Penyusun: Ummu Muhammad (Bulletin Zuhairoh)
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar
Muroja’ah: Ust. Aris Munandar
Menikah,
satu kata ini akan menjadi sesuatu yang sangat berarti bagi pemuda
ataupun pemudi yang sudah mencapai usia remaja. Remaja yang sudah mulai
memiliki rasa tertarik dengan lawan jenisnya, akan memperhatikan
pasangan yang diimpikan menjadi pasangan hidupnya. Sejenak waktu,
hatinya akan merenda mimpi, membayangkan masa depan yang indah
bersamanya.
Saudariku muslimah yang dirahmati Allah, tentu kita semua menginginkan pasangan hidup yang
dapat menjadi teman dalam suka dan duka, bersama dengannya membangun
rumah tangga yang bahagia, sampai menapaki usia senja, bahkan menjadi
pasangan di akhirat kelak. Tentu kita tidak ingin bahtera tumah tangga
yang sudah terlanjur kita arungi bersama laki-laki yang menjadi pilihan
kita kandas di tengah perjalanan, karena tentu ini akan sangat
menyakitkan, menimbulkan luka mendalam yang mungkin sangat sulit
disembuhkan, baik luka bagi kita maupun bagi buah hati yang mungkin
sudah ada. Lagipula, kita mengetahui bahwa Allah Ta’ala, Robb sekaligus
Illah kita satu-satunya sangat membenci perceraian, meskipun hal itu
diperbolehkan jika memang keduanya merasa berat. “Mencegah lebih baik daripada mengobati.” Itulah
slogan yang biasa dipakai untuk masalah kesehatan. Dan untuk masalah
kita ini, yang tentunya jauh lebih urgen dari masalah kesehatan tentu
lebih layak bagi kita untuk memakai slogan ini, agar kita tidak
menyesal di tengah jalan.
Saudariku
muslimah, sekarang banyak kita jumpai fenomena yang sangat
memprihatinkan dan menyedihkan hati. Banyak dari saudari-saudari kita
yang terpesona dengan kehidupan dunia, sehingga timbul predikat ‘cewek
matre’, yaitu bagi mereka yang menyukai laki-laki karena uangnya. Ada
juga diantara saudari kita yang memilih laki-laki hanya karena fisiknya
saja. Ada juga diantara mereka yang menyukai laki-laki hanya karena
kepintarannya saja, padahal belum tentu kepintarannya itu akan
menyelamatkannya, mungkin justru wanita itu yang akan dibodohi.
Sebenarnya tidak mengapa kita menetapkan kriteria – kriteria tersebut untuk calon pasangan kita, namun janganlah hal tersebut dijadikan tujuan utama, karena kriteria-kriteria itu hanya terbatas pada hal yang bersifat duniawi,
sesuatu yang tidak kekal dan suatu saat akan menghilang. Lalu bagaimana
solusinya ? Saudariku, sebagai seorang muslim, standar yang harus kita
jadikan patokan adalah sesuatu yang sesuai dengan ketentuan syariat.
Karena hanya dengan itu kebahagian hakiki akan tercapai, bukan hanya
kebahagian dunia saja yang akan kita dapatkan, tapi kebahagiaan akhirat
yang kekal pun akan kita nikmati jika kita mempunyai pasangan yang bisa
diajak bekerjasama dalam ketaatan kepada Allah.
Diantara kriteria-kriteria yang hendaknya kita utamakan antara lain:
1. Memilih calon suami yang mempunyai agama dan akhlak yang baik,
dengan hal tersebut ia diharapkan dapat melaksanakan kewajiban secara
sempurna dalam membimbing keluarga, menunaikan hak istri, mendidik
anak, serta memiliki tanggung jawab dalam menjaga kehormatan keluarga.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Jika datang melamar kepadamu orang yang engkau ridho agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dengannya, jika kamu tidak menerimanya, niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang luas.” (HR. Tirmidzi, hasan)
Seorang laki-laki bertanya kepada Hasan bin ‘Ali, “Saya punya seorang putri, siapakah kiranya yang patut jadi suaminya ?” Hasan bin ‘Ali menjawab, “Seorang
laki-laki yang bertaqwa kepada Allah, sebab jika ia senang ia akan
menghormatinya, dan jika ia sedang marah, ia tidak suka zalim kepadanya.”
2. Memilih calon suami yang bukan dari golongan orang fasiq, yaitu orang yang rusak agama dan akhlaknya, suka berbuat dosa, dan lain-lain.
“Siapa saja menikahkan wanita yang di bawah kekuasaanya dengan laki-laki fasiq, berarti memutuskan tali keluarga.” (HR. Ibnu Hibban, dalam Adh-Dhu’afa’ & Ibnu Adi)
Ibnu Taimiyah berkata, “Laki-laki itu {?mungkin "yang"=dass} selalu berbuat dosa, tidak patut dijadikan suami. Sebagaimana dikatakan oleh salah seorang salaf.” (Majmu’ Fatawa 8/242)
3. Laki-laki yang bergaul dengan orang-orang sholeh.
4. Laki-laki yang rajin bekerja dan berusaha, optimis, serta tidak suka mengobral janji dan berandai-andai.
5. Laki-laki yang menghormati orang tua kita.
6. Laki-laki yang sehat jasmani dan rohani.
7. Mau berusaha untuk menjadi suami yang ideal,
diantaranya: Melapangkan nafkah istri dengan tidak bakhil dan tidak
berlebih-lebihan; memperlakukan istri dengan baik, mesra, dan lemah
lembut; bersendau gurau dengan istri tanpa berlebih-lebihan; memaafkan
kekurangan istri dan berterima kasih atas kelebihannya; meringankan
pekerjaan istri dalam tugas-tugas rumah tangga; tidak menyiarkan
rahasia suami istri; memberi peringatan dan bimbingan yang baik jika
istri lalai dari kewajibannya; memerintahkan istri memakai busana
muslimah ketika keluar; menemani istri bepergian; tidak membawa istri
ke tempat-tempat maksiat; menjaga istri dari segala hal yang dapat
menimbulkan fitnah kepadanya; memuliakan dan menghubungkan silaturahim
kepada orang tua dan keluarga istri; memanggil istri dengan panggilan
kesukaannya; dan yang terpenting bekerjasama dengan istri dalam taat kepada Allah Ta’ala.
Satu
hal yang perlu kita ingat saudariku, bahwa di dunia ini tidak ada yang
sempurna. Jangan pernah membayangkan bahwa laki-laki yang sholeh itu
tidak punya cacat & kekurangan. Tapi, satu hal yang
tidak boleh kita tinggalkan adalah ikhtiar dengan mencari yang terbaik
untuk kita, serta bertawakal kepada Allah dengan diiringi do’a.
Maroji’:
Ensiklopedi Wanita Muslimah. Haya bintu Mubaroh Al-Barik.
Ensiklopedi Wanita Muslimah. Haya bintu Mubaroh Al-Barik.
***
Artikel www.muslimah.or.id
Sumber: https://muslimah.or.id/63-siapakah-yang-ukhti-pilih.html