Betapa indahnya sebuah perkataan,
انتقد القول ولكن احترم القائل فـإن مهنتنا أن تقضي على المرض وليس المريض
“Kritiklah pendapatnya namun tetap hormati orangnya, karena tugas kita adalah menyingkirkan penyakit bukan menyingkirkan orangnya”[1]
Ini
termasuk adab mulia dalam mengkritik (baca: menasehati) yang mungkin
kita sering lalai. Mungkin yang bisa menjadi intropeksi kita bersama:
1. Tidak mencaci-maki dan menghina orangnya apalagi dia seorang muslim
Terkadang
kita “kelolosan” mngkritik pendapat sampai mencaci-maki orangnya dan
menghina orangnya. Apalagi yang dikritik adalah saudara kita seorang
muslim, padahal kita bersaudara dan seorang muslim tidak boleh dicela
sama sekali[2]
2. Walaupun berbeda pendapat tetapi tetap bisa bersaudara, sebagaimana perkataan Imam Asy-Syafi’i[3]
Karena
prinsip dakwah adalah hanya menyampaikan, jika diterima alhamdulillah
jika ditolak maka dia masih saudara kita, perlu didoakan jika memang
yang kita bawa adalah kebaikan
3. Bisa jadi kesalahannya hanya beberapa perkara dan itu udzur baginya serta tidak ada manusia yang luput dari kesalahan
Kita
yang mengkritikpun bisa jadi kesalahan kita lebih banyak dari dia,
hanya saja Allah menyembunyikan kesalahan-kesalahan kita. Jadi
renungkanlah ketika akan mencela orangya.
4. Bisa jadi yang dikritik lebih mulia kedudukannya di sisi Allah
Misalnya
dia terjatuh dalam perkara “yang tidak ada dasar syariatnya” tetapi dia
lebih menjaga shalat wajib berjamaah di masjid (amalan wajib), dia
lebih banyak memberikan hidayah Islam dan bisa jadi lebih ikhlas
daripada kita. Adapun kita dengan amalan sunnah yang kita terapkan,
membuat kita sombong.
5. Bisa jadi niat kita mengkritik bukan untuk menasehati, akan tetapi karena rasa hasad kita untuk menjatuhkan saudara kita
6.
Jika bisa dilakukan empat mata, maka sebaiknya demikian dan kurang
bijaksana jika mengkritiknya di depan publik, media sosial dan tempat
umum[4]
Karena
bisa jadi ia menerima dan mengaku salah tetapi gengsi menerimanya
karena martabatnya sudah dijatuhkan dahulu atau malu terlihat kalah di
depan orang banyak, tentu bukan ini tujuan kita.
7. Sebaiknya kritik dilakukan oleh mereka yang sudah berilmu dan pengetahuannya luas
Adapun pemula sebaiknya jangan, nanti malam memicu perdebatan dan saling ngotot tanpa dasar ilmu.
Semoga ini bisa menjadi masukan untuk saya pribadi terutama dan kaum muslimin
__________________
@Laboratorium RS Manambai, Sumbawa Besar – Sabalong Samalewa
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com
[1] Sebagian menyandarkan kepada perkataan imam Syafi’i dalam kitab Kasbul Qulub, akan tetapi kami belum menemukannya, wallahu a’lam
[2] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
“Mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya kekufuran.” (HR. Bukhari dan muslim)
[3] Beliau berkata kepada Abu Musa,
يَا أَبَا مُوْسَى، أَلاَ يَسْتَقِيْمُ أَنْ نَكُوْنَ إِخْوَانًا وَإِنْ لَمْ نَتَّفِقْ فِيْ مَسْأَلَةٍ
“Wahai Abu Musa, bukankah kita tetap bersaudara (bersahabat) meskipun kita tidak bersepakat dalam suatu masalah?” (Siyar A’lamin Nubala’, 10: 16).
[4] Imam Syafi’i berkata,
ما
رأيت على رجل خطأ، إلا سترته، وأحببت أن أزين أمره، وما استقبلت رجلا في
وجهه بأمر يكرهه، ولكن أبين له خطأه فيما بيني وبينه، فإن قبل ذلك، وإلا
تركته
“Tidaklah aku lihat kesalahan seseorang (saudara se-Islam), kecuali aku menutupinya, aku senang untuk memperindah urusan dirinya.
Tidaklah aku menjumpai seseorang dengan hal yang dia benci di hadapannya, kecuali aku jelaskan kesalahannya (secara sembunyi-sembunyi), hanya antara aku dan dia
Jika dia menerima penjelasanku (maka itu lebih baik), dan jika dia tidak menerima ucapanku, maka aku membiarkannya.”