadliis. Termasuk thabaqah ke-4,
lahir tahun 60 H/61 H, dan wafat tahun 117 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy,
Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib hal.
798 no. 5553, Ta’riifu Ahlit-Taqdis hal. 102 no. 92, Al-Mudallisiin
lil-‘Iraaqiy hal. 79-80 no. 49, dan Riwaayaatul-Mudallisiin
fii Shahiih Al-Bukhaariy hal. 483-484].
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2014/06/satu-kesalahan-dibandingkan-seribu.html
from= http://abul-jauzaa.blogspot.fr/2014/06/satu-kesalahan-dibandingkan-seribu.html