Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari
Waktu
adalah salah satu nikmat yang agung dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala
kepada manusia. Sudah sepantasnya manusia memanfaatkannya secara baik,
efektif dan semaksimal mungkin untuk amal shalih.
Allâh Ta’ala telah bersumpah dengan menyebut masa dalam firman-Nya:
وَالْعَصْرِ
﴿١﴾ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا
بِالصَّبْرِ
Demi
masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan
nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati
supaya menetapi kesabaran. [al-‘Ashr/103:1-3].
Di
dalam surat yang mulia ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan
masa, dan ini menunjukkan pentingnya masa. Sesungguhnya di dalam masa
terdapat keajaiban-keajaiban. Di dalam masa terjadi kesenangan dan
kesusahan, sehat dan sakit, kekayaan dan kemiskinan. Jika seseorang
menyian-nyiakan umurnya, seratus tahun berbuat sia-sia, bahkan
kemaksiatan belaka, kemudian ia bertaubat di akhir hayatnya, dengan
taubat yang diterima, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan sempurna
sebagai balasannya, berada di dalam surga selama-lamanya. Dia
betul-betul mengetahui bahwa waktu hidupnya yang paling berharga adalah
sedikit masa taubatnya itu. Sesungguhnya masa merupakan anugerah Allâh
Ta’ala, tidak ada cela padanya, manusia-lah yang tercela ketika tidak
memanfaatkannya.
PERINGATAN NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan pentingnya
memanfaatkan waktu, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ
وَالْفَرَاغُ
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dua kenikmatan, kebanyakan manusia tertipu pada keduanya, (yaitu) kesehatan dan waktu luang”. [HR Bukhari, no. 5933].
Hadits
yang mulia ini memberitakan bahwa waktu luang adalah nikmat yang besar
dari Allâh Ta’ala, tetapi banyak manusia tertipu dan mendapatkan
kerugian terhadap nikmat ini.
Di antara bentuk kerugian ini adalah:
1. Seseorang tidak mengisi waktu luangnya dengan bentuk yang paling sempurna. Seperti menyibukkan waktu luangnya dengan amalan yang kurang utama, padahal ia bisa mengisinya dengan amalan yang lebih utama.
2. Dia tidak mengisi waktu luangnya dengan amalan-amalan yang utama, yang memiliki manfaat bagi agama atau dunianya. Namun kesibukkannya adalah dengan perkara-perkara mubah yang tidak berpahala.
3. Dia mengisinya dengan perkara yang haram,
ini adalah orang yang paling tertipu dan rugi. Karena ia menyia-nyiakan
kesempatan memanfaatkan waktu dengan perkara yang bermanfaat. Tidak
hanya itu, bahkan ia menyibukkan waktunya dengan perkara yang akan
menggiringnya kepada hukuman Allâh di dunia dan di akhirat.
Urgensi
waktu dan kewajiban menjaganya merupakan perkara yang disepakati oleh
orang-orang yang berakal. Berikut adalah diantara point-point yang
menunjukkan urgensi waktu.
1. Waktu Adalah Modal Manusia.
Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata:
اِبْنَ آدَمَ إِنَّمَا أَنْتَ أَيَّامٌ كُلَّمَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ
Wahai Ibnu Adam (manusia), kamu itu hanyalah (kumpulan) hari-hari, tiap-tiap satu hari berlalu, hilang sebagian dirimu.[1]
Diriwayatkan bahwa ‘Umar bin Abdul-‘Aziz rahimahullah berkata:
إِنَّ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ يَعْمَلَانِ فِيْكَ فَاعْمَلْ فِيْهِمَا
Sesungguhnya malam dan siang bekerja terhadapmu, maka beramalah pada malam dan siang itu.[2]
2. Waktu Sangat Cepat Berlalu.
Seseorang berkata kepada ‘Âmir bin Abdul-Qais rahimahullah, salah seorang tabi’i: “Berbicaralah kepadaku!” Dia menjawab: “Tahanlah jalannya matahari!”
Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Aku tidak menyerupakan masa muda kecuali dengan sesuatu yang menempel di lengan bajuku, lalu jatuh”.
Abul-Walid al-Bâji rahimahullah berkata: “Jika
aku telah mengetahui dengan sangat yakin, bahwa seluruh hidupku di
dunia ini seperti satu jam di akhirat, maka mengapa aku tidak bakhil
dengan waktu hidupku (untuk melakukan perkara yang sia-sia, Pen.), dan
hanya kujadikan hidupku di dalam kebaikan dan ketaatan”.
3. Waktu Yang Berlalu Tidak Pernah Kembali.
Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu berkata:
إِنَّ لِلَّهِ حَقًّا بِالنَّهَارِ لَا يَقْبَلُهُ بِاللَّيْلِ، وَلِلَّهِ حَقٌّ بِاللَّيْلِ لَا يَقْبَلُهُ بِالنَّهَارِ
Sesungguhnya
Allâh memiliki hak pada waktu siang, Dia tidak akan menerimanya di
waktu malam. Dan Allâh juga memiliki hak pada waktu malam, Dia tidak
akan menerimanya di waktu siang. [Riwayat Ibnu Abi Syaibah, no. 37056].
Dengan
demikian seharusnya seseorang bersegera melaksanakan tugasnya pada
waktunya, dan tidak menumpuk tugas dan mengundurkannya sehingga akan
memberatkan dirinya sendiri. Oleh karena itu waktu di sisi Salaf lebih
mahal dari pada uang. Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata:
أَدْرَكْتُ أَقْوَامًا كَانَ أَحَدُهُمْ أَشَحَّ عَلَى عُمْرِهِ مِنْهُ عَلَى دَرَاهِمِهِ وَدَنَانِيْرِهِ
Aku telah menemui orang-orang yang sangat bakhil terhadap umurnya daripada terhadap dirham dan dinarnya.[3]
Sebagian penyair berkata:
وَالْوَقْتُ أَنْفَسُ مَا عَنَيْتَ بِحِفْظِهِ … وَأَرَاهُ أَسْهَلَ مَا عَلَيْكَ يُضَيَّعُ
Waktu
adalah perkara paling mahal yang perlu engkau perhatikan untuk dijaga,
tetapi aku melihatnya paling mudah engkau menyia-nyiakannya.
4. Manusia tidak mengetahui kapan berakhirnya waktu yang diberikan untuknya.
Oleh
karena itu Allâh Ta’ala banyak memerintahkan untuk bersegera dan
berlomba dalam ketaatan. Demikian juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan agar bersegera melaksanakan amal-amal shalih. Para
ulama telah memperingatkan agar seseorang tidak menunda-nunda amalan.
Al-Hasan berkata:
اِبْنَ
آدَمَ إِيَّاكَ وَالتَّسْوِيْفَ فَإِنَّكَ بِيَوْمِكَ وَلَسْتَ بِغَدٍّ
فَإِنْ يَكُنْ غَدٌّ لَكَ فَكُنْ فِي غَدٍّ كَمَا كُنْتَ فِيْ الْيَوْمَ
وَإِلَّا يَكُنْ لَكَ لَمْ تَنْدَمْ عَلَى مَا فَرَّطْتَ فِيْ الْيَوْمِ
Wahai
anak Adam, janganlah engkau menunda-nunda (amalan-amalan), karena
engkau memiliki kesempatan pada hari ini, adapun besok pagi belum tentu
engkau memilikinya. Jika engkau bertemu besok hari, maka lakukanlah
pada esok hari itu sebagaimana engkau lakukan pada hari ini. Jika
engkau tidak bertemu esok hari, engkau tidak akan menyesali sikapmu
yang menyia-nyiakan hari ini.[4]
KENYATAAN MANUSIA DALAM MENYIKAPI WAKTU
Berikut adalah beberapa keadaan manusia dalam menyikapi waktu.
1. Orang-orang yang amalan shalih mereka lebih banyak daripada waktu mereka.
Diriwayatkan
bahwa Syaikh Jamaluddin al-Qâshimi rahimahullah melewati warung kopi.
Dia melihat orang-orang yang mengunjungi warung kopi tenggelam dalam
permainan kartu dan dadu, meminum berbagai minuman, mereka menghabiskan
waktu yang lama. Maka Syaikh berkata, “Seandainya waktu bisa dibeli, sungguh pasti aku beli waktu mereka!”
2. Orang-orang
yang menghabiskan waktu mereka dalam mengejar perkara yang tidak
berfaidah, baik berupa ilmu yang tidak bermanfaat, atau urusan-urusan
dunia lainnya.
Imam
Ibnul-Qayyim rahimahullah menyebutkan seorang laki-laki yang
menghabiskan umurnya untuk mengumpulkan dan menumpuk harta. Ketika
kematian mendatanginya, dikatakan kepadanya, “Katakanlah lâ ilâha illa
Allâh,” namun ia tidak mengucapkannya, bahkan ia mulai mengucapkan,
“Satu kain harganya 5 dirham, satu kain harganya 10 dirham, ini kain
bagus”. Dia selalu dalam keadaan demikian sampai ruhnya keluar.
3. Orang-orang yang tidak mengetahui apa yang harus mereka lakukan terhadap waktu.
Seorang ulama zaman dahulu berkata:
Aku
telah melihat kebanyakan orang menghabiskan waktu dengan cara yang
aneh. Jika malam panjang, mereka habiskan untuk pembicaraan yang tidak
bermanfaat, atau membaca buku percintaan dan begadang. Jika waktu siang
panjang, mereka habiskan untuk tidur. Sedangkan pada waktu pagi dan
sore, mereka di pinggir sungai Dajlah, atau di pasar-pasar. Aku
ibaratkan mereka itu dengan orang-orang yang berbincang-bincang di atas
kapal, kapal itu terus berjalan membawa mereka dan berita mereka. Aku
telah melihat banyak orang yang tidak memahami arti kehidupan.
Di
antara mereka, ada orang yang telah diberi kecukupan oleh Allâh Azza wa
Jalla , ia tidak butuh bekerja karena hartanya yang sudah banyak, namun
kebanyakan waktunya pada siang hari ia habiskan dengan nongkrong di
pasar (kalau zaman sekarang di mall dan sebagainya, Pen.) melihat
orang-orang (yang lewat). Alangkah banyaknya keburukan dan kemungkaran
yang melewatinya.
Di
antara mereka ada yang menyendiri bermain catur. Di antara mereka ada
yang menghabiskan waktu dengan kisah-kisah kejadian tentang raja-raja,
tentang harga yang melonjak dan turun, dan lainnya.
Maka
aku mengetahui bahwa Allâh tidak memperlihatkan urgensi umur dan kadar
waktu kesehatan kecuali kepada orang-orang yang Allâh berikan taufiq
dan bimbingan untuk memanfaatkannya. Allâh berfirman:
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar. [Fushilat/41:35].
Adapun yang menjadi penyebab perbedaan keadaan manusia dalam menyikapi waktu, kembali kepada tiga perkara berikut.
1. Sebab pertama, tidak menetapkan tujuan hidup.
Oleh karena itu, seorang muslim wajib mengetahui bahwa tujuan Allâh
menciptakannya adalah untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana
firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. [adz-Dzariyat/51:56].
Dia harus mengetahui bahwa dunia ini adalah tempat beramal, bukan tempat santai dan main-main, sebagaimana firman-Nya:
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ
Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? [al-Mukminun/23:115].
Dunia
adalah sawah ladang akhirat. Jika engkau menanam kebaikan di dunia ini,
maka engkau akan memetik kenikmatan abadi di akhirat nanti. Jika engkau
menanam keburukan di dunia ini, maka engkau akan memetik siksaan pedih
di akhirat nanti.
Namun
demikian, ini bukan berarti manusia tidak boleh bersenang-senang dengan
perkara yang Allâh ijinkan di dunia ini, karena Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda:
وَاللَّهِ
إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ
وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ
عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Demi
Allâh, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling takwa
di antara kamu kepada Allâh, tetapi aku berpuasa dan berbuka, shalat
(malam) dan tidur, dan aku menikahi wanita-wanita. Barangsiapa membenci
sunnahku, maka ia bukan dariku. [HR al-Bukhari, no. 4776; Muslim, no. 1401]
2. Sebab kedua, bodoh terhadap nilai dan urgensi waktu.
3. Sebab ketiga, lemahnya kehendak dan tekad.
3. Sebab ketiga, lemahnya kehendak dan tekad.
Banyak
orang mengetahui nilai dan urgensi waktu, dan mengetahui
perkara-perkara bermanfaat yang seharusnya dilakukan untuk mengisi
waktu, tetapi karena lemahnya kehendak dan tekad,
mereka tidak melakukannya. Maka seorang muslim wajib mengobati perkara
ini dan bersegera serta berlomba melaksanakan amalan-amalan shalih,
serta memohon pertolongan kepada Allâh Ta’ala, kemudian bergabung
dengan kawan-kawan yang shalih.
Jika
kita benar-benar mengerti tujuan hidup, dan kita benar-benar memahami
nilai waktu, maka seharusnya kita isi waktu kita dengan perkara yang
akan menjadikan ridha Penguasa kita, Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Semoga
Allâh selalu membimbing kita di atas jalan yang lurus. Âmîn.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 03-04/Tahun XVII/1434H/2013M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
________
Footnote
[1]. Riwayat Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliya`. Perkataan ini juga diriwayatkan al-Baihaqi dalam Syu’abul- Iman, dari Abud Darda’ Radhiyallahu anhu
[2]. Kitab Rabi’ul-Abrar, hlm. 305.
[3]. Disebutkan dalam kitab Taqrib Zuhd Ibnul-Mubarok, 1/28.
[4]. Taqrib Zuhd IbnulMubarok, 1/28.
[1]. Riwayat Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliya`. Perkataan ini juga diriwayatkan al-Baihaqi dalam Syu’abul- Iman, dari Abud Darda’ Radhiyallahu anhu
[2]. Kitab Rabi’ul-Abrar, hlm. 305.
[3]. Disebutkan dalam kitab Taqrib Zuhd Ibnul-Mubarok, 1/28.
[4]. Taqrib Zuhd IbnulMubarok, 1/28.
Sumber: https://almanhaj.or.id/4099-renungan-tentang-waktu.html